Share

7

"Aku..,"

Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan.

"Aku menjabat sebagai manager lagi bu,"

Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya.

"Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau  dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya."

Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal.

"Kamu kenapa, nak?"

"Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi.

"Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak betah. Hidup bagai satu tembok dengan orang lain begini,"keluhnya.

Mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya kontrakan murah tapi bersih. Walaupun satu tembok dibagi dua. Tapi didalamnya lumayan lah untuk hidup berdua dengan ibu.

Tiba-tiba Bu Ratih menutup hidungnya saat Zaki membuka kemejanya.

"Zaki, kamu tadi tidak pakai minyak wangi? Bau banget. Kayak bau sampah,"keluh Bu Ratih lagi.

Ternyata benar saja dugaan Zaki. Bau dari rongsokan itu walau tempatnya rapi sekalipun tetaplah bau. Bagaimana tidak ia berhubungan langsung dengan sampah sampah dari pemulung itu.

"Eh iya bu. Perusahaan tempat Zaki bekerja kan belum selesai seratus persen. Jadi Zaki juga harus mengawasi para pekerjanya. Jadi bau matahari,"kekeh Zaki sembari ngeloyor menuju kamar mandi.

Kini Bu Ratih bisa bernafas lega. Ia tambah percaya diri untuk keluar rumah. Terutama ingin sekali menunjukan kepada saudara-saudaranya bahwa ia mampu kembali untuk bangkit.

"Ibu, masak apa?"tanya Zaki.

"Masak kangkung sama tempe goreng. Besok-besok tambahin dong Zaki uang belanjanya. Sepuluh ribu sehari itu kan kurang. Ibu juga ingin makan enak. Makan ayam. Masa kita kalah sama si Hasna? Dia saja bisa belanja ayam sekilo loh,"

"Ibu kan tau sendiri kalau Hasna itu sekarang berubah bu. Ekonominya jauh melejit diatas kita,"

"Ish kamu jadi orang gampang percaya banget. Sekarang itu banyak orang miskin yang mengaku kaya. Dan orang kaya yang berpura-pura miskin. Seperti kita ini,"

Wajah Zaki berubah.

"Bu, sudahlah. Berhenti dramanya. Kita memang orang miskin,"ucap Zaki meminta. Ia merasa muak dengan sang ibu yang terus menganggap diri mereka kaya raya.

"Heh kita ini tidak miskin. Kita bergaris keturunan darah biru. Tidak ada dalam sejarah keturunan priyayi itu jatuh miskin. No. Kita pasti bisa bangkit. Rezeki kita pasti banyak. Buktinya kamu sekarang mendapat kerja menjadi manager juga kan?"

Zaki mendesah pelan. Nafasnya berat. Sulit sekali berbicara agar setidaknya ibunya mau mengerti.

"Rezeki itu sudah diatur Tuhan bu. Bukan kita yang mengatur,"

"Ah sejak kapan kamu mengenal Tuhan,"

Zaki terpaku. Semenjak dengan Hasna dulu, ia selalu berbicara tentang Sang Pencipta beserta kewajianya. Namun lagi-lagi saat itu Zaki tidak menggubrisnya. Dan kini saat ia jatuh, semua kalimat dan nasihat Hasna seakan menari-nari lagi di fikiranya.

*

Ranita hanya terdiam sendu saat Hasna menariknya dengan sedikit kasar untuk masuk ke dalam. Rindu anak tersebut kepada papa kandungnya belum tuntas.

Tapi Hasna mempunyai sudut pandang sendiri. Antara iba juga kesal. Iba melihat keadaan Zaki yang kekurangan. Juga kesal karena selama mereka bercerai tidak sepeserpun rupiah yang ia keluarkan untuk Ranita. Yang seharusnya menjadi tanggung jawaban walau mereka sudah bercerai sekalipun

Hasna merasa sakit hati, teringat bagaimana ia harus bekerja sembari menggendong Ranita yang masih kecil. Kedua orang tuanya sakit-sakitan. Tak mungkin ia setega itu menitipkan Ranita pada orang tuanya.

Dan yang lebih menyakitkan mereka justru tertawa menganggapnya sebuah lelucon saat melihat langsung dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana Hasna menjajakan bolen pisang buatanya sendiri untuk memenuhi kehidupan hidup. Terutama kebutuhan Ranita yang ia prioritaskan.

Ranita berusaha menerima saat Zaki terang-terangan menceraikan dirinya demi wanita pilihan keluarganya. Yaitu Tari. Karena ia sadar dirinya tidak pantas bersanding dengan keluarga seperti mereka. Sekeras apapun Zaki mengusahakan. Akhirnya ia luruh juga karena tekanan. Dan karena pesona Tari itu sendiri mampu membuatnya berpaling.

Hingga hidup membawanya pada seorang lelaki baik hati. Yang memuliakan Hasna seperti ibu kandungnya. Yang menyayangi Ranita tanpa perduli ia hanya anak sambungnya.

"Ranita masih ingin ketemu papa, ma,". Ranita akhirnya terisak. Hasna menjadi trenyuh. Ibu mana yang tega melihat anaknya menangis merindukan sang papa. Memang bagaimanapun Zaki adalah papa kandug Ranita. Dan Ranita masih terlalu kecil untuk mendengar semua kenyataan pahit itu.

"Ranita kan sudah ada ayah,"ucapnya mencoba mengalihkan perhatian sang putri. Biasanya mendengar kata ayah ia langsung meminta Hasna untuk melakukan video call dengan sang suami.

Namun kali ini Ranita hanya menggeleng lemah.

"Besok ya sayang. Ini sudah mau malam. Ranita kan tau papa baru pulang kerja. Pasti capek. Sekarang rumah Rani dan papa kan dekat. Hasna mencoba memberi pengertian anak semata wayangnya itu. Dan beruntungnya Ranita mau mengerti.

Keesokan hari, Hasna kira Ranita akan lupa. Tapi pagi-pagi buta seperti ini, Ranita sudah menagih janji itu. Janji untuk bertemu sang papa.

Dan Ranita sudah tidak bisa dibujuk lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Tantrum.

Dengan terpaksa Ranita menggendong Rani menuju kontrakan Zaki. Harap-harap cemas. Karena ia pasti akan mendapatkan cacian dari Bu Ratih.

Beruntungnya Zaki sendirilah yang membukakan pintu. Ia sedikit terbelalak melihat Hasna yang berdiri di depan pintu sembari menggendong Ranita yang tengah terisak.

"Ranita rindu dengan papanya,"ujar Hasna dengan dingin.

Zaki yang belum sepenuhnya membuka mata, langsung memajukan tanganya menawari untuk menggendong Ranita. Dan Ranita dengan senyuman manis menerima uluran tangan Zaki.

Dengan tawanya, Zaki mengayun Ranita di udara. Tawa mereka bersahut-shautan. Miris. Ingin menangis. Kala melihat tawa papa dan anak yang terpisahkan itu.

Hati Hasna hanya terus berteriak 'Seandainya' dan 'Seandainya'. Memang korban dari sebuah perceraian adalah anak. Tetapi bagaimna jika keluarga papa nya sendiri yang meminta Hasna untuk pergi. Ranita juga butuh ibu yang bahagia.

"Duh masih pagi ini Zaki. Berisik amat sih,"keluh Bu Ratih yang keluar dari rumah dengan tampang bangun tidurnya.

"Oh ada mbak mantan,"kata Bu Ratih sesaat setelah  sadar ada keberadaan Hasna disitu.

"Bu,"tegur Zaki.

"Memang kenyataanya begitu. Mau menjadikan Rnaita sebagai alasan karena ingin dekat dengan Zaki lagi? Duh Hasna. Cara kamu itu kuno banget sih. Mentang-mentang sekarang Zaki bekerja menjadi manager lagi? Lalu kamu berharap ingin menjadi istrinya lagi? Jangan mimpi. Mau kamu sekaya apapun, tetap saja saya tidak merestuinya,"tanya Bu Ratih lagi dengan nada mengolok.

Hasna melipat tangana di dada.

"Jadi manager? Yakin bu? Tidak salah? Mas Zaki dapat pekerjaan itu karena saya lho,"

???

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status