“Aku kapan dibolehin pulang, Sa?”
“Kata dokter masih beberapa hari lagi.”
“Lama banget.”
Asa tersenyum lembut melihat bagaimana Athalia cemberut karena jawabannya. “Kenapa? Udah bosen di sini?”
“Iya.” Athalia mengangguk pelan. “Aku seneng sih selalu ada yang nemenin aku, tapi kamu tahu kan… rasanya beda. Tetep aja ini rumah sakit.”
“Iya, aku tahu. Nanti kita coba tanya dokter lagi ya?”
Begitu mendengar tawaran Asa, kedua manik mata Athalia langsung berbinar senang. “Iya, nanti kita tanya ke dokter ya, aku udah mendingan kok.”
Asa mengiakan saja. Tetapi, lelaki itu tahu kalau beberapa kali Athalia me
Athalia tahu kalau ia bukan anak yang disayang oleh kedua orangtuanya, tapi mendengar apa yang ibunya katakan dua hari yang lalu, tentu membuat kondisinya jadi kembali menurun.Seharusnya ia bisa pulang kemarin, tapi dokter dan Asa meminta Athalia untuk tinggal agak lebih lama sampai kondisinya benar-benar membaik.Meski nyatanya, Athalia tak tahu definisi ‘membaik’ itu seperti apa. Tubuhnya kadang masih terasa sakit, meski lebih seringnya ia merasa baik-baik saja. Berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya, Athalia justru merasakan kekosongan yang menderanya begitu dalam.“Hai.”Sapaan hangat itu tentu saja membuat Athalia secara otomatis tersenyum dan menoleh ke sumber suara. Asa datang dengan membawa dua gelas kertas berisi kopi yang masih hangat.
Athalia memicingkan matanya begitu Asa masuk ke kamar rawat inap yang selama beberapa hari ini ia tempati.“Kamu nggak dateng sendiri ya?” tanya Athalia dengan curiga.Asa tak tahu kalau insting Athalia bisa sekuat itu. Akhirnya Asa membuka pintu kamar Athalia dengan lebih lebar untuk memperlihatkan sosok Ilana dan Meisie yang terkikik geli.“Surprise!” pekik Ilana dengan senang. “Hari ini kita mau anter Mbak Atha pulang.”“Astaga….” Athalia hanya bisa mendesah pelan. “Kalian padahal nggak perlu repot-repot dateng ke sini lho.”“Nggak repot kok, Mbak. Kan Bang Asa yang nyetir,” sahut Meisie dengan kalem seperti biasanya.Asa membiarkan kedua adiknya
“Jadi Atha nggak pindah ke sini, Bang?”Di belakang Asa, Ilana dan Meisie terkikik geli begitu mereka tiba di rumah dan ayah mereka langsung menanyakan hal tersebut kepada si sulung Tanaka.“Nggak, Pa.” Asa menjawab dengan kalem.Lelaki itu mencium punggung tangan orangtuanya secara bergantian dan duduk di salah satu kursi rotan yang ada di teras belakang rumahnya.Ayah dan ibunya memang sering duduk-duduk santai di sini kalau sedang senggang. Jadi tak heran kalau hari ini ruang tengah terasa lengang dan Asa menemukan orangtuanya ada di teras belakang.“Yah….” Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan anggun di sebelah ayah kandung Asa itu mendesah pelan. “Kok nggak pindah, Bang? Aman nggak sih kosannya? Mama agak
“Udah sarapan?” tanya Asa begitu Athalia masuk ke mobilnya.Athalia menggeleng. “Belum sih, tapi aku bawa Fitbar kok.”Asa mengernyit tak setuju. “Sarapan apaan pakai Fitbar?” Kali ini giliran lelaki itu yang menggeleng. “Kamu nggak mual kan makan di mobil?”“Nggak kok. Kenapa?” Mereka beberapa kali membeli makanan di tempat yang ramai dan tak dapat tempat, jadi Asa dan Athalia kerap kali makan di mobil.Asa mengulurkan tangannya ke belakang dan mengambil tas berisi dua kotak makan siang dari Tupperware milik ibunya.“Ada sandwich bikinan mamaku dan buah yang disiapin khusus sama Ilana dan Meisie.” Asa terkekeh geli ketika ingat bagaimana heboh dua adiknya tersebut pagi ini. “Dimak
“Biasanya Papa ngapain kalau Mama lagi kelihatan jenuh?”“Dicium,” jawab Badai Tanaka dengan spontan ketika mendengar pertanyaan anak sulungnya tersebut.Asa menghela napasnya dalam-dalam ketika ayahnya tertawa saat melihat ekspresi Asa begitu mendengar jawabannya.“Aku serius nanyanya, Pa.”“Emang Mama lagi jenuh?” Badai kembali mengelap koleksi botol wine-nya yang baru datang hari ini. “Papa juga jawabnya serius, Bang.”Saking sebalnya, Asa menggerutu tanpa sadar, “Masa aku cium Athalia sih?”“Oh….” Badai menoleh dan menatap anaknya dengan tatapan menggoda. “Jadi Abang lagi cari cara untuk hibur Atha?”
“Nggak apa-apa kan makan di sini?”“Harusnya aku yang nanya gitu ke kamu. Kan yang ngasih ide makan di sini itu aku,” imbuh Athalia ketika Asa baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir, yang tak jauh dari tujuan mereka saat ini—Pujasera Blok S.Sebenarnya sejak Asa mengajak Athalia makan malam, keduanya tak punya ide mau ke mana. Mereka menelusuri jalan yang ada dan rata-rata restoran yang ada di kawasan Senopati itu terlihat sangat ramai.Beberapa kali Asa turun dan harus kembali lagi ke mobilnya, ketika diberi tahu kalau restoran itu sudah penuh dan waiting list-nya cukup panjang.Tadinya Asa berniat mengajak Athalia ke tempat lain, tapi bunyi perut keduanya yang cukup lantang membuat mereka berdua tertawa dan Athalia memberi ide untuk makan di Pujasera Blok S, yan
“Habis ini kamu masih mau ketemu aku?”“Eh?” Athalia mengernyit bingung. “Kenapa? Kok nanyanya begitu?”Asa tertawa malu, tak menyangka kalau ia akan menanyakan hal tersebut pada Athalia, tapi ia memang tak bisa mencegah ketakutannya itu.“Masa kecilku di saat itu bisa dibilang mengerikan, Tha,” terang Asa. “Aku nggak akan marah kalau setelah ini kamu lari dari aku.”Asa takut ditinggalkan saat seseorang mengetahui bagaimana hidup yang selama ini ia jalani.Di Pujasera Blok S tadi, Asa menceritakan sebagian kisahnya pada Athalia. Tentang bagaimana ia hadir di dunia ini dan ditolak kehadirannya oleh sang ibu kandung.Lalu tentang bagaimana ia menyaksikan ibunya bunuh diri dan me
Lebih dari seminggu telah berlalu sejak obrolan mereka di Pujasera Blok S dan Asa akhirnya benar-benar yakin, kalau Athalia tak akan pergi darinya hanya karena ia punya kisah masa kecil yang tak seindah anak-anak lain.“Athalia,” panggil Asa saat Athalia tengah sibuk melihat-lihat rak buku di The Reading Room, sebuah kafe di kawasan Kemang yang punya banyak buku untuk dibaca selagi mereka di sana.Jumat malam ini Asa mengajak Athalia pergi keluar setelah pulang bekerja, lalu Athalia menyarankan supaya mereka ke kafe ini.Athalia mengatakan kalau dulu ia sering mampir ke sini, sendirian, hanya berteman buku yang ia pilih secara acak dan makanan favoritnya.Kafe itu dimiliki oleh seorang penulis dan sutradara terkenal, Richard Oh. Awalnya Athalia pun
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel