Share

BAB 3 - Cinta Itu Tidak Saling Menyakiti—Kata Siapa?

Kamu tinggal di sini?” Asa menatap bangunan kos-kosan yang cukup elit di kawasan Duren Tiga tersebut.

“Iya.” Athalia melepas seat belt-nya dengan canggung.

Hari sudah sore—menjelang malam, lebih tepatnya—ketika Asa yang mengantarnya tiba di bangunan yang merupakan tempat tinggal Athalia sejak dua tahun belakangan ini.

Sepanjang siang tadi Asa mengajaknya ke rooftop yang anehnya, tidak terlalu panas untuk ditempati dalam jangka waktu yang cukup lama. Matahari di hari ini cukup bersahabat, membuat Athalia akhirnya nyaman berada di sana.

Asa bekerja, Athalia diam berpikir. Itulah yang mereka lakukan hingga jam pulang kantor tiba. Asa tidak mengusik Athalia sama sekali, lelaki itu seakan memberi kebebasannya untuk berpikir selagi menjaganya dalam diam.

Kalaupun mereka mengobrol, itu karena Athalia yang membuka pembicaraan.

“Ah ya, harusnya aku ngajak kamu makan malam dulu ya,” kata Asa lagi yang membuyarkan lamunan Athalia. “Aku lupa, sorry. Kamu mau makan malam sama aku? Atau kamu lebih nyaman makan sendirian?”

Melihat bagaimana Asa meringis penuh maaf, Athalia jadi tak enak. Kenapa lelaki ini terlalu baik sih?

Dan kenapa lelaki seperti Asa masih sendiri?

“Kamu mau makan sama aku?”

“Kalau kamu mau.”

Athalia tersenyum kecil. “Tapi aku lagi malas makan di luar, kamu mau… makan di sini aja? Aku bisa masakin kamu sesuatu.”

“Nggak apa-apa emangnya?”

“Nggak apa-apa, tamu boleh masuk sampai jam dua belas malam kok.”

“Beneran nggak apa-apa?”

Mendengar pertanyaan yang sama sampai dua kali, Athalia langsung sadar kalau ajakannya mungkin… terasa ambigu.

Bagaimanapun mereka adalah dua orang yang baru kenal. Rasanya benar-benar aneh saat mengajak Asa masuk ke kamar kosnya hanya berdua—meskipun niat Athalia hanya ingin membalas kebaikan Asa saja.

“Ng….” Athalia mulai menggaruk kepalanya dengan bingung. “Maksudku, aku cuma mau ucapin makasih aja atas apa yang kamu lakukan hari ini. Aku nggak bermaksud macam-macam—atau mungkin kita—”

“Aku ngerti, Tha.” Asa meraih tangan Athalia dan menghentikan Athalia sebelum kulit kepalanya jadi sakit karenanya. “Boleh, habis makan nanti aku bisa langsung pulang. Tapi untuk kali ini, kamu keberatan nggak kalau aku kasih tahu mamaku?”

“Kasih tahu Tante Padma?”

“Iya. Biar ada orang lain yang tahu kita lagi berdua dan cuma mau makan aja.”

Athalia berpikir sejenak lalu mengangguk. Maksud Asa mungkin baik. Mana ada laki-laki yang mau ‘macam-macam’ tapi laporan dulu ke ibunya? Kalau Asa bilang mereka mau makan, pastilah mereka ‘hanya’ makan.

Maka Athalia pun mengiakan. Athalia tahu tidak seharusnya ia percaya begitu saja dengan siapa pun meskipun mereka terlihat baik—tapi dari semua yang dilakukan Asa hari ini, rasanya Asa masih bisa ia percaya.

Asa sendiri memarkir mobilnya di halaman kos-kosan tersebut, lalu menelepon ibunya sambil mengikuti Athalia masuk ke bangunan yang terlihat eksklusif tersebut.

Mereka menaiki tangga menuju lantai tiga dan Athalia mengarahkannya ke pintu kamar yang ada di pojok, berdampingan dengan jendela besar yang menampilkan deretan rumah di kawasan perumahan tersebut.

“Maaf ya, kamarku berantakan,” kata Athalia begitu berhasil membuka pintunya.

Asa memperhatikan sekilas kalau pintu kamar di kosan ini sudah menggunakan smart lock door yang hanya membutuhkan pin atau fingerprint.

“Di mana berantakannya?” Asa tak bisa menahan diri untuk mengamati kamar yang ditempati Athalia.

Kamar itu bertipe loft atau memiliki ruang ‘setengah lantai’ di bagian atasnya yang terdapat ranjang di sana. Bagian bawahnya terdapat dapur kecil yang tak memiliki sekat dengan ruang tengah, di mana terdapat sofa bed dan televisi di hadapannya.

Di depan tangga menuju bagian atas, terdapat pintu kamar mandi yang tertutup.

Meskipun konsep kamar itu benar-benar padat, tapi terasa nyaman dan tidak terlalu sesak. Tidak banyak furnitur berukuran besar yang akan memakan ruang dan membuat kamar itu terlihat sesak.

“Kamu bisa duduk dulu, Sa.” Athalia menunjuk sofa bed dan menyalakan televisi. “Aku akan masak dulu. Hm, kamu suka steak ayam? Hari ini menu makan malamku steak ayam ini.”

“Kamu bisa bikinnya?”

“Aku cuma bisa masak sepuluh masakan dan ini salah satunya.” Athalia membuka kulkasnya dan mengeluarkan ayam yang sebelumnya sudah ia siapkan. “Gimana?”

“Boleh.” Asa tersenyum lebar. Sambil menggulung lengan bajunya, ia berkata, “Perlu kubantu?”

“Eh, nggak usah, Sa,” tolak Athalia dengan halus. “Kamu kan tamu, masa bantuin aku masak?”

“Motong sesuatu deh kalau gitu,” tawar Asa. “Aku nggak enak kalau nontonin kamu masak doang.”

“Nggak usah, Sa.”

“Please?”

Mereka saling bertatapan dan Athalia tahu kalau Asa tak akan menyerah sampai ia mengiakannya—sama seperti tadi ketika Asa mengajaknya ke rooftop.

“Gimana kalau kamu bantuin aku tata meja itu untuk tempat makan kita nanti?” Athalia menunjuk meja di hadapan sofa bed yang diduduki Asa. “Sorry, aku nggak punya ruang makan yang proper.”

“That’s okay, Tha.” Asa mengangguk setuju. “Dan… aku nggak tahu apa ini terdengar sok tahu atau gimana—tapi dari pengamatanku, kayaknya kamu harus mulai membiasakan diri untuk nggak meminta maaf atas hal yang bukan kesalahan kamu, Tha.”

Kadang Asa berpikir kalau Athalia seperti kotak harta karun yang tertutup rapat dan tak tahu apa yang ada di dalam dirinya, tapi yang pasti hal itu mengundang rasa penasaran Asa. Meskipun lelaki itu tahu kalau tidak ada kotak harta karun yang ditemukan dengan mudah.

Ada juga saat  di mana Asa merasa Athalia seperti buku yang terbuka—mudah terbaca dan tergambar jelas apa yang ia rasakan.

Kini Athalia terlihat seperti baru saja ditampar keras setelah mendengar apa yang diucapkan Asa. Sebelum Asa menambahkan sesuatu yang mungkin bisa membuat Athalia merasa lebih baik, perempuan itu lebih dulu berkata, “Thank you, Sa. Nggak banyak orang yang peduli tentang hal itu.”

Asa hanya mengangguk sekenanya, lalu Athalia mengalihkan pembicaraan mereka. Tak butuh waktu lama untuk Athalia memasak steak ayam tersebut. Dengan cekatan juga Asa mengatur meja di tengah ruangan itu supaya mereka bisa makan dengan nyaman.

Keduanya duduk di atas karpet dan Asa berterima kasih untuk makanan yang dibuat Athalia. Harumnya mengundang rasa lapar Asa yang mulai semakin menjadi. Saat ia selesai mengunyah suapan pertamanya, Asa tak tahan untuk memuji Athalia.

“Wow, ini enak banget, Tha.”

“Tapi nggak seenak di restoran, Sa.” Athalia tersenyum kecil.

“Menurutku masakan seenak apa pun di restoran bakal tetep kalah sama masakan rumahan kok.”

Athalia menatap Asa yang makan dengan lahap dan antusias. Lelaki itu bahkan tak menyisakan apa pun di piringnya, ia benar-benar makan sampai tandas dan piringnya bersih.

Baru kali ini ada yang menghabiskan masakannya.

“Biar kubantu cuci piring, Tha,” ucap Asa usai makanan mereka habis. “Cuci piring nggak makan tenaga dan nggak merepotkan kok.”

Athalia akhirnya mengiakan. Selagi Asa mencuci piring, Athalia mengelap meja dan menatanya seperti semula.

Asa terlihat luwes di kamar kos Athalia, sesuatu yang asing tapi tidak terasa salah…

Aneh, batin Athalia.

“Aku pulang dulu ya,” pamit Asa usai mengeringkan tangannya dengan lap yang tergantung di dapur. “Makasih untuk makan malamnya, Tha.”

Tadinya Athalia sudah akan menjerang air panas untuk membuat kopi. Namun ternyata Asa benar-benar menepati janjinya kalau ia akan langsung pulang setelah makan.

“Makasih juga untuk semuanya ya, Sa.” Athalia kembali teringat bagaimana Asa menolongnya tadi siang. “Aku tahu makananku nggak akan cukup untuk membalas semua jasa kamu hari ini.”

 “Nggak usah dipikirin, Tha.” Lelaki itu mengurai gulungan lengan kemejanya. “Kamu… apa pun masalahmu, semoga cepat selesai ya. Rasanya kamu nggak cocok kalau bersedih terus.”

Athalia menghargai setiap kata yang keluar dari mulut Asa. “Thank you, Sa.”

Perempuan itu mengantar Asa ke pintu, tapi ia tersentak kaget saat membuka pintu kamarnya dan mendapati Marcell sudah berada di sana.

Marcell menatap Athalia dan Asa yang berdiri di belakang Athalia secara bergantian. Kemudian ia tersenyum pada Athalia. “Babe, aku nggak tahu kamu ada tamu.”

“Ng… iya….”

“Saya mau pulang kok,” jawab Asa yang sadar kalau Athalia tak memiliki jawaban pasti untuk lelaki di hadapannya ini.

Ia pun maju untuk berdiri di depan Athalia dan memperkenalkan diri. “Asa, anak temen ibunya Athalia.”

“Marcell.” Lelaki itu menyambut uluran tangan Asa dan berusaha mencengkeram tangannya dengan erat, tapi hal itu tak terlalu berpengaruh pada Asa. “Pacarnya Athalia.”

“I see,” sahut Asa dengan tenang.

Ia melangkah keluar dari kamar tersebut dan begitu berada tiga langkah di depan Athalia, Asa menunjuk saku jas yang baru ia pakai lagi setelah tadi ia lepas. “Tha, aku pulang dulu. Nanti kusampaikan ke Mama kalau surat yang dia titip ke kamu udah ada sama aku.”

Athalia tahu hal itu adalah kebohongan dan Asa melakukannya agar Marcell tak curiga dengan kehadirannya di kamar Athalia.

Athalia tak tahu apakah Asa benar-benar bisa membaca karakter Marcell yang cemburuan hanya dalam sekali pandang atau ada motivasi lain untuknya berbohong seperti itu.

Asa tersenyum sopan padanya dan Marcell, lalu beranjak menuju tangga. Marcell tidak membiarkannya melihat Asa menghilang di ujung koridor karena lelaki itu sudah lebih dulu menariknya masuk ke dalam kamar.

***

Setelahnya, apa yang terjadi di kamar itu adalah hal yang sudah biasa Athalia rasakan. Athalia pernah berpikir, cinta itu harusnya tidak saling menyakiti kan?

Tapi… kenapa setiap ia melakukan kesalahan, Marcell selalu menyakitinya dengan kata-kata dan tangannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status