Share

6

Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.

Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya.

"Dia mantan ibu mertua saya,"

"Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh.

"Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam.

"Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna.

"Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur.

"Duh Mbak Hasna mimpi apa punya mertua seperti itu?"

"Jadi dia nenek Ranita mbak? Dan anak si ibu itu yang tadi pagi saya lihat berboncengan dengan Anwar itu papa kandungnya Ranita?"

"Untung sudah cerai ya mbak. Coba kalau masih punya mertua modelan begitu, bisa mati perlahan,"

Beragam komentar dari ibu-ibu penghuni kontrakan yang lain turut membanjiri pendengaran Hasna. Dia tidak merasa harus da di tutupi. Untuk apa? Toh kenyatan memang begitu.

Bu Ratih membanting pintu kontrakan. Brakk...

"Woy.. Itu bukan pintu nenek moyang lo. Sopan sedikit."teriak tetangga samping kontrakan.

"Ahh,"

Bu Ratih benar-benar kacau. Ia yang biasanya kaya, tidak bisa terus menerus hidup pas-pasan seperti ini. Sisa uang tabungan Zaki yang tinggal menipis juga di simpan zaki sendiri. Setiap hari Zaki hanya memberikan uang sebesar sepuluh ribu. Andai Zaki tau betapa ibunya pusing mengatur uang belanja dati yang semula besar langsung terhempas menjadi sepuluh ribu.

*

Hari pertama Zaki bekerja, ia masih terlihat canggung. Yang biasanya berjibaku dengan kertas dan komputer kini ia harus berjibaku dengan rongsokan. Belum lagi para pemulung yang mengantri saat menjual hasil rongsokanya. Bermacam-macam. Ada yang bau badan. Nafasnya bau. Bahkan dengan keadaan tubuh mereka yang belum mencuci tangan dan kakinya hingga kotoran yang menempel membuat mereka di ikuti oleh lalat. Belum lagi jenis barang yang mereka bawa juga membawa aroma tersendiri. Tetapi masih untung ia diberi fasilitas sarung tangan dan masker. Namun tetap saja tajamnya bau nyatanya mampu menembus lapisan masker tersebut.

Zaki mendadak mual. Tempat ini memang bersih. Tetapi orang yang lalu lalang disini baginya juga kotor. Ia seakan ingin menyerah dengan pekerjaan ini. Namun jika mengingat bagaimana ia harus makan setiap hati, membuat nya juga berpikir berulang kali untuk menyerah.

'Mungkin memang belum terbiasa,'batinya mencoba menghibur dirinya sendiri.

"Orang baru mas?"tanya salah satu pegawai yang bertugas mengangkat barang hasil sortiran untuk mengumpulkan pada tempantnya sendiri-sendiri.

Zaki hanya mengangguk. Ia canggung berinteraksi dengan orang yang dia anggap sebagai kaum rendaham. Dia biasa berinteraksi dengan para pekerja berpakaian rapi, berjas serta memakai parfum kelas mahal.

"Canggung amat mas. Saya ngantuk ini nunggu hasil sortiran kamu. Tidak selesei-selesei. Lihat yang lain begitu cekatan bekerja,"gerutu pria paruh baya itu

Zaki menoleh pada pekerja yang sama-sama menyortir sampah sepertinya. Tangan mereka cekatan. Seperti tidak perduli apa yang mereka pegang itu bekas apa saja.

"Namanya juga orang baru mas. Semuanya harus perlu penyesuaian kan?"elak Zaki. Tetapi ia masih melembutkan suaranya.

"Hah. Percuma Pak Haji membayarmu lima puluh rjbu tiap harinya kalau cara kerjamu lelet begini,"komentar pria itiu lagi sembari ngeloyor pergi.

Lima puluh ribu? Zaki tak habis fikir. Uang itu dulu hanya menjadi uang transportnya per hari. Kini ia harus mati-matian seperti bekerja di kubangan sampah untuk mencari uang sebesar lima puluh ribu itu. 

Kini keadaan benar-benar menamparnya. Tak berselang lama ada wanita paruh baya  membawa satu kamtong kresek penuh bungkusan kertas minyak. Sepertinya berisi nasi bungkus. Lalu ia membagikanya kepada pekerja disitu. Termasuk pemulung yang menyetor rongsokanya. 

Mereka tampak gembira sekali menerima itu. Dan sebagian langsung memakanya di tempat.

Zaki semakin bergidik. Saat tangan-tangan itu menyentuh nasi tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

"Mbak, tak ada sendok kah?"tanya Zaki pada perempuan yang membagikan nasi itu.

Namun wajahnya seketika berubah menjadi judes. 

"Manja sekali sih. Kalau takut kotor, sana cuci tangan dulu,"jawab wanita itu sembari beralu.

"Kerja di pengepul rongsok kok maunya bersih saja,". Wanita itu masih menggerutu walau langkahnya sudah jauh.

Zaki terpaksa mencari kran air. Memang ada. Tapi tidak disediakan sabun. Hingga ia harus ekstra menggosok tanganya.

"Duh lama amat sih,"protes orang yang antri di belakang.

"Tidak ada sabun. Jadinya harus benar-benar higienis,"

"Huuu sok bersih. Sok kaya,"sorak yang lain.

Ia berusaha tak mendengarkan celotehan itu.

Beruntung hari ini jam berlalu begitu cepat. Pukul empat sore semua pekerja berkumpul untuk menerima upah. Zaki membolak balik selembar uang kertas berwarna biru tersebut. Jika ia beri kepada ibu semuanya tentu dalam sekejap pun uang tersebut mampu habis. Ya dia berfikir untuk sehemat mungkin mengatur uang.

Zaki pulang berjalan kaki. Melewati banyak kontrakan yang berderet untuk menuju kontraknya yang ada diujung. Lingkungan yang bertolak belakang dengan masa lalunya dulu.

Kembali lagi pandanganya selalu tertuju pada mantan istrinya yang sedang menyuapi Ranita di teras. Anggun sekali. Tidak seperti Hasna yang ia temui dulu. 

Saat netra itu menatap justru Hasna melemparkan sebuah senyuman membuat hati Zaki bergetar.

Ah tapi percuma asa itu ada, Hasna sudah menjadi milik orang lain. Namun siapa kiranya laki-laki yang mengangkat derajat wanita itu? Entahlah. Tapi Zaki yakin lambat laun ia pasti akan tau.

"Papa,"panggil Ranita.

Zaku menoleh. Mau tidak mau sepantasnya ia mengindahkan panggilan putrinya itu.

"Papa pulang kerja?"tanya Ranuta.

"Iya nih sayang. Papa masih bau acem,"jawab Zaki. Takut Hasna dan Ranita tidak nyaman dari bau badan karena bekerja di tempat pengepul rongsokan.

"Papa lupa?"

"Apa sayang?"

"Biasanya sepulang kerja, dulu papa selalu membelikan Ranita coklat atau es krim,"

Spontan Hasna menegur putrinya itu. Ia sudah mewanti-wanti agar tidak meminta ke orang lain.

Zaki salah tingkah. Di rogohnya saku celananya. Ada uang sepuluh ribu lalu ia berikan kepada Ranita.

"Ranita beli sendiri ya nak. Papa lupa. Papa sudah tua."jawab Zaki dengan candaanya.

Saat tangan mungil itu hendak mengambil pemberian papanya, secepat kilat juga Hasna melarangnya.

"Ranita, didalam kan jajanya masih banyak. Tidak usah ya,"

Ranita mengangguk dan menuruti perintah mamanya.

"Tak apalah Hasna. Sudah lama aku tidak membelikan sesuatu untuk Ranita.

"Kapan-kapan saja. Ingat kondisimu sekarang,"

"Kamu menghinaku?"

Hasna melengos ke arah lain

"Niat baik pun masih kamu salah artikan mas? Lalu seperti apa wanita yang kamu gadang-gadang sempurna itu? Sebaiknya kamu harus lebih belajar cara memaknai hidup mas,"

Zaki terdiam. Ia memang keras kepala. Bahkan sulit baginya menerima nasihat dari orang lain.

Hasna memggandeng Ranita untuk masuk ke dalam. Lebih tepatnya memaksa. Dan Zaki merasa tidak berhak mencegahnya.

Ia berjalan gontai menuju kontrakan. Kepulanganya disambut riuh oleh ibunya.

"Zaki, akhirnya kamu dapat pekerjaan nak? Di perusahaan mana? Coba cerita sama ibu,"perintah Bu Ratih dengan antusias.

"Aku...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status