Share

4

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-06 17:11:59

"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.

Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya.

"Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.

Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa.

"Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.

Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. 

Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia.

"Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"

Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.

"Aku kesini hanya untuk menyampaikan ini,". Tante Mita menyodorkan sebuah amplop coklat yang berlambang sebuah pengadilan agama. Ya aku tau. Pasti itu surat gugatan cerai dari Tari untuk ku.

"Kenapa surat ini justru sampai di tangan tante?"tanyaku heran. Alamat rumah kami lumayan jauh. Setidaknya surat ini mungkin disampaikan ke Tante Rina selaku saudara yang rumahnya paling dekat dengan rumahku dulu.

Tante Mira salah tingkah.

"Sudahlah Zaki. Kamu jangan banyak tanya. Intinya aku masih berbaik hati menyerahkan surat ini kepadamu," jawabnya masih bersungut. Sifat manisnya hilang saat kami jatuh miskin.

Sementara ibu masih mengatur nafas. Pasti beliau kaget dengan apa yang di dengar dari Tante Mira. 

Aku pun juga sebenarnya terkejut. Tetapi aku mencoba berkaca dari Tante Rina. Yang bahkan juga tak perduli dan membiarkan kami tinggal di kontrakan.

Tidak sampai disitu, entah sengaja atau tidak. Tante Mira yang dulunya tidak pernah meninggikan suara, kini mengencangkan suaranya hingga penghuni kontrakan yang kebetulan ada diluar menolehkan pandang ke arah kami.  Malu.

"Kalau kamu tidak memberi kami tumpangan, maka biarkan Zaki bekerja di perusahaanmu, Mir. Dia sarjana. Berpengalaman. Setelah itu biar kami mencari hunian yang lebih layak,"kata ibu masih mencoba setenang mungkin dan melirihkan volume suara nya agar tidak di dengar khalayak ramai.

Tante Mira melengos ke arah lain. Wajahnya sungguh tidak bersahabat. Sesaat kemudian ia juga mendengkus kesal.

"Mbak, Zaki memang sarjana. Tetapi ia hnya S1 di universitas dalam negeri. Sementara banyak yang melamar di perusahaanku dengan kualitas pendidikan yang lebih bagus, rata-rata mereka ada yang S2 dan S3 lulusan universitas ternama dari luar negeri juga umur yang jauh lebih muda daripada Zaki. Aku butuh personal seperti itu. Lebih energik,"jelas Tante Mira lagi dengan penekanan di setiap katanya.

"Kalau tidak boleh tidak apa-apa tante. Tapi tidak usah menghina pendidikan saya,"jawabku kesal.

"Semenjak jatuh miskin, kamu memang menjadi sensitif ya Ki. Pesan saya, kamu jangan terlena dengan setinggi apapun jabatan di perusahan tempatmu bekerja. Karena kamu tetaplah buruh yang suatu saat bisa saja dipecat dari kerjamu. Tapi yang benar itu jadilah pengusaha. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Seperti Sean. Ah aku lupa, bahwa kualitas pendidikan mu dan Sean sangtla berbeda jauh. Sedari dulu anak ku-Sean memang menjadi unggulan dan .."

"Cukup Mir. Percuma kamu membanggakan anakmu yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Tetapi tidak bisa memberi sepupunya sendiri pekerjaan,"gerutu ibu. 

Namun fikiranku tiba-tiba teringat Hasna di masa silam yang selalu memintaku untuk membuka usaha. Dengan gajiku yang fantastis, seharusnya itu menjadi perkara mudah untuk ku. Apapun itu. Entah restoran atau rumah makan kecil. Setidaknya masih ada rupiah yang mengalir jika terjadi sesutu yang tidak di inginkan. Begitulah kata Hasna dulu.

Namun lagi-lagi aku menolaknya mentah-mentah. Untuk apa. Gajiku besar. Jabatanku tinggi. Bagiku suatu hal yang mustahil untuk aku dipecat dari perusahaan. 

Dan keangkuhanku kini terbayar. Seorang CEO perusahaan yang baru mendadak merombak sebagian besar aturan perusahaan. Dia benar-benar menyaring mana karyawan yang berkualitas dan tidak. Hingga pada suatu hari, PHK masal itu terjadi. Dan aku salah satunya.

Ibu berlari masuk ke dalam. Bisa ku pastikan beliau akan sedih. Diperlakukan tak enak hati bahkan oleh adik kandungnya sendiri.

"Tuh kan. Jadi sensitif,"

"Sudahlah tante. Silahkan pergi daripada ibu semakin sakit hati,"

Tante Mira tertawa kecil.

"Zaki-Zaki. Kamu miskin saja masih sombong ya. Saya juga tidak betah lama-lama di kontrakan sempit seperti ini,"jawab Tante Mira sembari bergidik.

Aku tidak menyahut. Yang ada hanya debat diantara kami yang tidak kunjung selesai.

Ekor mataku menangkap saat Hasna memperhatikan. Namun dia secepat kilat menatap ke arah lain saat aku bergantian menatapnya.

Aku pasrah. Jika dalam hatinya saat ini Hana justru menertawakanku. 

Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Dengan sengaja aku masih berada di teras meskipun menahan malu. Ku kira Hasna ingin menghampiriku untuk mengucapkan belasungkawa atas kemiskinanku mungkin. 

Dugaanku salah. Ia justru menuju kontrakan Anwar. Dan aku yang sakit hati juga kecewa memilih untuk masuk kembali ke dalam rumah saja, membawa serta barang-barang yang sudah dipacking. Mungkin ia mencari teman untuk membicarakanku. 

Ibu duduk di atas kasur sembari diam. Di tanganya menggenggam sebuah foto masa kecilnya dengan saudara-saudara kandungnya. Wajar jika beliau terpukul. Tetapi tidak ada air mata ataupun sisanya yang ku lihat keluar dari netra ibu.

Sepantang itu ibu untuk menangis.

"Sudahlah bu. Memang begitu hukum Alam. Disaat kita miskin, saudara pun tidak mau mengakui kita. Berbeda jika kita kaya. Orang lain pun pasti mengaku menjadi saudara,"

Masih tidak ada sahutan yang keluar dari mulut ibu. Terkadang memang luka yang besar diciptakan oleh orang yang paling dekat yang kita fikir tidak akan pernah melukai.

Mengerti akan kondisi ibu, aku mengembalikan barang-barang yang sudah dipacking seorang diri. Tanpa meminta ibu untuk membantu.

Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk oleh seseorang

"Ki, jangan-jangan Tante Mira berubah pikiran,"ucap ibu tiba-tiba.

"Bu,"panggilku agar beliau tidak terlalu berharap.

Dengan langkah gontai, aku membuka pintu. Anwar sudah berdiri di depanya. Ada sedikit rasa kesal. Mengingat Hasna yang tadi ku pikir menghampiriku justru ia menghampiri Anwar.

"Ada apa War?"

"Punten Mas Zaki. Apa Mas Zaki membutuhkan pekerjaan?"tanyanya dengan hati-htai.

Aku mengangguk.

"Mau tidak Anwar bantu carikan?"

"Memangnya ada?"

"Kalau Mas Zaki mau, besok bisa saya antar ke rumah Pak Haji,"

Aku mengernyitkan dahi. Menyipitkan mata.

"Iya. Pak Haji yang punya. Lumayan besar lah usahanya Mas Zaki. Kalau sekedar untuk makan sama bayar kontrakan, insya Allah gajinya cukup,"

Sejenak aku diam. Hati kecilku memaksa untuk menerima tawaran Anwar. Daripada aku menunggu panggilan dari perusahaan-perusahaan besar tetapi nihil belum ada panggilan sama sekali, lebih baik menerima tawaran Anwar saja. Toh aku dan ibu juga butuh makan sementara uang tabungan semakin menipis.

"Baik. Saya bersedia,"

"Jam Tujuh ya Mas Zaki,"

Aku mengangguk dan Anwar berpamit pulang.

Ada sedikit rasa lega dalam hti. Seolah kekecewaanku pada Tante Mira sedikit terbayarkan

'Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan itu hanya seujung rambut. Tipis sekali,'

Lagi-lagi aku teringat akan semua kalimat Hasna dulu. Walaupun berpendidikan rndah nyatanya Hasna bijak sekali. Dan kini aku sadar, setingggi apapun pendidikan seseorang tidak bisa menjamin sebuah akhlak yang baik.

*

Keesokan harinya aku bersemangat sekali untuk bangun. Ya karena aku setidaknya akan mendapat pekerjaan setelah hampir enam bulan menganggur.

Benar saja, Anwar sudah menungguku di teras.

"Duh Mas Zaki. Rapi amat. Santai saja. Pak Haji orangnya baik kok."kata Anwar mengomentari penampilanku yang memakai setelah hitam putih dengan tas besar juga beberapa berkas lamaran yang aku bawa di tangan.

"Ah tidak apa-apa. Namanya melamar pekerjaan. Sebaik apapun yang punya bukanah kita wajib menghormatibdan menghargai walaupun hanya lewat penampilan? Mungkin itu akan menjadi poin plus juga untuk kita,"

"Ah Anwar tidak paham. Terserah Mas Zaki saja,"

Lalu Anwar mengajak ku untuk berboncengan dengan montor bututnya meninggalkan kontrakan ini. Montor masuk di jalan perkampungan. Lalu berhenti disebuah bangunan dengan pagar menjulang tinggi.

"Mungkin usahnya begitu besar,'. Begitulah fikiranku.

Namun siapa sangka saat Anwar mengajak ku masuk ke dalam ternyata...

***

Bab terkait

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    5

    ( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)🌿🌿🌿Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan."Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya."Kenapa mas?""Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya.Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain."Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usah

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-06
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    6

    Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya."Dia mantan ibu mertua saya,""Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh."Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam."Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna."Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur."Duh Mbak Hasna mimpi ap

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-19
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    7

    "Aku..,"Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan."Aku menjabat sebagai manager lagi bu,"Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya."Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya."Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal."Kamu kenapa, nak?""Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi."Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak b

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-19
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    8

    Semua mata mendelik ke arah Hasna. Tetapi Hasna masih berdiri dengan yakinya. Zaki mengedipkan mata menatap sang mantan istri seolah memberi isyarat agar tak melanjutkan kalimatnya. Mulanya Hasna tidak menggubrisnya. Ia muak dengan kesombongan sang mantan mertua. Tetapi Zaki terus memasang tampang iba nya seakan ia saat ini benar-benar memohon.Hasna tersenyum sinis dalam hati. Tak hentinya dia bersorak dimana keangkuhan dan kekuatan seorang Zaki Yunanda yang dulu. Yang menganggap dirinya bisa melakukan bahkan membeli apapun itu. Nyatanya untuk membeli kepercayaan ibu nya saja, kini ia tidak mampu.Bu Ratih tertawa sumbang. Penuh remeh. Sama seperti saat ia sering merendahkan Hasna dulu"Jangan mimpi kamu. Jaga omongan kamu. Kami ini kaum terpelajar. Relasi kami banyak. Kami dikelilingi kaum elite. Jika kamu berkata kamu lah yang mencarikan pekerjaan untuk Zaki, itu karena sebatas kamu hanya kenal Anwar saja. Siapapun yang membawa anak saya mendapat pekerjaan kalau Zaki sendiri tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-20
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    9

    Zaki berkali kali mengedipkan mata. Menatap seolah tak percaya dengan nama yang tertera di undangan tersebut. Mencoba memastikan penglihatanya bahwa nama di undangan tersebut tidak salah.Sean & Natari.Dengan foto preweeding di sebuah pantai. Serta angin yang memainkan gaun sang calon mempelai wanita, membuat semakin estetic sebuah foto preweeding yang dibingakai denegan senyuman keduanya.Ya Zaki kembali harus menelan pil pahit kehidupan. Sepupunya menikah dengan mantan istrinya. Dia baru paham mengapa Tante Mira sendiri yang mengantar surat cerai pada Zaki. Karena pihak mereka lah yang mengurusnya.Namun apa maksutnya mereka mengundang Zaki ke acara mereka. Notabene Zaki adalah sepupunya sekaligus mantan suami Tari. Mau memamerkan kebahagiaan mereka kini kah?"Undangan dari siapa?"Dengan cepat Bu Ratih merebut undangan itu dari tangan Zaki.Tak berbeda Bu Ratih pun terbelalak kaget dengan undangan yang ia baca. Tak berselang lama justru ia pun meremas undangan tersebut. Lalu melem

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-20
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    10

    "Pemiliknya adalah...,""Zaki,"teriak Bu Ratih yang membuat kedunya terlonjak."Dipanggil pawangmu tuh,"kata Ratih.Zaki geram. Tak ubahnya ia seperti anak kecil yang selalu diteriaki ketika sedang bermain.Bu Ratih berkacak pinggang menghampiri sang anak."Hasna, berhenti kamu menggoda Zaki,"Hasna mendengkus kesal. Menatap arah lain. Menganggap omongan Bu Ratih penuh remeh."Bu, Zaki ingin bertemu Ranita. Apa salah?"tanya Zaki melawan."Kamu dan dia itu sudah tidak ada ikatan, Ki. Jadi kamu haris bisa menjaga jarak. Masalah Ranita, tidak harus kalian berduaan begini. Lagipula kamu juga sudah ada calon,"Zaki menatap ibu nya heran."Jadi calon Zaki adalah selebgram, Hasna. Model. Bahkan terakhir ia menjadi salah satu model di Dubai Fashion Week."kata Bu Ratih dengan nada yang pamer."Siapa bu?"tanya Hasna yangs seolah olah dibuat antusias dengan perkataan Bu Ratih. Dan Bu Ratih membenarkan letak tubuhnya untuk semakin meyakinkan."Calon nya Zaki,""Yang tanya,"jawab Hasna dengan mel

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-21
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    11

    Bu Anis tersenyum getir. Sementara Anggi berdiri dengan geram"Ngontrak ya bu?""Eee.. Ee.. Ee.."Bu Ratih salah tingkah."Iya. Kami ngontrak tante."jawab Zaki dengan pasti.Bu Anis semakin melebarkan senyum getirnya."Saya kira juragan kontrakan. Kalian dulu priyayi kan ya? Kok bisa ngontrak?""Ya beginilah hidup tante. Ada saatnya diatas. Pun ada saatnya dibawah."Zaki mencoba bersikap tegas. Meskipun dibelakangnya Bu Ratih selalu menyembunyikan wajah dan diam seribu bahasa."Saya minta ma'af kalau ibu saya ada salah,"lanjut Zaki.Bu Anis memaksakan sebuah senyum lagi. Dia mengangkat tangan pertanda abai."Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Lain kali jangan diulang lagi saja begitu. Kasihan kan yang kalian tipu,". Bu Anis mencoba memberi wejangan.Bu Ratih yang sedari tadi bersembunyi dibalik punggung Zaki, kini mencoba memperluhatkan wajahnya kembali."Menipu bagaimna? Saya tidak bilang apa-apa ke anda ya. Anda sendiri yang ngeyel untuk kesini. Saya juga sedikitpun tidak memeras atau memi

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-21
  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    12

    Bu Ratih terus saja mendesak Zaki agar membawanya ke tempat kerja. Keinginanya menggebu untuk mencarikan jodoh untuk Zaki.Yang baik bibit, bebet dan bobotnya. Begitulah katanya"Iya. Suatu saat. Pasti aku ajak ibu ke tempat kerja ku,"jawab Zaki akhirnya. Ia juga tidak bisa memastikan kapan bisa mengajak ibunya untuk kesana. Yang tak mungkin juga untuk membawanya.Selepas magrib, Zaki bersantai di teras. Suasana yang ramai dan hangat. Banyak anak-anak para penghuni kontrakan bermain di depan. Riuh tapi penuh kebersamaan. Yang tidak pernh ia temui sebelumnya dulu.Perumahan yang berpagar tinggi membuat penghuninya menjaga privasi dengan ketat seolah sudah mendarah daging menjadi hunian Zaki sedari lahir."Mas Zaki, sudah jujur saja sama ibunya,"kata Anwar yang tiba-tiba datang mengagetkan.Zaki sedikit terlonjak."Ah kamu War. Mengagetkan saja,"jawab Zaki."Bukan maksud syaa menguping mas. Tapi suara ibunya Mas Zaki itu kencang,"Zaki mendesah pelan. "Tidak segampang itu, War. Ibuku it

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-22

Bab terbaru

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    49

    Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    48

    Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    47

    Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    46

    Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    45

    Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    44

    Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    43

    Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    42

    "Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    41

    Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,

DMCA.com Protection Status