Share

3

Ku lihat mata ibu menyipit membaca kertas berlogo salah satu bank terkenal yang disodorkan Hasna. 

Namun ibu tertawa kecil.

"Kamu kira saya bodoh? Saya tau persis siapa kamu. Tidak mungkin wanita seperti Hasna menyodorkan cek kepada priyayi seperti saya,"hina ibu.

"Silahkan isi sendiri nomor rekeningnya,"

Aku bergegas menghampiri beliau. Malu. Kami hanyalah penghuni baru kontrakan dan membut ribut saat mengisi acara.

Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Hasna lagi setelah mendengar hinaan serta penolakan dari ibu. Sorot matanya tetap teduh dan tidak menantang.

Ia hanya meletakan cek itu diatas meja. Lalu menggandeng Ranita pergi dari situ. 

"Bu,"panggilku.

"Lihatlah mantan istrimu. Belagu. Sombong. Cek palsu saja,"gerutu ibu sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang tersiram kuah soto. Ibu juga berlalu. Namun pandangan orang lain belum berlalu. Ada yang menatap dengan pandangan sinis. Dan ada juga yang saling berbisik.

"Oh jadi Mas Zaki itu mantan suaminya Mbak Hasna?"tanya Anwar mendekatiku.

Aku mengangguk lemah.

"Jangan macam-macam dengan Mbak Hasna, mas,"kata Anwar. Belum sempat Zaki bertanya sebabnya, ia juga pergi begitu saja.

Ah Hasna memang seperti misteri baginya.

Sekilas aku melirik cek yang tergeletak di meja. Jumlahnya tidak main-main. Lima puluh juta.

Jumlah uang yang bagiku cukup besar di kehidupanku yang susah seperti sekarang. Dan bisa ku pastikan kekayaan Hasna tidak kaleng-kaleng jika ia mampu mengeluarkan uang sebegitu besarnya. Tentu hartanya tengah berlipat. Tetapi mengapa ia justru memilih tinggal di kontrakan sempit begini?

Namun bagiku memang sifat ibu berlebihan. setidaknya aku harus mengembalikan cek itu kepada Hasna.

Acara gathering belum berakhir. Tetapi aku lebih memilih pulang ke rumah kontrakan. Aku cukup malu berada disitu. Apalagi setelah insiden tadi.

Setelah kejadian tadi, ku lihat Hasna juga pulang. Pintu kontrakanya tertutup rapat. Aku menjadi enggan untuk sekedar mengetuk pintu guna mengembalikan cek itu.

Tetapi nuraniku seakan memaksa untuk mengembalikan saat ini juga. Aku tau cek ini asli. Karena dulu saat aku bekerja di kantor, aku selalu berjibaku dengan urusan seperti ini. Jadi keaslianya tidak diragukan.

Ya setidaknya cek ini harus aku kembalikan ke Hasna sebelum ibu mulai serakah jika tau bahwa cek ini asli.

Aku hendak mengetuk pintu kontrakan Hasna. Tapi sayup-sayup ku dengar suaranya seperti tengah menelpon seseorang di dalam.

"Andai saja mas ada disini. Aku ingin membungkam mulut-mulut sombong mereka,"

Mas? Apakah Hasna sudah menikah lagi?

Aku beranikan diri mengetuk pintu. Dan tak berselang lama Hasna sendirilah yang membukakanya.

Ia setengah terkejut, aku lah yang berdiri di depan pintu. Tidak ada sapaan yang keluar dari mulut Hasna. Namun Ranita tiba-tiba menyembul keluar.

"Papa,"panggil polos bocah itu dan berlari ke pelukanku. Ah sebenarnya aku malu sekali. Semenjak menikah dengan Tari, ia menghandle seratus persen keuanganku. Bahkan Ranita yang seharusnya menjadi tanggung jawabku, aku abaikan. Tari tidak mnegizinkan aku menafkahi darah dagingku sendiri.

"Hasna tidak mungkin mampu menuntut kamu lewat jalur hukum. Dia hanya wanita lemah dan miskin,". Itulah yang dikatakan Tari dan ibu. Tetapi setelah kejadian ini, entah mengapa hatiku bergetar.

"Ini cek milikmu,"ucapku akhirnya menyodorkan secarik cek tersebut.

"Bukan. Ini milik ibumu,"tolaknya dengan halus.

"Ma'afkan ibuku Hasna,"pintaku lirih.

Hasna tersenyum kecil.

"Selalu ada stok ma'af untuk ibu mu itu,"jawabnya.

Aku tetap meletakan cek itu di kursi kontrakan Hasna.

"Kamu berubah ya Hasna,"ucapku lagi memecah keheningan diantara kami.

"Setiap wanita akan berubah menjadi lebih baik jika dia jatuh di tangan laki-laki yang tepat,"

"Jadi kamu sudah bersuami?"

Hasna mengangguk.

"Oh iya. Mana Tari? Kok tidak terlihat?"

Entah saat ini apakah Hasna mengejek ku. Atau dia justru tertawa diatas penderitaanku. Bagiku semua kalimatnya kini memyakitkan hati.

"Ehm Tari. Ehm kami sudah berpisah."

Hasna menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Oh ma'af. Aku tidak bermaksud.."kata Hasna. Disaat ia mengatakan itu, ku lihat Hasna yang dulu. Hasna yang tidak enak hati menyakiti orang lain. Tetapi selebihnya aku tidak tau.

"Lalu kamu tinggal disini untuk apa? Bukankah lingkungan ini tak pantas untuk kamu sekeluarga? Atau kalian sddang melakukan social eksperiment?"

Aku mendesah pelan. Sepolos itukah Hasna yang kuperkirakan suaminya adalah bukan orang sembarangan?

"Tidakah kamu sadar Hasna? Aku jatuh miskin. Aku dipecat dari pekerjaanku. Benar apa katamu dulu. Roda itu berputar,"

"Ku kira keluarga priyayi tidak akan jatuh miskin,"jawabnya lagi.

Entah sindiran atau apa. Kalimat Hasna seolah mengulik kisah kelam diantara kami. Ini kah yang sedari dulu ibu membanggakan gelar itu. Yang aku sendiri tidak tau bagaimana hubunganya.

"Apakah kamu tau lowongan...,"

"Zaki, pulang kamu,"teriak ibu lalu dengan berkacak pinggang beliau menghampiriku. Persis seperti anak kecil yang dimarahi ibunya karena tidak kenal waktu saat bermain.

"Untuk apa kamu kesini?"bentak ibu kepadaku.

Aku memilih bungkam daripada memperpanjang masalah.

"Jangan coba-coba mempengaruhi anak saya ya,"ancam ibu kepada Hasna.

"Ibu,". Tanganku menggandeng ibu untuk segera pulang.

"Kalau saya yang bertamu ke rumah anda, itu baru mempengaruhi. Lagipula anda tau sendiri kan bahwa Zaki lah yang berkunjung ke rumah saya. Dia sudah dewasa. Sudah dua kali menikah. Tentu tau mana yang buruk dan yang baik,"

Lagi lagi aku merasa seperti ditampar oleh kalimat Hasna. Dimana Hasna yang dulu. Yang selalu diam walaupun ibu membentaknya berkali-kali.

"Sudah bu. Ayo pulang."

Aku menarik paksa ibu.

"Ibu geram sekali dengan si Hasna itu. Sok. Sok kaya sok cantik. Sok jadi pusat perhatian disini,"gerutu ibu tak habis-habis walaupun kami sudah ada di dalam rumah.

"Bukan Hasna yang salah. Tetapi hati ibu yang bermasalah."

"Bela terus."

Aku mendengkus kesal ya begitulah ibu. Dia tidak bisa dikalahkan oleh siapapun

*

[ Ki, sharelok ! Tante ke kontrakanmu dulu. Ternyata kamu sudah pindah ]

Pesan dari Tante Mira-adik ibu. Aku menunjukan pesan itu.

"Mira sudah pulang dari Belanda?"

"Mungkin,"

"Ya sudah kamu beberes lah Ki. Jangan sampai ada yang ketinggalan."

Aku mengernyitkan dahi. Bingung kenapa ibu justru menyuruhku beberes. Apa mau pindah kontrakan lagi.

"Ayo. Tante Mira tentu akan mengajak kita tinggal di rumahnya. Dia tentu tidak tega jika melihat kita disini. Kamu nanti juga pasti di rekrut di perusahaan barunya.

"Ibu yakin?"tanyaku. Sebenarnya hatiku ragu sekali. Rasanya saudara ibu itu sama saja. 

"Yakin sekali,"jawab ibu dengan mantap.

"Apa tidak menunggu kedatangan Tante Mira saja bu. Kita belum tau kan tujuan dia datang kesini itu untuk apa?"

"Tidak. Ibu sudah tidak betah tinggal disini. Apalagi dekat dengan Hasna.Ihh,"jawab ibu sembari bergidik.

Bisa apa aku selain menuruti kemauan ibu yang memaksa. Hingga menjelang ashar, kami sudah berada di teras kontrakan dengan barang-barang bawaan yang seambrek.

"Mas Zaki mau kemana?" tana Anwar menyapa.

"Kita mau pindah. Priyayi kok tinggal di kontrakan. Ya nggak level,"jawab ibu.

Sontak penghuni kontrakn yang tengah bersantai di teras mendengar kalimat ibu yang sengaja di kencangkan agar semua mendengar.Termasuk Hasna.

Tidak berselang lama. Mobil alphard hitam dengan pelan masuk ke area kontrakan.

"Lihat Ki. Pasti mereka melongo melihat keluarga kita. Apalagi Tante Mira pakai mobil alphard,"bisik ibu kepada ku dengan bangga.

Saat mobil berhenti, ibu menyuruhku dengan cepat memasukan barang-barang kami ke mobil.

"Loh kenapa ini mbak?"tanya Tante Mira melihat barang-barang kami yang sudah dikemas rapi di teras.

"Sudahlah mbak itu tau. Bukankah kamu akan mengajak kami untuk tinggal di rumah kamu?"

Tante Mira menggeleng cepat.

"Enak saja...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status