( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)
🌿🌿🌿 Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan. "Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya. "Kenapa mas?" "Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya. Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain. "Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usaha ini menjanjikan kalau memang tau alur skemanya. Tapi ya kembali lagi, saya minta ma'af jika menurut Mas Zaky, saat ini saya menyinggung anda. Permisi," Anwar berlalu pergi dari hadapan Zaki. Seperti mesin, tiba-tiba otak Zaki berfikir secara cepat. Mau makan apa kalau ia tidak bekerja? Mau sampai kapan ia terus berlalu lalang dijalanan mencoba mencari pekerjaan yang bergengsi. Yang ada justru menghabiskan uang untuk bekal. Mungkin jadi pemulung pun ia akan lakukan. Asal ibunya tidak tau. "Anwar tunggu,"panggil Zaki lagi. Anwar berbalik badan dengan lesu. Tentu ia turut merasa kesal dengan tingkah laku Zaki. "Ayolah. Aku mau. Tapi aku minta tolong, jangan sampai ibu ku tau pekerjaaan ku yang sebenarnya,"pinta Zaki. Anwar masih melirik Zaki dengan tatapan yang tidak suka. "Please,". Zaki menelangkupkan kedua tanganya dengan tatapan mengiba. "Iyalah. Ayo,"jawab Anwar akhirnya. Zaki mengekor langkah Anwar untuk masuk ke dalam bangunan kecil yang mirip dengan rumah. Ia penasaran seperti apa sosok Pak Haji tersebut. Terlihat Anwar berbicara dengan seorang perempuan paruh baya mengenakan daster. Perempuan itu juga mencuri pandang ke arahnya. Tidak lama kemudian, Anwar berbalik menemui Zaki. "Mas Zaki, sudah bisa langsung bekerja hari ini,"kata Anwar. Ada rasa lega di hati Zaki. Walaupun belum sepenuhnya ia merasa cocok dengan pekerjaan ini. "Ngomong-ngomong Pak Haji nya mana, War?" "Pak Haji ya tidak tinggal disini lah. Ini hanya usahanya saja. Sesekali kalau sempat saja ia kesini," Zaki mengangguk mengerti. Begitulah kalau seorang pengusaha, bisa bekerja semaunya tanpa ada yang berani mengomentari. Ah andai ia dulu mendengarkan kalimat Hasna. Mungkin ia sekarang sudah menjadi bos. "Melamun saja. Sebentar lagi para pekerja sudah datang. Oh iya Mas Zaki kerjanya nanti menyortir barang-barang rongsokan dari pemulung ya. Yang kertas, besi atau botol dipisahkan ya,"kata Anwar membuyarkan lamunan Zaki tentang Hasna. Zaki mengangguk. Namun dia tidak bisa membayangkan setiap hari harus bergumul dengan para pemulung. Belum lagi penampilan, bau, bahkan bakteri yang mungkin mereka bawa. Ia yang sedari lahir tinggal di tempat steril, kini seperti merasakan bahwa dunia memang benar-benar berputar untuknya. "Memangnya kamu juga bekerja disini?"tanya Zaki. Anwar menggeleng lemah. "Saya sopir angkot sama seperti bapak saya," Zaki tidak habis fikir, kenapa Anwar juga seolah tau betul seluk beluk disini. Bahkan ia dengan mudahnya memasukan ia untuk bekerja disini. Dilihat dari penampilanya, tidak mungkin Anwar ada kaitanya dengan pemilik usaha ini. "Tetapi apa Mas Zaki mau bekerja dengan kemeja putih, rapi dengan sepatu fantovel begini. Mas Zaki tidak bekerja di kantoran lho,". Lagi-lagi Anwar memprotes Zaki. Tanpa banyak cakap, Anwar berlalu lagi masuk ke dalam. Kemudian tidak berselang lama ia kembali lagi dengan membawa kaos berwarna hitam bertuliskan UD. RAHMAN RONGSOK. Hati Zaki ingin tertawa. Terlebih jika dia memakainya. Mantan seorang manager perusahaan besar yang biasanya memakai jas rapi kinu memakai seragam bertukiskan rongsokan. Usaha pengepul rongsok begini saja bahkan ada kaosnya sendiri. Zaki menerima dengan setengah hati. Baru sekali dalam seumur hidupnya menerima pakaian pemberian orang lain. "Tidak usah jijik, Mas. Ini bukan bekas," "Ini seragam War?" "Tidak juga. Dipakai syukur, tidak dipakai ya tidak apa-apa. Ah sudahlah sebenarnya Mas Zaki niat bekerja atau tidak sih?"gerutu Anwar. "Iya iya. Kamu sensitif sekali sih War. Seperti perempuan lagi mens saja." "Lagipula Mas Zaki itu banyak tanya nya. Banyak maunya. Kalau tidak karena permintaan. Saya enggan membawa Mas Zaki kesini." "Permintaan?" Zaki merasa heran. Sebelumnya Anwar sendirilah yang menawarinya pekerjaan. Bukan ia sendiri yang meminta pekerjaan tersebut. Anwar menutup mulutnya dengan kedua tanganya. "Ah lupakan saja. Saya terlalu banyak pikiran. Jadinya melantur," "Dasar aneh,"gumam Zaki * "Yur...sayurr...,"teriak penjual sayur yang biasa berkeliling dan menjajakan daganganya di area kontrakan. Para ibu-ibu berbondong-bondong keluar. Ada yang sembari menggendong anak, ada yang masih dengan koyo yang menempel di dahi. Dan beragam jenis manusianya. Bu Ratih-Ibu Zaki juga turut keluar. Meskipun sebenarnya ia enggan berbelanja di tukang sayur. Kebiasaanya dari dulu yang belanja di supermarket. Walaupun sayuran sekalipun. Hasna juga turut keluar dengan menggandeng Ranita yang sudah bersih dan wangi. Ramburnya di ikat satu di belakang dengan pita berwarna merah. Hasna pun juga mengenakan baju satu set panjang dengan jilbab instan warna senada. Bu Ratih hanya menatap mereka dengan sinis. "Ayam harganya berapa pak?"tanya Hasna. "Sekilo 35.500 mbak. Untuk Mbak Hasna cukup 35.000 saja," "Maksa banget buat kelihatan kaya."sindir Bu Ratih. Semua mata tertuju pada Bu Ratih. Mereka semua berganti menatap sinis ke arahnya. Sementara Hasna enggan memanggapinya. "Ini sayurnya kok layu begini sih pak. Tidak seperti sayur segar di supermarket-supermarket gitu,"protes Bu Ratih. "Lah sayur di supermarket itu sering disemprot air bu. Makanya terlihat segar," "Sok tau kamu. Seperti pernah ke supermarket saja," "Gini-gini jangan diremehkan bu. Tampangnya memang hanya penjual sayur. Tetapi ibu tidak tau kan bagaimana kekayaan saya,"jawab penjual sayur tidak mau kalah. "Lah ibu biasa belanja di supermarket kok justru ngontrak disini. Aneh,"lanjutnya. "Jangan asal bicara kamu. Saya ini keluaga priyayi. Berdarah biru," Penjual sayur terdiam. Orang seperti Bu Ratih memang tidak ada habisnya jika ditanggapi. "Lele juga pucat-pucat begini,"komentarnya lagi. "Kalau tidak mau, tidak usah dibeli bu," Bu Ratih mendengkus kesal. "Ya sudah tempe lima sama dua ikat kangkung layu ini totalnya berapa?" "Semuanya pas sepuluh ribu,"jawab penjual sayur dengan ketus. "Delapan ribu saja. Nih,"kekeh Bu Ratih sembari menyerahkan uang dengan kasar. "Bu, saya hanya mengambil untung 200 rupiah per bijinya. Kok tega sekali?" "Lah lihatlah kangkung ini sudah layu,". Bu Ratih tetap tidak mau kalah. "Ya sudah sembilan ribu saja,"jawab ketus penjual sayur. "Enggak. Delapan ribu saja," "Katanya priyayi tapi sadis banget kalau nawar," "Kamu juga katanya kaya raya, mengalah uang seribu perak saja tidak mau. Kegiatan tawar menawar tersebut sudah mirip seperti perdebatan. Tak ada yang kalah dan tidak ada yang mau mengalah. "Bang, ini uang saya. Kembalianya buat bayar belanja ibu ini saja," Tangan kuning langsat itu terulur menyerahkan selembar uang berwarna biru. Bu Ratih mendongak menatap si empunya uang. Dam ternyata Hasna...Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya."Dia mantan ibu mertua saya,""Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh."Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam."Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna."Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur."Duh Mbak Hasna mimpi ap
"Aku..,"Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan."Aku menjabat sebagai manager lagi bu,"Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya."Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya."Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal."Kamu kenapa, nak?""Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi."Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak b
Semua mata mendelik ke arah Hasna. Tetapi Hasna masih berdiri dengan yakinya. Zaki mengedipkan mata menatap sang mantan istri seolah memberi isyarat agar tak melanjutkan kalimatnya. Mulanya Hasna tidak menggubrisnya. Ia muak dengan kesombongan sang mantan mertua. Tetapi Zaki terus memasang tampang iba nya seakan ia saat ini benar-benar memohon.Hasna tersenyum sinis dalam hati. Tak hentinya dia bersorak dimana keangkuhan dan kekuatan seorang Zaki Yunanda yang dulu. Yang menganggap dirinya bisa melakukan bahkan membeli apapun itu. Nyatanya untuk membeli kepercayaan ibu nya saja, kini ia tidak mampu.Bu Ratih tertawa sumbang. Penuh remeh. Sama seperti saat ia sering merendahkan Hasna dulu"Jangan mimpi kamu. Jaga omongan kamu. Kami ini kaum terpelajar. Relasi kami banyak. Kami dikelilingi kaum elite. Jika kamu berkata kamu lah yang mencarikan pekerjaan untuk Zaki, itu karena sebatas kamu hanya kenal Anwar saja. Siapapun yang membawa anak saya mendapat pekerjaan kalau Zaki sendiri tidak
Zaki berkali kali mengedipkan mata. Menatap seolah tak percaya dengan nama yang tertera di undangan tersebut. Mencoba memastikan penglihatanya bahwa nama di undangan tersebut tidak salah.Sean & Natari.Dengan foto preweeding di sebuah pantai. Serta angin yang memainkan gaun sang calon mempelai wanita, membuat semakin estetic sebuah foto preweeding yang dibingakai denegan senyuman keduanya.Ya Zaki kembali harus menelan pil pahit kehidupan. Sepupunya menikah dengan mantan istrinya. Dia baru paham mengapa Tante Mira sendiri yang mengantar surat cerai pada Zaki. Karena pihak mereka lah yang mengurusnya.Namun apa maksutnya mereka mengundang Zaki ke acara mereka. Notabene Zaki adalah sepupunya sekaligus mantan suami Tari. Mau memamerkan kebahagiaan mereka kini kah?"Undangan dari siapa?"Dengan cepat Bu Ratih merebut undangan itu dari tangan Zaki.Tak berbeda Bu Ratih pun terbelalak kaget dengan undangan yang ia baca. Tak berselang lama justru ia pun meremas undangan tersebut. Lalu melem
"Pemiliknya adalah...,""Zaki,"teriak Bu Ratih yang membuat kedunya terlonjak."Dipanggil pawangmu tuh,"kata Ratih.Zaki geram. Tak ubahnya ia seperti anak kecil yang selalu diteriaki ketika sedang bermain.Bu Ratih berkacak pinggang menghampiri sang anak."Hasna, berhenti kamu menggoda Zaki,"Hasna mendengkus kesal. Menatap arah lain. Menganggap omongan Bu Ratih penuh remeh."Bu, Zaki ingin bertemu Ranita. Apa salah?"tanya Zaki melawan."Kamu dan dia itu sudah tidak ada ikatan, Ki. Jadi kamu haris bisa menjaga jarak. Masalah Ranita, tidak harus kalian berduaan begini. Lagipula kamu juga sudah ada calon,"Zaki menatap ibu nya heran."Jadi calon Zaki adalah selebgram, Hasna. Model. Bahkan terakhir ia menjadi salah satu model di Dubai Fashion Week."kata Bu Ratih dengan nada yang pamer."Siapa bu?"tanya Hasna yangs seolah olah dibuat antusias dengan perkataan Bu Ratih. Dan Bu Ratih membenarkan letak tubuhnya untuk semakin meyakinkan."Calon nya Zaki,""Yang tanya,"jawab Hasna dengan mel
Bu Anis tersenyum getir. Sementara Anggi berdiri dengan geram"Ngontrak ya bu?""Eee.. Ee.. Ee.."Bu Ratih salah tingkah."Iya. Kami ngontrak tante."jawab Zaki dengan pasti.Bu Anis semakin melebarkan senyum getirnya."Saya kira juragan kontrakan. Kalian dulu priyayi kan ya? Kok bisa ngontrak?""Ya beginilah hidup tante. Ada saatnya diatas. Pun ada saatnya dibawah."Zaki mencoba bersikap tegas. Meskipun dibelakangnya Bu Ratih selalu menyembunyikan wajah dan diam seribu bahasa."Saya minta ma'af kalau ibu saya ada salah,"lanjut Zaki.Bu Anis memaksakan sebuah senyum lagi. Dia mengangkat tangan pertanda abai."Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Lain kali jangan diulang lagi saja begitu. Kasihan kan yang kalian tipu,". Bu Anis mencoba memberi wejangan.Bu Ratih yang sedari tadi bersembunyi dibalik punggung Zaki, kini mencoba memperluhatkan wajahnya kembali."Menipu bagaimna? Saya tidak bilang apa-apa ke anda ya. Anda sendiri yang ngeyel untuk kesini. Saya juga sedikitpun tidak memeras atau memi
Bu Ratih terus saja mendesak Zaki agar membawanya ke tempat kerja. Keinginanya menggebu untuk mencarikan jodoh untuk Zaki.Yang baik bibit, bebet dan bobotnya. Begitulah katanya"Iya. Suatu saat. Pasti aku ajak ibu ke tempat kerja ku,"jawab Zaki akhirnya. Ia juga tidak bisa memastikan kapan bisa mengajak ibunya untuk kesana. Yang tak mungkin juga untuk membawanya.Selepas magrib, Zaki bersantai di teras. Suasana yang ramai dan hangat. Banyak anak-anak para penghuni kontrakan bermain di depan. Riuh tapi penuh kebersamaan. Yang tidak pernh ia temui sebelumnya dulu.Perumahan yang berpagar tinggi membuat penghuninya menjaga privasi dengan ketat seolah sudah mendarah daging menjadi hunian Zaki sedari lahir."Mas Zaki, sudah jujur saja sama ibunya,"kata Anwar yang tiba-tiba datang mengagetkan.Zaki sedikit terlonjak."Ah kamu War. Mengagetkan saja,"jawab Zaki."Bukan maksud syaa menguping mas. Tapi suara ibunya Mas Zaki itu kencang,"Zaki mendesah pelan. "Tidak segampang itu, War. Ibuku it
"Selamat pagi, Bu Ratih,"sapa seseorang yang keluar dari mobil. Bu Ratih dan Zaki sontak menoleh ke arah sumber suara.Mereka berdua ternganga. Melihat siapa yang memanggilnya. Lelaki paruh baya menuju tua memakai celana panjang dengan kemeja lengan panjang keluar dari mobil dengan seulas senyum. Lalu sejurus kemudian lelaki itu menghampiri keduanya.Namun melihat lelaki itu tersenyum justru raut wajah yang kesal yang ditunjukan Bu Ratih kepadanya. Ia melipat tanganya di dada dan melengos ke arah lain."Pak Ahmad?"sapa Zaki."Apa kabar nak Zaki?"tanya nya lagi dengan senyum dan keramahtamahan."Tidak usah sok bertanya kabar. Bilang saja kamu mau menertawakan kami kan?"tanya Bu Ratih dengan ketus.Zaki masih menatap nanar tak percaya. Pemilik usaha pengepul rongsok ini adalah Ayah dari Hasna. Mantan mertuanya."Baru punya usaha beginian saja sombongnya sudah selangit."lanjut Bu Ratih lagi.Zaki menunduk. Ia tak menyangka roda kehidupan dunia berubah sedrastis ini. Mertua yang dulu sela
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,