"Aku..,"
Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan. "Aku menjabat sebagai manager lagi bu," Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya. "Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya." Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal. "Kamu kenapa, nak?" "Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi. "Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak betah. Hidup bagai satu tembok dengan orang lain begini,"keluhnya. Mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya kontrakan murah tapi bersih. Walaupun satu tembok dibagi dua. Tapi didalamnya lumayan lah untuk hidup berdua dengan ibu. Tiba-tiba Bu Ratih menutup hidungnya saat Zaki membuka kemejanya. "Zaki, kamu tadi tidak pakai minyak wangi? Bau banget. Kayak bau sampah,"keluh Bu Ratih lagi. Ternyata benar saja dugaan Zaki. Bau dari rongsokan itu walau tempatnya rapi sekalipun tetaplah bau. Bagaimana tidak ia berhubungan langsung dengan sampah sampah dari pemulung itu. "Eh iya bu. Perusahaan tempat Zaki bekerja kan belum selesai seratus persen. Jadi Zaki juga harus mengawasi para pekerjanya. Jadi bau matahari,"kekeh Zaki sembari ngeloyor menuju kamar mandi. Kini Bu Ratih bisa bernafas lega. Ia tambah percaya diri untuk keluar rumah. Terutama ingin sekali menunjukan kepada saudara-saudaranya bahwa ia mampu kembali untuk bangkit. "Ibu, masak apa?"tanya Zaki. "Masak kangkung sama tempe goreng. Besok-besok tambahin dong Zaki uang belanjanya. Sepuluh ribu sehari itu kan kurang. Ibu juga ingin makan enak. Makan ayam. Masa kita kalah sama si Hasna? Dia saja bisa belanja ayam sekilo loh," "Ibu kan tau sendiri kalau Hasna itu sekarang berubah bu. Ekonominya jauh melejit diatas kita," "Ish kamu jadi orang gampang percaya banget. Sekarang itu banyak orang miskin yang mengaku kaya. Dan orang kaya yang berpura-pura miskin. Seperti kita ini," Wajah Zaki berubah. "Bu, sudahlah. Berhenti dramanya. Kita memang orang miskin,"ucap Zaki meminta. Ia merasa muak dengan sang ibu yang terus menganggap diri mereka kaya raya. "Heh kita ini tidak miskin. Kita bergaris keturunan darah biru. Tidak ada dalam sejarah keturunan priyayi itu jatuh miskin. No. Kita pasti bisa bangkit. Rezeki kita pasti banyak. Buktinya kamu sekarang mendapat kerja menjadi manager juga kan?" Zaki mendesah pelan. Nafasnya berat. Sulit sekali berbicara agar setidaknya ibunya mau mengerti. "Rezeki itu sudah diatur Tuhan bu. Bukan kita yang mengatur," "Ah sejak kapan kamu mengenal Tuhan," Zaki terpaku. Semenjak dengan Hasna dulu, ia selalu berbicara tentang Sang Pencipta beserta kewajianya. Namun lagi-lagi saat itu Zaki tidak menggubrisnya. Dan kini saat ia jatuh, semua kalimat dan nasihat Hasna seakan menari-nari lagi di fikiranya. * Ranita hanya terdiam sendu saat Hasna menariknya dengan sedikit kasar untuk masuk ke dalam. Rindu anak tersebut kepada papa kandungnya belum tuntas. Tapi Hasna mempunyai sudut pandang sendiri. Antara iba juga kesal. Iba melihat keadaan Zaki yang kekurangan. Juga kesal karena selama mereka bercerai tidak sepeserpun rupiah yang ia keluarkan untuk Ranita. Yang seharusnya menjadi tanggung jawaban walau mereka sudah bercerai sekalipun Hasna merasa sakit hati, teringat bagaimana ia harus bekerja sembari menggendong Ranita yang masih kecil. Kedua orang tuanya sakit-sakitan. Tak mungkin ia setega itu menitipkan Ranita pada orang tuanya. Dan yang lebih menyakitkan mereka justru tertawa menganggapnya sebuah lelucon saat melihat langsung dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana Hasna menjajakan bolen pisang buatanya sendiri untuk memenuhi kehidupan hidup. Terutama kebutuhan Ranita yang ia prioritaskan. Ranita berusaha menerima saat Zaki terang-terangan menceraikan dirinya demi wanita pilihan keluarganya. Yaitu Tari. Karena ia sadar dirinya tidak pantas bersanding dengan keluarga seperti mereka. Sekeras apapun Zaki mengusahakan. Akhirnya ia luruh juga karena tekanan. Dan karena pesona Tari itu sendiri mampu membuatnya berpaling. Hingga hidup membawanya pada seorang lelaki baik hati. Yang memuliakan Hasna seperti ibu kandungnya. Yang menyayangi Ranita tanpa perduli ia hanya anak sambungnya. "Ranita masih ingin ketemu papa, ma,". Ranita akhirnya terisak. Hasna menjadi trenyuh. Ibu mana yang tega melihat anaknya menangis merindukan sang papa. Memang bagaimanapun Zaki adalah papa kandug Ranita. Dan Ranita masih terlalu kecil untuk mendengar semua kenyataan pahit itu. "Ranita kan sudah ada ayah,"ucapnya mencoba mengalihkan perhatian sang putri. Biasanya mendengar kata ayah ia langsung meminta Hasna untuk melakukan video call dengan sang suami. Namun kali ini Ranita hanya menggeleng lemah. "Besok ya sayang. Ini sudah mau malam. Ranita kan tau papa baru pulang kerja. Pasti capek. Sekarang rumah Rani dan papa kan dekat. Hasna mencoba memberi pengertian anak semata wayangnya itu. Dan beruntungnya Ranita mau mengerti. Keesokan hari, Hasna kira Ranita akan lupa. Tapi pagi-pagi buta seperti ini, Ranita sudah menagih janji itu. Janji untuk bertemu sang papa. Dan Ranita sudah tidak bisa dibujuk lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Tantrum. Dengan terpaksa Ranita menggendong Rani menuju kontrakan Zaki. Harap-harap cemas. Karena ia pasti akan mendapatkan cacian dari Bu Ratih. Beruntungnya Zaki sendirilah yang membukakan pintu. Ia sedikit terbelalak melihat Hasna yang berdiri di depan pintu sembari menggendong Ranita yang tengah terisak. "Ranita rindu dengan papanya,"ujar Hasna dengan dingin. Zaki yang belum sepenuhnya membuka mata, langsung memajukan tanganya menawari untuk menggendong Ranita. Dan Ranita dengan senyuman manis menerima uluran tangan Zaki. Dengan tawanya, Zaki mengayun Ranita di udara. Tawa mereka bersahut-shautan. Miris. Ingin menangis. Kala melihat tawa papa dan anak yang terpisahkan itu. Hati Hasna hanya terus berteriak 'Seandainya' dan 'Seandainya'. Memang korban dari sebuah perceraian adalah anak. Tetapi bagaimna jika keluarga papa nya sendiri yang meminta Hasna untuk pergi. Ranita juga butuh ibu yang bahagia. "Duh masih pagi ini Zaki. Berisik amat sih,"keluh Bu Ratih yang keluar dari rumah dengan tampang bangun tidurnya. "Oh ada mbak mantan,"kata Bu Ratih sesaat setelah sadar ada keberadaan Hasna disitu. "Bu,"tegur Zaki. "Memang kenyataanya begitu. Mau menjadikan Rnaita sebagai alasan karena ingin dekat dengan Zaki lagi? Duh Hasna. Cara kamu itu kuno banget sih. Mentang-mentang sekarang Zaki bekerja menjadi manager lagi? Lalu kamu berharap ingin menjadi istrinya lagi? Jangan mimpi. Mau kamu sekaya apapun, tetap saja saya tidak merestuinya,"tanya Bu Ratih lagi dengan nada mengolok. Hasna melipat tangana di dada. "Jadi manager? Yakin bu? Tidak salah? Mas Zaki dapat pekerjaan itu karena saya lho," ???Semua mata mendelik ke arah Hasna. Tetapi Hasna masih berdiri dengan yakinya. Zaki mengedipkan mata menatap sang mantan istri seolah memberi isyarat agar tak melanjutkan kalimatnya. Mulanya Hasna tidak menggubrisnya. Ia muak dengan kesombongan sang mantan mertua. Tetapi Zaki terus memasang tampang iba nya seakan ia saat ini benar-benar memohon.Hasna tersenyum sinis dalam hati. Tak hentinya dia bersorak dimana keangkuhan dan kekuatan seorang Zaki Yunanda yang dulu. Yang menganggap dirinya bisa melakukan bahkan membeli apapun itu. Nyatanya untuk membeli kepercayaan ibu nya saja, kini ia tidak mampu.Bu Ratih tertawa sumbang. Penuh remeh. Sama seperti saat ia sering merendahkan Hasna dulu"Jangan mimpi kamu. Jaga omongan kamu. Kami ini kaum terpelajar. Relasi kami banyak. Kami dikelilingi kaum elite. Jika kamu berkata kamu lah yang mencarikan pekerjaan untuk Zaki, itu karena sebatas kamu hanya kenal Anwar saja. Siapapun yang membawa anak saya mendapat pekerjaan kalau Zaki sendiri tidak
Zaki berkali kali mengedipkan mata. Menatap seolah tak percaya dengan nama yang tertera di undangan tersebut. Mencoba memastikan penglihatanya bahwa nama di undangan tersebut tidak salah.Sean & Natari.Dengan foto preweeding di sebuah pantai. Serta angin yang memainkan gaun sang calon mempelai wanita, membuat semakin estetic sebuah foto preweeding yang dibingakai denegan senyuman keduanya.Ya Zaki kembali harus menelan pil pahit kehidupan. Sepupunya menikah dengan mantan istrinya. Dia baru paham mengapa Tante Mira sendiri yang mengantar surat cerai pada Zaki. Karena pihak mereka lah yang mengurusnya.Namun apa maksutnya mereka mengundang Zaki ke acara mereka. Notabene Zaki adalah sepupunya sekaligus mantan suami Tari. Mau memamerkan kebahagiaan mereka kini kah?"Undangan dari siapa?"Dengan cepat Bu Ratih merebut undangan itu dari tangan Zaki.Tak berbeda Bu Ratih pun terbelalak kaget dengan undangan yang ia baca. Tak berselang lama justru ia pun meremas undangan tersebut. Lalu melem
"Pemiliknya adalah...,""Zaki,"teriak Bu Ratih yang membuat kedunya terlonjak."Dipanggil pawangmu tuh,"kata Ratih.Zaki geram. Tak ubahnya ia seperti anak kecil yang selalu diteriaki ketika sedang bermain.Bu Ratih berkacak pinggang menghampiri sang anak."Hasna, berhenti kamu menggoda Zaki,"Hasna mendengkus kesal. Menatap arah lain. Menganggap omongan Bu Ratih penuh remeh."Bu, Zaki ingin bertemu Ranita. Apa salah?"tanya Zaki melawan."Kamu dan dia itu sudah tidak ada ikatan, Ki. Jadi kamu haris bisa menjaga jarak. Masalah Ranita, tidak harus kalian berduaan begini. Lagipula kamu juga sudah ada calon,"Zaki menatap ibu nya heran."Jadi calon Zaki adalah selebgram, Hasna. Model. Bahkan terakhir ia menjadi salah satu model di Dubai Fashion Week."kata Bu Ratih dengan nada yang pamer."Siapa bu?"tanya Hasna yangs seolah olah dibuat antusias dengan perkataan Bu Ratih. Dan Bu Ratih membenarkan letak tubuhnya untuk semakin meyakinkan."Calon nya Zaki,""Yang tanya,"jawab Hasna dengan mel
Bu Anis tersenyum getir. Sementara Anggi berdiri dengan geram"Ngontrak ya bu?""Eee.. Ee.. Ee.."Bu Ratih salah tingkah."Iya. Kami ngontrak tante."jawab Zaki dengan pasti.Bu Anis semakin melebarkan senyum getirnya."Saya kira juragan kontrakan. Kalian dulu priyayi kan ya? Kok bisa ngontrak?""Ya beginilah hidup tante. Ada saatnya diatas. Pun ada saatnya dibawah."Zaki mencoba bersikap tegas. Meskipun dibelakangnya Bu Ratih selalu menyembunyikan wajah dan diam seribu bahasa."Saya minta ma'af kalau ibu saya ada salah,"lanjut Zaki.Bu Anis memaksakan sebuah senyum lagi. Dia mengangkat tangan pertanda abai."Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Lain kali jangan diulang lagi saja begitu. Kasihan kan yang kalian tipu,". Bu Anis mencoba memberi wejangan.Bu Ratih yang sedari tadi bersembunyi dibalik punggung Zaki, kini mencoba memperluhatkan wajahnya kembali."Menipu bagaimna? Saya tidak bilang apa-apa ke anda ya. Anda sendiri yang ngeyel untuk kesini. Saya juga sedikitpun tidak memeras atau memi
Bu Ratih terus saja mendesak Zaki agar membawanya ke tempat kerja. Keinginanya menggebu untuk mencarikan jodoh untuk Zaki.Yang baik bibit, bebet dan bobotnya. Begitulah katanya"Iya. Suatu saat. Pasti aku ajak ibu ke tempat kerja ku,"jawab Zaki akhirnya. Ia juga tidak bisa memastikan kapan bisa mengajak ibunya untuk kesana. Yang tak mungkin juga untuk membawanya.Selepas magrib, Zaki bersantai di teras. Suasana yang ramai dan hangat. Banyak anak-anak para penghuni kontrakan bermain di depan. Riuh tapi penuh kebersamaan. Yang tidak pernh ia temui sebelumnya dulu.Perumahan yang berpagar tinggi membuat penghuninya menjaga privasi dengan ketat seolah sudah mendarah daging menjadi hunian Zaki sedari lahir."Mas Zaki, sudah jujur saja sama ibunya,"kata Anwar yang tiba-tiba datang mengagetkan.Zaki sedikit terlonjak."Ah kamu War. Mengagetkan saja,"jawab Zaki."Bukan maksud syaa menguping mas. Tapi suara ibunya Mas Zaki itu kencang,"Zaki mendesah pelan. "Tidak segampang itu, War. Ibuku it
"Selamat pagi, Bu Ratih,"sapa seseorang yang keluar dari mobil. Bu Ratih dan Zaki sontak menoleh ke arah sumber suara.Mereka berdua ternganga. Melihat siapa yang memanggilnya. Lelaki paruh baya menuju tua memakai celana panjang dengan kemeja lengan panjang keluar dari mobil dengan seulas senyum. Lalu sejurus kemudian lelaki itu menghampiri keduanya.Namun melihat lelaki itu tersenyum justru raut wajah yang kesal yang ditunjukan Bu Ratih kepadanya. Ia melipat tanganya di dada dan melengos ke arah lain."Pak Ahmad?"sapa Zaki."Apa kabar nak Zaki?"tanya nya lagi dengan senyum dan keramahtamahan."Tidak usah sok bertanya kabar. Bilang saja kamu mau menertawakan kami kan?"tanya Bu Ratih dengan ketus.Zaki masih menatap nanar tak percaya. Pemilik usaha pengepul rongsok ini adalah Ayah dari Hasna. Mantan mertuanya."Baru punya usaha beginian saja sombongnya sudah selangit."lanjut Bu Ratih lagi.Zaki menunduk. Ia tak menyangka roda kehidupan dunia berubah sedrastis ini. Mertua yang dulu sela
Bu Ratih menatap sinis dengan perkataan Hasna yang terkesan meledek itu. Zaki pun tak kalah menunjukan raut ketidaksukaanya. Namun tidak bagi Hasna, ini hanya sebagian kecil dari balas dendamnya saat ia dan keluarganya dulu dijadikan bahan lelucon oleh keluarga sang mertua."Zaki, itu merem apa ya maunya nikah sama Hasna? Apa dia amnesia begitu kalau dia berasal dari keluarga terpandang?"kata Silvi, sepupu Zaki."Bisa jadi dipelet itu,"Maya memimpali."Ya mungkin begitu paling ya. Orang kampung yang bermimpi menjadi kaya. Biasanya dari ilmu-ilmu hitam seperti itu,"sahut Bu Ratih yang juga merasa kesal dengan pilihan anaknya."Biar saja tante. Perjanjian dengan setan itu tidak akan ada habis nya. Bisa jadi justru keluarga Hasna yang akan menjadi tumbal berikutnya,". Silvi mulai beropini lagi.Dan semua tertawa. Seakan berbicara tentang kematian itu adalah hal yang dianggap tidak tabu."Masih mending ART ku loh tante. Dia lulusan SMA. Penampilanya juga tidak ndeso dan norak-norak banget
Zaki turut penasaran terkait kepindahan Hasna. Apa itu ada kaitanya dengan pertikaian antara ibunya kemarinAndai itu benar, betapa merasa bersalahnya Zaki atas itu. Dan yang ia bisa lakukan disini hanyalah mengintip dari balik jendela. Tanpa ada keberanian sekedar menghampiri. Walaupun ia sangat merasa terharu saat pandangan Ranita terus saja menatap kontrakan papa nya."Ada apa sih?"tanya Bu Ratih mengagetkan."Hasna sepertinya akan pindah, bu,"Mata Bu Ratih membulat sempurna. Namun sejurus kemudian ia tersenyum lebar."Syukurlah. Benci aku melihat wanita itu. Tapi ada tidak enaknya jika ia pindah dari sini, nanti kalau kita sukses, siapa dong yang melihatnya,"Zaki mendnegkus kesal."Ibu tidak ikut menyalami Hasna? Lihatlah ibu-ibu kontrakan lain, ikut menghampiri sebagai ucapan perpisahan. Neneng juga ikut ada disana lho bu," Akhirnya Bu Ratih mencoba ikut melihat dari balik jendela juga. Memang benar, para ibu-ibu tampak mengerumuni Hasna. Tidak ada kaum laki-laki. Tentu itu
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,