Share

BAB 6 - Kalau Nanti Abang Ketemu dengan Perempuan yang Tepat…

“Kalau kasar, itu bukan cinta, Tha.”

“Aku tahu apa yang aku lakukan, Sa.”

Percakapan singkatnya dengan Athalia tempo hari kembali mengusik Asa. Lelaki itu berdecak pelan ketika mengingat kembali Athalia yang tak menjawab ketika ia bertanya, apakah kekasih Athalia berbuat kasar padanya atau tidak.

Dari bagaimana Athalia yang diam saat itu, Asa yakin kalau kekasih perempuan itu memang menyakitinya.

Asa bisa saja melengos pergi dan tak peduli, tapi bayang-bayang luka yang coba disembunyikan Athalia terus mengusiknya bahkan beberapa hari setelah pertemuan mereka di Heavenly & Co.

“Abang kenapa? Nggak suka temenin Mama lunch hari ini ya?”

Asa buru-buru mengerjapkan mata ketika menyadari kalau saat ini ia tak sendirian. Di hadapannya, ada sang mama yang tengah menatapnya dengan penuh selidik.

Hari ini Padma memang memang mengajaknya makan siang bersama, kebetulan ayahnya tengah ada meeting dengan orang lain sehingga hanya mereka berdua yang bisa.

Ta Wan Plaza Senayan di siang hari itu cukup ramai, sesekali Asa menangkap tatapan kagum orang-orang yang ia pikir pastilah tertuju pada mamanya.

Meski sudah memiliki tiga anak dan usianya tak lagi muda, aura mamanya yang kuat serta kecantikannya yang tak memudar masih mampu membuat orang lain menoleh dua kali.

Karena hal itu juga, orang-orang masih sulit untuk menolak permintaan mamanya, termasuk Asa sendiri.

“Mana mungkin Abang nggak suka? You’re my favorite person, Ma.”

“Mulut kamu manisnya sama kayak Papa,” gerutu sang mama yang membuat Asa tertawa. “Abang mikirin apa dari tadi?”

“Kerjaan di kantor aja kok, Ma,” dusta Asa. Mana mungkin Asa mengatakan kalau ia memikirkan Athalia?

Mamanya pasti akan langsung menyeretnya ke Heavenly & Co. detik ini juga kalau ia sampai mengatakan hal tersebut.

Di seberang Asa, Padma memicingkan matanya. Tentu saja perempuan berstatus ibu Asa itu tak langsung percaya dengan apa yang dikatakan Asa. Asa termasuk orang yang sangat mudah memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya.

Di luar jam kantor dan saat sedang tidak di kantor, ia jarang mengajak orang lain berdiskusi mengenai pekerjaannya, kecuali jika ada yang mengajaknya diskusi lebih dulu.

“Gimana sama Athalia, Bang? Abang nggak pernah cerita-cerita lagi sama Mama sampai Mama harus bener-bener tanya kayak sekarang.”

Beruntung Asa sedang tak makan sesuatu. Kalau iya, pasti saat ini ia sudah tersedak karena mamanya yang begitu frontal tanpa basa-basi.

“Mama capek nunggu Abang cerita, sampai orang dari dinasti Ming dateng lagi ke sini juga Abang nggak bakal ngomong apa-apa,” gerutu Padma yang memang lebih suka bicara terang-terangan dan telak itu membuat Asa langsung mati kutu.

Asa sendiri meringis mendengar gerutuan mamanya. Beberapa hari belakangan sang mama memang sibuk menyiapkan kejutan ulang tahun untuk ayahnya. Makanya wajar kalau ia belum dibombardir pertanyaan mengenai Athalia.

Hal itulah yang menyebabkan Asa tak sadar kalau tujuan mamanya mengajaknya makan siang hari ini adalah untuk menanyakan hal tersebut.

“Nggak gimana-gimana, Ma. Dia masih baik-baik aja kayak terakhir kali aku ketemu dan dia cukup pinter untuk langsung tahu kedatanganku ke kantor Om Ksatria itu adalah ulah Mama.”

“Nah, Mama makin suka sama dia.” Mamanya tersenyum senang. “Dia pinter, Mama suka. Baik dan sopan juga.”

“Tapi dia nggak suka sama aku, Ma.”

“Itu bisa diusahakan.” Perempuan paruh baya itu mengibaskan tangan di udara dengan santai. “Kayak yang Mama sering bilang, Bang, kamu itu gampang untuk disukain orang kok. Tinggal kamu mau nggak sama dia.”

Asa tak langsung menjawab, ia memilih untuk menyantap brokoli scallop saus tiramnya.

“Atau beneran nggak mau sama Athalia?” tanya ibunya dengan penasaran. “Mau Mama kenalin sama yang lain aja, Bang?”

“Kayaknya mau itu Athalia atau orang lain, sama aja hasilnya, Ma.”

Mamanya menghela napas dan akhirnya mengangguk samar. “Yah, kita bicarakan lagi nanti kalau begitu.”

Asa menatap mamanya dengan penasaran selagi perempuan itu mulai kembali menyendok sapo pesanannya. “Mama emangnya bosen ya sama Abang? Makanya nyuruh Abang cepet-cepet cari pacar atau calon istri?”

“Bosen?” Mamanya tertawa geli. “Mana ada, Bang? Kalau Mama ngebiarin diri Mama egois sedikit aja, Mama maunya sama kamu aja terus sampai nanti meninggal, Bang. Mama cuma mikir aja dari kemarin, di usia kamu saat ini, papamu udah ketemu Mama dan kami jatuh cinta satu sama lain dalam waktu yang singkat.

“Mama tahu, semua orang prosesnya pasti beda. Tapi apa Abang nggak pernah kepikiran untuk bareng sama seseorang yang bukan adek atau orangtua Abang? Kayak Papa dan Mama gitu.”

Asa terdiam, tapi tangannya tetap bergerak menyendok makanannya. Sejujurnya, dalam beberapa kali kesempatan, Asa sempat memikirkan hal tersebut.

Ia beberapa kali membayangkan, bagaimana rasanya punya seseorang di sisinya yang akan mendengarkan ceritanya, seperti bagaimana ibunya mendengarkan semua ocehan ayahnya setiap hari?

Juga, bagaimana rasanya dibutuhkan oleh orang lain selain keluarganya? Bukannya Asa butuh sebuah ‘pengakuan’, tapi lama kelamaan ia bisa merasakan kalau… memang ia butuh seseorang di sisinya.

Hanya saja selama ini ia menolak untuk merasakannya dan mengakuinya. Denial.

“Ya udah, Abang nggak usah pikirin dulu.” Ibunya tersenyum dan mengusap pelan punggung tangan Asa. “Maaf ya, kayaknya Mama akhir-akhir ini demanding banget ke Abang.

“Tapi percaya deh, Bang, itu cuma karena Mama excited aja ngelihat kamu akhirnya sama perempuan. Kalau nanti Abang ketemu perempuan yang tepat, kapan pun itu, siapa pun dia, please, kasih tahu Mama ya.”

“Iya, Ma, pasti kok.” Asa balas menggenggam tangan mamanya. “Maaf kalau Abang belum bisa jadi kayak anak lain yang nyenengin ibunya dengan bawa calon menantu. Untuk saat ini, Abang belum kepikiran ke sana. Keluarga jadi prioritas nomor satu Abang.”

Mereka pun memutuskan untuk tidak lagi membahas Athalia atau perjodohan apa pun yang tadinya diusahakan oleh Padma untuk Asa, anaknya. Setidaknya untuk saat ini.

Usai makan siang, ibu dan anak itu berpisah di dekat eskalator karena Padma masih ingin berkeliling dan Asa harus kembali ke kantornya.

Semua berjalan seperti biasa—kecuali ketika Asa lagi-lagi melihat Athalia tengah ditarik paksa oleh seorang lelaki.

Awalnya Asa pikir ia berhalusinasi. Namun, ketika ia berjalan mendekati halusinasinya tersebut, tatapannya bertabrakan dengan Athalia yang menoleh dengan tak sengaja dan di sana ia melihat… ketakutan.

Saat itulah Asa yakin kalau ia tidak sedang berhalusinasi.

“Athalia?” panggil Asa seraya mendekat.

Athalia terkejut, lalu menggeleng dengan cepat. Ia buru-buru melengos dan hal itu bukannya membuat Asa berhenti mengejarnya—malah sebaliknya.

“Athalia!” panggil Asa lagi dengan lebih yakin.

Asa melihat lelaki yang kini menyeret Athalia, tak peduli dengan tatapan orang lain, dan Asa segera mengenalinya sebagai lelaki yang ia temui di kos Athalia.

“Hei, bisa berhenti menyeret Athalia?” Asa meraih bahu kekasih Athalia dan mencengkeramnya dengan kuat, hingga langkah kekasih Athalia itu terhenti karenanya.

“Nggak usah ikut campur urusan orang ya!” hardik Marcell, kekasih Athalia.

Sedetik kemudian lelaki itu menyadari kalau ia pernah bertemu dengan Asa sebelumnya. “Oh….” Matanya memicing, lalu ganti menatap Athalia dengan senyum sinis di wajahnya. “Ini laki-laki yang jadi simpanan kamu akhir-akhir ini? Yang tidur sama kamu di kosan waktu itu, iya?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status