Share

5

( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)

🌿🌿🌿

Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan.

"Tunggu dulu War,"cegah  Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya.

"Kenapa mas?"

"Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya.

Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain.

"Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usaha ini menjanjikan kalau memang tau alur skemanya. Tapi ya kembali lagi, saya minta ma'af jika menurut Mas Zaky, saat ini saya menyinggung anda. Permisi,"

Anwar berlalu pergi dari hadapan Zaki. Seperti mesin, tiba-tiba otak Zaki berfikir secara cepat. Mau makan apa kalau ia tidak bekerja? Mau sampai kapan ia terus berlalu lalang dijalanan mencoba mencari pekerjaan yang bergengsi. Yang ada justru menghabiskan uang untuk bekal.

Mungkin jadi pemulung pun ia akan lakukan. Asal ibunya tidak tau.

"Anwar tunggu,"panggil Zaki lagi.

Anwar berbalik badan dengan lesu. Tentu ia turut merasa kesal dengan tingkah laku Zaki.

"Ayolah. Aku mau. Tapi aku minta tolong, jangan sampai ibu ku tau pekerjaaan ku yang sebenarnya,"pinta Zaki.

Anwar masih melirik Zaki dengan tatapan yang tidak suka.

"Please,". Zaki menelangkupkan kedua tanganya dengan tatapan mengiba.

"Iyalah. Ayo,"jawab Anwar akhirnya.

Zaki mengekor langkah Anwar untuk masuk ke dalam bangunan kecil yang mirip dengan rumah. Ia penasaran seperti apa sosok Pak Haji tersebut.

Terlihat Anwar berbicara dengan seorang perempuan paruh baya mengenakan daster. Perempuan itu juga mencuri pandang ke arahnya. Tidak lama kemudian, Anwar berbalik menemui Zaki.

"Mas Zaki, sudah bisa langsung bekerja hari ini,"kata Anwar.

Ada rasa lega di hati Zaki. Walaupun belum sepenuhnya ia merasa cocok dengan pekerjaan ini.

"Ngomong-ngomong Pak Haji nya mana, War?"

"Pak Haji ya tidak tinggal disini lah. Ini hanya usahanya saja. Sesekali kalau sempat saja ia kesini,"

Zaki mengangguk mengerti. Begitulah kalau seorang pengusaha, bisa bekerja semaunya tanpa ada yang berani mengomentari. Ah andai ia dulu mendengarkan kalimat Hasna. Mungkin ia sekarang sudah menjadi bos.

"Melamun saja. Sebentar lagi para pekerja sudah datang. Oh iya Mas Zaki kerjanya nanti menyortir barang-barang rongsokan dari pemulung ya. Yang kertas, besi atau botol dipisahkan ya,"kata Anwar membuyarkan lamunan Zaki tentang Hasna.

Zaki mengangguk. Namun dia tidak bisa membayangkan setiap hari harus bergumul dengan para pemulung. Belum lagi penampilan, bau, bahkan bakteri yang mungkin mereka bawa. Ia yang sedari lahir tinggal di tempat steril, kini seperti merasakan bahwa dunia memang benar-benar berputar untuknya.

"Memangnya kamu juga bekerja disini?"tanya Zaki.

Anwar menggeleng lemah.

"Saya sopir angkot sama seperti bapak saya,"

Zaki tidak habis fikir, kenapa Anwar juga seolah tau betul seluk beluk disini. Bahkan ia dengan mudahnya memasukan ia untuk bekerja disini. Dilihat dari penampilanya, tidak mungkin Anwar ada kaitanya dengan pemilik usaha ini. 

"Tetapi apa Mas Zaki mau bekerja dengan kemeja putih, rapi dengan sepatu fantovel begini. Mas Zaki tidak bekerja di kantoran lho,". Lagi-lagi Anwar memprotes Zaki.

Tanpa banyak cakap, Anwar berlalu lagi masuk ke dalam. Kemudian tidak berselang lama ia kembali lagi dengan membawa kaos berwarna hitam bertuliskan UD. RAHMAN RONGSOK.

Hati Zaki ingin tertawa. Terlebih jika dia memakainya. Mantan seorang manager perusahaan besar yang biasanya memakai jas rapi kinu memakai seragam bertukiskan rongsokan.

Usaha pengepul rongsok begini saja bahkan ada kaosnya sendiri. Zaki menerima dengan setengah hati. Baru sekali dalam seumur hidupnya menerima pakaian pemberian orang lain.

"Tidak usah jijik, Mas. Ini bukan bekas,"

"Ini seragam War?"

"Tidak juga. Dipakai syukur, tidak dipakai ya tidak apa-apa. Ah sudahlah sebenarnya Mas Zaki niat bekerja atau tidak sih?"gerutu Anwar.

"Iya iya. Kamu sensitif sekali sih War. Seperti perempuan lagi mens saja."

"Lagipula Mas Zaki itu banyak tanya nya. Banyak maunya. Kalau tidak karena permintaan. Saya enggan membawa Mas Zaki kesini."

"Permintaan?"

Zaki merasa heran. Sebelumnya Anwar sendirilah yang menawarinya pekerjaan. Bukan ia sendiri yang meminta pekerjaan tersebut.

Anwar menutup mulutnya dengan kedua tanganya.

"Ah lupakan saja. Saya terlalu banyak pikiran. Jadinya melantur,"

"Dasar aneh,"gumam Zaki

*

"Yur...sayurr...,"teriak penjual sayur yang biasa berkeliling dan menjajakan daganganya di area kontrakan.

Para ibu-ibu berbondong-bondong keluar. Ada yang sembari menggendong anak, ada yang masih dengan koyo yang menempel di dahi. Dan beragam jenis manusianya.

Bu Ratih-Ibu Zaki juga turut keluar. Meskipun sebenarnya ia enggan berbelanja di tukang sayur. Kebiasaanya dari dulu yang belanja di supermarket. Walaupun sayuran sekalipun.

Hasna juga turut keluar dengan menggandeng Ranita yang sudah bersih dan wangi. Ramburnya di ikat satu di belakang dengan pita berwarna merah. Hasna pun juga mengenakan baju satu set panjang dengan jilbab instan warna senada. 

Bu Ratih hanya menatap mereka dengan sinis.

"Ayam harganya berapa pak?"tanya Hasna.

"Sekilo 35.500 mbak. Untuk Mbak Hasna cukup 35.000 saja,"

"Maksa banget buat kelihatan kaya."sindir Bu Ratih.

Semua mata tertuju pada Bu Ratih. Mereka semua berganti menatap sinis ke arahnya.

Sementara Hasna enggan memanggapinya.

"Ini sayurnya kok layu begini sih pak. Tidak seperti sayur segar di supermarket-supermarket gitu,"protes Bu Ratih.

"Lah sayur di supermarket itu sering disemprot air bu. Makanya terlihat segar,"

"Sok tau kamu. Seperti pernah ke supermarket saja,"

"Gini-gini jangan diremehkan bu. Tampangnya memang hanya penjual sayur. Tetapi ibu tidak tau kan bagaimana kekayaan saya,"jawab penjual sayur tidak mau kalah.

"Lah ibu biasa belanja di supermarket kok justru ngontrak disini. Aneh,"lanjutnya.

"Jangan asal bicara kamu. Saya ini keluaga priyayi. Berdarah biru,"

Penjual sayur terdiam. Orang seperti Bu Ratih memang tidak ada habisnya jika ditanggapi.

"Lele juga pucat-pucat begini,"komentarnya lagi.

"Kalau tidak mau, tidak usah dibeli bu,"

Bu Ratih mendengkus kesal.

"Ya sudah tempe lima sama dua ikat kangkung layu ini totalnya berapa?"

"Semuanya pas sepuluh ribu,"jawab penjual sayur dengan ketus.

"Delapan ribu saja. Nih,"kekeh Bu Ratih sembari menyerahkan uang dengan kasar.

"Bu, saya hanya mengambil untung 200 rupiah per bijinya. Kok tega sekali?"

"Lah lihatlah kangkung ini sudah layu,". Bu Ratih tetap tidak mau kalah.

"Ya sudah sembilan ribu saja,"jawab ketus penjual sayur.

"Enggak. Delapan ribu saja,"

"Katanya priyayi tapi sadis banget kalau nawar,"

"Kamu juga katanya kaya raya, mengalah uang seribu perak saja tidak mau.

Kegiatan tawar menawar tersebut sudah mirip seperti perdebatan. Tak ada yang kalah dan tidak ada yang mau mengalah.

"Bang, ini uang saya. Kembalianya buat bayar belanja ibu ini saja,"

Tangan kuning langsat itu terulur menyerahkan selembar uang berwarna biru. Bu Ratih mendongak menatap si empunya uang. Dam ternyata Hasna...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status