Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna begitu menawan. Aku yang pernah menjadi orang berada juga Tari-mantan istriku yang juga dari kalangan elite tentu aku hafal betul sejumlah harga outfit. Apalagi dengan yang dikenakan Hasna saat ini. Aku yakin harganya juga fantastis.
Saat aku tak berkedip menatapnya, saat itu pula ia juga menatap ke arah aku dan ibu. Lagi lagi ia melemparkan senyum simpulnya itu. "Sudah bisu mungkin si Hasna itu. Dari kemarin hanya senyam-senyum saja. Akibat pernah dzolim dengan mertua ya jadinya begitu,"gerutu ibu yang menyadari tatapan Hasna kepada kami. "Bukanya terbalik bu. Justru dulu ibu yang sering dzolim ke Hasna. Memperlakukan dia seperti bukan kepada menantu. Tetapi justru seperti babu,"protesku kepada ibu. Ibu bergantian menoleh ke arahku dengan tajam. "Eh wajar ya Zaki. Mertua memperlakukan menantu seperti itu. Lagipula dia juga tidak berkerja bukan? Hanya mengurus rumah dan menadahkan tangan kepadamu. Berbeda dengan Tari yang bekerja. Ah pahit tapi kalau mengingat wanita tak berakhlak itu," "Karena manusia memang memiliki kurang dan lebihnya masing-masing. Yang dianggap lebih juga pasti ada kurangnya. Pun yang kurang juga pasti ada lebihnya." "Alah sok bijak kamu. Karena bertemu Hasna? Ibu akan menjadi orang yang pertama kali tidak akan merestui itu seandainya kamu kembali kepadanya." Aku melengos kesal kepada ibu. "Lagipula mana mau Hasna kembali lagi denganku, bu," "Ya siapa tau. Kita itu keturunan darah biru. Keluarga priyayi. Bisa saja dia kembali tergiur," Aku bosan dengan apa yang disampaikan ibu. Selalu dan terus menerus mengungkit garis keturunan. Yang bagiku saat ini tidak penting dan tidak membantuku sama sekali di situasi seperti ini. "Atau jangan-jangan justru Hasna yang mempunyai kontrakan ini bu? Lihat penampilanya sangat berkelas." Ibu justru tertawa mendengar apa yang aku sampaikan. "Ngarang kamu. Kamu berfikir bahwa Hasna adalah babu yang menjelma menjadi ratu begitu seperti di cerbung-cerbung itu? Kalaupun dia adalah pemilik kontrakan tentu dia punya rumah yang mewah. Tidak disini tempatnya. Dia bisa hidup cukup, bisa makan setiap hari harusnya sudah bersyukur, ibu ini tau betul bagaimana keluarga Hasna. Kamu itu jadi sarjana juga jangan bodoh-bodoh, Ki. Sekarang banyak barang-barang branded KW yang dijual di pasar loak."kata ibu panjang lebar. Aku membenarkan dalam hati ucapan ibu. Tidak mungkin jika Hana yang memiliki kontrakan berpuluh-puluh pintu ini, justru memilih tinggal disini. Penghuni kontrakan berduyun-duyun menuju tempat acara. Di bawah tenda yang terpasang, juga dipasang sebuah panggung kecil dengan grup electone sebagai penghiburnya. Di depan panggung, terdapat sebuah meja panjang dengan prasmanan makanan yang beragam. Ada capjay, rawon, ayam bumbu lapis, ayam bumbu rujak, kakap, telur balado, dan berbagai makanan nusantara lainya. Bahkan kambing guling juga ada. Mirip dengan sebuah acara hajatan. Kendati begitu ada juga beberapa laki-laki bertubuh kekar tinggi besar menjadi tim keamanan yang berjaga di sekeliling tenda. Dan semua penghuni kontrakan tampak menikmatinya. Mereka makan dengan lahap. "Dasar orang-orang susah. Lihatlah seperti orang kelaparan tidak makan satu tahun saja. Eh iya lupa mereka pasti jarang makan enak kan ya,"ucap ibu melihat penghuni kontrakan yang terlihat antusias sekali. "Jangan begitu bu. Kita juga sekarang menjadi orang susah." "Eh tetapi sorry ya kalau hanya makanan seperti itu, ibu sudah hafal rasanya sampai bosan," Aku mulai lelah menanggapi ibu yang sedari tadi hanya hinaan yang dilontarkan. Aku lebih suka mengamati Hasna. Yang bagiku ia lah yang paling menarik diacara ini. Ia mengenakan dress panjang berwarna pink cerah yang pas dengan membalut bentuk tubuhnya dengan jilbab segiempat berwarna senada yang ujungnya ia tata rapi dan di ikat kebelakang. Dengan make up yang sederhana, ia terlihat angun sekali. Hasna versi terbaik yang pernah aku temui. "Mari makan mas, bu,"kata seseorang yang ku ketahui sebagai tetangga kontrakan bernama Mas Anwar-anak sopir angkot yang menunjukan kontrakan ini kemarin. "Silahkan mas,"jawabku. Tampak ku lihat dia tengah membawa sepiring penuh nasi dengan lauk yang berlimpah hingga nasi tersebut tak terlihat. Dan ia memakanya dengan tangan juga begitu lahap. Ibu yang juga melihatnya menjadi bergidik. Aku tau saat itu ibu tengah merasa jijik. "Duh tidak makan berapa abad sih? Cari tempat lain saja yuk Zaky,"ajak ibu. Aku menuruti kemauan ibu, namun mataku tidak lepas dari Hasna. "Nyebut. Tidak usah melirik dia lagi,"kata ibu menegurku setelah tau aku mencuri pandang kepada sang mantan istri. Aku tidak menghiraukan teguran ibu. Ah lihatlah betapa manisnya Hasna bahkan saat menikmati makan pun, ia tampak selalu mengobrol dengan ibu sebelahnya. Karena aku yang tidak menggubris ucapan ibu, akhirnya ibu pun mengikuti arah pandanganku. "Tumben si Hasna itu tidak malu-maluin. Makanya sedikit amat,". Piring yang dipegang Hasna pun nyatanya tak luput dari pandangan ibu. Tetapi ya memang seanggun itu. Hasna sama sekali tidak rakus, justru ia terlihat anggun dari gestur tubuh, dan dari caranya berbicara. Terlihat ia seperti wanita berkelas. "Ibu, tidak makan?"tanyaku akhirnya. "Ibu kenyang melihat Anwar yang makan dengan rakus tadi. Mendadak jadi eneg," Aku maju sendiri untuk mengambil makanan. Membiarkan ibu duduk sendiri disana. "Penghuni baru ya mas?"tanya seorang laki-laki paruh baya terhadapku. Aku mengangguk penuh ramah. Lalu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat. Laki-laki tersebut juga membalas tak kalah ramahnya. "Iya pak perkenalkan saya Zaki. Saya tinggal di kontrakan paling ujung bersama ibu saya," "Saya Pak Khoirul. Kebetulan saya yang ditugaskan untuk menjadi ketua di kompleks ini," "Oh ketua kompleks?" "Ketua kompleks rumah kontrakan. Saya sendiri juga ngontrak,"jawabnya dengan kekeh kecil. Pantas saja di ditunjuk sebagai ketua, pembawaanya ramah dan berwibawa. Orangnya juga asyik diajak ngobrol. "Sering ya pak ada acara seperti ini?"tanyaku. "Hampir setiap tahun mas. Sebenarnya ini bukan hanya untuk penghuni kontrakan saja. Masyarakat umum bisa hadir. Tetapi ya masyarakat sekarang banyak gengsinya untuk sekedar datang ke acara seperti ini. Paling juga para masyarakat yang ekonomi nya kurang beruntung seperti pemulung, atau pengemis. Nanti yang datang setelah ini," "Wah, baik sekali ya pak pemilik rumah kontrakan ini. Tetapi dimana orangnya?" "Dia itu orang kaya mas. Dia juga pemilik perusahaan yang cabangnya banyak. Terakhir saya dengar kabarnya kalau dia sedang mengembangkan anak cabang perusahaanya di New York sana. Namanya Pak Robertio Hadi Sanjaya," Ah nama yang tidak asing di telingaku. Tetapi aku lupa siapa. Mungkin memang kolega perusahaan tempatku bekerja dulu. Setelah berbasa basi aku kembali menuju tempat duduk dekat ibu. "Zaki, jangan asal bersalaman dengan orang. Orang miskin itu banyak bakterinya,"bisik ibu di telingaku. "Ibu benaran tidak mau makan?"tanyaku sembari menglahap makanan yang bagiku sangat memanjakan lidah ini. Ibu hanya sekilas melihatku. Namun dapat ku dengar suara perutnya yang keroncongan. "Sudah. Tidak usah gengsi bu." Akhirnya ibu mau bangkit dari duduknya dan mengambil makan yang ada di meja. Namun siapa sangka saat itu juga Hasna tengah menggandeng Ranita untuk mengambil makanan. Dapat aku dengar sayup sayup percakapan antara mereka. "Nenek,"sapa Ranita dengan ramah. Ibu hanya tersenyum kecut yang ia paksakan. Ranita membawa piring berisi kuah soto. Tetapi na'as kakinya menyandung kaki meja hingga semangkok kuah soto tersebut membasahi baju ibu. Apa yang terjadi setelah itu? Ibu berkacak pinggang. Matanya melotot. Ranita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya merapat sekali di tubuh Hasna. "Ma-ma'af nek. Rani tidak sengaja,"kata bocah kecil itu dengan nada yang bergetar. "Heh kamu tau harga pakaian yang saya pakai ini? Ini dibeli di luar negeri. Ini baju dengan brand terkenal. Uang makanmu seumur hidup pun mungkin tidak bisa mengganti harga bajuku ini,"teriak ibu bersungut marah. Hingga menyita perhatian publik untuk melihatnya. Hasna yang dulu selalu menunduk saat disalahkan, saat di hina , saat dimaki. Kini justru terlihat tenang. Ia sejenak berbalik badan. Entah apa yang dilakukan. "Segini cukup?"tanya Hasna menyerahkan selembar kertas yang ku duga adalah sebuah cek...Ku lihat mata ibu menyipit membaca kertas berlogo salah satu bank terkenal yang disodorkan Hasna. Namun ibu tertawa kecil."Kamu kira saya bodoh? Saya tau persis siapa kamu. Tidak mungkin wanita seperti Hasna menyodorkan cek kepada priyayi seperti saya,"hina ibu."Silahkan isi sendiri nomor rekeningnya,"Aku bergegas menghampiri beliau. Malu. Kami hanyalah penghuni baru kontrakan dan membut ribut saat mengisi acara.Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Hasna lagi setelah mendengar hinaan serta penolakan dari ibu. Sorot matanya tetap teduh dan tidak menantang.Ia hanya meletakan cek itu diatas meja. Lalu menggandeng Ranita pergi dari situ. "Bu,"panggilku."Lihatlah mantan istrimu. Belagu. Sombong. Cek palsu saja,"gerutu ibu sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang tersiram kuah soto. Ibu juga berlalu. Namun pandangan orang lain belum berlalu. Ada yang menatap dengan pandangan sinis. Dan ada juga yang saling berbisik."Oh jadi Mas Zaki itu mantan suaminya Mbak Hasna?"
"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya."Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa."Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia."Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.
( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)🌿🌿🌿Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan."Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya."Kenapa mas?""Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya.Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain."Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usah
Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya."Dia mantan ibu mertua saya,""Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh."Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam."Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna."Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur."Duh Mbak Hasna mimpi ap
"Aku..,"Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan."Aku menjabat sebagai manager lagi bu,"Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya."Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya."Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal."Kamu kenapa, nak?""Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi."Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak b
Semua mata mendelik ke arah Hasna. Tetapi Hasna masih berdiri dengan yakinya. Zaki mengedipkan mata menatap sang mantan istri seolah memberi isyarat agar tak melanjutkan kalimatnya. Mulanya Hasna tidak menggubrisnya. Ia muak dengan kesombongan sang mantan mertua. Tetapi Zaki terus memasang tampang iba nya seakan ia saat ini benar-benar memohon.Hasna tersenyum sinis dalam hati. Tak hentinya dia bersorak dimana keangkuhan dan kekuatan seorang Zaki Yunanda yang dulu. Yang menganggap dirinya bisa melakukan bahkan membeli apapun itu. Nyatanya untuk membeli kepercayaan ibu nya saja, kini ia tidak mampu.Bu Ratih tertawa sumbang. Penuh remeh. Sama seperti saat ia sering merendahkan Hasna dulu"Jangan mimpi kamu. Jaga omongan kamu. Kami ini kaum terpelajar. Relasi kami banyak. Kami dikelilingi kaum elite. Jika kamu berkata kamu lah yang mencarikan pekerjaan untuk Zaki, itu karena sebatas kamu hanya kenal Anwar saja. Siapapun yang membawa anak saya mendapat pekerjaan kalau Zaki sendiri tidak
Zaki berkali kali mengedipkan mata. Menatap seolah tak percaya dengan nama yang tertera di undangan tersebut. Mencoba memastikan penglihatanya bahwa nama di undangan tersebut tidak salah.Sean & Natari.Dengan foto preweeding di sebuah pantai. Serta angin yang memainkan gaun sang calon mempelai wanita, membuat semakin estetic sebuah foto preweeding yang dibingakai denegan senyuman keduanya.Ya Zaki kembali harus menelan pil pahit kehidupan. Sepupunya menikah dengan mantan istrinya. Dia baru paham mengapa Tante Mira sendiri yang mengantar surat cerai pada Zaki. Karena pihak mereka lah yang mengurusnya.Namun apa maksutnya mereka mengundang Zaki ke acara mereka. Notabene Zaki adalah sepupunya sekaligus mantan suami Tari. Mau memamerkan kebahagiaan mereka kini kah?"Undangan dari siapa?"Dengan cepat Bu Ratih merebut undangan itu dari tangan Zaki.Tak berbeda Bu Ratih pun terbelalak kaget dengan undangan yang ia baca. Tak berselang lama justru ia pun meremas undangan tersebut. Lalu melem
"Pemiliknya adalah...,""Zaki,"teriak Bu Ratih yang membuat kedunya terlonjak."Dipanggil pawangmu tuh,"kata Ratih.Zaki geram. Tak ubahnya ia seperti anak kecil yang selalu diteriaki ketika sedang bermain.Bu Ratih berkacak pinggang menghampiri sang anak."Hasna, berhenti kamu menggoda Zaki,"Hasna mendengkus kesal. Menatap arah lain. Menganggap omongan Bu Ratih penuh remeh."Bu, Zaki ingin bertemu Ranita. Apa salah?"tanya Zaki melawan."Kamu dan dia itu sudah tidak ada ikatan, Ki. Jadi kamu haris bisa menjaga jarak. Masalah Ranita, tidak harus kalian berduaan begini. Lagipula kamu juga sudah ada calon,"Zaki menatap ibu nya heran."Jadi calon Zaki adalah selebgram, Hasna. Model. Bahkan terakhir ia menjadi salah satu model di Dubai Fashion Week."kata Bu Ratih dengan nada yang pamer."Siapa bu?"tanya Hasna yangs seolah olah dibuat antusias dengan perkataan Bu Ratih. Dan Bu Ratih membenarkan letak tubuhnya untuk semakin meyakinkan."Calon nya Zaki,""Yang tanya,"jawab Hasna dengan mel
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,