“Kamu nggak kerja?”
“Kamu sendiri?” Asa memilih bertanya balik pada Athalia.
“Hari ini aku lagi cuti,” jawab Athalia. Perempuan itu melirik jam tangannya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. “Udah lewat dari jam istirahat, lebih baik kamu kembali ke kantor. Ini gedung kantor kamu kan?”
“Kok kamu tahu?”
Athalia terkekeh pelan. “Aku kenal ibumu, jadi aku tahu pasti kamu itu siapa.”
Asa tersenyum malu mendengar ucapan Athalia yang lugas tersebut. Ia sempat lupa dengan fakta kalau Athalia kenal langsung dengan ibunya. Minimal Athalia pasti tahu di mana ia sekarang—di kantor Sadira Group.
“Beneran nggak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanya Asa pada akhirnya. “Kamu nggak perlu ditemenin?”
“Aku baik-baik aja kok.”
Asa menaikkan satu alisnya, sangsi dengan kebenaran kata-kata Athalia. Tidak ada orang yang langsung bisa baik-baik saja setelah kejadian seperti tadi.
“Beneran, Sa,” tegas Athalia sekali lagi. “Kamu balik kerja aja gih. Aku nggak enak sama kamu kalau kamu telat lebih lama lagi.”
Melihat bagaimana Athalia benar-benar berusaha meyakinkannya, Asa pun menghela napas. Ia mengangguk dan bangkit meninggalkan Athalia sendirian di meja yang berada di sudut tersebut.
Athalia terpana untuk beberapa saat. Perempuan itu sendiri tak menyangka kalau Asa akan pergi begitu saja. Namun, dugaannya meleset karena lima menit setelahnya lelaki itu kembali dengan sepiring red velvet roll cake di tangannya.
Asa meletakkan piring itu di meja dan mengatakan, “Dimakan ya, Tha. Kalau adekku lagi sedih, makan manis bisa agak sedikit membantu dia.”
“Kamu baik banget sih, Sa,” gumam Athalia tanpa sadar.
Asa tersenyum teduh. “Bukan baik banget, Tha. Aku cuma melakukan sesuatu yang harusnya kulakukan. Nggak mungkin aku melengos begitu aja di saat aku kenal kamu.”
Setelah itu, Asa benar-benar pamit dari hadapan Athalia. Athalia menatap punggung Asa yang makin lama makin jauh dari pandangannya.
Kemudian perempuan itu menunduk dan menatap gelas plastik berukuran venti berisi dark mocca frappuccino dan red velvet roll cake tersebut dengan hati yang gamang. Dari semua orang yang melintas di hidupnya, hanya Asa yang berbalik untuk menolongnya.
Orangtuanya, kakak-kakaknya, teman-temannya—mereka semua berbalik memunggunginya, menjauhinya seolah-olah ia adalah virus.
Mungkin karena Asa juga tak tahu siapa dirinya, maka dari itu ia bersedia menolong Athalia.
Andai dia tahu siapa Athalia sebenarnya….
Getar ponselnya yang ada di saku membuyarkan lamunan Athalia. Perempuan itu langsung buru-buru mengambil ponselnya dengan tangan gemetar supaya tak terlambat untuk membalas pesan itu.
Marcell: Babe, barusan Mama bilang dia abis ketemu kamu. Kamu ngapain nurutin ajakan Mama sih?
Marcell: Kan aku bilang, cuekin aja.
Marcell: Kamu ngobrol apa aja sama Mama?
Athalia: Aku mana mungkin nolak ajakan mama kamu, Sayang.
Athalia: Nggak banyak hal penting yang kami obrolin kok.
Marcell: Bohong.
Rasanya jantung Athalia terasa berhenti berdetak saat itu juga ketika Marcell membalas hanya dengan satu kata itu.
“Tha.”
Athalia tak sengaja melempar ponselnya ke meja karena terkejut. Beruntung seseorang dengan cepat menangkap ponsel tersebut dan mengembalikannya pada Athalia.
“Asa,” gumam Athalia dengan tak percaya. “Kamu ngapain di sini?”
“Kayaknya aku nggak bisa ninggalin kamu sendirian di sini, Tha.”
“Hah?” Athalia tak bisa menahan diri untuk tidak melongo. Kini Asa berdiri di hadapannya sambil membawa tas laptop. “Terus? Kamu mau bolos?”
“Nggak juga, Tha.”
“Tapi kamu bawa tas,” tunjuk Athalia. “Asa, beneran, aku nggak apa-apa. Kita kan baru kenal juga, aku nggak mau ketika kita belum kenal begini tapi aku udah ngerepotin kamu.”
“Nggak ngerepotin kok. Anggap aja aku lagi bosen kerja di ruanganku.”
Athalia menggeleng tak setuju. “Tapi kamu bisa dimarahin atasan kamu.”
“Sesekali jadi karyawan bandel nggak apa-apa kok.”
Dengan cepat, Asa mengambil piring berisi kue yang belum disentuh dan membawanya ke kasir. Ia meminta pegawai Starbucks tersebut membungkus kue itu dan setelah selesai, ia kembali ke meja Athalia.
“Yuk.”
“Ke mana?”
“Aku tahu tempat yang bisa bikin kamu lupa sejenak sama apa pun yang jadi beban pikiranmu saat ini.”
Ragu-ragu, Athalia bangkit dari kursinya dan mengikuti Asa. Ia menukar KTP-nya untuk access card sementara yang diperuntukkan untuk tamu di gedung tersebut.
Setelahnya, Asa mengajak Athalia ke lift yang ada di sudut dan hampir tak terlihat jika dari tempat biasa orang menunggu lift yang berjejer.
“Kenapa kita naik lift yang ini?” Athalia tak terlalu bodoh untuk tidak mengenali lift di hadapannya ini adalah lift yang biasa dipakai petinggi perusahaan.
“Karena yang ini nunggunya nggak lama.” Asa memberikan cengirannya. “Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok, kalau itu yang kamu khawatirin.”
“Aku percaya sama kamu kok,” tukas Athalia sambil menatap refleksi mereka di pintu lift. “Kamu anaknya Tante Padma, pasti sebaik beliau.”
Asa tersenyum kecil. “Kamu terlalu cepat percaya sama orang, Tha.”
“Kamu sendiri juga gitu. Kita baru kenal tiga hari yang lalu dan nggak komunikasi lagi setelah pertemuan waktu itu, but here I am.”
Kini ganti Asa yang melirik Athalia. “Aku tahu mamaku nggak sembarangan mengenalkan perempuan ke aku.”
Kali ini Athalia terkekeh dan hal itu ditangkap Asa dengan baik. Kalau sedang begini, rasanya baru ia menemui Athalia yang tiga hari lalu ia temui.
Athalia dan wajah murung bukan kombinasi yang bagus, pikirnya.
“Kamu jangan bilang mamamu kalau kita ketemu lagi,” canda Athalia saat lift terbuka dan mereka bergegas masuk. “Nanti mamamu berekspektasi kalau kita akan kencan lagi.”
Asa terbatuk begitu mendengarnya. “Oke, kalau itu maumu.”
Reaksi Asa terlihat lucu di mata Athalia. Perempuan itu pun berkata, “Kasihan kamu kalau harus deket-deket sama aku. Jadi cukup tiga hari yang lalu dan hari ini aja kita bisa ketemu dan ngobrol begini.”
Rasanya baru kali ini Asa gatal ingin bertanya kenapa mereka hanya boleh bertemu sampai hari ini saja, tapi ia menahan diri untuk tidak melakukannya karena Asa takut, pertanyaannya akan kembali membawa kesedihan di mata Athalia.
Hal yang berbulan-bulan setelah hari itu baru disadari Asa, kalau hal tersebut bukanlah hal yang ia sukai.
Asa takkan suka melihat Athalia sedih seperti hari ini, di pertemuan kedua mereka.
“Kamu tinggal di sini?” Asa menatap bangunan kos-kosan yang cukup elit di kawasan Duren Tiga tersebut.“Iya.” Athalia melepas seat belt-nya dengan canggung.Hari sudah sore—menjelang malam, lebih tepatnya—ketika Asa yang mengantarnya tiba di bangunan yang merupakan tempat tinggal Athalia sejak dua tahun belakangan ini.Sepanjang siang tadi Asa mengajaknya ke rooftop yang anehnya, tidak terlalu panas untuk ditempati dalam jangka waktu yang cukup lama. Matahari di hari ini cukup bersahabat, membuat Athalia akhirnya nyaman berada di sana.Asa bekerja, Athalia diam berpikir. Itulah yang mereka lakukan hingga jam pulang kantor tiba. Asa tidak mengusik Athalia sama sekali, lelaki itu seakan memberi kebebasannya untuk berpikir selagi menjaganya dalam diam.Kalaupun mereka mengobrol, itu karena Athalia yang membuka pembicaraan.“Ah ya, harusnya aku ngajak kamu makan malam dulu ya,” kata Asa lagi yang membuyarkan lamunan Athalia. “Aku lupa, sorry. Kamu mau makan malam sama aku? Atau kamu lebih
“Jadi kamu makan malem sama Athalia?”Pertanyaan itu menyambut Asa yang baru saja menjejakkan kakinya di ruang tengah rumahnya. Sang mama, Padma, menatapnya dengan antusias. Lebih antusias daripada saat Asa dulu mengatakan kalau ia diterima di PTN terbaik di Indonesia.“Iya, Ma,” jawab Asa dengan senyum di wajahnya. “Apa aku akan disuruh makan lagi? Mama udah makan malem?”Asa menghampiri sang mama dan mencium kedua pipinya seperti biasa. Di sisi kanan sang mama, ada Ilana dan Meisie, dua adik yang ikut menatapnya dengan tatapan yang identik dengan sang ibu.Astaga, perempuan di keluarga Tanaka ini sepertinya sudah benar-benar gatal melihatnya yang selama ini selalu sendiri.“Kita udah makan kok.” Kali ini yang menjawab adalah Ilana, anak tengah di keluarga tersebut.“Mama hampir tumpengan waktu denger Abang makan sama cewek. Sayang aja Abang ngasih tahunya mepet sama jam makan malem. Kalau Abang ngasih tahunya dari siang, pasti Mama udah bikin tumpeng.”Celotehan adik bungsunya membu
Athalia memasuki gedung kantornya sambil mengusap tengkuk dengan gelisah. Ia tak bisa menghentikan kebiasaan ini—Athalia selalu mengusap tengkuknya tanpa alasan ketika merasa resah atau memikirkan hal yang tak ada ujungnya.“Athalia?”Teman-teman kantornya biasa memanggil Athalia dengan ‘Atha’. Alasannya sederhana, karena lebih singkat.Jadi, ketika ia mendengar seseorang yang memanggilnya dengan ‘Athalia’ di sekitar kantornya, perempuan itu tak langsung menyadari kalau panggilan itu ditujukan untuknya.Sampai kemudian seseorang menepuk bahunya dan membuat Athalia menghentikan langkahnya.Perpaduan aroma woody dengan patchouli, clary sage, dan amber yang Athalia cukup kenali karena ada aroma lainnya yang bercampur dan menjadikannya unik tersebut, mengingatkan Athalia pada seseorang.Athalia berbalik sambil berdoa kalau untuk sekali ini saja, indra penciumannya salah."Asa?” Athalia menatap Asa dengan terkejut.Tebakannya benar. Pemilik aroma yang mengingatkan Athalia pada salah satu p
“Kalau kasar, itu bukan cinta, Tha.”“Aku tahu apa yang aku lakukan, Sa.”Percakapan singkatnya dengan Athalia tempo hari kembali mengusik Asa. Lelaki itu berdecak pelan ketika mengingat kembali Athalia yang tak menjawab ketika ia bertanya, apakah kekasih Athalia berbuat kasar padanya atau tidak.Dari bagaimana Athalia yang diam saat itu, Asa yakin kalau kekasih perempuan itu memang menyakitinya.Asa bisa saja melengos pergi dan tak peduli, tapi bayang-bayang luka yang coba disembunyikan Athalia terus mengusiknya bahkan beberapa hari setelah pertemuan mereka di Heavenly & Co.“Abang kenapa? Nggak suka temenin Mama lunch hari ini ya?”Asa buru-buru mengerjapkan mata ketika menyadari kalau saat ini ia tak sendirian. Di hadapannya, ada sang mama yang tengah menatapnya dengan penuh selidik.Hari ini Padma memang memang mengajaknya makan siang bersama, kebetulan ayahnya tengah ada meeting dengan orang lain sehingga hanya mereka berdua yang bisa.Ta Wan Plaza Senayan di siang hari itu cukup
“Athalia nggak serendah itu,” bantah Asa dengan cepat.Asa bahkan tak percaya kalau lelaki yang mengaku sebagai kekasih perempuan yang tangannya tengah dicengkeram erat itu, bisa menuduh Athalia dengan sangat hina.Asa memang belum benar-benar mengenal Athalia, tapi lelaki itu tahu kalau Athalia tidak seburuk yang dituduhkan Marcell.“Marcell, kita pergi yuk, sekarang,” sergah Athalia seraya menarik tangan Marcell yang sudah ingin menggapai Asa. “Dia nggak ada hubungannya sama sekali sama aku. Cuma temen kok. Kan waktu itu aku udah jelasin.”“Halah!” Marcell menepis tangan Athalia dengan kasar. “Kamu tuh udah sering bohong sama aku, Tha! Mana mungkin aku bisa percaya kamu lagi dengan mudah?”Athalia menggigit bibirnya dan menatap Asa serta Marcell secara bergantian. Kali ini Marcell melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Athalia dan mendekat pada Asa.Asa sendiri tak terlihat gentar, ia menatap Marcell dengan datar dan hal itu semakin membuat Marcell kesal karena Asa seperti t
Athalia: Hari ini hari Minggu, kamu emang nggak pergi?Asa: Nggak. Biasanya nemenin mamaku ke lapangan tembak, tapi hari ini lagi nggak mood katanya.Athalia: Ke lapangan tembak buat… nembak? Pakai senjata api?Asa: Iya, semacam itu.Athalia: Wow, keren banget Tante Padma.Asa: Kamu mau coba menembak? Aku bisa ajak kamu kalau lagi nemenin mamaku.Asa: Atau kalau kamu malu sama mamaku, kita bisa ke sana sendiri.“Abang, lagi ngapain? Bisa anterin Mama arisan nggak?”Entah untuk alasan apa, tapi Asa langsung terlonjak kaget begitu mendengar pertanyaan mamanya. Asa. yang tadinya sedang dalam posisi tengkurap di ranjang segera mengubah posisinya hingga duduk dengan cepat.Di pintu kamar yang memang sejak tadi terbuka, Padma tertawa melihat tingkah anak sulungnya tersebut. “Abang kenapa? Kok kayak kaget banget?”Asa meringis.Masih dengan senyum geli di wajahnya, Padma kembali bertanya, “Abang lagi sibuk?”“Nggak.” Asa beranjak dari ranjang dan menghampiri mamanya. “Mama mau ke daerah mana
Mungkin salah juga aku masuk ke sini, harusnya aku tunggu Mama di coffee shop dekat sini, pikir Asa seraya menyesap tehnya.“Jadi Asa belum punya pacar?” tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi terlihat tertarik dengan Asa.Sepertinya di kepala ibu itu, sudah keluar nama anak, keponakan, atau mungkin cucu yang bisa ia jodohkan dengan Asa.Di sisi lain, Padma, mama Asa, tertawa kecil untuk menanggapinya. “Kalau pacar sih belum ada,” jawab Padma. Tangannya menepuk pelan bahu anaknya. “Tapi saya sih curiga kalau Asa lagi deket sama seseorang. Iyakan, Bang?”Asa berusaha tenang meskipun sang ibu sebenarnya tengah menggodanya di depan ibu-ibu yang tertarik dengannya, karena ia masuk dalam bursa perjodohan.“Iya, Ma.” Asa akhirnya menjawab singkat. Lebih baik ia menjawab begitu daripada dilepas bebas di antara banyak ibu seperti saat ini.“Oh ya?” Dari nada suaranya, salah satu ibu-ibu itu terdengar kecewa. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba ibu itu kembali berkata,
Athalia melepas jas lab-nya sembari berpikir menu apa yang ingin ia pesan.Perempuan itu terbiasa memilih menu yang inginkan sejak beberapa jam sebelum waktunya, jika ia tahu mau makan di mana. Hal itu ia lakukan untuk menghemat waktu.“Tha, makan siang di mana hari ini?” tanya Safira, salah satu rekannya sesama nose di Heavenly & Co. “Mau coba ramen yang baru buka di mall sebelah itu nggak?”“Yah, aku udah janjian sama orang, Sa.” Athalia meringis. “Next time ya.”“Sama siapa?” Safira lebih tertarik dengan siapa Athalia makan siang hari ini. Perempuan itu tersenyum menggoda Athalia. “Sama pacar ya?”“Bukan, temen kok.” Safira memang terhitung pegawai baru di lab Heavenly & Co, makanya ia belum tahu kalau Athalia sudah punya kekasih atau mengenal Marcell sebagai kekasihnya. “Duluan ya, Sa.”Safira mengiakan sembari berseru kalau semua bisa berawal dari teman terlebih dahulu dan hanya ditanggapi tawa oleh Athalia.Begitu tiba di lobi gedung, Athalia bergegas ke pelataran dan menemukan
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel