Share

BAB 5 - Kali Ketiga Kita Bertemu

Athalia memasuki gedung kantornya sambil mengusap tengkuk dengan gelisah. Ia tak bisa menghentikan kebiasaan ini—Athalia selalu mengusap tengkuknya tanpa alasan ketika merasa resah atau memikirkan hal yang tak ada ujungnya.

“Athalia?”

Teman-teman kantornya biasa memanggil Athalia dengan ‘Atha’. Alasannya sederhana, karena lebih singkat.

Jadi, ketika ia mendengar seseorang yang memanggilnya dengan ‘Athalia’ di sekitar kantornya, perempuan itu tak langsung menyadari kalau panggilan itu ditujukan untuknya.

Sampai kemudian seseorang menepuk bahunya dan membuat Athalia menghentikan langkahnya.

Perpaduan aroma woody dengan patchouli, clary sage, dan amber yang Athalia cukup kenali karena ada aroma lainnya yang bercampur dan menjadikannya unik tersebut, mengingatkan Athalia pada seseorang.

Athalia berbalik sambil berdoa kalau untuk sekali ini saja, indra penciumannya salah.

"Asa?” Athalia menatap Asa dengan terkejut.

Tebakannya benar. Pemilik aroma yang mengingatkan Athalia pada salah satu parfum Bvlgari tersebut adalah Asa, Angkasa Nirada Tanaka. Lelaki yang dikenalkan padanya untuk kencan buta dan diharapkan akan jadi pasangannya.

Athalia langsung menatap lelaki yang ada di hadapannya dengan saksama, lalu menatap ke sekelilingnya. Siapa tahu ternyata ia sedari tadi asyik melamun dan ternyata salah masuk gedung.

Seingatnya, gedung milik Sadira Group ada di kawasan yang berbeda dengan Heavenly & Co, perusahaan keluarga Abimayu yang bergerak di bidang pembuatan parfum dan wewangian lainnya.

“Ternyata aku nggak salah orang,” kata Asa yang langsung membuyarkan lamunan Athalia. Lelaki itu melirik lanyard yang dikalungi oleh Athalia. “Kamu kerja di Heavenly & Co?”

“Iya, aku nose di Heavenly,” jawab Athalia. Ketika Asa tak kunjung menyahut dalam sepuluh detik, barulah Athalia sadar kalau Asa tidak mengerti nose apa yang dimaksud olehnya.

Nose itu maksudnya perfumer,” tambah Athalia lagi. “Kerja di lab untuk ngeracik parfum. Karena kami ngandelin indra penciuman, makanya disebut juga nose.”

“Ah, begitu.” Asa langsung tersenyum ketika mendengar penjelasan Athalia. “Berarti kamu kerja sama omku dong?”

“Om kamu?”

“Iya, Om Ksatria. Dia omku—well, sahabat baik papaku, sebenarnya.”

“Oh….” Athalia bergumam pelan. “Iya, dia pimpinan di sini. Kamu mau ketemu dia?”

Asa kembali mengangguk dan kali ini mengangkat paper bag berwarna hitam polos di tangan kirinya. “Aku diminta anter ini sama mamaku—damn.”

Asa jarang mengumpat, tapi rasanya ia baru tersadar dari kepolosannya dalam menerima perintah dari sang mama.

Pagi-pagi sekali, mamanya sudah meminta Asa datang ke kantor omnya yang berada di kawasan Jakarta Pusat untuk membawakan entah-apa-tapi-penting yang kini ada di tangannya untuk sang om.

Asa lupa mencari tahu di mana Athalia bekerja, toh pada awalnya ia tak berniat mencari tahu lebih banyak lagi tentang perempuan itu. Mana Asa tahu ternyata ibunya merencanakan ini semua?

Pertemuan ketiganya dengan Athalia.

“Kenapa, Sa?”

“Aku baru sadar kalau aku dikerjain mamaku.” Asa tersenyum malu karena telah mengumpat di hadapan Athalia. “Pasti mamaku tahu kamu kerja di sini dan berharap kita akan ketemu.”

“Dan ternyata beneran ketemu.” Athalia juga ikut tersenyum, ia mengerti kalau Asa baru saja masuk dalam rencana sang mama. “Ya udah, sekalian aku anterin aja ke ruangannya Pak Ksatria, gimana?”

“Emangnya nggak apa-apa?” Asa balik bertanya. “Karena jujur, kayaknya hal itu yang diharapkan mamaku.”

“Sesekali mewujudkan harapan mamamu kayaknya nggak masalah. Lagipula kamu bisa bilang kalau aku orang yang ‘nggak banget’ buat diajak ngobrol. Kalau ditanya ngobrol di mana, kan bisa jawab kalau kamu ngobrol sambil jalan ke ruangan om kamu.”

Jawaban panjang Athalia adalah hal yang tidak diduga Asa, tapi ia memilih mengiakan ide tersebut karena, apa lagi yang bisa ia lakukan? Mamanya pasti butuh saksi mata atas pertemuannya dengan Athalia dan omnya adalah orang yang tepat.

Sedetik setelah omnya melihat mereka, pasti berita mengenai pertemuan keduanya akan segera tersebar di group chat para orangtua.

“Oke, kalau gitu.”

Athalia mengedikkan kepalanya ke arah deretan lift yang di hadapannya terdapat antrean pegawai gedung tersebut.

Asa menurut, ia berjalan di samping Athalia dan menarik perhatian kaum hawa di sekitarnya.

“Kamu emang nggak terlambat kerja?” tanya Asa pada Athalia. “Kalau bikin kamu terlambat kerja, aku nggak apa-apa dianter sampai lift sini aja. Nanti kalau mamaku butuh bukti aku bilang aja buat liat CCTV.”

Athalia menggeleng pelan seraya menahan tawanya. Beruntung mereka antre di barisan belakang dan agak menjauh dari kerumunan, setidaknya tak banyak orang yang melihatnya menahan tawa hanya karena candaan Asa.

“Nggak kok. Tenang aja,” jawab Athalia. “Oh ya, aku baru liat chat kamu yang semalam tapi belum sempat kubalas.”

Asa pikir Athalia tak akan mengungkit hal tersebut. “Nggak apa-apa. Kamu pasti lagi quality time sama pacarmu.”

Senyum tipis menghiasi wajah Athalia. “Nggak ada masalah berarti kok hanya karena kedatanganmu kemarin. Thank you ya udah nemenin aku.”

Anytime, Tha.” Asa memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana.

Lift di hadapan mereka terbuka, tapi karena antrean di depan mereka cukup banyak, keduanya tak ikut masuk karena sudah terlampau penuh. Keduanya kembali menunggu lift lain yang sedang dalam perjalanan turun ke lobi.

Asa menatap refleksi mereka di pintu lift dan menemukan Athalia tengah melamun. Perempuan itu berpakaian rapi dan formal, juga kaku dengan pilihan warna monokrom dan sendu tanpa motif apa pun.

Ia bukan orang yang suka mengomentari pakaian orang lain. Tetapi, sepengamatannya, orang-orang akan berpakaian dengan gaya yang menggambarkan karakter mereka.

Pakaian yang dikenakan Athalia hari ini berbanding terbalik dengan karakternya yang dilihat Asa di pertemuan pertama mereka. Pilihan warna dan modelnya yang kaku juga dingin tersebut membuatnya seperti matahari yang tak memancarkan kehangatan.

“Kenapa mamamu kepikiran untuk bikin kita ketemu lagi?”

Asa agak tergagap karena tiba-tiba ditanya oleh Athalia yang sedang ia perhatikan. “Karena kemarin dengan jujurnya aku bilang kalau aku makan sama kamu.”

“Kamu polos banget ya,” kekeh Athalia.

“Bisa dibilang begitu.” Asa tak terlihat malu saat mengiakan pendapat Athalia tentangnya. “Aku hanya nggak bisa terlalu sering bohong ke mamaku.”

“Good boy,” puji Athalia dengan senyum di wajahnya. Jarang-jarang ada lelaki seperti Asa di sekitarnya.

“Menurut kamu, kenapa mamaku berpikir kalau aku harus ketemu kamu lagi untuk yang ketiga kalinya?” tanya Asa dengan iseng.

“Karena satu kali memang diatur, dua kali kebetulan, jadi ketiga kali adalah hasil akhir dari percobaan dan kebetulan?” Athalia memiringkan kepalanya setelah bicara. “Eh, kamu ngerti nggak sih sama yang aku omongin? Kadang celetukanku emang aneh.”

“Aku ngerti kok. Kalau definisi mamaku, mungkin yang ketiga bisa jadi adalah takdir.” Lelaki itu mengedikkan bahunya. “Mamaku akhir-akhir ini sering ngomong begitu.”

Athalia terkekeh pelan. Denting lift terdengar diikuti dengan pintunya yang terbuka.

Begitu melihat orang-orang yang keluar dengan cepat, dengan refleks Asa menarik lengan Athalia agar merapat kepadanya dan menjauh dari tengah-tengah pintu lift agar tak tertabrak orang lain.

Sentuhan itu sangat singkat, tapi ketika Asa sudah menarik tangannya, Athalia bahkan masih bisa merasakan jejak sentuhan lelaki itu di lengannya.

Asa tak sengaja melirik ke arah Athalia ketika perempuan itu menatapnya. Asa pikir ia telah membuat Athalia tak nyaman, jadi yang ia katakan adalah, “Sorry, tadi kamu berdirinya terlalu ke tengah, takut ketabrak orang.”

Athalia membuka mulutnya, lalu mengatupkannya kembali karena tak tahu harus merespons bagaimana. Ketika lift sudah lebih lengang, Athalia berjalan lebih dulu masuk ke lift dan Asa mengikutinya.

Athalia berdiri di samping panel dan menekan tombol angka yang merupakan lantai di mana ruangan om Asa berada.

Seperti ada magnet yang menariknya, tatapan Asa terus mengikuti gerakan Athalia. Dari lengan blazer yang dikenakan Athalia dan sedikit tertarik ketika menekan tombol, Asa melihat bekas kemerahan yang mulai menggelap di tangannya.

Kemudian tatapan Asa berpindah ke wajah Athalia, ia perlu memicingkan mata ketika melihat jejak kemerahan di bagian leher yang agak tertutupi helai rambut Athalia. Tadi jejak itu tak terlihat karena Athalia baru saja menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, membuat lehernya sedikit terlihat dan Asa yakin jejak kemerahan itu bukan hickeys.

Seperti… habis dicekik.

Asa tak ingin ikut campur urusan Athalia, apalagi sejak awal perempuan itu juga sudah menolak perjodohan yang diawali dengan kencan but aini.

Namun, sepertinya Asa sudah tertular virus ingin-tahu-urusan-orang-lain dari kedua adiknya. Karena begitu mereka keluar dari lift di lantai yang mereka tuju, Asa mencekal pergelangan tangan Athalia untuk menghentikan langkahnya.

“Athalia.”

“Kenapa, Sa?”

“Boleh aku lihat tangan kamu?” Asa mengangkat sedikit tangan kiri Athalia.

Pertanyaan tersebut tentu saja tak lazim untuk ditanyakan di pertemuan ketiga mereka.

“Buat apa?”

“Aku mau lihat, merah-merah di tangan kamu itu kenapa. Kayaknya luka.”

Seperti dugaan Asa, Athalia langsung menarik tangannya secepat kilat, tapi sedetik berikutnya perempuan itu langsung merasa canggung.

“Aku nggak kenapa-kenapa kok.” Athalia buru-buru melengos. “Yuk, ke ruangan Pak Ksatria.”

Athalia berjalan lebih dulu, tapi Asa tidak menyusulnya. Saat Athalia sadar kalau Asa tidak mengikutinya, Athalia berbalik.

Beruntung koridor itu sepi, jadi tak ada yang mendengar ketika Asa bertanya, “Kamu dikasarin sama pacarmu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status