Athalia melepas jas lab-nya sembari berpikir menu apa yang ingin ia pesan.Perempuan itu terbiasa memilih menu yang inginkan sejak beberapa jam sebelum waktunya, jika ia tahu mau makan di mana. Hal itu ia lakukan untuk menghemat waktu.“Tha, makan siang di mana hari ini?” tanya Safira, salah satu rekannya sesama nose di Heavenly & Co. “Mau coba ramen yang baru buka di mall sebelah itu nggak?”“Yah, aku udah janjian sama orang, Sa.” Athalia meringis. “Next time ya.”“Sama siapa?” Safira lebih tertarik dengan siapa Athalia makan siang hari ini. Perempuan itu tersenyum menggoda Athalia. “Sama pacar ya?”“Bukan, temen kok.” Safira memang terhitung pegawai baru di lab Heavenly & Co, makanya ia belum tahu kalau Athalia sudah punya kekasih atau mengenal Marcell sebagai kekasihnya. “Duluan ya, Sa.”Safira mengiakan sembari berseru kalau semua bisa berawal dari teman terlebih dahulu dan hanya ditanggapi tawa oleh Athalia.Begitu tiba di lobi gedung, Athalia bergegas ke pelataran dan menemukan
Marcell: Aku liat-liat kamu masih pergi sama cowok itu.Marcell: Jadi kamu lebih milih dia daripada aku? Setelah semua yang aku lakuin buat kamu selama ini?Marcell: Dasar brengsek. Balas chat-ku!Marcell: Besok aku pulang, ayo kita ketemu, jalang!Athalia tak sengaja menjatuhkan ponselnya begitu selesai membaca pesan dari Marcell dan ketakutan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, ia pun langsung memilin jemarinya dengan cemas.Padahal sejak Marcell bertemu Asa untuk pertama kalinya, Athalia sudah menjelaskan siapa Asa dan bagaimana hubungannya dengan lelaki itu. Memang, sejak bertahun-tahun pacaran dengan Marcell, Athalia sudah terbiasa tak memiliki teman dekat apa
“Aku mau putus dari Marcell.”Asa baru saja menyerahkan termos berisi teh hangat yang tadi sengaja ia buat di pantry kantor kepada Athalia, ketika mendengar suara Athalia yang terdengar kering dan rapuh itu.“Kamu yakin?” tanya Asa yang tak jadi menjalankan mobilnya.Hari ini Athalia pulang agak telat karena pekerjaannya mendadak bertambah di pukul tiga sore. Asa yang tidak keberatan akan hal itu, mencicil pekerjaannya dan bahkan menyempatkan diri membuatkan minuman untuk perempuan itu.Makanya saat di pelataran lobi tidak ada mobil yang mengantre di belakang mobilnya, Asa pun tidak langsung menjalankan mobil itu dan memilih untuk menoleh kepada Athalia.Perempuan itu sendiri tengah menunduk dan memilin jemarinya dengan gelisah.
“M-Marcell?” Athalia tak bisa mengendalikan bibirnya yang gemetar saat mengucapkan nama lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya tersebut. “Katanya kamu belum pulang hari ini.”“Surprise,” sahut Marcell dengan dingin.“Gimana ceritanya kamu bisa masuk ke sini?”Tanpa menjawab pertanyaan Athalia, Marcell bangkit dari duduknya dan menghampiri Athalia yang langsung mundur begitu melihatnya.Hal itu tak luput dari pandangan Marcell dan semakin membuatnya geram. Lelaki itu segera meraih rambut Athalia dan menjambaknya dengan kencang hingga perempuan dengan pakaian serba monokrom itu berteriak kesakitan.“Bukannya jawab pertanyaanku, kamu malah nanya balik! Dasar nggak sopan!” bentak Marcell. “Selama aku
“Belum sadar juga, Ma?”Padma Hardjaja menggeleng begitu mendengar pertanyaan Asa, yang baru saja masuk ke kamar rawat inap Athalia, bertanya mengenai kondisi Athalia.“Abang udah makan?” tanya Padma pada anaknya tersebut.“Udah.” Asa mengangguk. Lelaki itu mencium punggung tangan Padma dan mengusap bahu mamanya. “Mama habis ini pulang aja, biar ganti Abang yang jagain Athalia.”“Mama bisa di sini lebih lama lagi kok.”“Nanti Mama sakit kalau tidurnya di tempat yang nggak nyaman.” Asa bersikukuh.Meskipun ranjang untuk yang menunggui pasien di kamar ini cukup nyaman, tapi tetap saja tidak senyaman ranjang di rumah.Padma pun menu
“Aku kapan dibolehin pulang, Sa?”“Kata dokter masih beberapa hari lagi.”“Lama banget.”Asa tersenyum lembut melihat bagaimana Athalia cemberut karena jawabannya. “Kenapa? Udah bosen di sini?”“Iya.” Athalia mengangguk pelan. “Aku seneng sih selalu ada yang nemenin aku, tapi kamu tahu kan… rasanya beda. Tetep aja ini rumah sakit.”“Iya, aku tahu. Nanti kita coba tanya dokter lagi ya?”Begitu mendengar tawaran Asa, kedua manik mata Athalia langsung berbinar senang. “Iya, nanti kita tanya ke dokter ya, aku udah mendingan kok.”Asa mengiakan saja. Tetapi, lelaki itu tahu kalau beberapa kali Athalia me
Athalia tahu kalau ia bukan anak yang disayang oleh kedua orangtuanya, tapi mendengar apa yang ibunya katakan dua hari yang lalu, tentu membuat kondisinya jadi kembali menurun.Seharusnya ia bisa pulang kemarin, tapi dokter dan Asa meminta Athalia untuk tinggal agak lebih lama sampai kondisinya benar-benar membaik.Meski nyatanya, Athalia tak tahu definisi ‘membaik’ itu seperti apa. Tubuhnya kadang masih terasa sakit, meski lebih seringnya ia merasa baik-baik saja. Berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya, Athalia justru merasakan kekosongan yang menderanya begitu dalam.“Hai.”Sapaan hangat itu tentu saja membuat Athalia secara otomatis tersenyum dan menoleh ke sumber suara. Asa datang dengan membawa dua gelas kertas berisi kopi yang masih hangat.
Athalia memicingkan matanya begitu Asa masuk ke kamar rawat inap yang selama beberapa hari ini ia tempati.“Kamu nggak dateng sendiri ya?” tanya Athalia dengan curiga.Asa tak tahu kalau insting Athalia bisa sekuat itu. Akhirnya Asa membuka pintu kamar Athalia dengan lebih lebar untuk memperlihatkan sosok Ilana dan Meisie yang terkikik geli.“Surprise!” pekik Ilana dengan senang. “Hari ini kita mau anter Mbak Atha pulang.”“Astaga….” Athalia hanya bisa mendesah pelan. “Kalian padahal nggak perlu repot-repot dateng ke sini lho.”“Nggak repot kok, Mbak. Kan Bang Asa yang nyetir,” sahut Meisie dengan kalem seperti biasanya.Asa membiarkan kedua adiknya