Share

Hamil

Tidak hanya terkejut, Jihan juga shock berat mendengar pengakuan ibunya. Tubuhnya lemas seketika dan dia terduduk lesu di samping ayahnya. Saat itu juga, perut Jihan terasa keram, tapi rasa sakitnya segera ditepis akibat terlalu fokus memikirkan keadaan orang tuanya.

"Hutang apa saja itu, Bu?" Jihan menangis sambil bertanya pada ibu dan ayahnya. "Kenapa kalian sampai berhutang sebanyak itu? Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?"

Sona merasa bersalah. Dia bersimpuh di hadapan putrinya. "Maafkan ibu, Jihan, ini salah ibu, harusnya ibu tidak mengizinkan ayahmu melakukan semua itu?"

"Apa maksud Ibu?" Jihan bingung dengan pengakuan ibunya yang berbelit-belit.

Karena merasa iba dengan putrinya, Sona yang tidak punya pilihan lagi akhirnya mengakui segala perbuatan suaminya yang selama ini ditutup-tutupi dengan rapat. Dengan pengakuan ini, dia juga berharap jika Jihan akan menerima salah satu pria yang telah membuat janji dengan suaminya.

"Apa-apaan ini, Bu?" Jihan refleks berdiri. Dia tidak bisa menerima kelakuan ayahnya. "Ini sama saja kalian ingin menjualku. Kenapa bisa Ibu mendukung keinginan bodoh ayah?"

"Ibu tidak punya pilihan, Jihan." Sona meraih tangan putrinya. "Lihat kondisi ayahmu sekarang, kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan menyelamatkan hidupnya?"

Jihan menangis dalam diam. Sungguh berat beban hidupnya saat ini. Suami yang dicintainya telah berkhianat. Di waktu yang bersamaan, dia mendapati ayah yang sangat dihormatinya juga telah menawarkannya pada banyak pria. Dua pria yang disayanginya telah membuat Jihan terluka dalam satu waktu.

***

Pada hari-hari berikutnya, Jihan masih menunggu kedatangan Bram. Dia masih berharap pada pria itu. Bahkan Jihan telah mengabarkan keadaan ayahnya saat ini.

Namun, setiap melihat satu persatu notifikasi di ponselnya, Jihan tidak menemukan apapun tentang Bram. Pria itu sama sekali tidak memberikan kabar.

Apa mungkin Bram tidak menginginkan aku lagi? Apa yang dikatakan Sam tentang Bram adalah kebenarannya? Bram telah merasa menang sekaligus bosan setelah berhasil mendapatkan yang diinginkannya?

"Jihan, apa yang kamu pikirkan?" Sona melihat putrinya melamun, jadi dia bertanya bingung.

"Jihan ... Jihan ...!" Sona mengejutkan putrinya yang sedang termenung itu.

Jihan tersadar setelah mendengar suara ibunya berulang kali. "Iya, Bu, ada apa?" tanya Jihan gugup, lalu menoleh pada ayahnya. "Apa terjadi sesuatu?"

"Ibu sedang bertanya padamu, kenapa kamu melamun seperti itu sampai-sampai tidak mendengar suara ibu?" Sona sedikit jengkel. Karena lebih mencintai suaminya, dia tidak segan-segan menuduh Jihan. "Apa kamu masih marah pada ayahmu? Jangan bilang kamu ingin melakukan sesuatu untuk membalas kami?"

"Aku tidak pernah berpikir ke sana, Bu," aku Jihan dengan sedih. "Kalian adalah orang tuaku, bagaimana mungkin aku berpikiran yang bukan-bukan pada ayah dan Ibuku sendiri?"

Meski dongkol dengan kelakuan ayah ibunya selama ini, Jihan tetap saja menyayangi orang tuanya itu. Salah satu alasan Jihan menikah diam-diam juga atas bentuk kekecewaannya terhadap orang tuanya yang kerap mencarikan jodoh kaya raya untuknya.

Namun sayangnya, janji Bram tak beda jauh, kata-kata manis pria itu telah membuat Jihan bertambah kecewa. Jihan yang baru pertama kali jatuh cinta pada akhirnya terperdaya dengan sosok pria yang hanya mengambil keuntungan dari hubungan mereka.

"Oh syukurlah kalau kamu tidak dendam pada ayah," Sona merasa lega.

Sejujurnya, saat ini Jihan ingin mencoba berkata jujur bahwa dia juga telah membohongi kedua orang tuanya. Tentu saja dia takut jika ayahnya meninggal dunia tanpa mengetahui status dirinya yang telah menikah diam-diam bersama Bram.

Pada saat itu seorang perawat masuk ke dalam ruangan tersebut. Obrolan ibu dan anak itu pun terhenti sejenak. Keduanya sibuk melihat gerakan sang suster yang tengah memasukkan obat ke dalam tubuh pasien.

Tidak seperti Sona yang mendekat dan meneliti setiap gerakan sang perawat, Jihan justru tiba-tiba menutup mulutnya. Dia merasa mual ketika mencium bau obat yang disuntikkan ke jarum infus.

Pada saat ibunya sibuk dengan sang ayah, Jihan segera berlari ke dalam kamar mandi. Di sana, dia memuntahkan seluruh makanan yang disantapnya saat sarapan pagi tadi.

"Apa yang terjadi denganku?" Jihan segera menyadari sesuatu. Dia langsung memeriksa kalender di dalam ponselnya.

"Aku sudah terlambat haid satu minggu ini," gumam Jihan, lalu meraba perutnya yang masih rata.

"Apa aku hamil?" Sebagai pasangan suami istri baru, Jihan sudah sering melakukan hubungan intim bersama dengan Bram, tentu saja dia langsung berpikir ke arah sana.

Jihan tidak ingin berlarut-larut dalam praduganya. Daripada hanya menebak-nebak saja, lebih baik dia memastikan secara langsung. Toh, saat ini, Jihan sedang berada di rumah sakit.

Beruntung saat Jihan keluar, Sona masih sibuk dengan perawat tersebut. Jadi, Jihan tidak mendapatkan pertanyaan dari ibunya.

Karena masih berada di rumah sakit, Jihan memutuskan untuk langsung menemui dokter kandungan.

"Apa suami Ibu tidak ikut?" dokter bertanya setelah memastikan hasil pemeriksaan.

"Dia sedang sibuk, Dok, jadi tidak bisa menemaniku," Jihan beralasan dan prasangkanya semakin kuat saja.

"Baiklah." Dokter itu mengangguk, lalu menyerahkan hasilnya. "Selamat ya, Ibu sedang hamil dan usia kandungan Ibu sudah menginjak minggu ke empat," jelasnya.

Bagi Jihan, suara dokter di depannya sudah seperti sebuah kilat yang sedang bergemuruh. Dia tidak bisa fokus mendengar nasihat dan saran yang dikatakan dokter wanita itu dengan baik.

Bukan tidak bersyukur atas kehadiran anak dalam kandungannya, tapi Jihan masih bingung untuk mengambil tindakan. Bukankah Bram telah mencampakkannya? Lalu apa lagi yang mau diharapkan?

"Aku harus menemui Bram. Dia harus tahu tentang bayi ini." Jihan mengambil keputusan. Hari itu juga, dia menuju sebuah lokasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status