Share

KARMA SANG MANTAN ISTRI
KARMA SANG MANTAN ISTRI
Penulis: Anik Safitri

1

HAI, MANTAN ISTRI 

"Dasar kere. Orang miskin saja belagu nyewa kontrakan mewah,"gerutu Bu Talita memaki kami. Tidak dapat aku sembunyikan betapa malunya kami saat diusir dari kontrakan. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Aku dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barang yang aku punya. Lebih tepatnya hanya baju yang aku punya.

"Eh baru juga punya kontrakan seperti ini saja simbongnya sudah selangit. Awas kalau aku kaya, akan kubeli kontrakanmu termasuk kesombonganmu juga,"teriak ibu tidak mau kalah. Begitulah ibu. Ia pantang disakiti, pantang dihina meskipun memang begini keadaanya. Dan oleh siapapun itu. Beliau sama sekali tidak perduli.

Tante Talita dan ibu dulunya adalah kawan akrab. Namun saat kami mulai susah membayar kontrakan, beliau mengusir kami. Aku maklum. Memang begitulah perputaran modalnya.

Aku diam sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau akan kemana.

"Zaki, kamu itu lulusan sarjana. Kenapa susah sekali cari kerja sih,"gerutu ibu.

Aku menghela nafas pelan.

"Umur Zaki juga sudah tidak muda lagi bu. Jadi susah untuk cari pekerjaan dengan jabatan seperti sebelumnya. Lagipula ibu selalu melarang Zaki untuk bekerja apa adanya dulu,'

"Ya iyalah. Kalau kamu bekerja ala kadarnya. Mana cukup untuk kebutuhan hidup? Lagipula si Tari itu keterlaluan sekali. Sudah tau suaminya tertimpa musibah di PHK, eh dia justru ikut ninggalin. Dasar perempuan tidak ada akhlak."

"Ibu sendiri kan dulu yang menyuruh Zaki menikahinya? Dan meninggalkan Hasna demi dia,"ibu diam. Namun fikiranku melayang ke amsa silam.

Betapa kasihan sekali Hasna-mantan istriku, ia kerap kali disudutkan keluargaku karena ia hanya lulusan SD dan dari keluarga miskin. Keluargaku yang kerap mengaku sebagai keluarga priyayi selalu merendahkannya. Bukan hanya ibu tetapi dari pihak sanak saudara bahkan nenek juga terkesan tidak suka dengan Hasna.

Dan Hasna memilih menyerah mengakhiri semuanya membawa pergi anak semata wayang kami-Ranita terlebih saat keluargaku jelas-jelas menjodohkanku dengan Tari yang dianggap mereka pantas bersanding dengan darah biru seperti keluarga kami.

Namun apa yang terjadi kala aku yang semula menjabat di posisi tinggi diperusahaahn tiba-tiba di PHK secara sepihak? Tari meninggalkanku. Dan satu persatu sanak saudara mulai menjauh. Tidak perduli.

Pesangon dari perusahaan yang tidak seberapa lama kelamaan akan habis. Apalagi saat itu kami dikagetkan dengan almarhum ayah yang meninggalkan hutang begitu banyak hingga terpaksa rumah kami satu-satunya dijual.

Saat itu aku mengusulkan agar sisa uang yang ada dibelikan rumah ala kadarnya. Namun ibu menolaknya. Beliau yang terbiasa hidup mewah tidak setuju jika kami memulai semua dari nol. Dari yang sederhana dulu.

Akhirnya kami mengontrak rumah yang bisa dikatakan lumayan mewah untuk ukuran kontrakan biasanya.

"Zaki, apa yang kamu lakukan?"

"Mau menunggu angkot bu. Mau sampai kemana jika kita jalan tidak ada arah tujuanya?"

"Naik angkot?"tanya ibu bergidik.

"Kalau ibu tidak mau yasudah. Zaki pergi sendiri,"ujarku yang mulai kesal dengan ibu.

"Mau kemana mas?"

"Pak saya mau tanya barangkali bapak tau  kontrakan sekitar sini yang harganya terjangkau?"

Bapak supir angkot sejenak diam berfikir.

"Ada sih mas. Kontrakan nya bersih. Tapi ya banyak pintu. Jadi mungkin akan ramai suasanya."

"Oh iya tidak apa-apa pak. Antarkan saya kesana ya,"

Ibu melotot ke arahku. Menandakan beliau tidak setuju dengan keputusanku ini. Tapi aku mencoba untuk mengacuhkanya. Aku lelah menuruti semua kemauan ibu yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial ku.

Angkot berhenti di sebuah lahan yang luas. Kontrakan itu bergandeng. Dan tertata begitu rapi juga bersih. Banyak anak kecil yang asyik bermain di sekitarnya 

Entah siapa pemiliknya, namun aku sangat menyukai konsepnya. Ia bak perumahan sederhana dengan status kontrakan. Harganya juga ramah di kantong untuk para pekerja berekonomi rendah.

Aku sama sekali tidak menatap ibu. Bagaimana ekspresinya bisa ku prediksikan. Oleh karena itu sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak beradu tatap dengan beliau.

Kontrakan yang kebetulan kosong ada diujung. Pak sopir hafal betul karena sang anak juga mengontrak disini. Aku harus melewati berpuluh puluh pintu kontrakan sebelum menuju kontrakan yang aku tuju. 

Disini aku berani mengedarkan pandang. Dan aku akan bertekad apapun pekerjaan yang aku dapat, aku akan lakukan. Tidak perduli jika ibu selalu melarang ku. 

Namun langkahku mendadak terhenti, saat aku melihat wanita yang tidak asing kini berdiri di depan pintu sebuah kontrakan bersama anak perempuan yang begitu manis. 

Dia Hasna-mantan istriku.

Aku tercekat. Namun Hasna justru tersenyum.

Ibu menyadari hal itu.

"Kenapa? Mau mentertawakan kami? Ingat ya sama-sama miskin,"sela ibu dengan nada ketus seperti biasa.

Namun Hasna yang dihadapanku sungguh berbeda. Dia begitu anggun dengan balutan jilbabnya. Tidak seperti saat bersamaku dulu yang selalu terlihat kusam.

Tapi aku sadar. Barangkali Hasna sudah mempunyai kehidupan baru.

Aku tidak boleh ikut campur. Bahkan mengganggunya.

"Dunia memang sempit sekali. Kali ini ibu izinkan kita mengontrak disini. Tetapi secepatnya ibu akan meminta pindah. Kamu tau jika ada Hasna disini berarti tempat ini adalah tempat orang miskin. Ibu anti sekali dengan itu,". Ibu masih saja mengomel. Namun fikiranku seakan terjeda karena pertemuanku dengan Hasna barusan.

Kontrakan ini tidak begitu luas. Hanya sebuah ruang tamu lalu kemudian satu ruangan yang dibagi menjadi kamar dan dapur kecil juga kamar mandi. Tidak apa. Asal nyaman di tempati.

Belum juga kami sempat beristirahat, suara ketukan pintu terdengar dari luar.

"Baru juga masuk. Sudah ada yang bertamu. Apa sudah ditagih bayar listrik?"gerutu ibu yang terpaksa berdiri untuk melihat siapa yang datang.

Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu. Menenteng dua kotak nasi di tanganya. Ibu bahkan menelan saliva melihatnya.

"Ma'af mengganggu Bu. Ini buat ibu sekeluarga. Dari ibu kontrakan. Tradisi disini setiap hari Jumat, pemilik kontrakan selalu berbagi makanan."kata laki-laki itu. 

"Duh sudah seperti orang susah saja di santuni. Asal bapak tau ya. Saya itu seorang priyayi,"

"Priyayi kok ngontrak Bu. Ada-ada saja ibu ini,"protes lelaki itu dan memilih pergi. Walau ibu tidak menerima kotak nasi itu tetapi sang bapak tetap meletakan ya di depan pintu. Dan ibu membawanya ke dalam.

"Ya begitu orang miskin. Diberi kekayaan sedikit saja mulai keluar sombongnya. Aku yang sejak lahir sudah kaya raya saja ahh sudah biasa merasakan jadi orang kaya,"

"Bu sudahlah turunkan gengsi. Keadaan kita tidak sama dengan dulu. Ini yang dimaksud roda itu berputar,"

Ibu mencibirkan bibirnya ke arahku. Namun lagi lagi tidak ku perdulikan. Aku mulai membuka kotak nasi itu. Isinya ayam bakar juga ada sebuah undangan. 

Undangan gathering. 

Ah pantas saja ada yang mendirikan tenda di samping kontrakan ini. Aku mengagumi pemilik kontrakan. Siapa gerangan yang begitu baik terhadap kaum dengan ekonomi rendah seperti ini.

Keesokan harinya benar saja, penghuni kontrakan tampak antusias sekali mengikuti gathering. Ada yang bilang ini adalah makan besar dengan berbagai jenis makanan tersedia.

Namun mataku terbelalak saat melihat Hasna...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status