Share

Terlilit Hutang

Tidak seperti yang diharapkan Jihan, Bram justru melewati istrinya ketika akan memasuki rumah kontrakan tersebut. Aura yang dipancarkan pria itu juga terlihat berbeda dari hari sebelumnya. Mereka seperti orang asing saja, bertemu tanpa saling bertegur sapa.

"Bram ...!" Jihan segera mengejar suaminya. Dia juga berusaha menepis prasangka buruknya saat ini agar bisa bicara dengan kepala dingin.

Tampak jika Bram mempercepat langkahnya menuju kamar. Di sana dia mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan langsung memasukkannya ke dalam koper mini.

"Bram ... kamu mau ke mana?" Jihan bertanya dengan khawatir. Dia belum mendapat penjelasan apapun, tapi suaminya sudah lebih dulu mengabaikannya.

Apa lagi yang terjadi?

"Aku ada urusan penting." Bram menarik seretan koper miliknya. Setelah itu, dia menatap Jihan yang nyaris menangis. "Tidak usah menghubungiku dulu, kepergianku sekaligus untuk menenangkan diri."

"Menenangkan diri?" Jihan menatap heran suaminya. Harusnya dia yang butuh penenangan, tapi kenapa justru Bram yang beralasan demikian.

"Ya, aku ingin menenangkan diri dari pengkhianatan yang sudah kamu lakukan," tuduh Bram dengan beringas.

"Apa maksudmu?" Jihan merasa dia adalah korban, tapi Bram malah memutarbalikkan keadaan.

Siapa yang bersalah sebenarnya?

"Tidak usah berpura-pura polos lagi!" Bram segera mendekati Jihan, lalu mencengkram bahu istrinya itu. "Ke mana kamu tadi siang? Siapa pria yang bersamamu dan ke mana kalian pergi?" tanya Bram dengan emosi.

Seketika ingatan Jihan tertuju pada Sam. Pria itu yang telah membawanya ke dalam sebuah tempat yang tidak diketahuinya. Entah apa yang terjadi, Jihan tidak mengingat kejadian apapun setelah dia pingsan di halte bis.

Belum juga bersuara, Bram sudah menuduh dengan membabi buta. "Katakan padaku, apa yang kamu lakukan dengan Sam? Apa kamu sudah bersenang-senang dengan pria itu? Apa aku tidak cukup memuaskanmu?"

"Bram, itu tidak benar, aku tidak melakukan apapun dengan Sam. Itu tidak mungkin terjadi."

Jihan mulai menangis. Namun, air mata yang mengalir di pipinya tidak membuat Bram merasa iba. Pria itu justru semakin kesal.

"Tidak usah banyak alasan kamu. Tidak usah tunjukkan air mata palsu itu!" Dengan kasar, Bram melempar tubuh Jihan ke tempat tidur, lalu menunjuk wajah wanita di depannya. "Aku tahu kamu adalah wanita yang digilai banyak pria. Ya, banyak pria di luar sana yang ingin menikah denganmu dan Sam adalah salah satunya, tapi sekarang kamu harusnya sadar diri dengan statusmu sebagai seorang istri."

Mendengar kata status, Jihan mulai berani untuk membela diri. Dia menantang. "Lalu bagaimana denganmu, apa kamu tidak pernah sadar dengan statusmu itu? Kamu lebih ...."

Sebelum Jihan melanjutkan ucapannya, Bram sudah mencengkram mulutnya. Jihan pun kesulitan untuk bicara.

Bram tengah dikuasai emosi. Dia merasa paling benar dan apa yang baru saja diucapkan Jihan menurutnya adalah sebuah pengakuan. Ya, sebuah pengakuan pengkhianatan yang membuat Bram kian berapi-api.

Sambil meremas mulut Jihan, Bram mulai melontarkan penghinaan. "Wanita tidak tahu diri, wanita rendahan, harusnya aku tidak pernah jatuh cinta padamu, harusnya aku tidak menikahi wanita sepertimu, tapi aku masih bisa bersyukur, sebelum mengenalkanmu pada keluargaku, aku sudah lebih dulu mengetahui belangmu yang sesungguhnya."

Sepasang suami istri semakin terlihat tegang.

Dari ruang tamu, Farouk dapat mendengar pertengkaran itu. Dia tersenyum puas. 'Ini lebih baik daripada Bram bertahan dengan wanita kampung seperti Jihan,' ucapnya dalam hati.

Bram merasa dikhianati setelah mendapatkan kiriman video dari Sam di mana teman dan istrinya sedang berduaan di sebuah kamar. Di atas sebuah ranjang, posisi keduanya juga terlihat intim, dan hanya ditutupi oleh selembar selimut.

Sedangkan Jihan juga baru saja mengetahui tingkah laku suaminya yang selama ini hobi bergonta-ganti pasangan. Dia belum sempat bertanya secara langsung, tapi suaminya itu sudah lebih dulu melayangkan fitnah yang begitu kejam.

Tanpa memberi kesempatan bicara, Bram meninggalkan Jihan. Dia bersama dengan asistennya memasuki sebuah mobil mewah.

"Apa kamu sudah memastikan keasliannya?" Bram bertanya pada Farouk. Di hadapan Jihan, dia bisa terlihat kasar dan berapi-api, tapi bersama dengan Farouk, dia masih tampak ragu.

"Semuanya asli, Bram, dan aku juga sudah mengecek tempat itu, bahkan Sam sendiri sudah mengakuinya secara langsung jika mereka berdua telah ...." Farouk tidak melanjutkannya lagi karena itu hanya akan menyakiti perasaan sahabat sekaligus atasannya itu.

Pikiran Bram sedang kacau, jadi dia tidak begitu peduli dengan ucapan Farouk. Dia hanya bertanya untuk memastikan. "Apa menurutmu tindakanku ini sudah benar?"

Bram sedikit ragu. Mungkin cintanya yang asli sudah tumbuh untuk Jihan hingga dia merasa bersalah menyakiti istri yang baru dinikahinya itu.

"Seharusnya kamu langsung menceraikannya saja, Bram!" Farouk menjawab dengan tegas. "Menurutku, berpisah adalah keputusan yang paling tepat."

***

"Jihan sedang hamil, itu adalah hasil pemeriksaan sementara dari dokter." Di dalam pertemuan di sebuah kafe, Sam memberitahu diagnosis dokter pada Nafa. "Aku belum memberitahukan ini pada Jihan, tapi lambat laun dia pasti mengetahui kehamilannya, dan sekarang tugasmu adalah segera melenyapkan bayi itu?"

"Kenapa kamu tidak melakukannya sendiri?" Nafa merasa tindakan kali ini terlalu beresiko.

Sam mendengus kesal. Peristiwa tadi siang benar-benar membuatnya marah, tapi di hadapan Jihan, dia benar-benar menutupi perasaannya itu.

Setelah mengetahui Kehamilan Jihan, Sam sama sekali tidak banyak bertindak pada wanita itu. Dia hanya melakukan sesuatu yang bisa membuat hati Bram panas dan akhirnya kedua sejoli itu berpisah dengan sendirinya.

Namun demikian, Sam tidak dapat menerima kehadiran bayi dalam kandungan Jihan. Mungkin cintanya juga besar pada wanita itu, tapi untuk menerima darah daging Bram, itu tidak bisa dinegosiasi.

"Kamu sudah berduaan dengan Jihan, harusnya kamu lakukan saat itu juga, bukankah kesempatan yang kamu miliki lebih besar, kenapa masih mengharapkan aku lagi?" tukas Nafa dengan wajah merengut.

"Aku hampir melakukannya, tapi gagal," balas Sam dengan ketus. Minuman yang diserahkannya pada Jihan telah dicampur obat penggugur kandungan, tapi wanita incarannya itu sudah lebih dulu menolak. Bahkan meninggalkannya sebelum menyentuh botol minuman.

*

Pukul 10 malam, Jihan tiba di rumah sakit, tempat ayahnya dirawat. Sebelum memasuki ruangan rawat inap, dia terlebih dulu membetulkan riasan wajahnya.

Jihan tidak ingin berbagi kesedihan dengan ibunya. Ini adalah pilihan hidupnya sendiri yang telah berani berbohong pada kedua orang tuanya.

"Jihan, kamu sudah datang." Sona tampak senang melihat Jihan berkunjung. Dia langsung meraih kedua tangan putri tunggalnya itu. "Ayahmu sedang kritis, dokter bilang kondisinya sangat parah, kemungkinan ayahmu ...." Sona tidak bisa melanjutkannya, dia sudah menangis sesenggukan.

"Apa yang terjadi, Bu?" Jihan menatap ke arah ayahnya yang sedang berbaring lemah itu.

Merasa malu dengan kelakuan suaminya, Sona memilih menutupi keadaan yang sebenarnya. Dia bahkan rela menutupi keburukan sang suami yang hobi berfoya-foya di luar sana dan akhirnya menggadaikan anak mereka satu-satunya.

"Sebenarnya, kami terlilit hutang selama ini, dan hari ini, tuan tanah yang meminjamkan uang pada ayahmu datang menagih, karena kami tidak bisa membayar atau mencicilnya, ayahmu menjadi bulan-bulanan para preman bayaran itu," jelas Sona sambil menangis.

"Berapa hutang ayah, Bu?"

Jihan memiliki sedikit tabungan karena selama ini dia juga bekerja di sebuah pabrik roti. Dengan uang simpanan itu, dia berharap hutang-hutang kedua orang tuanya bisa terselesaikan.

Sayangnya, Jihan tidak menyangka jumlah uang yang telah diambil ayahnya bernilai sangat tinggi dan jelas tidak terjangkau oleh orang kecil seperti mereka.

"Apa kamu punya banyak uang?" Tentu saja Sona ragu. Total jumlah hutang suaminya bukan sedikit. Entah berapa orang yang ingin memiliki Jihan, suaminya akan selalu mengiyakan asal mendapatkan uang yang banyak.

"Sebutkan saja, Bu!" desak Jihan.

"Sepengetahuan ibu sekitar 10 milyar, tapi itu belum pasti, Jihan," kata Sona sambil menundukkan kepala.

"Apa ....?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status