“Gimana Athalia? Kamu udah tiga hari ini pulang larut malam terus, pasti sengaja nggak mau ketemu Mama.”
Asa terkekeh mendengar omelan menjurus rajukan tersebut dari mamanya. “She is pretty, Ma.”
“Terus?” desak Padma Hardjaja, ibu Asa, dari seberang telepon.
Asa sengaja tak langsung menjawab—pasti setelah ini mamanya akan kembali merajuk kalau ia sengaja menghindar. Ia memilih terus melangkah menuju eskalator. Asa harus segera kembali ke kantor kalau tidak mau terlambat setelah jam makan siang berakhir.
Bisa-bisa ia diceramahi ayahnya—Badai Tanaka—selama dua jam penuh soal kedisiplinan.
“Angkasa, do you hear me?” tanya Padma dengan nada kesal yang kentara.
Namanya Asa, nama panjangnya adalah Angkasa Nirada Tanaka. Kalau ibunya sudah memanggilnya dengan ‘Angkasa’, berarti ibunya sudah kesal.
Kalau seorang Padma sudah memanggil Asa atau semua penghuni rumah dengan ‘Tanaka’ (dan hal ini menyebabkan tidak hanya satu orang yang menoleh, tapi empat orang sekaligus), berarti ibunya benar-benar marah.
“Denger kok, Bu Bos,” canda Asa yang mengikuti panggilan ayahnya kalau sedang bercanda dengan mamanya. “Aku nggak ada chemistry sama dia. Dia juga… aneh.”
Asa mencoba menuruti permintaan Athalia tiga hari yang lalu di mana ia harus mengatakan kalau perempuan itu ‘aneh’, supaya mereka tidak bertemu lagi.
“Aneh gimana?”
“Aneh, nggak suka sama Abanglah pokoknya. Kayaknya Abang emang nggak laku di pasaran deh.”
“Abang, listen to me. Papamu dulu tuh ibarat kuota di aplikasi P2P lending, selalu diburu orang dan nggak banyak yang kebagian—tapi kalau papamu sih banyak yang pernah bareng dia.”
Asa tertawa mendengar perumpamaan ibunya. “Kayaknya ada yang kesel.”
“Nggak,” kilah mamanya. “Maksud Mama adalah kamu nggak mungkin nggak laku. Gantengan kamu daripada Papa pas muda. Kamu hanya nggak mau dekat dengan siapa-siapa.”
“Tuh Mama tahu.”
“Tapi Mama nggak mau kamu selamanya sendirian.” Kali ini mamanya mendesah pelan. “Kamu nggak pernah berusaha dekat sama orang lain, Bang. Cobalah sekali-kali buka sedikit pintu benteng yang kamu bangun. Kasih kesempatan untuk orang lain masuk ke hidup dan hati kamu.”
“Mama aja udah cukup buat aku.”
“Tapi Mama bukan pasangan kamu.”
“Aku nggak butuh pasangan, aku cuma butuh keluarga kita.”
“Hhh…. Kamu tuh ya, susah banget dibilangin. Sepertinya keras kepala udah jadi ciri khas Tanaka,” desah mamanya dengan pelan. “Bang, di dunia ini ada yang namanya takdir. Kalau kamu nanti ketemu seseorang yang merupakan takdir kamu, sejauh apa pun kamu melangkah, kamu akan selalu ketemu dia.”
Untuk beberapa detik, hati Asa menghangat mendengar ucapan mamanya. “Kayak Mama dan Papa?”
“Semacam itu,” sahut sang mama lagi. “Kamu pulang on time hari ini ya, Bang, kita bicara lagi di rumah. Sekarang udah mau selesai jam makan siang, kamu pasti harus balik kerja.”
“Oke, Ma.”
“Mama akan tungguin kamu sampai jam berapa pun.”
Asa tersenyum mendengar tekad ibunya. “Oke, sampai ketemu nanti malam, Ma. I love you.”
“I love you too hanya kalau kamu pulang on time hari ini.”
Asa kembali tertawa dan mamanya memutus sambungan telepon. Lelaki yang hari itu berpakaian formal dengan setelan kemeja biru langit dan celana bahan hitam tersebut melangkah turun dari eskalator.
Sejak pagi tadi ia ikut meeting dengan klien mereka bersama atasannya dan saat makan siang, atasannya memilih untuk makan siang dengan istrinya. Jadilah Asa makan siang sendiri dan kini harus kembali ke kantornya sesegera mungkin.
“Dasar pelacur! Nggak usah deketin anak saya lagi! Ngerti kamu?!”
Teriakan melengking itu menarik perhatian Asa dan orang-orang di sekitar lobi mall tersebut.
Tadinya Asa mau terus melangkah menyeberang ke kantornya, tapi ketika ia tak sengaja melirik ke arah kerumunan yang merupakan sumber teriakan tersebut, langkah Asa langsung terhenti.
Perempuan paruh baya dengan rambut disasak agak tinggi tersebut mulai menjambak rambut perempuan yang hanya bisa merintih tersebut.
“Tinggalin anak saya! Putusin dia sekarang juga! Anak saya bilang dia mau putus, tapi selalu kamu yang nahan-nahan dia.”
“Nggak, Tante….”
Tanpa pikir panjang, Asa menghampiri kerumunan tersebut dengan langkah yang lebar-lebar. Bertepatan dengan tibanya Asa di sana, perempuan muda yang tangannya tengah berusaha melepas cengkeraman tangan ibu-ibu itu mendongak.
Asa bertemu tatap dengan Athalia.
“Asa,” gumam Athalia dengan tak percaya.
Perempuan bersasak tinggi itu langsung menatap Asa dengan marah. “Minggir kamu! Nggak usah jadi sok pahlawan. Ini urusan saya sama pelacur kecil ini.”
“Tapi saya nggak bisa liat Ibu sembarangan mempermalukan orang lain dan bahkan menyiksa dia seperti ini.” Asa semakin mendekat dan berusaha melepas cengkeramannya di rambut Athalia. “Bisa kan kita bersikap selayaknya manusia sewajarnya?”
“Kamu—”
“Asa,” sergah Athalia. “K-kamu pergi aja deh—”
Asa menggeleng. Suara Athalia yang terdengar tak yakin malah semakin membuatnya tak ingin beranjak.
Asa pun bertanya dengan dingin pada perempuan paruh baya itu. “Apa kita perlu bicara di pos satpam? Atau kantor polisi?”
Gertakan itu berhasil. Begitu cengkeraman perempuan tersebut lepas dari rambut Athalia, Asa segera menarik Athalia hingga berdiri di sisinya, jauh dari perempuan tak dikenal itu.
“Oh, sekarang saya ngerti,” katanya sambil tersenyum sinis. “Ini laki-laki lain yang kamu layani kan?”
“Nggak, Tante!”
Tanpa mau mendengar bantahan Athalia lebih lanjut, erempuan itu langsung mengibaskan tangannya, kemudian beralih pada Asa. Ia menatap Asa dari ujung kepala hingga ujung kaki dan langsung tahu, kalau Asa bukan orang sembarangan.
“Kamu jaga perempuan ini, jangan sampai dia deketin anak saya lagi! Kerjanya meras harta orang aja! Lebih baik dia beneran jual diri dibanding berkedok pacaran tapi ngambil uang orang lain.”
Athalia hanya menunduk dan mengusap wajahnya dengan lelah. Asa ingin mengembalikan kata-kata yang tak enak didengar itu, tapi perempuan paruh baya tersebut sudah pergi begitu saja.
“Nggak ada yang perlu dilihat, Mas, Mbak. Silakan urus urusan masing-masing,” kata Asa pada orang-orang yang berkerumun.
Dengan cepat, Asa menggiring Athalia keluar dari mall tersebut. Mereka menyeberang ke Sadira Group yang berseberangan dengan mall tempat Asa makan siang tadi.
Sesampainya di lobi, Asa mengajak Athalia masuk ke gerai Starbucks yang ada di sana dan memesankan minuman untuk mereka berdua. Kali ini ia sudah tak peduli kalau terlambat kembali ke ruangannya.
“Tha,” panggil Asa pelan kepada Athalia yang duduk sambil menunduk. Helai rambutnya menutupi wajahnya, membuat Asa tahu kalau kini Athalia pasti tengah merasa malu.
“Ngapain kamu bawa aku ke sini?”
“Aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sana,” ungkap Asa dengan jujur. Athalia yang ada di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan Athalia yang tiga hari lalu ia temui.
“Makasih untuk bantuannya. Aku nggak tahu jadi apa aku kalau nggak ada kamu.” Athalia menghela napasnya dan memberanikan diri untuk mendongak.
Saat tatapan mereka bertemu, pikiran kalau Asa akan menatapnya dengan jijik atau kasihan langsung sirna di benak Athalia.
Lelaki itu tengah menatapnya dengan lembut dan tidak menuntut. Kalau ada orang lain yang sudi menyelamatkan Athalia dari kejadian tadi, setidaknya pasti mereka akan menatapnya dengan penasaran dan penuh tuntutan, ingin tahu kenapa ia bisa diperlakukan seperti tadi.
“Sama-sama, Tha.”
Athalia masih sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga ia terkejut saat tiba-tiba Asa mencondongkan tubuhnya mendekat pada Athalia.
“Sorry, aku cuma mau benerin rambut kamu,” gumam Asa ketika tangannya berhasil menyentuh puncak kepala Athalia.
Dengan telaten, Asa berusaha merapikan rambut Athalia sebisanya. “Sakit nggak kepala kamu?”
“Nggak kok,” dusta Athalia.
Asa berdecak kecil. “Rasanya agak jarang orang di dunia ini yang bilang kalau mereka sakit saat mereka kesakitan. Iyakan, Tha?”
Athalia meringis malu. Ia tak pernah membayangkan Asa-lah yang akan menemuinya dalam kondisi seperti tadi.
Rasanya ini seperti… takdir.
“Kamu nggak kerja?”“Kamu sendiri?” Asa memilih bertanya balik pada Athalia.“Hari ini aku lagi cuti,” jawab Athalia. Perempuan itu melirik jam tangannya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. “Udah lewat dari jam istirahat, lebih baik kamu kembali ke kantor. Ini gedung kantor kamu kan?”“Kok kamu tahu?”Athalia terkekeh pelan. “Aku kenal ibumu, jadi aku tahu pasti kamu itu siapa.”Asa tersenyum malu mendengar ucapan Athalia yang lugas tersebut. Ia sempat lupa dengan fakta kalau Athalia kenal langsung dengan ibunya. Minimal Athalia pasti tahu di mana ia sekarang—di kantor Sadira Group.“Beneran nggak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanya Asa pada akhirnya. “Kamu nggak perlu ditemenin?”“Aku baik-baik aja kok.”Asa menaikkan satu alisnya, sangsi dengan kebenaran kata-kata Athalia. Tidak ada orang yang langsung bisa baik-baik saja setelah kejadian seperti tadi.“Beneran, Sa,” tegas Athalia sekali lagi. “Kamu balik kerja aja gih. Aku nggak enak sama kamu kalau kamu telat lebih lama
“Kamu tinggal di sini?” Asa menatap bangunan kos-kosan yang cukup elit di kawasan Duren Tiga tersebut.“Iya.” Athalia melepas seat belt-nya dengan canggung.Hari sudah sore—menjelang malam, lebih tepatnya—ketika Asa yang mengantarnya tiba di bangunan yang merupakan tempat tinggal Athalia sejak dua tahun belakangan ini.Sepanjang siang tadi Asa mengajaknya ke rooftop yang anehnya, tidak terlalu panas untuk ditempati dalam jangka waktu yang cukup lama. Matahari di hari ini cukup bersahabat, membuat Athalia akhirnya nyaman berada di sana.Asa bekerja, Athalia diam berpikir. Itulah yang mereka lakukan hingga jam pulang kantor tiba. Asa tidak mengusik Athalia sama sekali, lelaki itu seakan memberi kebebasannya untuk berpikir selagi menjaganya dalam diam.Kalaupun mereka mengobrol, itu karena Athalia yang membuka pembicaraan.“Ah ya, harusnya aku ngajak kamu makan malam dulu ya,” kata Asa lagi yang membuyarkan lamunan Athalia. “Aku lupa, sorry. Kamu mau makan malam sama aku? Atau kamu lebih
“Jadi kamu makan malem sama Athalia?”Pertanyaan itu menyambut Asa yang baru saja menjejakkan kakinya di ruang tengah rumahnya. Sang mama, Padma, menatapnya dengan antusias. Lebih antusias daripada saat Asa dulu mengatakan kalau ia diterima di PTN terbaik di Indonesia.“Iya, Ma,” jawab Asa dengan senyum di wajahnya. “Apa aku akan disuruh makan lagi? Mama udah makan malem?”Asa menghampiri sang mama dan mencium kedua pipinya seperti biasa. Di sisi kanan sang mama, ada Ilana dan Meisie, dua adik yang ikut menatapnya dengan tatapan yang identik dengan sang ibu.Astaga, perempuan di keluarga Tanaka ini sepertinya sudah benar-benar gatal melihatnya yang selama ini selalu sendiri.“Kita udah makan kok.” Kali ini yang menjawab adalah Ilana, anak tengah di keluarga tersebut.“Mama hampir tumpengan waktu denger Abang makan sama cewek. Sayang aja Abang ngasih tahunya mepet sama jam makan malem. Kalau Abang ngasih tahunya dari siang, pasti Mama udah bikin tumpeng.”Celotehan adik bungsunya membu
Athalia memasuki gedung kantornya sambil mengusap tengkuk dengan gelisah. Ia tak bisa menghentikan kebiasaan ini—Athalia selalu mengusap tengkuknya tanpa alasan ketika merasa resah atau memikirkan hal yang tak ada ujungnya.“Athalia?”Teman-teman kantornya biasa memanggil Athalia dengan ‘Atha’. Alasannya sederhana, karena lebih singkat.Jadi, ketika ia mendengar seseorang yang memanggilnya dengan ‘Athalia’ di sekitar kantornya, perempuan itu tak langsung menyadari kalau panggilan itu ditujukan untuknya.Sampai kemudian seseorang menepuk bahunya dan membuat Athalia menghentikan langkahnya.Perpaduan aroma woody dengan patchouli, clary sage, dan amber yang Athalia cukup kenali karena ada aroma lainnya yang bercampur dan menjadikannya unik tersebut, mengingatkan Athalia pada seseorang.Athalia berbalik sambil berdoa kalau untuk sekali ini saja, indra penciumannya salah."Asa?” Athalia menatap Asa dengan terkejut.Tebakannya benar. Pemilik aroma yang mengingatkan Athalia pada salah satu p
“Kalau kasar, itu bukan cinta, Tha.”“Aku tahu apa yang aku lakukan, Sa.”Percakapan singkatnya dengan Athalia tempo hari kembali mengusik Asa. Lelaki itu berdecak pelan ketika mengingat kembali Athalia yang tak menjawab ketika ia bertanya, apakah kekasih Athalia berbuat kasar padanya atau tidak.Dari bagaimana Athalia yang diam saat itu, Asa yakin kalau kekasih perempuan itu memang menyakitinya.Asa bisa saja melengos pergi dan tak peduli, tapi bayang-bayang luka yang coba disembunyikan Athalia terus mengusiknya bahkan beberapa hari setelah pertemuan mereka di Heavenly & Co.“Abang kenapa? Nggak suka temenin Mama lunch hari ini ya?”Asa buru-buru mengerjapkan mata ketika menyadari kalau saat ini ia tak sendirian. Di hadapannya, ada sang mama yang tengah menatapnya dengan penuh selidik.Hari ini Padma memang memang mengajaknya makan siang bersama, kebetulan ayahnya tengah ada meeting dengan orang lain sehingga hanya mereka berdua yang bisa.Ta Wan Plaza Senayan di siang hari itu cukup
“Athalia nggak serendah itu,” bantah Asa dengan cepat.Asa bahkan tak percaya kalau lelaki yang mengaku sebagai kekasih perempuan yang tangannya tengah dicengkeram erat itu, bisa menuduh Athalia dengan sangat hina.Asa memang belum benar-benar mengenal Athalia, tapi lelaki itu tahu kalau Athalia tidak seburuk yang dituduhkan Marcell.“Marcell, kita pergi yuk, sekarang,” sergah Athalia seraya menarik tangan Marcell yang sudah ingin menggapai Asa. “Dia nggak ada hubungannya sama sekali sama aku. Cuma temen kok. Kan waktu itu aku udah jelasin.”“Halah!” Marcell menepis tangan Athalia dengan kasar. “Kamu tuh udah sering bohong sama aku, Tha! Mana mungkin aku bisa percaya kamu lagi dengan mudah?”Athalia menggigit bibirnya dan menatap Asa serta Marcell secara bergantian. Kali ini Marcell melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Athalia dan mendekat pada Asa.Asa sendiri tak terlihat gentar, ia menatap Marcell dengan datar dan hal itu semakin membuat Marcell kesal karena Asa seperti t
Athalia: Hari ini hari Minggu, kamu emang nggak pergi?Asa: Nggak. Biasanya nemenin mamaku ke lapangan tembak, tapi hari ini lagi nggak mood katanya.Athalia: Ke lapangan tembak buat… nembak? Pakai senjata api?Asa: Iya, semacam itu.Athalia: Wow, keren banget Tante Padma.Asa: Kamu mau coba menembak? Aku bisa ajak kamu kalau lagi nemenin mamaku.Asa: Atau kalau kamu malu sama mamaku, kita bisa ke sana sendiri.“Abang, lagi ngapain? Bisa anterin Mama arisan nggak?”Entah untuk alasan apa, tapi Asa langsung terlonjak kaget begitu mendengar pertanyaan mamanya. Asa. yang tadinya sedang dalam posisi tengkurap di ranjang segera mengubah posisinya hingga duduk dengan cepat.Di pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka, Padma tertawa melihat tingkah anak sulungnya tersebut. “Abang kenapa? Kok kayak kaget banget?”Asa meringis.Masih dengan senyum geli di wajahnya, Padma kembali bertanya, “Abang lagi sibuk?”“Nggak.” Asa beranjak dari ranjang dan menghampiri mamanya. “Mama mau ke daerah mana
Mungkin salah juga aku masuk ke sini, harusnya aku tunggu Mama di coffee shop dekat sini, pikir Asa seraya menyesap tehnya.“Jadi Asa belum punya pacar?” tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi terlihat tertarik dengan Asa.Sepertinya di kepala ibu itu, sudah keluar nama anak, keponakan, atau mungkin cucu yang bisa ia jodohkan dengan Asa.Di sisi lain, Padma, mama Asa, tertawa kecil untuk menanggapinya. “Kalau pacar sih belum ada,” jawab Padma. Tangannya menepuk pelan bahu anaknya. “Tapi saya sih curiga kalau Asa lagi deket sama seseorang. Iyakan, Bang?”Asa berusaha tenang meskipun sang ibu sebenarnya tengah menggodanya di depan ibu-ibu yang tertarik dengannya, karena ia masuk dalam bursa perjodohan.“Iya, Ma.” Asa akhirnya menjawab singkat. Lebih baik ia menjawab begitu daripada dilepas bebas di antara banyak ibu seperti saat ini.“Oh ya?” Dari nada suaranya, salah satu ibu-ibu itu terdengar kecewa. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba ibu itu kembali berkata,
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel