Share

Tidak Akan Melepaskan Jihan

Jihan berusaha berontak dari dekapan Sam, tapi tubuhnya yang jauh lebih kecil tidak memungkinkan untuk melepaskan diri. Bahkan dia terlihat kesulitan untuk bergerak bebas. Usahanya sia-sia belaka.

Sementara itu, Sam tampak menyunggingkan senyum kemenangan. Sambil memeluk Jihan, dia menatap ke arah Bram.

Tindakan Sam seperti mencemooh salah satu teman baiknya itu. Selama ini Sam dan Bram adalah dua orang yang paling gencar menarik perhatian Jihan. Tidak heran jika mereka berdua selalu bersaing secara ketat.

Kesal, Jihan akhirnya berteriak kencang, "Lepaskan aku, Sam ... lepaskan aku!"

Jihan meronta-ronta, namun Sam semakin mengeratkan pelukannya. Pria berkumis tipis itu baru akan melonggarkan dekapannya setelah melihat mobil Bram meninggalkan tempat tersebut.

'Berhasil juga,' pikir Sam dengan tenang.

Jihan tidak sanggup mengontrol diri lagi. Amarah yang ditahan-tahan sejak tadi meledak seketika. Dia segera mengangkat tangan dan melayangkan tamparannya yang sangat kuat pada wajah Sam hingga telapak tangannya sendiri terasa panas dan kebas.

Plak.

"Kamu benar-benar kelewatan, Sam, sangat tidak sopan!" marah Jihan dengan berapi-api.

Sembari mengelus pipinya yang memerah, Sam berkata dengan jujur, "Aku sangat mencintaimu, Jihan, bahkan perasaanku melebihi cinta Bram padamu, apa salahnya kamu memberikan aku kesempatan untuk menggantikan posisi Bram, dia juga sudah mengkhianatimu, jadi biarkan aku membantumu untuk membalaskan rasa sakit hatimu," Sam menjelaskan secara terang-terangan bahwa cintanya dalam untuk wanita di depannya.

"Itu benar, Jihan, lebih baik lupakan Bram, ceraikan dia dan hidup tenang bersama dengan Sam!" Nafa turut menimpali, memberi dukungan untuk hubungan Sam dan Jihan

"Aku tidak akan pernah memaafkan kalian berdua." Jawaban Jihan membuat Sam dan Nafa terdiam. Dia mengambil keputusan, kemudian memberi peringatan untuk Sam. "Selagi hubunganku tidak membaik dengan Bram, jangan harap kita bisa berbaikan lagi. Aku sangat membencimu, Sam, mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak ingin melihatmu lagi."

Jihan merasa tubuhnya kian letih. Kondisinya yang tengah hamil lagi-lagi membuatnya mengalah. Dia memutuskan untuk segera pergi.

Dengan perasaan sedih, Jihan berbalik dan tempat tujuannya kali ini adalah rumah orang tuanya.

Ketika tiba di depan rumah, Jihan terkejut melihat seorang pria tua duduk santai di teras rumah.

"Siapa kamu?" tanya Jihan tanpa ada rasa takut. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Jeremy, si tuan tanah yang sudah memiliki empat orang istri itu segera berdiri. "Aku adalah calon suamimu, gadis cantik," jawab Jeremy dan tatapannya penuh dengan hasrat.

"Aku tidak mengenalmu," Jihan tidak ingin meladeni pria mesum di depannya. "Tolong segera pergi dari sini, tidak ada yang menerima kalian bertamu di rumah ini!"

"Kurang ajar, tidak sopan!" Jeremy menjadi gusar dibuatnya. Dia menggertak dengan keras. "Apa orang tuamu belum memberitahumu? Kamu sudah aku beli dengan harga yang mahal, tidak pantas kamu bicara seperti itu!"

Ucapan Jeremy membuat Jihan tersadar akan sesuatu. Bersamaan dengan itu, kata-kata sang ibu pun langsung terngiang-ngiang di telinga Jihan. Dia ingat ibunya telah menceritakan sifat buruk sang ayah.

Namun, begitu meneliti kembali tampang Jeremy, Jihan merasa jijik dengan penampilan pria tua itu.

Bagaimana bisa ayah ingin menikahkan aku dengan pria yang lebih cocok menjadi kakekku?

Air mata Jihan nyaris tumpah meratapi nasibnya. "Ayahku masih terbaring di rumah sakit, dan ibuku masih berduka untuk itu, bagaimana bisa kalian menagih janji padaku, aku bahkan tidak tahu menahu tentang perjanjian kalian."

"Persetan dengan orang tuamu, aku tidak peduli dengan mereka, sekarang yang penting bagiku adalah kamu," balas Jeremy dengan menggebu-gebu.

Bertemu dengan wanita yang membuatnya tergila-gila adalah tujuan utama Jeremy. Dia pun memberi perintah pada anak buahnya. "Bawa dia segera, aku tidak ingin mengulur waktu lagi, pokoknya gadis ini harus segera menjadi milikku!"

Di lain tempat.

Dalam keadaan emosi, Bram kembali ke villa pribadinya. Tadinya, dia ingin menemui Sam dan bicara langsung dengan pria itu tentang hubungannya bersama Jihan.

Namun, setibanya di tempat Sam, Bram justru mendapati istrinya tengah bermesraan dengan salah satu teman baiknya. Parahnya, Bram melihat sendiri jika Jihan adalah orang yang mendatangi Sam.

Jihan dan Sam bahkan terlihat intim di depan pintu. Hal itu sudah cukup menyakiti perasaan Bram. Setelah tiba di kediamannya, Bram melempar ponselnya ke arah lemari kaca.

Prang ....

Suara yang cukup keras mengagetkan Farouk yang saat itu tengah berada di dalam sebuah kamar. Dia bergegas turun untuk melihat apa yang terjadi dengan sahabatnya.

"Bram, ada apa?" Farouk bertanya serius. Dari ekspresi Bram, dia bisa memahami jika penyebabnya pasti Jihan. "Apa yang terjadi, kenapa kamu harus merusak barang pribadimu hanya karena wanita itu?"

"Kita berangkat ke kota sekarang juga!" Bram memerintah tanpa memberi alasan. "Segera pesan tiket dan kabari orang tuaku tentang perjodohan yang mereka rencanakan, aku sudah mempertimbangkannya."

Farouk senang mendengarnya, tapi dia masih penasaran dengan akhir hubungan sepasang suami isteri itu. Dia pun bertanya dengan bersemangat.

"Bagaimana dengan Jihan? Apa aku perlu mengutus pengacara untuk mengurus perceraian kalian?" Farouk menawarkan karena dia sendiri ingin melihat Jihan segera berpisah dengan Bram.

"Tidak akan pernah." Meski Bram membenci kelakuan Jihan, tapi dia juga tidak ingin melepaskan wanita itu dengan mudah. Dia punya pemikirannya sendiri. "Cukup lakukan apa yang aku perintahkan, selebihnya, jangan ikut campur dengan masalah pribadiku!"

Farouk terlihat kecewa. "Baiklah, akan aku ingat."

Setelah kepergian Farouk, Bram bicara pada dirinya sendiri. "Kamu berani mempermainkan perasaanku, Jihan, baru hitungan hari kita berpisah, kamu sudah ingin bersama dengan pria lain. Setelah pengkhianatan yang kamu lakukan, jangan harap kamu bisa lepas begitu saja dariku!"

Pada malam harinya.

Jihan terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel. Ranjang tempat duduknya saat ini terlihat mewah, tapi itu tidak mungkin membuatnya nyaman.

"Pasti si tua bangka itu yang membawaku ke sini." Jihan ingat dia berusaha berontak dan akhirnya mulutnya dibekap oleh orang suruhan Jeremy. "Aku harus segera pergi."

Jihan baru saja akan menyentuh kenop pintu, namun daun pintu di depannya sudah lebih dulu terbuka dari luar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status