Share

4

"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.

Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya.

"Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.

Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa.

"Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.

Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. 

Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia.

"Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"

Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.

"Aku kesini hanya untuk menyampaikan ini,". Tante Mita menyodorkan sebuah amplop coklat yang berlambang sebuah pengadilan agama. Ya aku tau. Pasti itu surat gugatan cerai dari Tari untuk ku.

"Kenapa surat ini justru sampai di tangan tante?"tanyaku heran. Alamat rumah kami lumayan jauh. Setidaknya surat ini mungkin disampaikan ke Tante Rina selaku saudara yang rumahnya paling dekat dengan rumahku dulu.

Tante Mira salah tingkah.

"Sudahlah Zaki. Kamu jangan banyak tanya. Intinya aku masih berbaik hati menyerahkan surat ini kepadamu," jawabnya masih bersungut. Sifat manisnya hilang saat kami jatuh miskin.

Sementara ibu masih mengatur nafas. Pasti beliau kaget dengan apa yang di dengar dari Tante Mira. 

Aku pun juga sebenarnya terkejut. Tetapi aku mencoba berkaca dari Tante Rina. Yang bahkan juga tak perduli dan membiarkan kami tinggal di kontrakan.

Tidak sampai disitu, entah sengaja atau tidak. Tante Mira yang dulunya tidak pernah meninggikan suara, kini mengencangkan suaranya hingga penghuni kontrakan yang kebetulan ada diluar menolehkan pandang ke arah kami.  Malu.

"Kalau kamu tidak memberi kami tumpangan, maka biarkan Zaki bekerja di perusahaanmu, Mir. Dia sarjana. Berpengalaman. Setelah itu biar kami mencari hunian yang lebih layak,"kata ibu masih mencoba setenang mungkin dan melirihkan volume suara nya agar tidak di dengar khalayak ramai.

Tante Mira melengos ke arah lain. Wajahnya sungguh tidak bersahabat. Sesaat kemudian ia juga mendengkus kesal.

"Mbak, Zaki memang sarjana. Tetapi ia hnya S1 di universitas dalam negeri. Sementara banyak yang melamar di perusahaanku dengan kualitas pendidikan yang lebih bagus, rata-rata mereka ada yang S2 dan S3 lulusan universitas ternama dari luar negeri juga umur yang jauh lebih muda daripada Zaki. Aku butuh personal seperti itu. Lebih energik,"jelas Tante Mira lagi dengan penekanan di setiap katanya.

"Kalau tidak boleh tidak apa-apa tante. Tapi tidak usah menghina pendidikan saya,"jawabku kesal.

"Semenjak jatuh miskin, kamu memang menjadi sensitif ya Ki. Pesan saya, kamu jangan terlena dengan setinggi apapun jabatan di perusahan tempatmu bekerja. Karena kamu tetaplah buruh yang suatu saat bisa saja dipecat dari kerjamu. Tapi yang benar itu jadilah pengusaha. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Seperti Sean. Ah aku lupa, bahwa kualitas pendidikan mu dan Sean sangtla berbeda jauh. Sedari dulu anak ku-Sean memang menjadi unggulan dan .."

"Cukup Mir. Percuma kamu membanggakan anakmu yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Tetapi tidak bisa memberi sepupunya sendiri pekerjaan,"gerutu ibu. 

Namun fikiranku tiba-tiba teringat Hasna di masa silam yang selalu memintaku untuk membuka usaha. Dengan gajiku yang fantastis, seharusnya itu menjadi perkara mudah untuk ku. Apapun itu. Entah restoran atau rumah makan kecil. Setidaknya masih ada rupiah yang mengalir jika terjadi sesutu yang tidak di inginkan. Begitulah kata Hasna dulu.

Namun lagi-lagi aku menolaknya mentah-mentah. Untuk apa. Gajiku besar. Jabatanku tinggi. Bagiku suatu hal yang mustahil untuk aku dipecat dari perusahaan. 

Dan keangkuhanku kini terbayar. Seorang CEO perusahaan yang baru mendadak merombak sebagian besar aturan perusahaan. Dia benar-benar menyaring mana karyawan yang berkualitas dan tidak. Hingga pada suatu hari, PHK masal itu terjadi. Dan aku salah satunya.

Ibu berlari masuk ke dalam. Bisa ku pastikan beliau akan sedih. Diperlakukan tak enak hati bahkan oleh adik kandungnya sendiri.

"Tuh kan. Jadi sensitif,"

"Sudahlah tante. Silahkan pergi daripada ibu semakin sakit hati,"

Tante Mira tertawa kecil.

"Zaki-Zaki. Kamu miskin saja masih sombong ya. Saya juga tidak betah lama-lama di kontrakan sempit seperti ini,"jawab Tante Mira sembari bergidik.

Aku tidak menyahut. Yang ada hanya debat diantara kami yang tidak kunjung selesai.

Ekor mataku menangkap saat Hasna memperhatikan. Namun dia secepat kilat menatap ke arah lain saat aku bergantian menatapnya.

Aku pasrah. Jika dalam hatinya saat ini Hana justru menertawakanku. 

Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Dengan sengaja aku masih berada di teras meskipun menahan malu. Ku kira Hasna ingin menghampiriku untuk mengucapkan belasungkawa atas kemiskinanku mungkin. 

Dugaanku salah. Ia justru menuju kontrakan Anwar. Dan aku yang sakit hati juga kecewa memilih untuk masuk kembali ke dalam rumah saja, membawa serta barang-barang yang sudah dipacking. Mungkin ia mencari teman untuk membicarakanku. 

Ibu duduk di atas kasur sembari diam. Di tanganya menggenggam sebuah foto masa kecilnya dengan saudara-saudara kandungnya. Wajar jika beliau terpukul. Tetapi tidak ada air mata ataupun sisanya yang ku lihat keluar dari netra ibu.

Sepantang itu ibu untuk menangis.

"Sudahlah bu. Memang begitu hukum Alam. Disaat kita miskin, saudara pun tidak mau mengakui kita. Berbeda jika kita kaya. Orang lain pun pasti mengaku menjadi saudara,"

Masih tidak ada sahutan yang keluar dari mulut ibu. Terkadang memang luka yang besar diciptakan oleh orang yang paling dekat yang kita fikir tidak akan pernah melukai.

Mengerti akan kondisi ibu, aku mengembalikan barang-barang yang sudah dipacking seorang diri. Tanpa meminta ibu untuk membantu.

Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk oleh seseorang

"Ki, jangan-jangan Tante Mira berubah pikiran,"ucap ibu tiba-tiba.

"Bu,"panggilku agar beliau tidak terlalu berharap.

Dengan langkah gontai, aku membuka pintu. Anwar sudah berdiri di depanya. Ada sedikit rasa kesal. Mengingat Hasna yang tadi ku pikir menghampiriku justru ia menghampiri Anwar.

"Ada apa War?"

"Punten Mas Zaki. Apa Mas Zaki membutuhkan pekerjaan?"tanyanya dengan hati-htai.

Aku mengangguk.

"Mau tidak Anwar bantu carikan?"

"Memangnya ada?"

"Kalau Mas Zaki mau, besok bisa saya antar ke rumah Pak Haji,"

Aku mengernyitkan dahi. Menyipitkan mata.

"Iya. Pak Haji yang punya. Lumayan besar lah usahanya Mas Zaki. Kalau sekedar untuk makan sama bayar kontrakan, insya Allah gajinya cukup,"

Sejenak aku diam. Hati kecilku memaksa untuk menerima tawaran Anwar. Daripada aku menunggu panggilan dari perusahaan-perusahaan besar tetapi nihil belum ada panggilan sama sekali, lebih baik menerima tawaran Anwar saja. Toh aku dan ibu juga butuh makan sementara uang tabungan semakin menipis.

"Baik. Saya bersedia,"

"Jam Tujuh ya Mas Zaki,"

Aku mengangguk dan Anwar berpamit pulang.

Ada sedikit rasa lega dalam hti. Seolah kekecewaanku pada Tante Mira sedikit terbayarkan

'Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan itu hanya seujung rambut. Tipis sekali,'

Lagi-lagi aku teringat akan semua kalimat Hasna dulu. Walaupun berpendidikan rndah nyatanya Hasna bijak sekali. Dan kini aku sadar, setingggi apapun pendidikan seseorang tidak bisa menjamin sebuah akhlak yang baik.

*

Keesokan harinya aku bersemangat sekali untuk bangun. Ya karena aku setidaknya akan mendapat pekerjaan setelah hampir enam bulan menganggur.

Benar saja, Anwar sudah menungguku di teras.

"Duh Mas Zaki. Rapi amat. Santai saja. Pak Haji orangnya baik kok."kata Anwar mengomentari penampilanku yang memakai setelah hitam putih dengan tas besar juga beberapa berkas lamaran yang aku bawa di tangan.

"Ah tidak apa-apa. Namanya melamar pekerjaan. Sebaik apapun yang punya bukanah kita wajib menghormatibdan menghargai walaupun hanya lewat penampilan? Mungkin itu akan menjadi poin plus juga untuk kita,"

"Ah Anwar tidak paham. Terserah Mas Zaki saja,"

Lalu Anwar mengajak ku untuk berboncengan dengan montor bututnya meninggalkan kontrakan ini. Montor masuk di jalan perkampungan. Lalu berhenti disebuah bangunan dengan pagar menjulang tinggi.

"Mungkin usahnya begitu besar,'. Begitulah fikiranku.

Namun siapa sangka saat Anwar mengajak ku masuk ke dalam ternyata...

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status