“Kamu tinggal di sini?” Asa menatap bangunan kos-kosan yang cukup elit di kawasan Duren Tiga tersebut.
“Iya.” Athalia melepas seat belt-nya dengan canggung.
Hari sudah sore—menjelang malam, lebih tepatnya—ketika Asa yang mengantarnya tiba di bangunan yang merupakan tempat tinggal Athalia sejak dua tahun belakangan ini.
Sepanjang siang tadi Asa mengajaknya ke rooftop yang anehnya, tidak terlalu panas untuk ditempati dalam jangka waktu yang cukup lama. Matahari di hari ini cukup bersahabat, membuat Athalia akhirnya nyaman berada di sana.
Asa bekerja, Athalia diam berpikir. Itulah yang mereka lakukan hingga jam pulang kantor tiba. Asa tidak mengusik Athalia sama sekali, lelaki itu seakan memberi kebebasannya untuk berpikir selagi menjaganya dalam diam.
Kalaupun mereka mengobrol, itu karena Athalia yang membuka pembicaraan.
“Ah ya, harusnya aku ngajak kamu makan malam dulu ya,” kata Asa lagi yang membuyarkan lamunan Athalia. “Aku lupa, sorry. Kamu mau makan malam sama aku? Atau kamu lebih nyaman makan sendirian?”
Melihat bagaimana Asa meringis penuh maaf, Athalia jadi tak enak. Kenapa lelaki ini terlalu baik sih?
Dan kenapa lelaki seperti Asa masih sendiri?
“Kamu mau makan sama aku?”
“Kalau kamu mau.”
Athalia tersenyum kecil. “Tapi aku lagi malas makan di luar, kamu mau… makan di sini aja? Aku bisa masakin kamu sesuatu.”
“Nggak apa-apa emangnya?”
“Nggak apa-apa, tamu boleh masuk sampai jam dua belas malam kok.”
“Beneran nggak apa-apa?”
Mendengar pertanyaan yang sama sampai dua kali, Athalia langsung sadar kalau ajakannya mungkin… terasa ambigu.
Bagaimanapun mereka adalah dua orang yang baru kenal. Rasanya benar-benar aneh saat mengajak Asa masuk ke kamar kosnya hanya berdua—meskipun niat Athalia hanya ingin membalas kebaikan Asa saja.
“Ng….” Athalia mulai menggaruk kepalanya dengan bingung. “Maksudku, aku cuma mau ucapin makasih aja atas apa yang kamu lakukan hari ini. Aku nggak bermaksud macam-macam—atau mungkin kita—”
“Aku ngerti, Tha.” Asa meraih tangan Athalia dan menghentikan Athalia sebelum kulit kepalanya jadi sakit karenanya. “Boleh, habis makan nanti aku bisa langsung pulang. Tapi untuk kali ini, kamu keberatan nggak kalau aku kasih tahu mamaku?”
“Kasih tahu Tante Padma?”
“Iya. Biar ada orang lain yang tahu kita lagi berdua dan cuma mau makan aja.”
Athalia berpikir sejenak lalu mengangguk. Maksud Asa mungkin baik. Mana ada laki-laki yang mau ‘macam-macam’ tapi laporan dulu ke ibunya? Kalau Asa bilang mereka mau makan, pastilah mereka ‘hanya’ makan.
Maka Athalia pun mengiakan. Athalia tahu tidak seharusnya ia percaya begitu saja dengan siapa pun meskipun mereka terlihat baik—tapi dari semua yang dilakukan Asa hari ini, rasanya Asa masih bisa ia percaya.
Asa sendiri memarkir mobilnya di halaman kos-kosan tersebut, lalu menelepon ibunya sambil mengikuti Athalia masuk ke bangunan yang terlihat eksklusif tersebut.
Mereka menaiki tangga menuju lantai tiga dan Athalia mengarahkannya ke pintu kamar yang ada di pojok, berdampingan dengan jendela besar yang menampilkan deretan rumah di kawasan perumahan tersebut.
“Maaf ya, kamarku berantakan,” kata Athalia begitu berhasil membuka pintunya.
Asa memperhatikan sekilas kalau pintu kamar di kosan ini sudah menggunakan smart lock door yang hanya membutuhkan pin atau fingerprint.
“Di mana berantakannya?” Asa tak bisa menahan diri untuk mengamati kamar yang ditempati Athalia.
Kamar itu bertipe loft atau memiliki ruang ‘setengah lantai’ di bagian atasnya yang terdapat ranjang di sana. Bagian bawahnya terdapat dapur kecil yang tak memiliki sekat dengan ruang tengah, di mana terdapat sofa bed dan televisi di hadapannya.
Di depan tangga menuju bagian atas, terdapat pintu kamar mandi yang tertutup.
Meskipun konsep kamar itu benar-benar padat, tapi terasa nyaman dan tidak terlalu sesak. Tidak banyak furnitur berukuran besar yang akan memakan ruang dan membuat kamar itu terlihat sesak.
“Kamu bisa duduk dulu, Sa.” Athalia menunjuk sofa bed dan menyalakan televisi. “Aku akan masak dulu. Hm, kamu suka steak ayam? Hari ini menu makan malamku steak ayam ini.”
“Kamu bisa bikinnya?”
“Aku cuma bisa masak sepuluh masakan dan ini salah satunya.” Athalia membuka kulkasnya dan mengeluarkan ayam yang sebelumnya sudah ia siapkan. “Gimana?”
“Boleh.” Asa tersenyum lebar. Sambil menggulung lengan bajunya, ia berkata, “Perlu kubantu?”
“Eh, nggak usah, Sa,” tolak Athalia dengan halus. “Kamu kan tamu, masa bantuin aku masak?”
“Motong sesuatu deh kalau gitu,” tawar Asa. “Aku nggak enak kalau nontonin kamu masak doang.”
“Nggak usah, Sa.”
“Please?”
Mereka saling bertatapan dan Athalia tahu kalau Asa tak akan menyerah sampai ia mengiakannya—sama seperti tadi ketika Asa mengajaknya ke rooftop.
“Gimana kalau kamu bantuin aku tata meja itu untuk tempat makan kita nanti?” Athalia menunjuk meja di hadapan sofa bed yang diduduki Asa. “Sorry, aku nggak punya ruang makan yang proper.”
“That’s okay, Tha.” Asa mengangguk setuju. “Dan… aku nggak tahu apa ini terdengar sok tahu atau gimana—tapi dari pengamatanku, kayaknya kamu harus mulai membiasakan diri untuk nggak meminta maaf atas hal yang bukan kesalahan kamu, Tha.”
Kadang Asa berpikir kalau Athalia seperti kotak harta karun yang tertutup rapat dan tak tahu apa yang ada di dalam dirinya, tapi yang pasti hal itu mengundang rasa penasaran Asa. Meskipun lelaki itu tahu kalau tidak ada kotak harta karun yang ditemukan dengan mudah.
Ada juga saat di mana Asa merasa Athalia seperti buku yang terbuka—mudah terbaca dan tergambar jelas apa yang ia rasakan.
Kini Athalia terlihat seperti baru saja ditampar keras setelah mendengar apa yang diucapkan Asa. Sebelum Asa menambahkan sesuatu yang mungkin bisa membuat Athalia merasa lebih baik, perempuan itu lebih dulu berkata, “Thank you, Sa. Nggak banyak orang yang peduli tentang hal itu.”
Asa hanya mengangguk sekenanya, lalu Athalia mengalihkan pembicaraan mereka. Tak butuh waktu lama untuk Athalia memasak steak ayam tersebut. Dengan cekatan juga Asa mengatur meja di tengah ruangan itu supaya mereka bisa makan dengan nyaman.
Keduanya duduk di atas karpet dan Asa berterima kasih untuk makanan yang dibuat Athalia. Harumnya mengundang rasa lapar Asa yang mulai semakin menjadi. Saat ia selesai mengunyah suapan pertamanya, Asa tak tahan untuk memuji Athalia.
“Wow, ini enak banget, Tha.”
“Tapi nggak seenak di restoran, Sa.” Athalia tersenyum kecil.
“Menurutku masakan seenak apa pun di restoran bakal tetep kalah sama masakan rumahan kok.”
Athalia menatap Asa yang makan dengan lahap dan antusias. Lelaki itu bahkan tak menyisakan apa pun di piringnya, ia benar-benar makan sampai tandas dan piringnya bersih.
Baru kali ini ada yang menghabiskan masakannya.
“Biar kubantu cuci piring, Tha,” ucap Asa usai makanan mereka habis. “Cuci piring nggak makan tenaga dan nggak merepotkan kok.”
Athalia akhirnya mengiakan. Selagi Asa mencuci piring, Athalia mengelap meja dan menatanya seperti semula.
Asa terlihat luwes di kamar kos Athalia, sesuatu yang asing tapi tidak terasa salah…
Aneh, batin Athalia.
“Aku pulang dulu ya,” pamit Asa usai mengeringkan tangannya dengan lap yang tergantung di dapur. “Makasih untuk makan malamnya, Tha.”
Tadinya Athalia sudah akan menjerang air panas untuk membuat kopi. Namun ternyata Asa benar-benar menepati janjinya kalau ia akan langsung pulang setelah makan.
“Makasih juga untuk semuanya ya, Sa.” Athalia kembali teringat bagaimana Asa menolongnya tadi siang. “Aku tahu makananku nggak akan cukup untuk membalas semua jasa kamu hari ini.”
“Nggak usah dipikirin, Tha.” Lelaki itu mengurai gulungan lengan kemejanya. “Kamu… apa pun masalahmu, semoga cepat selesai ya. Rasanya kamu nggak cocok kalau bersedih terus.”
Athalia menghargai setiap kata yang keluar dari mulut Asa. “Thank you, Sa.”
Perempuan itu mengantar Asa ke pintu, tapi ia tersentak kaget saat membuka pintu kamarnya dan mendapati Marcell sudah berada di sana.
Marcell menatap Athalia dan Asa yang berdiri di belakang Athalia secara bergantian. Kemudian ia tersenyum pada Athalia. “Babe, aku nggak tahu kamu ada tamu.”
“Ng… iya….”
“Saya mau pulang kok,” jawab Asa yang sadar kalau Athalia tak memiliki jawaban pasti untuk lelaki di hadapannya ini.
Ia pun maju untuk berdiri di depan Athalia dan memperkenalkan diri. “Asa, anak temen ibunya Athalia.”
“Marcell.” Lelaki itu menyambut uluran tangan Asa dan berusaha mencengkeram tangannya dengan erat, tapi hal itu tak terlalu berpengaruh pada Asa. “Pacarnya Athalia.”
“I see,” sahut Asa dengan tenang.
Ia melangkah keluar dari kamar tersebut dan begitu berada tiga langkah di depan Athalia, Asa menunjuk saku jas yang baru ia pakai lagi setelah tadi ia lepas. “Tha, aku pulang dulu. Nanti kusampaikan ke Mama kalau surat yang dia titip ke kamu udah ada sama aku.”
Athalia tahu hal itu adalah kebohongan dan Asa melakukannya agar Marcell tak curiga dengan kehadirannya di kamar Athalia.
Athalia tak tahu apakah Asa benar-benar bisa membaca karakter Marcell yang cemburuan hanya dalam sekali pandang atau ada motivasi lain untuknya berbohong seperti itu.
Asa tersenyum sopan padanya dan Marcell, lalu beranjak menuju tangga. Marcell tidak membiarkannya melihat Asa menghilang di ujung koridor karena lelaki itu sudah lebih dulu menariknya masuk ke dalam kamar.
***
Setelahnya, apa yang terjadi di kamar itu adalah hal yang sudah biasa Athalia rasakan. Athalia pernah berpikir, cinta itu harusnya tidak saling menyakiti kan?
Tapi… kenapa setiap ia melakukan kesalahan, Marcell selalu menyakitinya dengan kata-kata dan tangannya?
“Jadi kamu makan malem sama Athalia?”Pertanyaan itu menyambut Asa yang baru saja menjejakkan kakinya di ruang tengah rumahnya. Sang mama, Padma, menatapnya dengan antusias. Lebih antusias daripada saat Asa dulu mengatakan kalau ia diterima di PTN terbaik di Indonesia.“Iya, Ma,” jawab Asa dengan senyum di wajahnya. “Apa aku akan disuruh makan lagi? Mama udah makan malem?”Asa menghampiri sang mama dan mencium kedua pipinya seperti biasa. Di sisi kanan sang mama, ada Ilana dan Meisie, dua adik yang ikut menatapnya dengan tatapan yang identik dengan sang ibu.Astaga, perempuan di keluarga Tanaka ini sepertinya sudah benar-benar gatal melihatnya yang selama ini selalu sendiri.“Kita udah makan kok.” Kali ini yang menjawab adalah Ilana, anak tengah di keluarga tersebut.“Mama hampir tumpengan waktu denger Abang makan sama cewek. Sayang aja Abang ngasih tahunya mepet sama jam makan malem. Kalau Abang ngasih tahunya dari siang, pasti Mama udah bikin tumpeng.”Celotehan adik bungsunya membu
Athalia memasuki gedung kantornya sambil mengusap tengkuk dengan gelisah. Ia tak bisa menghentikan kebiasaan ini—Athalia selalu mengusap tengkuknya tanpa alasan ketika merasa resah atau memikirkan hal yang tak ada ujungnya.“Athalia?”Teman-teman kantornya biasa memanggil Athalia dengan ‘Atha’. Alasannya sederhana, karena lebih singkat.Jadi, ketika ia mendengar seseorang yang memanggilnya dengan ‘Athalia’ di sekitar kantornya, perempuan itu tak langsung menyadari kalau panggilan itu ditujukan untuknya.Sampai kemudian seseorang menepuk bahunya dan membuat Athalia menghentikan langkahnya.Perpaduan aroma woody dengan patchouli, clary sage, dan amber yang Athalia cukup kenali karena ada aroma lainnya yang bercampur dan menjadikannya unik tersebut, mengingatkan Athalia pada seseorang.Athalia berbalik sambil berdoa kalau untuk sekali ini saja, indra penciumannya salah."Asa?” Athalia menatap Asa dengan terkejut.Tebakannya benar. Pemilik aroma yang mengingatkan Athalia pada salah satu p
“Kalau kasar, itu bukan cinta, Tha.”“Aku tahu apa yang aku lakukan, Sa.”Percakapan singkatnya dengan Athalia tempo hari kembali mengusik Asa. Lelaki itu berdecak pelan ketika mengingat kembali Athalia yang tak menjawab ketika ia bertanya, apakah kekasih Athalia berbuat kasar padanya atau tidak.Dari bagaimana Athalia yang diam saat itu, Asa yakin kalau kekasih perempuan itu memang menyakitinya.Asa bisa saja melengos pergi dan tak peduli, tapi bayang-bayang luka yang coba disembunyikan Athalia terus mengusiknya bahkan beberapa hari setelah pertemuan mereka di Heavenly & Co.“Abang kenapa? Nggak suka temenin Mama lunch hari ini ya?”Asa buru-buru mengerjapkan mata ketika menyadari kalau saat ini ia tak sendirian. Di hadapannya, ada sang mama yang tengah menatapnya dengan penuh selidik.Hari ini Padma memang memang mengajaknya makan siang bersama, kebetulan ayahnya tengah ada meeting dengan orang lain sehingga hanya mereka berdua yang bisa.Ta Wan Plaza Senayan di siang hari itu cukup
“Athalia nggak serendah itu,” bantah Asa dengan cepat.Asa bahkan tak percaya kalau lelaki yang mengaku sebagai kekasih perempuan yang tangannya tengah dicengkeram erat itu, bisa menuduh Athalia dengan sangat hina.Asa memang belum benar-benar mengenal Athalia, tapi lelaki itu tahu kalau Athalia tidak seburuk yang dituduhkan Marcell.“Marcell, kita pergi yuk, sekarang,” sergah Athalia seraya menarik tangan Marcell yang sudah ingin menggapai Asa. “Dia nggak ada hubungannya sama sekali sama aku. Cuma temen kok. Kan waktu itu aku udah jelasin.”“Halah!” Marcell menepis tangan Athalia dengan kasar. “Kamu tuh udah sering bohong sama aku, Tha! Mana mungkin aku bisa percaya kamu lagi dengan mudah?”Athalia menggigit bibirnya dan menatap Asa serta Marcell secara bergantian. Kali ini Marcell melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Athalia dan mendekat pada Asa.Asa sendiri tak terlihat gentar, ia menatap Marcell dengan datar dan hal itu semakin membuat Marcell kesal karena Asa seperti t
Athalia: Hari ini hari Minggu, kamu emang nggak pergi?Asa: Nggak. Biasanya nemenin mamaku ke lapangan tembak, tapi hari ini lagi nggak mood katanya.Athalia: Ke lapangan tembak buat… nembak? Pakai senjata api?Asa: Iya, semacam itu.Athalia: Wow, keren banget Tante Padma.Asa: Kamu mau coba menembak? Aku bisa ajak kamu kalau lagi nemenin mamaku.Asa: Atau kalau kamu malu sama mamaku, kita bisa ke sana sendiri.“Abang, lagi ngapain? Bisa anterin Mama arisan nggak?”Entah untuk alasan apa, tapi Asa langsung terlonjak kaget begitu mendengar pertanyaan mamanya. Asa. yang tadinya sedang dalam posisi tengkurap di ranjang segera mengubah posisinya hingga duduk dengan cepat.Di pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka, Padma tertawa melihat tingkah anak sulungnya tersebut. “Abang kenapa? Kok kayak kaget banget?”Asa meringis.Masih dengan senyum geli di wajahnya, Padma kembali bertanya, “Abang lagi sibuk?”“Nggak.” Asa beranjak dari ranjang dan menghampiri mamanya. “Mama mau ke daerah mana
Mungkin salah juga aku masuk ke sini, harusnya aku tunggu Mama di coffee shop dekat sini, pikir Asa seraya menyesap tehnya.“Jadi Asa belum punya pacar?” tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi terlihat tertarik dengan Asa.Sepertinya di kepala ibu itu, sudah keluar nama anak, keponakan, atau mungkin cucu yang bisa ia jodohkan dengan Asa.Di sisi lain, Padma, mama Asa, tertawa kecil untuk menanggapinya. “Kalau pacar sih belum ada,” jawab Padma. Tangannya menepuk pelan bahu anaknya. “Tapi saya sih curiga kalau Asa lagi deket sama seseorang. Iyakan, Bang?”Asa berusaha tenang meskipun sang ibu sebenarnya tengah menggodanya di depan ibu-ibu yang tertarik dengannya, karena ia masuk dalam bursa perjodohan.“Iya, Ma.” Asa akhirnya menjawab singkat. Lebih baik ia menjawab begitu daripada dilepas bebas di antara banyak ibu seperti saat ini.“Oh ya?” Dari nada suaranya, salah satu ibu-ibu itu terdengar kecewa. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba ibu itu kembali berkata,
Athalia melepas jas lab-nya sembari berpikir menu apa yang ingin ia pesan.Perempuan itu terbiasa memilih menu yang inginkan sejak beberapa jam sebelum waktunya, jika ia tahu mau makan di mana. Hal itu ia lakukan untuk menghemat waktu.“Tha, makan siang di mana hari ini?” tanya Safira, salah satu rekannya sesama nose di Heavenly & Co. “Mau coba ramen yang baru buka di mall sebelah itu nggak?”“Yah, aku udah janjian sama orang, Sa.” Athalia meringis. “Next time ya.”“Sama siapa?” Safira lebih tertarik dengan siapa Athalia makan siang hari ini. Perempuan itu tersenyum menggoda Athalia. “Sama pacar ya?”“Bukan, temen kok.” Safira memang terhitung pegawai baru di lab Heavenly & Co, makanya ia belum tahu kalau Athalia sudah punya kekasih atau mengenal Marcell sebagai kekasihnya. “Duluan ya, Sa.”Safira mengiakan sembari berseru kalau semua bisa berawal dari teman terlebih dahulu dan hanya ditanggapi tawa oleh Athalia.Begitu tiba di lobi gedung, Athalia bergegas ke pelataran dan menemukan
Marcell: Aku liat-liat kamu masih pergi sama cowok itu.Marcell: Jadi kamu lebih milih dia daripada aku? Setelah semua yang aku lakuin buat kamu selama ini?Marcell: Dasar brengsek. Balas chat-ku!Marcell: Besok aku pulang, ayo kita ketemu, jalang!Athalia tak sengaja menjatuhkan ponselnya begitu selesai membaca pesan dari Marcell dan ketakutan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, ia pun langsung memilin jemarinya dengan cemas.Padahal sejak Marcell bertemu Asa untuk pertama kalinya, Athalia sudah menjelaskan siapa Asa dan bagaimana hubungannya dengan lelaki itu. Memang, sejak bertahun-tahun pacaran dengan Marcell, Athalia sudah terbiasa tak memiliki teman dekat apa
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel