HAI, MANTAN ISTRI
"Dasar kere. Orang miskin saja belagu nyewa kontrakan mewah,"gerutu Bu Talita memaki kami. Tidak dapat aku sembunyikan betapa malunya kami saat diusir dari kontrakan. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Aku dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barang yang aku punya. Lebih tepatnya hanya baju yang aku punya. "Eh baru juga punya kontrakan seperti ini saja simbongnya sudah selangit. Awas kalau aku kaya, akan kubeli kontrakanmu termasuk kesombonganmu juga,"teriak ibu tidak mau kalah. Begitulah ibu. Ia pantang disakiti, pantang dihina meskipun memang begini keadaanya. Dan oleh siapapun itu. Beliau sama sekali tidak perduli. Tante Talita dan ibu dulunya adalah kawan akrab. Namun saat kami mulai susah membayar kontrakan, beliau mengusir kami. Aku maklum. Memang begitulah perputaran modalnya. Aku diam sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau akan kemana. "Zaki, kamu itu lulusan sarjana. Kenapa susah sekali cari kerja sih,"gerutu ibu. Aku menghela nafas pelan. "Umur Zaki juga sudah tidak muda lagi bu. Jadi susah untuk cari pekerjaan dengan jabatan seperti sebelumnya. Lagipula ibu selalu melarang Zaki untuk bekerja apa adanya dulu,' "Ya iyalah. Kalau kamu bekerja ala kadarnya. Mana cukup untuk kebutuhan hidup? Lagipula si Tari itu keterlaluan sekali. Sudah tau suaminya tertimpa musibah di PHK, eh dia justru ikut ninggalin. Dasar perempuan tidak ada akhlak." "Ibu sendiri kan dulu yang menyuruh Zaki menikahinya? Dan meninggalkan Hasna demi dia,"ibu diam. Namun fikiranku melayang ke amsa silam. Betapa kasihan sekali Hasna-mantan istriku, ia kerap kali disudutkan keluargaku karena ia hanya lulusan SD dan dari keluarga miskin. Keluargaku yang kerap mengaku sebagai keluarga priyayi selalu merendahkannya. Bukan hanya ibu tetapi dari pihak sanak saudara bahkan nenek juga terkesan tidak suka dengan Hasna. Dan Hasna memilih menyerah mengakhiri semuanya membawa pergi anak semata wayang kami-Ranita terlebih saat keluargaku jelas-jelas menjodohkanku dengan Tari yang dianggap mereka pantas bersanding dengan darah biru seperti keluarga kami. Namun apa yang terjadi kala aku yang semula menjabat di posisi tinggi diperusahaahn tiba-tiba di PHK secara sepihak? Tari meninggalkanku. Dan satu persatu sanak saudara mulai menjauh. Tidak perduli. Pesangon dari perusahaan yang tidak seberapa lama kelamaan akan habis. Apalagi saat itu kami dikagetkan dengan almarhum ayah yang meninggalkan hutang begitu banyak hingga terpaksa rumah kami satu-satunya dijual. Saat itu aku mengusulkan agar sisa uang yang ada dibelikan rumah ala kadarnya. Namun ibu menolaknya. Beliau yang terbiasa hidup mewah tidak setuju jika kami memulai semua dari nol. Dari yang sederhana dulu. Akhirnya kami mengontrak rumah yang bisa dikatakan lumayan mewah untuk ukuran kontrakan biasanya. "Zaki, apa yang kamu lakukan?" "Mau menunggu angkot bu. Mau sampai kemana jika kita jalan tidak ada arah tujuanya?" "Naik angkot?"tanya ibu bergidik. "Kalau ibu tidak mau yasudah. Zaki pergi sendiri,"ujarku yang mulai kesal dengan ibu. "Mau kemana mas?" "Pak saya mau tanya barangkali bapak tau kontrakan sekitar sini yang harganya terjangkau?" Bapak supir angkot sejenak diam berfikir. "Ada sih mas. Kontrakan nya bersih. Tapi ya banyak pintu. Jadi mungkin akan ramai suasanya." "Oh iya tidak apa-apa pak. Antarkan saya kesana ya," Ibu melotot ke arahku. Menandakan beliau tidak setuju dengan keputusanku ini. Tapi aku mencoba untuk mengacuhkanya. Aku lelah menuruti semua kemauan ibu yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial ku. Angkot berhenti di sebuah lahan yang luas. Kontrakan itu bergandeng. Dan tertata begitu rapi juga bersih. Banyak anak kecil yang asyik bermain di sekitarnya Entah siapa pemiliknya, namun aku sangat menyukai konsepnya. Ia bak perumahan sederhana dengan status kontrakan. Harganya juga ramah di kantong untuk para pekerja berekonomi rendah. Aku sama sekali tidak menatap ibu. Bagaimana ekspresinya bisa ku prediksikan. Oleh karena itu sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak beradu tatap dengan beliau. Kontrakan yang kebetulan kosong ada diujung. Pak sopir hafal betul karena sang anak juga mengontrak disini. Aku harus melewati berpuluh puluh pintu kontrakan sebelum menuju kontrakan yang aku tuju. Disini aku berani mengedarkan pandang. Dan aku akan bertekad apapun pekerjaan yang aku dapat, aku akan lakukan. Tidak perduli jika ibu selalu melarang ku. Namun langkahku mendadak terhenti, saat aku melihat wanita yang tidak asing kini berdiri di depan pintu sebuah kontrakan bersama anak perempuan yang begitu manis. Dia Hasna-mantan istriku. Aku tercekat. Namun Hasna justru tersenyum. Ibu menyadari hal itu. "Kenapa? Mau mentertawakan kami? Ingat ya sama-sama miskin,"sela ibu dengan nada ketus seperti biasa. Namun Hasna yang dihadapanku sungguh berbeda. Dia begitu anggun dengan balutan jilbabnya. Tidak seperti saat bersamaku dulu yang selalu terlihat kusam. Tapi aku sadar. Barangkali Hasna sudah mempunyai kehidupan baru. Aku tidak boleh ikut campur. Bahkan mengganggunya. "Dunia memang sempit sekali. Kali ini ibu izinkan kita mengontrak disini. Tetapi secepatnya ibu akan meminta pindah. Kamu tau jika ada Hasna disini berarti tempat ini adalah tempat orang miskin. Ibu anti sekali dengan itu,". Ibu masih saja mengomel. Namun fikiranku seakan terjeda karena pertemuanku dengan Hasna barusan. Kontrakan ini tidak begitu luas. Hanya sebuah ruang tamu lalu kemudian satu ruangan yang dibagi menjadi kamar dan dapur kecil juga kamar mandi. Tidak apa. Asal nyaman di tempati. Belum juga kami sempat beristirahat, suara ketukan pintu terdengar dari luar. "Baru juga masuk. Sudah ada yang bertamu. Apa sudah ditagih bayar listrik?"gerutu ibu yang terpaksa berdiri untuk melihat siapa yang datang. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu. Menenteng dua kotak nasi di tanganya. Ibu bahkan menelan saliva melihatnya. "Ma'af mengganggu Bu. Ini buat ibu sekeluarga. Dari ibu kontrakan. Tradisi disini setiap hari Jumat, pemilik kontrakan selalu berbagi makanan."kata laki-laki itu. "Duh sudah seperti orang susah saja di santuni. Asal bapak tau ya. Saya itu seorang priyayi," "Priyayi kok ngontrak Bu. Ada-ada saja ibu ini,"protes lelaki itu dan memilih pergi. Walau ibu tidak menerima kotak nasi itu tetapi sang bapak tetap meletakan ya di depan pintu. Dan ibu membawanya ke dalam. "Ya begitu orang miskin. Diberi kekayaan sedikit saja mulai keluar sombongnya. Aku yang sejak lahir sudah kaya raya saja ahh sudah biasa merasakan jadi orang kaya," "Bu sudahlah turunkan gengsi. Keadaan kita tidak sama dengan dulu. Ini yang dimaksud roda itu berputar," Ibu mencibirkan bibirnya ke arahku. Namun lagi lagi tidak ku perdulikan. Aku mulai membuka kotak nasi itu. Isinya ayam bakar juga ada sebuah undangan. Undangan gathering. Ah pantas saja ada yang mendirikan tenda di samping kontrakan ini. Aku mengagumi pemilik kontrakan. Siapa gerangan yang begitu baik terhadap kaum dengan ekonomi rendah seperti ini. Keesokan harinya benar saja, penghuni kontrakan tampak antusias sekali mengikuti gathering. Ada yang bilang ini adalah makan besar dengan berbagai jenis makanan tersedia. Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna...Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna begitu menawan. Aku yang pernah menjadi orang berada juga Tari-mantan istriku yang juga dari kalangan elite tentu aku hafal betul sejumlah harga outfit. Apalagi dengan yang dikenakan Hasna saat ini. Aku yakin harganya juga fantastis.Saat aku tak berkedip menatapnya, saat itu pula ia juga menatap ke arah aku dan ibu. Lagi lagi ia melemparkan senyum simpulnya itu."Sudah bisu mungkin si Hasna itu. Dari kemarin hanya senyam-senyum saja. Akibat pernah dzolim dengan mertua ya jadinya begitu,"gerutu ibu yang menyadari tatapan Hasna kepada kami."Bukanya terbalik bu. Justru dulu ibu yang sering dzolim ke Hasna. Memperlakukan dia seperti bukan kepada menantu. Tetapi justru seperti babu,"protesku kepada ibu.Ibu bergantian menoleh ke arahku dengan tajam."Eh wajar ya Zaki. Mertua memperlakukan menantu seperti itu. Lagipula dia juga tidak berkerja bukan? Hanya mengurus rumah dan menadahkan tangan kepadamu. Berbeda dengan Tari yang bekerja. Ah pahit ta
Ku lihat mata ibu menyipit membaca kertas berlogo salah satu bank terkenal yang disodorkan Hasna. Namun ibu tertawa kecil."Kamu kira saya bodoh? Saya tau persis siapa kamu. Tidak mungkin wanita seperti Hasna menyodorkan cek kepada priyayi seperti saya,"hina ibu."Silahkan isi sendiri nomor rekeningnya,"Aku bergegas menghampiri beliau. Malu. Kami hanyalah penghuni baru kontrakan dan membut ribut saat mengisi acara.Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Hasna lagi setelah mendengar hinaan serta penolakan dari ibu. Sorot matanya tetap teduh dan tidak menantang.Ia hanya meletakan cek itu diatas meja. Lalu menggandeng Ranita pergi dari situ. "Bu,"panggilku."Lihatlah mantan istrimu. Belagu. Sombong. Cek palsu saja,"gerutu ibu sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang tersiram kuah soto. Ibu juga berlalu. Namun pandangan orang lain belum berlalu. Ada yang menatap dengan pandangan sinis. Dan ada juga yang saling berbisik."Oh jadi Mas Zaki itu mantan suaminya Mbak Hasna?"
"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya."Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa."Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia."Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.
( Untuk part seterusnya akan dibuat POV AUTHOR ya gais)🌿🌿🌿Namun siapa sangka saat Anwar mengajak Zaki masuk ke dalam ternyata isinya penuh dengan barang rongsokan. Namun tempat Ini bersih dan tertata rapi. Pak Haji yang digadang-gadang akan memberikan pekerjaan untuk Zaki ternyata adalah pengepul barang rongsokan."Tunggu dulu War,"cegah Zaki sembari menahan kerah Anwar agar tidak melanjutkan langkahnya."Kenapa mas?""Kamu mau menghina saya atau mau menjerumuskan saya? Saya ini lulusan sarjana, War. Mana mungkin bekerja di tempat rongsokan seperti ini?"tanya Zaki sedikit emosi dengan nada penekanan di setiap katanya.Anwar menghela nafas pelan. Lalu ia membuang muka ke arah lain."Mau setinggi apapun pendidikan seorang laki-laki, kalau dia tidak bekerja maka serasa dia tidak punya harga diri. Saya tidak bermaksud menghina atau menjerumuskan Mas Zaki. Saya hanya niat ingin menolong. Lagipula apa yang salah bekerja di tempat pengepul rongsokan? Toh itu juga halal. Sebenarnya usah
Dan ternyata Hasna yang mengulurkan uang itu. Penjual sayur menatapnya bingung. Bergantian menatap Hasna dan juga Bu Ratih. Tentu dia heran mengapa Hasna begitu berbaik hati kepada pendatang baru di kontrakan tersebut.Hasna paham. Ia mengembangkan seulas senyumnya."Dia mantan ibu mertua saya,""Eh tidak usah ya. Saya disini bukan pengemis yang minta-minta ke kamu. Hidup berubah sedikit saja, sombong. Mau buktiin kalau situ sekarang jadi kaya? Bisa saja uang hasil hutang kan? Lagipula kamu pasti bangga ya pernah jadi menantu seorang priyayi seperti saya."jawab Bu Ratih dengan angkuh."Jadi menantu ibu dibenci. Jadi mantan menantu pun juga sama. Sebenarnya mau Bu Ratih itu apa sih?"tanya Hasna dengan suara datar tapi disertai tatapan tajam."Nih. Saya cuma bawa uang delapan ribu saja. Catat sebagai hutang,"perintah Bu Ratih lalu berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan Hasna."Huuu.. Dasar. Ujung-ujungnya hutang saja berlagak mengaku priyayi,"gerutu tukang sayur."Duh Mbak Hasna mimpi ap
"Aku..,"Zaki ragu melanjutkan kalimatnya. Jika ia berkata apa adanya tentang pekerjaanya yang sebenarnya kepada sang ibu, justru ibunya pasti mencak-mencak tidak terima. Dengan alasan priyayilah, sarjana lah. Dan sudah dipastikan ia akan disuruh keluar dari pekerjaan barunya saat itu juga. Tapi ia lupa bahwa sarjana dan priyayi juga butuh makan."Aku menjabat sebagai manager lagi bu,"Ada binar senang dalam netra sang ibu. Namun justru membuat Zaki merasa bersalah karena telah berbohong. Mematahkan harap dan asa ibunya."Di perusahaan mana Zaki? Ibu mau dong lihat perusahaan tempatmu bekerja. Pasti besar ya."Zaki salah tingkah. Tanganya reflek menggaruk-garuk rambutnya walau tidak terasa gatal."Kamu kenapa, nak?""Ehm perusahaan tempat aku bekerja itu baru merintis bu. Jadi belum besar. Tapi pasti akan menjadi besar kok,"ucap Zaki berbohong lagi."Oh begitu. Kalau begitu kamu kan jadi manager. Gajianya juga pasti lumayan dong. Kita pindah rumah yuk Zaki. Jangan disini. Ibu tidak b
Semua mata mendelik ke arah Hasna. Tetapi Hasna masih berdiri dengan yakinya. Zaki mengedipkan mata menatap sang mantan istri seolah memberi isyarat agar tak melanjutkan kalimatnya. Mulanya Hasna tidak menggubrisnya. Ia muak dengan kesombongan sang mantan mertua. Tetapi Zaki terus memasang tampang iba nya seakan ia saat ini benar-benar memohon.Hasna tersenyum sinis dalam hati. Tak hentinya dia bersorak dimana keangkuhan dan kekuatan seorang Zaki Yunanda yang dulu. Yang menganggap dirinya bisa melakukan bahkan membeli apapun itu. Nyatanya untuk membeli kepercayaan ibu nya saja, kini ia tidak mampu.Bu Ratih tertawa sumbang. Penuh remeh. Sama seperti saat ia sering merendahkan Hasna dulu"Jangan mimpi kamu. Jaga omongan kamu. Kami ini kaum terpelajar. Relasi kami banyak. Kami dikelilingi kaum elite. Jika kamu berkata kamu lah yang mencarikan pekerjaan untuk Zaki, itu karena sebatas kamu hanya kenal Anwar saja. Siapapun yang membawa anak saya mendapat pekerjaan kalau Zaki sendiri tidak
Zaki berkali kali mengedipkan mata. Menatap seolah tak percaya dengan nama yang tertera di undangan tersebut. Mencoba memastikan penglihatanya bahwa nama di undangan tersebut tidak salah.Sean & Natari.Dengan foto preweeding di sebuah pantai. Serta angin yang memainkan gaun sang calon mempelai wanita, membuat semakin estetic sebuah foto preweeding yang dibingakai denegan senyuman keduanya.Ya Zaki kembali harus menelan pil pahit kehidupan. Sepupunya menikah dengan mantan istrinya. Dia baru paham mengapa Tante Mira sendiri yang mengantar surat cerai pada Zaki. Karena pihak mereka lah yang mengurusnya.Namun apa maksutnya mereka mengundang Zaki ke acara mereka. Notabene Zaki adalah sepupunya sekaligus mantan suami Tari. Mau memamerkan kebahagiaan mereka kini kah?"Undangan dari siapa?"Dengan cepat Bu Ratih merebut undangan itu dari tangan Zaki.Tak berbeda Bu Ratih pun terbelalak kaget dengan undangan yang ia baca. Tak berselang lama justru ia pun meremas undangan tersebut. Lalu melem
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,