“Athalia nggak serendah itu,” bantah Asa dengan cepat.
Asa bahkan tak percaya kalau lelaki yang mengaku sebagai kekasih perempuan yang tangannya tengah dicengkeram erat itu, bisa menuduh Athalia dengan sangat hina.
Asa memang belum benar-benar mengenal Athalia, tapi lelaki itu tahu kalau Athalia tidak seburuk yang dituduhkan Marcell.
“Marcell, kita pergi yuk, sekarang,” sergah Athalia seraya menarik tangan Marcell yang sudah ingin menggapai Asa. “Dia nggak ada hubungannya sama sekali sama aku. Cuma temen kok. Kan waktu itu aku udah jelasin.”
“Halah!” Marcell menepis tangan Athalia dengan kasar. “Kamu tuh udah sering bohong sama aku, Tha! Mana mungkin aku bisa percaya kamu lagi dengan mudah?”
Athalia menggigit bibirnya dan menatap Asa serta Marcell secara bergantian. Kali ini Marcell melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Athalia dan mendekat pada Asa.
Asa sendiri tak terlihat gentar, ia menatap Marcell dengan datar dan hal itu semakin membuat Marcell kesal karena Asa seperti tengah meremehkannya.
“Nggak liat kalau Atha itu milikku?” tanya Marcell dengan arogan. “Jangan main-main sama punya orang. Kalau sampai—”
“Athalia ya hanya milik dirinya sendiri, bukan milik siapa-siapa,” sela Asa dengan datar. “Dia bukan milikmu.”
Dengan tidak sopannya, Marcell mendecakkan lidah, meremehkan omongan Asa.
Asa kembali melanjutkan dengan tenang, “Perempuan bukan barang yang bisa diklaim punya orang lain atau bahkan diperjualbelikan. Jadi kenapa kamu ngaku-ngaku begitu?”
“Brengsek!”
Marcell yang terlampau emosi bahkan hanya dengan kalimat tersebut langsung mencengkeram kerah kemeja Asa. “Udah berapa kali kamu tidur sama dia sampai bisa ngomong begitu?”
“Nggak perlu tidur sama siapa pun untuk berpikir waras.”
Kedua lelaki itu saling tatap dan hal tersebut menakutkan bagi Athalia. Athalia tak ingin Asa terlibat ke dalam masalahnya. Apalagi beberapa hari yang lalu Asa baru menanyakan pertanyaan yang enggan ia jawab.
“Marcell,” panggil Athalia dengan lebih lembut pada kekasihnya. Dengan takut-takut, ia meraih lengan Marcell. “Dia nggak ada apa-apa sama aku, aku berani sumpah. Sekarang, please, lepasin dia. Kita ngomong berdua yuk. Please….”
“Duh, diem deh kamu!” bentak Marcell bahkan di depan Asa dan semua orang yang mengelilingi mereka karena penasaran. “Selama ini kamu larang aku nyari laki-laki ini. Sekarang pas udah ketemu, mana mungkin aku lepasin gitu aja?”
“Marcell—”
“Bisa diem nggak sih?!”
Marcell membentak Athalia dan mendorongnya hingga perempuan itu jatuh tersungkur. Asa menggeram, marah saat melihat Marcell dengan gampangnya menyakiti perempuan, apalagi di tempat umum seperti ini.
Asa pun melepaskan tangan Marcell dari kerah kemejanya dengan satu sentakan keras. Hal tersebut kontan membuat Marcell semakin marah, apalagi ketika melihat Asa malah menghampiri Athalia dan membantunya untuk bangkit berdiri.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Asa kepada Athalia. Asa menatap Athalia dari puncak kepala hingga ujung kaki, memastikan kalau Athalia tidak terluka.
Tatapan Asa menggelap saat lagi-lagi mendapati bekas kemerahan di lengan Athalia.
“Aku nggak apa-apa,” jawab Athalia yang menyadarkan Asa. “Sa, please, kamu mending pergi deh. Jam makan siang hampir habis lho.”
“Oke, aku pergi sama kamu.”
“Asa?!”
“Ayo,” ajak Asa yang kali ini menggandeng tangan Athalia dengan lembut, takut kalau ia menyakiti Athalia karena sentuhannya. “Kamu mau ke kantor? Biar aku anter.”
“Nggak usah, Sa.”
“Nggak apa-apa, Tha.”
“Dia ke sini sama aku, jadi dia harus keluar dari sini juga sama aku.” Marcell berusaha melepas gandengan tangan Asa dan Athalia, tapi Asa mencegahnya.
Asa menarik Athalia agar berdiri di belakangnya, berlindung di bahu tegapnya yang berhadapan dengan Marcell.
“Saya nggak akan lepasin Athalia ke orang yang kasar kayak kamu,” jawab Asa dengan datar dan formal.
Dengan rahang yang mengetat karena emosi, Marcell melayangkan kepalan tangannya ke arah Asa.
Asa sudah mengantipisasi hal tersebut, matanya cukup jeli untuk melihat tangan Marcell yang terarah padanya sehingga ia bisa mengelak dengan cepat.
Kerumunan yang semakin menjadi membuat satpam yang tak jauh dari sana langsung menghampiri mereka, apalagi setelah mendengar kesiap serta pekik ketakutan saat Marcell hendak meninju Asa.
“Atha, ayo!” bentak Marcell pada Athalia ketika sadar ada dua orang satpam tengah berjalan ke arah mereka.
Athalia menggeleng takut-takut. Athalia merasa ngeri kalau-kalau Asa akan dihajar oleh Marcell dan ia akan melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi, tapi rasanya saat ini ia semakin takut untuk memilih bersama dengan kekasihnya itu.
Belum apa-apa, Athalia sudah membayangkan bagaimana nanti Marcell akan menghukumnya.
Pertama, karena pertengkaran mereka sebelumnya. Kedua, karena mereka bertemu dengan Asa dan Marcell tidak suka dengan lelaki yang kini tengah melindunginya.
Pasti tidak akan menjadi hari yang mudah untuknya….
“Kamu boleh pergi sama dia, tapi setelah ngobrol sama satpam.”
Ancaman yang dikeluarkan Asa tentu saja membuat Marcell jiper. Saksi mata yang menyaksikan dirinya hampir meninju Asa terlalu banyak.
Maka dari itu Marcell hanya bisa menggeram dan menatap Athalia dengan penuh ancaman, lalu pergi dari sana dengan terburu-buru.
Satpam tersebut berusaha menghadang Marcell, tapi tak berhasil karena Marcell nyaris berlari. Asa pun menjelaskan kronologinya pada satpam yang kemudian menghampiri mereka dan tak butuh waktu lama untuk kerumunan itu bubar, menyisakan hanya ia dan Athalia setelah satpam tersebut kembali ke tempatnya semula.
Asa berbalik, ia menatap Athalia dengan tatapan menyelidik lalu berkata, “Aku bukannya mau menghakimi kamu, tapi apa yang terjadi hari ini sebenernya udah jadi jawabanku beberapa hari yang lalu.”
Athalia menunduk, tak tahu harus berkata apa.
“Kamu mau ke kantor?” tanya Asa lagi.
“Iya.”
“Ya udah, aku anterin.”
“Tapi kamu—"
“Mamaku pasti akan merayu papaku atau semua orang yang akan marahin aku kalau aku telat nanti,” bantah Asa langsung. “No excuse, Tha. Setidaknya untuk hari ini.”
Dengan lembut, Asa kembali menggandeng Athalia dan mereka berdua berjalan menuju di mana mobil Asa terparkir.
“Mamaku suka banget sama kamu dan terlepas dari perjodohan yang dia coba buat, kalau dia ada di sini, dia pasti juga akan minta aku anterin kamu.”
“Aku….” Athalia menatap gandengan tangan mereka selagi keduanya berjalan beriringan. “Makasih, Sa. Lagi-lagi kamu nolongin aku.”
“Sama-sama, Tha.” Asa menyahut pelan. “Semoga pertemuan kita selanjutnya nggak dalam keadaan kayak gini ya. Aku nggak suka ngeliat kamu dipandang sebelah mata kayak gitu.”
“Iya….”
“Tha.”
“Iya, Sa?”
“Apa kamu keberatan untuk ngasih tahu aku, apa yang bikin kamu bertahan sama orang yang bahkan nggak mau dengerin kata-kata kamu?”
***
Tidak pernah ada yang menanyakan apa alasan Athalia bertahan dengan Marcell, selembut Asa. Semua temannya pasti menyisipkan umpatan terlebih dahulu, baru mereka bertanya dengan frustasi.
Apa sih yang membuatnya bertahan dengan Marcell?
Karena selama ini yang selalu ada untuknya adalah Marcell.
Di keluarganya, Athalia tidak punya siapa-siapa. Orangtuanya bercerai dan karena sang ibu ketahuan selingkuh hingga ayahnya mempertanyakan, apakah Athalia adalah anaknya atau bukan.
Dengan sakit hati yang luar biasa karena diragukan, Athalia terpaksa menjalani tes DNA saat SMP dan hasilnya adalah ia memang anak ayahnya. Bukan selingkuhan sang ibu yang ternyata selama ini jadi bayang-bayang di keluarga mereka.
Perselingkuhan ibunya berlangsung cukup lama, sepertinya sejak kakaknya kecil atau beberapa tahun setelah ia lahir. Maka dari itu saat semuanya terungkap hampir bertahun-tahun setelahnya, sang ayah meragukan status Athalia.
Apalagi Athalia benar-benar mirip dengan ibunya dan hampir tidak menyisakan sedikit pun tempat untuk kemiripannya dengan sang ayah.
Walau ia adalah anak ayahnya, perceraian itu tetap terjadi dan di sinilah ia sekarang. Tidak punya siapa-siapa untuk bergantung atau bersandar, kecuali Marcell.
Yang kadang suka ‘lupa’ kalau Athalia adalah manusia berperasaan, bukan samsak yang bisa ditinju kapan saja.
“No one will ever love me the way he did,” bisik Athalia. Perempuan itu melirik Asa yang tengah menyetir dan segera menoleh kepadanya begitu mendengar suara Athalia.
“Itu kenapa aku bertahan sama Marcell,” lanjut Athalia lagi. “Selama ini, aku nggak punya siapa-siapa selain dia. Dulu dia nggak seburuk ini kok. Tapi yah… baru belakangan ini aja dia kayaknya stress sama pekerjaan dan ibunya yang nggak restuin kami, makanya dia begitu.”
“Kalau aku boleh tahu, kenapa ibunya nggak restuin kalian?”
“Karena latar belakangku.” Athalia meringis. “Keluarga Marcell termasuk keluarga yang berada, sedangkan latar belakangku bukan sesuatu yang bisa dipuji. Orangtua bercerai, aku tinggal sendiri sejak SMA, mamaku udah tiga kali menikah dan suaminya yang sekarang itu lebih muda enam tahun dari dia.
“Makanya jujur, awalnya aku nggak percaya mamaku kenal seorang Padma Hardjaja dan Tante Padma mau ‘mengenalkan’ aku sama kamu.” Athalia kembali mengenang pertemuan pertamanya dengan Asa.
Saat ia memasuki gerai Excelso di sore yang berhujan tersebut, Athalia pikir sang ibu tengah mengerjainya. Masa iya seorang anak sulung dari keluarga Tanaka mau bertemu dengannya yang bukan siapa-siapa ini?
Namun, di sanalah Angkasa Nirada Tanaka, duduk dalam diam bahkan dengan ketenangannya yang terjaga baik saat Athalia menghampirinya.
“Aku tahu seharusnya aku nggak sok pintar begini, karena mungkin dibanding kamu, aku masih sangat minim pengalamannya,” gumam Asa usai Athalia terdiam beberapa saat setelah mengakhiri ceritanya.
“You deserve better, Tha. Di luar sana pasti ada orang yang akan mencintai kamu dengan baik dan layak, juga lebih besar daripada perasaan Marcell ke kamu. Pasangan yang kasar dan bahkan nggak mikirin keselamatan kamu itu jelas-jelas adalah red flag.”
“Dia selalu minta maaf setelah kayak gitu kok.”
Asa mencoba bersabar. “Buat apa minta maaf tapi selalu diulangin, Tha? Aku bukannya nakut-nakutin kamu, tapi apa kamu mau sekarat di tangan pacarmu hanya karena sesuatu yang mungkin bukan kesalahan kamu?
“Apa kamu menilai diri kamu serendah itu, Tha? Karena bagi aku yang orang asing di kehidupanmu aja, kamu jauh lebih berharga dari sekadar samsak hidup.”
Sejak pacaran dengan Marcell, teman Athalia yang sudah sedikit jadi semakin sedikit. Marcell awalnya membatasi dengan siapa Athalia boleh bergaul, tapi lama kelamaan Athalia benar-benar stuck berdua dengan Marcell dan semua temannya pergi entah ke mana.
Ada yang sibuk dengan kehidupannya sendiri, ada juga yang memang sudah bosan melihat Athalia bertahan dengan Marcell.
“Aku….” Athalia menatap jemarinya dengan bingung. Tatapannya kemudian berpindah pada pergelangan tangannya yang memerah.
Apa ia seberharga itu? Belakangan ini Marcell membuatnya berpikir kalau ia tak berharga jika ia tak bersama dengan Marcell.
“Udah, nggak usah dipikirin,” kata Asa saat Athalia termenung menatap tangannya.
Tangan kiri Asa melepas stir mobil dan terangkat menuju kepala Athalia. Tangannya sempat berhenti di udara, ragu apakah sentuhannya bisa diterima atau tidak oleh Athalia.
Namun, mengingat bagaimana Marcell menyakiti Athalia dengan enteng dan tanpa beban, Asa meneruskan gerakannya dan mengusap puncak kepala Athalia dengan lembut.
Asa ingin Athalia tahu kalau ia layak diperlakukan dengan baik dan lembut. Setiap sentuhan yang ia terima harusnya bukan pukulan atau kekerasan lainnya yang meninggalkan bekas, baik di tubuhnya atau di hatinya.
Sementara itu, Athalia langsung membeku di tempatnya saat tangan Asa yang besar menangkup puncak kepalanya, lalu bergerak mengusap dengan pelan dan konstan. Athalia menoleh, mendapati Asa yang sesekali meliriknya, lalu fokus kembali pada jalan raya di depan.
“Mungkin kita nggak bisa jadi pasangan kayak yang mamaku harapkan. Tapi apa kamu mau temenan sama aku?” tanya Asa pada Athalia dengan serius.
“Apa kamu mau temenan sama aku karena kasihan sama aku?”
“Aku nggak kasihan sama kamu, Tha.” Asa tersenyum dan menarik tangannya kembali dari puncak kepala Athalia. “Tapi setelah beberapa kali ketemu, kayaknya kita akan selalu ketemu karena ‘kebetulan’ dan sejauh ini, kita lumayan cocok jadi temen. Menurut kamu gimana?”
“Kamu mau temenan sama aku?” tanya Athalia masih tak percaya. Kemudian Athalia tertawa getir. “Temen-temenku aja udah capek temenan sama aku selama aku masih sama Marcell.”
“Aku kan bukan temen-temenmu, siapa tahu aku lebih kuat untuk bertahan sama kamu meskipun kamu tetap memilih sama Marcell,” tawar Asa.
Yang tidak Athalia (bahkan Asa sendiri) ketahui adalah tawaran itu bersifat spontan dan sesungguhnya Asa ingin melindungi Athalia dari Marcell.
Atau dari semua orang yang ingin menyakitinya.
Baru kali ini Asa memiliki keinginan tersebut dan ia tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk merepresentasikan perasaannya.
Di sisi lain, Athalia tertawa kecil ketika mendengar jawaban Asa yang malah terdengar polos seperti anak kecil.
Asa juga terdengar tulus….
“Baru kali ini aku ketemu laki-laki kayak kamu,” komentar Athalia.
“Kayak aku tuh kayak gimana maksudnya?”
“Yang tulus dan kayak nggak punya tendensi apa pun.”
Keduanya tak sengaja menoleh secara bersamaan lalu bertukar senyum kecil.
Tak sampai setengah jam kemudian, mobil yang dikemudikan Asa tiba di depan gedung Heavenly & Co.
“Kamu beneran nggak apa-apa balik kerja setelah kejadian tadi?” Asa menatap Athalia yang melepas seat belt-nya dengan khawatir.
“Nggak apa-apa kok.”
Asa masih terlihat ragu meski Athalia menjawabnya dengan yakin. “Nanti pulangnya kamu gimana? Apa Marcell akan datengin kamu lagi?”
Raut wajah Athalia langsung berubah mendung ketika sadar kalau Marcell memang bisa saja tiba-tiba muncul di kantornya usai pulang kerja. Marcell memang akan selalu menemukannya, tak peduli ke mana pun Athalia pergi.
Satu-satunya cara ya lepas dari dia, Tha. Tapi apa kamu siap? pikir Athalia dengan muram.
“Nggak apa-apa kok, aku nanti pulang bareng temenku yang searah,” dusta Athalia. “Makasih ya udah anterin aku sampai kantor.”
“Sama-sama.” Asa mengangguk.
Athalia keluar dari mobil dan sudah melangkah menuju lobi kantornya, tapi ia segera berbalik dan menemukan Asa masih menatap ke arahnya, menunggunya sampai benar-benar masuk ke gedung.
Begitu melihat Athalia menghampirinya lagi, Asa langsung menurunkan kaca jendela mobilnya. “Ada yang ketinggalan, Tha?”
“Mm…. Aku nggak tahu apa orang setua kita masih cocok untuk ngomongin hal ini atau nggak, tapi….” Kedua manik mata Athalia menatap mata Asa yang warna maniknya sangat cerah dan jernih. “Ayo, kita temenan.”
Asa tersenyum dan mengangguk. Keduanya lupa, semua hubungan romantis pun berawal dari sebuah pertemanan.
Athalia: Hari ini hari Minggu, kamu emang nggak pergi?Asa: Nggak. Biasanya nemenin mamaku ke lapangan tembak, tapi hari ini lagi nggak mood katanya.Athalia: Ke lapangan tembak buat… nembak? Pakai senjata api?Asa: Iya, semacam itu.Athalia: Wow, keren banget Tante Padma.Asa: Kamu mau coba menembak? Aku bisa ajak kamu kalau lagi nemenin mamaku.Asa: Atau kalau kamu malu sama mamaku, kita bisa ke sana sendiri.“Abang, lagi ngapain? Bisa anterin Mama arisan nggak?”Entah untuk alasan apa, tapi Asa langsung terlonjak kaget begitu mendengar pertanyaan mamanya. Asa. yang tadinya sedang dalam posisi tengkurap di ranjang segera mengubah posisinya hingga duduk dengan cepat.Di pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka, Padma tertawa melihat tingkah anak sulungnya tersebut. “Abang kenapa? Kok kayak kaget banget?”Asa meringis.Masih dengan senyum geli di wajahnya, Padma kembali bertanya, “Abang lagi sibuk?”“Nggak.” Asa beranjak dari ranjang dan menghampiri mamanya. “Mama mau ke daerah mana
Mungkin salah juga aku masuk ke sini, harusnya aku tunggu Mama di coffee shop dekat sini, pikir Asa seraya menyesap tehnya.“Jadi Asa belum punya pacar?” tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi terlihat tertarik dengan Asa.Sepertinya di kepala ibu itu, sudah keluar nama anak, keponakan, atau mungkin cucu yang bisa ia jodohkan dengan Asa.Di sisi lain, Padma, mama Asa, tertawa kecil untuk menanggapinya. “Kalau pacar sih belum ada,” jawab Padma. Tangannya menepuk pelan bahu anaknya. “Tapi saya sih curiga kalau Asa lagi deket sama seseorang. Iyakan, Bang?”Asa berusaha tenang meskipun sang ibu sebenarnya tengah menggodanya di depan ibu-ibu yang tertarik dengannya, karena ia masuk dalam bursa perjodohan.“Iya, Ma.” Asa akhirnya menjawab singkat. Lebih baik ia menjawab begitu daripada dilepas bebas di antara banyak ibu seperti saat ini.“Oh ya?” Dari nada suaranya, salah satu ibu-ibu itu terdengar kecewa. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba ibu itu kembali berkata,
Athalia melepas jas lab-nya sembari berpikir menu apa yang ingin ia pesan.Perempuan itu terbiasa memilih menu yang inginkan sejak beberapa jam sebelum waktunya, jika ia tahu mau makan di mana. Hal itu ia lakukan untuk menghemat waktu.“Tha, makan siang di mana hari ini?” tanya Safira, salah satu rekannya sesama nose di Heavenly & Co. “Mau coba ramen yang baru buka di mall sebelah itu nggak?”“Yah, aku udah janjian sama orang, Sa.” Athalia meringis. “Next time ya.”“Sama siapa?” Safira lebih tertarik dengan siapa Athalia makan siang hari ini. Perempuan itu tersenyum menggoda Athalia. “Sama pacar ya?”“Bukan, temen kok.” Safira memang terhitung pegawai baru di lab Heavenly & Co, makanya ia belum tahu kalau Athalia sudah punya kekasih atau mengenal Marcell sebagai kekasihnya. “Duluan ya, Sa.”Safira mengiakan sembari berseru kalau semua bisa berawal dari teman terlebih dahulu dan hanya ditanggapi tawa oleh Athalia.Begitu tiba di lobi gedung, Athalia bergegas ke pelataran dan menemukan
Marcell: Aku liat-liat kamu masih pergi sama cowok itu.Marcell: Jadi kamu lebih milih dia daripada aku? Setelah semua yang aku lakuin buat kamu selama ini?Marcell: Dasar brengsek. Balas chat-ku!Marcell: Besok aku pulang, ayo kita ketemu, jalang!Athalia tak sengaja menjatuhkan ponselnya begitu selesai membaca pesan dari Marcell dan ketakutan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, ia pun langsung memilin jemarinya dengan cemas.Padahal sejak Marcell bertemu Asa untuk pertama kalinya, Athalia sudah menjelaskan siapa Asa dan bagaimana hubungannya dengan lelaki itu. Memang, sejak bertahun-tahun pacaran dengan Marcell, Athalia sudah terbiasa tak memiliki teman dekat apa
“Aku mau putus dari Marcell.”Asa baru saja menyerahkan termos berisi teh hangat yang tadi sengaja ia buat di pantry kantor kepada Athalia, ketika mendengar suara Athalia yang terdengar kering dan rapuh itu.“Kamu yakin?” tanya Asa yang tak jadi menjalankan mobilnya.Hari ini Athalia pulang agak telat karena pekerjaannya mendadak bertambah di pukul tiga sore. Asa yang tidak keberatan akan hal itu, mencicil pekerjaannya dan bahkan menyempatkan diri membuatkan minuman untuk perempuan itu.Makanya saat di pelataran lobi tidak ada mobil yang mengantre di belakang mobilnya, Asa pun tidak langsung menjalankan mobil itu dan memilih untuk menoleh kepada Athalia.Perempuan itu sendiri tengah menunduk dan memilin jemarinya dengan gelisah.
“M-Marcell?” Athalia tak bisa mengendalikan bibirnya yang gemetar saat mengucapkan nama lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya tersebut. “Katanya kamu belum pulang hari ini.”“Surprise,” sahut Marcell dengan dingin.“Gimana ceritanya kamu bisa masuk ke sini?”Tanpa menjawab pertanyaan Athalia, Marcell bangkit dari duduknya dan menghampiri Athalia yang langsung mundur begitu melihatnya.Hal itu tak luput dari pandangan Marcell dan semakin membuatnya geram. Lelaki itu segera meraih rambut Athalia dan menjambaknya dengan kencang hingga perempuan dengan pakaian serba monokrom itu berteriak kesakitan.“Bukannya jawab pertanyaanku, kamu malah nanya balik! Dasar nggak sopan!” bentak Marcell. “Selama aku
“Belum sadar juga, Ma?”Padma Hardjaja menggeleng begitu mendengar pertanyaan Asa, yang baru saja masuk ke kamar rawat inap Athalia, bertanya mengenai kondisi Athalia.“Abang udah makan?” tanya Padma pada anaknya tersebut.“Udah.” Asa mengangguk. Lelaki itu mencium punggung tangan Padma dan mengusap bahu mamanya. “Mama habis ini pulang aja, biar ganti Abang yang jagain Athalia.”“Mama bisa di sini lebih lama lagi kok.”“Nanti Mama sakit kalau tidurnya di tempat yang nggak nyaman.” Asa bersikukuh.Meskipun ranjang untuk yang menunggui pasien di kamar ini cukup nyaman, tapi tetap saja tidak senyaman ranjang di rumah.Padma pun menu
“Aku kapan dibolehin pulang, Sa?”“Kata dokter masih beberapa hari lagi.”“Lama banget.”Asa tersenyum lembut melihat bagaimana Athalia cemberut karena jawabannya. “Kenapa? Udah bosen di sini?”“Iya.” Athalia mengangguk pelan. “Aku seneng sih selalu ada yang nemenin aku, tapi kamu tahu kan… rasanya beda. Tetep aja ini rumah sakit.”“Iya, aku tahu. Nanti kita coba tanya dokter lagi ya?”Begitu mendengar tawaran Asa, kedua manik mata Athalia langsung berbinar senang. “Iya, nanti kita tanya ke dokter ya, aku udah mendingan kok.”Asa mengiakan saja. Tetapi, lelaki itu tahu kalau beberapa kali Athalia me
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel