“Kalau kasar, itu bukan cinta, Tha.”
“Aku tahu apa yang aku lakukan, Sa.”
Percakapan singkatnya dengan Athalia tempo hari kembali mengusik Asa. Lelaki itu berdecak pelan ketika mengingat kembali Athalia yang tak menjawab ketika ia bertanya, apakah kekasih Athalia berbuat kasar padanya atau tidak.
Dari bagaimana Athalia yang diam saat itu, Asa yakin kalau kekasih perempuan itu memang menyakitinya.
Asa bisa saja melengos pergi dan tak peduli, tapi bayang-bayang luka yang coba disembunyikan Athalia terus mengusiknya bahkan beberapa hari setelah pertemuan mereka di Heavenly & Co.
“Abang kenapa? Nggak suka temenin Mama lunch hari ini ya?”
Asa buru-buru mengerjapkan mata ketika menyadari kalau saat ini ia tak sendirian. Di hadapannya, ada sang mama yang tengah menatapnya dengan penuh selidik.
Hari ini Padma memang memang mengajaknya makan siang bersama, kebetulan ayahnya tengah ada meeting dengan orang lain sehingga hanya mereka berdua yang bisa.
Ta Wan Plaza Senayan di siang hari itu cukup ramai, sesekali Asa menangkap tatapan kagum orang-orang yang ia pikir pastilah tertuju pada mamanya.
Meski sudah memiliki tiga anak dan usianya tak lagi muda, aura mamanya yang kuat serta kecantikannya yang tak memudar masih mampu membuat orang lain menoleh dua kali.
Karena hal itu juga, orang-orang masih sulit untuk menolak permintaan mamanya, termasuk Asa sendiri.
“Mana mungkin Abang nggak suka? You’re my favorite person, Ma.”
“Mulut kamu manisnya sama kayak Papa,” gerutu sang mama yang membuat Asa tertawa. “Abang mikirin apa dari tadi?”
“Kerjaan di kantor aja kok, Ma,” dusta Asa. Mana mungkin Asa mengatakan kalau ia memikirkan Athalia?
Mamanya pasti akan langsung menyeretnya ke Heavenly & Co. detik ini juga kalau ia sampai mengatakan hal tersebut.
Di seberang Asa, Padma memicingkan matanya. Tentu saja perempuan berstatus ibu Asa itu tak langsung percaya dengan apa yang dikatakan Asa. Asa termasuk orang yang sangat mudah memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
Di luar jam kantor dan saat sedang tidak di kantor, ia jarang mengajak orang lain berdiskusi mengenai pekerjaannya, kecuali jika ada yang mengajaknya diskusi lebih dulu.
“Gimana sama Athalia, Bang? Abang nggak pernah cerita-cerita lagi sama Mama sampai Mama harus bener-bener tanya kayak sekarang.”
Beruntung Asa sedang tak makan sesuatu. Kalau iya, pasti saat ini ia sudah tersedak karena mamanya yang begitu frontal tanpa basa-basi.
“Mama capek nunggu Abang cerita, sampai orang dari dinasti Ming dateng lagi ke sini juga Abang nggak bakal ngomong apa-apa,” gerutu Padma yang memang lebih suka bicara terang-terangan dan telak itu membuat Asa langsung mati kutu.
Asa sendiri meringis mendengar gerutuan mamanya. Beberapa hari belakangan sang mama memang sibuk menyiapkan kejutan ulang tahun untuk ayahnya. Makanya wajar kalau ia belum dibombardir pertanyaan mengenai Athalia.
Hal itulah yang menyebabkan Asa tak sadar kalau tujuan mamanya mengajaknya makan siang hari ini adalah untuk menanyakan hal tersebut.
“Nggak gimana-gimana, Ma. Dia masih baik-baik aja kayak terakhir kali aku ketemu dan dia cukup pinter untuk langsung tahu kedatanganku ke kantor Om Ksatria itu adalah ulah Mama.”
“Nah, Mama makin suka sama dia.” Mamanya tersenyum senang. “Dia pinter, Mama suka. Baik dan sopan juga.”
“Tapi dia nggak suka sama aku, Ma.”
“Itu bisa diusahakan.” Perempuan paruh baya itu mengibaskan tangan di udara dengan santai. “Kayak yang Mama sering bilang, Bang, kamu itu gampang untuk disukain orang kok. Tinggal kamu mau nggak sama dia.”
Asa tak langsung menjawab, ia memilih untuk menyantap brokoli scallop saus tiramnya.
“Atau beneran nggak mau sama Athalia?” tanya ibunya dengan penasaran. “Mau Mama kenalin sama yang lain aja, Bang?”
“Kayaknya mau itu Athalia atau orang lain, sama aja hasilnya, Ma.”
Mamanya menghela napas dan akhirnya mengangguk samar. “Yah, kita bicarakan lagi nanti kalau begitu.”
Asa menatap mamanya dengan penasaran selagi perempuan itu mulai kembali menyendok sapo pesanannya. “Mama emangnya bosen ya sama Abang? Makanya nyuruh Abang cepet-cepet cari pacar atau calon istri?”
“Bosen?” Mamanya tertawa geli. “Mana ada, Bang? Kalau Mama ngebiarin diri Mama egois sedikit aja, Mama maunya sama kamu aja terus sampai nanti meninggal, Bang. Mama cuma mikir aja dari kemarin, di usia kamu saat ini, papamu udah ketemu Mama dan kami jatuh cinta satu sama lain dalam waktu yang singkat.
“Mama tahu, semua orang prosesnya pasti beda. Tapi apa Abang nggak pernah kepikiran untuk bareng sama seseorang yang bukan adek atau orangtua Abang? Kayak Papa dan Mama gitu.”
Asa terdiam, tapi tangannya tetap bergerak menyendok makanannya. Sejujurnya, dalam beberapa kali kesempatan, Asa sempat memikirkan hal tersebut.
Ia beberapa kali membayangkan, bagaimana rasanya punya seseorang di sisinya yang akan mendengarkan ceritanya, seperti bagaimana ibunya mendengarkan semua ocehan ayahnya setiap hari?
Juga, bagaimana rasanya dibutuhkan oleh orang lain selain keluarganya? Bukannya Asa butuh sebuah ‘pengakuan’, tapi lama kelamaan ia bisa merasakan kalau… memang ia butuh seseorang di sisinya.
Hanya saja selama ini ia menolak untuk merasakannya dan mengakuinya. Denial.
“Ya udah, Abang nggak usah pikirin dulu.” Ibunya tersenyum dan mengusap pelan punggung tangan Asa. “Maaf ya, kayaknya Mama akhir-akhir ini demanding banget ke Abang.
“Tapi percaya deh, Bang, itu cuma karena Mama excited aja ngelihat kamu akhirnya sama perempuan. Kalau nanti Abang ketemu perempuan yang tepat, kapan pun itu, siapa pun dia, please, kasih tahu Mama ya.”
“Iya, Ma, pasti kok.” Asa balas menggenggam tangan mamanya. “Maaf kalau Abang belum bisa jadi kayak anak lain yang nyenengin ibunya dengan bawa calon menantu. Untuk saat ini, Abang belum kepikiran ke sana. Keluarga jadi prioritas nomor satu Abang.”
Mereka pun memutuskan untuk tidak lagi membahas Athalia atau perjodohan apa pun yang tadinya diusahakan oleh Padma untuk Asa, anaknya. Setidaknya untuk saat ini.
Usai makan siang, ibu dan anak itu berpisah di dekat eskalator karena Padma masih ingin berkeliling dan Asa harus kembali ke kantornya.
Semua berjalan seperti biasa—kecuali ketika Asa lagi-lagi melihat Athalia tengah ditarik paksa oleh seorang lelaki.
Awalnya Asa pikir ia berhalusinasi. Namun, ketika ia berjalan mendekati halusinasinya tersebut, tatapannya bertabrakan dengan Athalia yang menoleh dengan tak sengaja dan di sana ia melihat… ketakutan.
Saat itulah Asa yakin kalau ia tidak sedang berhalusinasi.
“Athalia?” panggil Asa seraya mendekat.
Athalia terkejut, lalu menggeleng dengan cepat. Ia buru-buru melengos dan hal itu bukannya membuat Asa berhenti mengejarnya—malah sebaliknya.
“Athalia!” panggil Asa lagi dengan lebih yakin.
Asa melihat lelaki yang kini menyeret Athalia, tak peduli dengan tatapan orang lain, dan Asa segera mengenalinya sebagai lelaki yang ia temui di kos Athalia.
“Hei, bisa berhenti menyeret Athalia?” Asa meraih bahu kekasih Athalia dan mencengkeramnya dengan kuat, hingga langkah kekasih Athalia itu terhenti karenanya.
“Nggak usah ikut campur urusan orang ya!” hardik Marcell, kekasih Athalia.
Sedetik kemudian lelaki itu menyadari kalau ia pernah bertemu dengan Asa sebelumnya. “Oh….” Matanya memicing, lalu ganti menatap Athalia dengan senyum sinis di wajahnya. “Ini laki-laki yang jadi simpanan kamu akhir-akhir ini? Yang tidur sama kamu di kosan waktu itu, iya?!”
“Athalia nggak serendah itu,” bantah Asa dengan cepat.Asa bahkan tak percaya kalau lelaki yang mengaku sebagai kekasih perempuan yang tangannya tengah dicengkeram erat itu, bisa menuduh Athalia dengan sangat hina.Asa memang belum benar-benar mengenal Athalia, tapi lelaki itu tahu kalau Athalia tidak seburuk yang dituduhkan Marcell.“Marcell, kita pergi yuk, sekarang,” sergah Athalia seraya menarik tangan Marcell yang sudah ingin menggapai Asa. “Dia nggak ada hubungannya sama sekali sama aku. Cuma temen kok. Kan waktu itu aku udah jelasin.”“Halah!” Marcell menepis tangan Athalia dengan kasar. “Kamu tuh udah sering bohong sama aku, Tha! Mana mungkin aku bisa percaya kamu lagi dengan mudah?”Athalia menggigit bibirnya dan menatap Asa serta Marcell secara bergantian. Kali ini Marcell melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Athalia dan mendekat pada Asa.Asa sendiri tak terlihat gentar, ia menatap Marcell dengan datar dan hal itu semakin membuat Marcell kesal karena Asa seperti t
Athalia: Hari ini hari Minggu, kamu emang nggak pergi?Asa: Nggak. Biasanya nemenin mamaku ke lapangan tembak, tapi hari ini lagi nggak mood katanya.Athalia: Ke lapangan tembak buat… nembak? Pakai senjata api?Asa: Iya, semacam itu.Athalia: Wow, keren banget Tante Padma.Asa: Kamu mau coba menembak? Aku bisa ajak kamu kalau lagi nemenin mamaku.Asa: Atau kalau kamu malu sama mamaku, kita bisa ke sana sendiri.“Abang, lagi ngapain? Bisa anterin Mama arisan nggak?”Entah untuk alasan apa, tapi Asa langsung terlonjak kaget begitu mendengar pertanyaan mamanya. Asa. yang tadinya sedang dalam posisi tengkurap di ranjang segera mengubah posisinya hingga duduk dengan cepat.Di pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka, Padma tertawa melihat tingkah anak sulungnya tersebut. “Abang kenapa? Kok kayak kaget banget?”Asa meringis.Masih dengan senyum geli di wajahnya, Padma kembali bertanya, “Abang lagi sibuk?”“Nggak.” Asa beranjak dari ranjang dan menghampiri mamanya. “Mama mau ke daerah mana
Mungkin salah juga aku masuk ke sini, harusnya aku tunggu Mama di coffee shop dekat sini, pikir Asa seraya menyesap tehnya.“Jadi Asa belum punya pacar?” tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi terlihat tertarik dengan Asa.Sepertinya di kepala ibu itu, sudah keluar nama anak, keponakan, atau mungkin cucu yang bisa ia jodohkan dengan Asa.Di sisi lain, Padma, mama Asa, tertawa kecil untuk menanggapinya. “Kalau pacar sih belum ada,” jawab Padma. Tangannya menepuk pelan bahu anaknya. “Tapi saya sih curiga kalau Asa lagi deket sama seseorang. Iyakan, Bang?”Asa berusaha tenang meskipun sang ibu sebenarnya tengah menggodanya di depan ibu-ibu yang tertarik dengannya, karena ia masuk dalam bursa perjodohan.“Iya, Ma.” Asa akhirnya menjawab singkat. Lebih baik ia menjawab begitu daripada dilepas bebas di antara banyak ibu seperti saat ini.“Oh ya?” Dari nada suaranya, salah satu ibu-ibu itu terdengar kecewa. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba ibu itu kembali berkata,
Athalia melepas jas lab-nya sembari berpikir menu apa yang ingin ia pesan.Perempuan itu terbiasa memilih menu yang inginkan sejak beberapa jam sebelum waktunya, jika ia tahu mau makan di mana. Hal itu ia lakukan untuk menghemat waktu.“Tha, makan siang di mana hari ini?” tanya Safira, salah satu rekannya sesama nose di Heavenly & Co. “Mau coba ramen yang baru buka di mall sebelah itu nggak?”“Yah, aku udah janjian sama orang, Sa.” Athalia meringis. “Next time ya.”“Sama siapa?” Safira lebih tertarik dengan siapa Athalia makan siang hari ini. Perempuan itu tersenyum menggoda Athalia. “Sama pacar ya?”“Bukan, temen kok.” Safira memang terhitung pegawai baru di lab Heavenly & Co, makanya ia belum tahu kalau Athalia sudah punya kekasih atau mengenal Marcell sebagai kekasihnya. “Duluan ya, Sa.”Safira mengiakan sembari berseru kalau semua bisa berawal dari teman terlebih dahulu dan hanya ditanggapi tawa oleh Athalia.Begitu tiba di lobi gedung, Athalia bergegas ke pelataran dan menemukan
Marcell: Aku liat-liat kamu masih pergi sama cowok itu.Marcell: Jadi kamu lebih milih dia daripada aku? Setelah semua yang aku lakuin buat kamu selama ini?Marcell: Dasar brengsek. Balas chat-ku!Marcell: Besok aku pulang, ayo kita ketemu, jalang!Athalia tak sengaja menjatuhkan ponselnya begitu selesai membaca pesan dari Marcell dan ketakutan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, ia pun langsung memilin jemarinya dengan cemas.Padahal sejak Marcell bertemu Asa untuk pertama kalinya, Athalia sudah menjelaskan siapa Asa dan bagaimana hubungannya dengan lelaki itu. Memang, sejak bertahun-tahun pacaran dengan Marcell, Athalia sudah terbiasa tak memiliki teman dekat apa
“Aku mau putus dari Marcell.”Asa baru saja menyerahkan termos berisi teh hangat yang tadi sengaja ia buat di pantry kantor kepada Athalia, ketika mendengar suara Athalia yang terdengar kering dan rapuh itu.“Kamu yakin?” tanya Asa yang tak jadi menjalankan mobilnya.Hari ini Athalia pulang agak telat karena pekerjaannya mendadak bertambah di pukul tiga sore. Asa yang tidak keberatan akan hal itu, mencicil pekerjaannya dan bahkan menyempatkan diri membuatkan minuman untuk perempuan itu.Makanya saat di pelataran lobi tidak ada mobil yang mengantre di belakang mobilnya, Asa pun tidak langsung menjalankan mobil itu dan memilih untuk menoleh kepada Athalia.Perempuan itu sendiri tengah menunduk dan memilin jemarinya dengan gelisah.
“M-Marcell?” Athalia tak bisa mengendalikan bibirnya yang gemetar saat mengucapkan nama lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya tersebut. “Katanya kamu belum pulang hari ini.”“Surprise,” sahut Marcell dengan dingin.“Gimana ceritanya kamu bisa masuk ke sini?”Tanpa menjawab pertanyaan Athalia, Marcell bangkit dari duduknya dan menghampiri Athalia yang langsung mundur begitu melihatnya.Hal itu tak luput dari pandangan Marcell dan semakin membuatnya geram. Lelaki itu segera meraih rambut Athalia dan menjambaknya dengan kencang hingga perempuan dengan pakaian serba monokrom itu berteriak kesakitan.“Bukannya jawab pertanyaanku, kamu malah nanya balik! Dasar nggak sopan!” bentak Marcell. “Selama aku
“Belum sadar juga, Ma?”Padma Hardjaja menggeleng begitu mendengar pertanyaan Asa, yang baru saja masuk ke kamar rawat inap Athalia, bertanya mengenai kondisi Athalia.“Abang udah makan?” tanya Padma pada anaknya tersebut.“Udah.” Asa mengangguk. Lelaki itu mencium punggung tangan Padma dan mengusap bahu mamanya. “Mama habis ini pulang aja, biar ganti Abang yang jagain Athalia.”“Mama bisa di sini lebih lama lagi kok.”“Nanti Mama sakit kalau tidurnya di tempat yang nggak nyaman.” Asa bersikukuh.Meskipun ranjang untuk yang menunggui pasien di kamar ini cukup nyaman, tapi tetap saja tidak senyaman ranjang di rumah.Padma pun menu