Di tengah dentuman musik yang keras, 3 orang lelaki sedang menyesap segelas minuman berwarna hitam dengan rasa yang begitu pekat. Mereka tampak mengobrol sembari sesekali menyulangkan gelas masing-masing.
“Benar-benar hebat lo, Bro. Memang pantas lo dapat julukan sang penakluk wanita andal. Hanya dalam waktu 7 hari saja, lo sudah berhasil mendapatkan Vania, Siska, dan Leoli.” Pemuda yang bernama Kevin itu sangat salut dengan kemampuan Rafka.
Padahal, sudah jelas-jelas Rafka terkenal sebagai playboy yang suka memainkan hati wanita, tetapi masih saja ada wanita yang mau dijadikan pacar oleh temannya itu.
“Kayaknya pesona lo memang enggak bisa terbantahkan, Raf. Sejauh ini, gue sama Kevin jadi enggak ada kesempatan untuk menang taruhan yang kita buat sama lo.” Tyo mendesah pasrah, ketika ia harus kehilangan jam tangan seharga 1000 dolarnya, yang ia jadikan jaminan jika Rafka menang taruhan yang mereka sepakati bersama.
Sebenarnya, tak masalah jika ia harus memberikan segala hartanya untuk memasang taruhan dengan teman-temannya. Toh, bagi anak orang kaya seperti Rafka, Kevin, dan Tyo, kehilangan barang-barang berharga milik mereka tak memiliki arti apa-apa. Namun, bagi mereka yang penting adalah bisa memenangkan pertaruhan ego dan harga diri karena ingin terlihat lebih hebat daripada yang lain.
“Jadi, lo berdua memutuskan menyerah dan enggak mau pasang taruhan lagi sama gue! It’s okay, Bro, karena artinya lo berdua mengakui pesona gue sebagai player tangguh yang enggak terkalahkan!” pungkas Rafka menyembulkan senyum kemenangan, tetapi di mata Kevin dan Tyo malah seperti seringai menghinakan.
Tak terima dianggap gampang menyerah seperti itu, membuat Tyo dengan lantang menyanggah, “Siapa bilang kita bakal menyerah begitu saja, Bro. Lagian harta Bokap gue masih banyak, jadi gue enggak akan berhenti kasih taruhan ke lo, sampai gue dan Kevin bisa menang dari lo, Raf.”
“Sama kayak Tyo, gue juga enggak bakal menyerah, Raf. Dari banyaknya cewek di kota ini, gue percaya, pasti ada satu atau beberapa cewek yang enggak mempan sama pesona lo. Kalau gue bisa menemukan cewek yang seperti itu, gue yakin 100% kalau lo bakal kalah taruhan dari kita berdua!” timpal Kevin dengan senyum percaya diri.
“Chill, Guys. Lo berdua enggak perlu terlalu memaksakan diri, karena gue yakin enggak akan semuda itu menemukan cewek yang enggak jatuh sama pesona gue. Sekarang, buat membukitnya, lo boleh tunjuk cewek mana pun yang di sini buat jadi bahan taruhan kita kayak biasa!” tantang Rafka untuk memperlihatkan kepada kedua teman-temannya itu, bahwa tak semudah itu untuk menjatuhkan daya tarik yang ia miliki sebagai seorang pria yang digandrungi oleh para wanita.
Kevin dan Tyo saling bertatapan sejenak ketika Rafka jelas-jelas menantang mereka untuk memberikan taruhan. Masak-masak mereka saling berdiskusi. Mata mereka pun tampak sibuk melirik ke sana kemari, demi mencari mangsa yang sekiranya sulit ditaklukkan oleh Rafka.
“Karena besok kita ada kuliah pagi, jadi tantangan kali ini enggak bakal serumit biasanya. Kali ini, lo cukup buat cewek baju hitam di sana mau ciuman sama lo!” tunjuk Tyo ke arah wanita berbaju hitam yang terlihat menghela nafas berkali-kali,, sambil tak berhenti menyesap minuman yang ada di tangan wanita itu.
“So easy, Guys. Tumben tantangan dari lo berdua easy banget. Malam ini, duit lo berdua makin menipis?! Makanya kasih tantangan gue semudah ini, biar lo berdua bisa pasang taruhan sedikit,” ledek Rafka dengan senyum miringnya.
Ditaruhnya salah satu kredit dari dompetnya di atas meja.“Ini jaminan yang gue pasang kalau seandainya kali ini gue kalah dari kalian. Meskipun, kayaknya kemungkinannya kecil banget,” imbuh Rafka yang sangat yakin bahwa kartu kredit ini akan kembali kepadanya.
“Cuma itu doang ternyata jaminan lo, Raf. Nih, gue kasih yang lebih dari lo, supaya lo tahu kalau uang gue masih ada banyak. Lagian, harta Bokap gue masih segunung, jadi gue yakin gak akan jatuh miskin cuma buat pasang taruhan begini!” Tak terima diremehkan oleh Rafka, Tyo mengeluarkan satu kunci motor seharga ratusan juta dari koleksi motor milik keluarganya.
Sementara itu, Kevin langsung menyerahkan jam mahal, sepatu eksklusif, dan jaket kulit keluaran ternama miliknya. "Gue sama Tyo, kasih tantangan yang enggak seberapa susah buat lo malam ini karena besok ada mata kuliah Bu Sarah. Lo tahu ‘kan seberapa sanggarnya bu Sarah?! Gue cuma enggak mau diomeli Bokap Nyokap gue, gara-gara bu Sarah kasih gue nilai kecil, cuma karena bolos atau terlambat di mata kuliahnya besok.”
Wajah Rafka terlihat mengerenyot ketika temannya itu ternyata takut pada dosen baru mereka yang terkenal tegas, berhati dingin, dan misterius itu. Namun, karena yang dibicarakan oleh Kevin ada benarnya juga, maka Rafka tak ingin mendebat apa pun lagi. Ia memilih untuk Iangsung bergegas menjalani tantangannya.
Dengan langkah gesit, Rafka berjalan mendekati meja bar yang tak jauh dari tempatnya duduk. Bagi Rafka, kalau hanya mendapatkan taruhan begini, ia bisa menyelesaikannya dalam hitungan jam. Bahkan, dalam hitungan menit pun sebenarnya ia dapat melakukannya.
“Permisi, boleh aku duduk di sini?” tanya Rafka basa-basi sambil menarik kursi tepat di samping wanita itu.
“Kurasa Bar ini bukan milikku, jadi kau tak perlu meminta izinku. Kau bebas ingin duduk di mana pun kau mau!” sahut wanita yang tampaknya berusia 30 tahunan itu dengan tatapan tajam tanpa minat.
Rafka yang melihat sekilas wajah wanita di sampingnya, bisa tahu kalau wanita itu lebih tua darinya. Oleh karena itu, ia sengaja tak menggunakan bahasa gaul untuk berbicara dengan wanita itu. Baginya, untuk menghadapi wanita yang umurnya lebih tua, akan lebih mempan jika ia menggunakan bahasa yang jauh lebih formal.
“Melihat dirimu yang tak berhenti minum dan beberapa kali menghela nafas putus asa, sepertinya aku tahu kalau kau sedang memiliki beban pikiran. Mau aku rekomendasikan minuman alkohol yang bisa membuatmu lebih tenang dan sejenak bisa membuatmu lupa akan masalahmu?”
Meskipun, belum mendapatkan jawab atas tawarannya kepada wanita itu, Rafka langsung memesan 2 gelas wine khusus yang sering ia pesan di bar ini ketika pikirannya sedang kacau.
“Dengar! Aku bukanlah tipe wanita yang bisa tergoda oleh minuman alkohol yang diberikan oleh orang asing sepertimu! Kalau kau datang kemari ingin mencoba merayuku agar mau tidur bersamamu, lebih baik kau enyah dari hadapanku!” damprat wanita itu memberikan tatapan menusuk kepada Rafka.
Mendapatkan respons seperti itu, Rafka tampak tak gentar. “Tenanglah. Aku kemari bukan ingin mengajakmu berbuat tak senonoh seperti itu. Hanya saja, aku tak tega membiarkan wanita yang terlihat sedang penuh tekanan sepertimu, duduk termenung sendirian. Aku hanya ingin membantu membuat perasaanmu lebih tenang, Nona. Setelah kau tenang, aku janji akan pergi dan membiarkanmu duduk tanpa ada gangguan lagi.”
“Hah?! Anak muda sepertimu ingin mencoba menenangkanku! Lebih baik tak usah, karena aku tak lagi percaya pada siapa pun di dunia ini! Sudahlah, sana pergi dan jangan ganggu aku lagi!” sungut wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya di udara, seolah mengisyaratkan ia ingin Rafka pergi dari hadapannya.
Seolah tak bergeming, Rafka tetap duduk di samping sana. Bukannya kesal karena di usir, Rafka malah memasang senyum andalannya kepada wanita di sampingnya ini. Sambil dalam otaknya, ia memikirkan siasat supaya wanita ini pada akhirnya luluh dan mau berbicara baik-baik padanya.
Merasa sebal melihat Rafka yang masih bisa-bisanya tersenyum meski telah ia usir secara terang-terangan, membuat wanita bernama Maya itu langsung beranjak ingin pergi dari Bar. Ia rasanya ingin segera menjauh dari hadapan lelaki yang tak ia kenal, tetapi mencoba sok dekat dengan dirinya. “Bebal sekali! Sudahlah, Kalau memang kau tak mau pergi, biar aku saja yang pergi!”
Kevin dan Tyo yang sedari tadi terus memperhatikan Rafka, tampak cekikan ketika melihat wanita yang sedang Rafka dekati itu tampak memasang wajah kesal kepada Rafka. Sepertinya wanita itu berniat meninggalkan Rafka. Melihat betapa sang wanita tak nyaman dengan kehadiran Rafka, membuat mereka yakin Rafka tidak akan berhasil kali ini.
Namun, bukan Rafka namanya, kalau ia tak punya akal untuk bisa memenangkan taruhan. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menaklukkan wanita yang menjadi target taruhannya. Sekalipun, ia menggunakan cara-cara yang bisa dibilang licik, buruk, kotor, dan mungkin saja menggandung sebuah dosa di dalamnya, ia sama sekali tak masalah akan hal itu.
Seperti kali ini, Rafka terpaksa mengeluarkan jurus kebohongan miliknya, supaya wanita yang sedang menjadi bahan taruhannya kali ini tak jadi pergi.
“Maaf kalau aku mengganggu! Saat melihatmu, aku seperti melihat Kakakku yang sudah meninggal. Dulu, Dia bunuh diri karena stres akibat perselingkuhan tunangannya. Semenjak itu, setiap kali melihat orang yang terlihat stres, aku akan mencoba membantu meringankan beban pikirannya, agar tidak sampai bunuh diri seperti Kakakku,” tutur Rafka sambil menahan tangan Maya agar wanita itu tak pergi dari hadapannya.
Semula, Maya ingin menampar wajah Rafka karena lancang menahan tangannya yang ingin pergi dari hadapan lelaki itu. Namun, ketika mendengar cerita sedih yang dituturkan oleh lelaki itu membuat timbulnya rasa iba dalam hatinya. Apalagi kisah Kakak lelaki itu, hampir sama dengan dirinya saat ini yang tengah galau karena diselingkuhi oleh sahabat dan pacarnya sendiri.
Maya mengurungkan niatnya yang ingin menampar Rafka dan memutuskan untuk duduk kembali di kursinya semula. “Maaf, karena tadi aku bersikap agak kasar. Tadinya kukira kau hanya ingin menggodaku. Tetapi, aku tak menyangka ternyata kau punya niat setulus itu.”
“Kau tidak perlu minta maaf. Kurasa tadi sikapku terlalu lancang, sehingga membuatmu tak nyaman. Kalau memang kau nyaman sendiri, aku akan kembali ke mejaku dan tak akan mengganggumu lagi di sini,” kata Rafka sengaja memainkan tarik ulur seperti ini, agar wanita itu merasa bersalah kepadanya. Lagi pula, Rafka yakin 100% kalau wanita itu kali ini akan menahan dirinya untuk tetap duduk si samping wanita itu.
Maya menggigit bibirnya dan merasa tak enak kepada Rafka karena ia telah berprasangka buruk kepada lelaki itu. “Kurasa kau bisa tetap di sini. Bukankah tadi kau sudah memesan 2 gelas minuman. Maaf, aku tadi tak bermaksud untuk bersikap sekasar itu padamu. Aku sungguh tidak tahu kalau ternyata kau memiliki cerita yang begitu sedih di balik sikapmu yang terlihat sangat percaya diri dan agak kurang ajar tadi.”
“Terima kasih sudah mengizinkanku tetap duduk di sini. Tetapi, boleh aku tahu namamu? Maaf kalau lancang, hanya saja aku merasa tak enak dari tadi aku duduk di sebelahmu, tetapi tak tahu namamu sama sekali,” tanya Rafka sambil memperhatikan wine pesanannya yang sepertinya akan jadi sebentar lagi,
Maya tampak berpikir sejenak sebelum pada akhirnya ia memberitahukan namanya kepada Rafka. “Panggil saja aku Maya,” jawab wanita itu seadanya.
Rafka mengulurkan tangannya kepada Maya sambil berkata, “Baiklah Maya, Aku Rafka.”
Tak lama setelah mereka berjabatan tangan, minuman keras yang Rafka pesan datang. Maya dan Rafka saling melepaskan tangan mereka masing-masing. Lalu, Rafka segera mengambil 2 gelas wine yang ia pesankan untuk dirinya dan Maya.
“Terima kasih,” ucap Maya ketika Rafka menyerahkan segelas Wine kepada dirinya dan ia pun mengambil gelas itu dari tangan Rafka.
“Nikmatilah minumannya. Kalau seandainya kau ingin bercerita padaku mengenai masalahmu, aku bersedia untuk mendengarkannya. Tapi kalau kau enggan, aku hanya akan menemanimu minum saja.
Maya hanya tersenyum singkat menanggapi ucapan Rafka. Sesudahnya, ia memfokuskan diri ke arah minuman pemberian Rafka yang ada di tangannya. Ketika ia dekatkan minuman itu ke mulutnya, indra penciumannya dapat menghirup aroma anggur yang kental pada minuman berwarna merah pekat tersebut. Tak lama disesapnya wine merah itu secara perlahan. Seketika rasa getir bercampur manis merambati lidahnya dan meluncur elegan di tenggorokannya.
Helaan nafas panjang dan berat terdengar dari Maya, ketika segelas wine di tangannya telah ia teguk habis. “Aku memiliki pengalaman yang hampir serupa dengan Kakakmu, yang kau ceritakan tadi. Bedanya, aku tak hanya dikhianati oleh pacarku, tetapi juga dikhianati oleh sahabatku sendiri. Mereka tega berselingkuh di belakangku, padahal aku sangat mempercayai mereka.”
Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Maya. Tak ada lagi raut wajah kesedihan di wajah Maya, tetapi tergurat jelas wajah sakit dan amat terluka di air mukanya. Sedangkan Rafka , hanya mendengarkan setiap cerita yang mengalir dari mulut Maya, tanpa berniat untuk menyelanya sedikit pun. Sesekali, ia hanya menawarkan untuk menuangkan wine merah ke gelas Maya. Krena setelah melihat gelas mereka kosong, Rafka memesan sebotol wine.
“Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih lega?” tanya Rafka memberikan jeda 5 menit untuk menanyakan itu, usai Maya selesai menceritakan segala keluh kesah yang selama ini membebani pikiran wanita itu.
“Maaf, aku jadi terlalu banyak bercerita. Tapi, terima kasih, berkat wine yang kau berikan, perasaanku menjadi jauh lebih tenang. Terima kasih juga sudah mau mendengarkan masalahku. Sebagai ucapan terima kasihku, ambillah ini,” ucap Maya sambil menyerahkan 5 lembar uang seratus ribu di atas meja.
Melihat Maya memberikan uang kepadanya, Rafka segera mengembalikannya. “Maaf, aku tidak bisa menerima uang ini. Kalau memang kau ingin memberiku sesuatu sebagai ucapan terima kasih, bolehkan aku meminta sesuatu padamu sebagai gantinya?”
“Memangnya kau ingin meminta apa?” tanya Maya memasukkan uang yang tak mau diterima oleh Rafka kembali ke dalam tasnya.
“Mungkin pemintaanku agak lancang. Hmm… bolehkah aku meminta izin untuk menciummu? Kalau kau tidak keberatan, anggap saja sebagai ciuman perpisahan. Tapi, kalau kau ingin menolaknya, aku tak akan memaksa,” ujar Rafka berpura-pura menundukkan wajahnya. Seolah dengan melakukan itu, ia merasa tak enak meminta hal itu kepada Maya.
Padahal, hal itu merupakan salah satu trik yang dimainkan oleh Rafka. Ia yakin Maya tak akan enak untuk menolak permintaan dirinya, setelah ia bersedia mendengarkan keluh kesah wanita itu. Kalaupun Maya menolaknya, ia akan berpura-pura mengambil sesuatu kotoran dari rambut wanita itu dan menciptakan angle seolah-olah ia mencium Maya di hadapan kedua temannya.
Setelah berpikir sejenak, Maya pun memberikan jawaban dengan menganggukkan kepala. Ia sungguh merasa tak enak ingin menolak permintaan Rafka karena Rafka meminta dengan sopan kepadanya. Selain itu, anak muda itu telah membantu meringankan sedikit beban pikirannya malam ini.
Mendapatkan persetujuan Maya, membuat Rafka dengan gerakan cepat mendekatkan diri ke tubuh Maya. Ia tangkup wajah bulat milik Maya dengan tangannya. Di tempelkan bibirnya di atas bibir Maya yang cukup tebal dan berwarna merah terang. Ia sesap sekali bibir Maya, sebelum pada akhirnya melepaskan tautan bibirnya dengan Maya.
Rafka pun mempersilakan Maya untuk pergi, ketika ia telah mendapatkan ciuman dari wanita itu. Dengan tersenyum miring penuh kemenangan, Rafka berjalan kembali ke tempat ia minum bersama teman-temannya tadi.
“Gue akui kali ini lo menang lagi Raf. Meskipun waktunya agak lama juga buat lo bisa ciuman sama cewek tadi. Biasanya, lo menaklukkan tantangan kayak begini, dalam waktu yang lebih singkat,” kata Kevin menyerahkan jaminan taruhan yang ia pasang kepada Rafka karena temannya itu berhasil mencium wanita yang menjadi taruhan mereka tadi.
Dengan berat hati Tyo juga menyerahkan kunci motor milik keluarganya kepada Rafka. “Kali ini lo boleh menang, Raf. Tapi lain kali, gue yakin lo bakal kalah dari taruhan yang kita kasih buat lo.”
Rafka hanya menatap sekilas jaminan yang ia menangkan dari taruhan kali ini. Baginya jaminan dari teman-temannya bukanlah sesuatu yang berharga. Namun, tetap ia ambil pula jaminan dari teman-temannya itu. Karena untuknya, hal itu merupakan simbol kehebatan dan kemenangan dari harga dirinya yang tinggi.
“Gue rasa kita gak perlu banyak bacot, tapi let’s we see, Bro. Meskipun, gue enggak yakin kalau gue bakal kalah dari lo berdua. Soalnya, enggak peduli sesulit apa pun taruhan dan tantangan yang lo berdua kasih buat gue, tapi gue selalu menang. Walaupun begitu, gue bakal selalu kasih kesempatan lo berdua untuk memberikan taruhan yang jauh lebih sulit lagi buat gue,” kata Rafka dengan jemawa.
“Saya kira waktu yang saya berikan kepada kalian sudah cukup lama untuk mengerjakan tugas yang saya berikan. Tetapi mengapa masih ada saja mahasiswa yang mengirim tugas terlambat kepada Saya?!” sungut Sarah mendenguskan nafasnya berkali-kali, dengan kilatan matanya yang sekaan dipenuhi oleh kobaran api.Meskipun, baru 2 bulan ia mengajar di kampus ini, tetapi sudah ada saja tingkah mahasiswanya yang membuatnya naik darah. Dari mulai mengumpulkan tugas terlambat, memakai pakaian yang melanggar kode disiplin berpakaian, menitipkan absensi pada teman yang lain padahal tidak masuk, sampai tak mengumpulkan tugas sama sekali. Beberapa hal itu, seolah menjadi pemandangan biasa yang sering Sarah dapati selama mengajar 2 bulan di sini.Padahal, apa susahnya para mahasiswanya itu mengikuti semua hal yang sudah ditetapkan oleh dosen dan kampus. Toh, kalau mereka semua berusaha untuk menjadi mahasiswa yang terbaik, tentunya yang mendapatkan untungnya juga diri mereka sendiri. Sebenarnya, bisa sa
“Tugas Bu Sarah kali ini, serahkan aja ke gue. Biar gue yang antar ke ruangannya,” lontar Rafka ketika ia mengumpulkan tugas miliknya ke penanggung jawab mata kuliah yang diampu oleh Sarah. “Enggak usah, Raf. Sudah tugas gue buat kasih tugas kita ke Bu Sarah. Nanti yang ada aku kena marah Bu Sarah, kalau bukan gue yang antar tugasnya,” tolak Nera–teman sekelas Rafka—bergidik ngeri sendiri membayangkan ia akan terkena dampratan dari Bu dosennya yang terkenal berhati dingin itu. Rafka yang memang ingin segera memulai rencana pertamanya dalam misi memenangkan taruhan, ingin segera bertemu dengan Sarah dan melancarkan aksinya. Menurutnya, hanya cara ini yang terlihat alami untuk memulai melakukan pendekatan dengan Bu Sarah, Oleh karena itu, bagaimanapun caranya, ia harus bisa mendapatkan tumpukan tugas ini dan mengantarkannya ke ruangan Sarah. “Lo enggak usah takut. Entar gue bilang sama Bu Sarah kalau lo tiba-tiba sakit perut, jadi lo enggak bisa kasih tugas ini ke dia,” dalih Rafka b
“Mau apa kamu?! Berhenti di sini, karena saya tidak akan mengizinkan kamu untuk ikut masuk ke dalam kelas yang akan saya ajar!” sungut Sarah memberhentikan langkahnya di depan pintu kelas yang akan ia masuki. “Sekarang, tolong kembalikan tas saya karena saya sudah sampai di tempat yang ingin saya tuju!”“Saya bakal kembalikan tas Ibu, tapi dengan satu syarat. Asal Ibu mau memenuhi syarat dari saya, saya bakal langsung kasih tas di tangan saya ini ke Ibu,” lontar Rafka sengaja berjinjit dan mengangkat tinggi-tinggi tas di tangannya supaya Sarah tidak bisa merebut tas milik wanita itu yang ada di tangannya.Sarah hanya bisa menghela nafas lelah menghadapi tingkah mahasiswa di depannya yang bertingkah layaknya kanak-kanak usia dini. Meski begitu, tetap ia berikan tatapan nyalang ke arah Rafka.“Katakan saja apa maumu! Kalau memang syaratmu tidak sulit dan tidak menyusahkan saya, mungkin saya bisa mengusahakan untuk menerimanya,” jawab Sarah yang langsung menanyakan syarat yang akan diaj
Seperti pagi biasanya, setibanya di kampus, Sarah langsung melajukan kakinya ke ruangan dosen. Ia akan meletakan tas yang ia bawa ke meja kerjanya sebelum memasuki kelas yang akan ia ajar hari ini. Tapi begitu tiba di mejanya, Sarah merasa ada yang aneh. Biasanya di atas meja kerjanya hanya ada tumpukan lembar tugas dan beberapa buku, tetapi mengapa kali ini terdapat 5 tangkai bunga mawar dan juga 10 buah cokelat dengan berbagai bentuk juga tergeletak di mejanya? Ulah siapakah yang berani-beraninya merusak tatanan meja kerjanya? Jangan bilang kalau semua ini diberikan oleh salah satu mahasiswanya yang sedari kemari terus muncul dan mengganggu dirinya. Tapi, sudahlah ia tak ingin mengambil pusing. Toh, ia tinggal menyingkirkan saja benda-benda yang terlihat seperti sampah yang mengotori mejanya tersebut. “Selamat pagi, Bu. Permisi saya mau mengumpulkan tugas yang minggu lalu Ibu berikan,” ujar Rini yang merupakan mahasiswa penanggung jawab di salah satu kelas yang ia ampu. Beruntung
“Sudah sore, saya yakin Ibu tidak punya kegiatan lagi di kampus. Bersediakah Ibu untuk saya antarkan pulang?” Rafka sedari tadi memang sengaja diam-diam mengikuti kegiatan Sarah selama di kampus. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Tentu saja, jauh dalam hatinya Rafka tak ingin bersikap seolah-olah menjadi penguntit seperti ini. Tetapi, ia terpaksa melakukan hal ini karena ia ingin memiliki kesempatan untuk mengantar Sarah pulang.Untuk ke-sekian kalinya ketika berhadapan dengan Rafka, Sarah mengembuskan nafas berat. Sungguh lelah rasanya, terus-menerus berurusan dengan anak muda yang sudah selama seminggu ini tiada henti-hentinya mengusik dirinya dengan kemunculan mahasiswanya itu.“Ada apa lagi kamu menemui saya setiap saya selesai melakukan kegiatan di kampus ini, Rafka Mahendra. Apakah kamu tidak mempunyai kegiatan lain selain mengganggu saya dengan kehadiranmu? Sudah berapa kali saya ingatkan padamu untuk tidak mengganggu saya lagi, tetapi berani sekali kamu tak mengindahkan per
“Permisi, Tuan muda. Saya sudah mendapatkan yang Tuan muda minta untuk diselidiki,” lontar mata-mata yang Rafka suruh untuk menyelidiki mengenai Sarah.Sebenarnya, Rafka tak ingin bertindak sampai sejauh ini. Hanya saja, sewaktu mengikuti Sarah sampai ke rumah wanita itu 2 hari lalu, tanpa sengaja Rafka mendapati seorang anak lelaki memanggil Sarah dengan sebutan Mama. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Rafka pun meminta tolong pada mata-mata Papanya untuk menyelidiki mengenai siapa anak lelaki yang memanggil Sarah dengan sebutan “Mama”? Apakah selama ini Sarah sudah menikah? Kalau ternyata Sarah sudah menikah, haruskah ia membatalkan pertaruhannya bersama teman-temannya. Karena sepanjang sepak terjangnya dalam mendapatkan seorang wanita, ia dan belum pernah terlibat dengan seorang wanita yang sudah menikah. Dari pada terus disibukkan dengan pemikirannya sendiri, lebih baik Rafka segera menanyakan detail yang berhasil didapatkan oleh mata-mata yang ia tugaskan untuk menyelid
Sarah yang merasa bergidik dan hampir marah karena melihat tingkah Rafka yang tiba-tiba mendekatkan mulut lelaki muda itu ke telinganya, sesaat merasa dingin menjalari tubuhnya kala mendengar hal yang dibisikkan oleh lelaki muda itu.Dalam hatinya, Sarah bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak muda di sampingnya ini mengetahui rahasianya? Padahal, Sarah sengaja mencari kampus yang jauh dari rumahnya, supaya tak ada orang di kampus tempatnya mengajar ini mengetahui mengenai rahasia yang sengaja ia sembunyikan selama ini.Memandangi wajah Sarah yang tampak tercengang, menimbulkan seutas senyum miring samar di bibir Rafka. Ia yakin sekali setelah membisikkan kepada Sarah bahwa ia mengetahui rahasia wanita itu, pasti Sarah tak akan bersikap mengabaikan dan tak mau berbicara lagi padanya.Sekilas senyum miring Rafka terlihat di sudut mata Sarah. Melihat hal itu, membuat Sarah menormalkan kembali wajahnya yang sempat tertegun sejenak. “Ikut saya! Kita bicara di luar!” pungkas Sarah bangkit
Usai berhadapan dengan anak muda yang pagi-pagi begini sudah menyulut emosinya hingga sampai puncak tertinggi, Sarah memilih untuk pergi ke toilet dan menyibakkan air ke wajahnya. Tak peduli jika make-up di wajahnya akan luntur. Sekarang, yang ia butuhkan hanya air untuk menyegarkan diri dari sisa emosi dalam dirinya.“Untung saja aku bisa menunjukkan sikap berani di hadapan anak muda itu. Semoga saja setelah ini anak muda itu tidak akan berani menghampiri dan menggangguku lagi,” gumam Sarah kembali mengaplikasikan make up yang telah luntur akibat air yang ia sapukan ke wajahnya tadi.Syukurlah tadi ia bisa menghadapi mahasiswanya yang bernama Rafka itu. Kalau tidak, ia tak yakin bisa pergi dari hadapan Rafka sebelum keinginan anak muda itu dikabulkan olehnya. Tentu saja, Sarah yang selama ini selalu berpegangan pada moralitas, tidak bisa menerima negosiasi Rafka untuk menjadi pacar lelaki muda itu.Meskipun, Rafka mengancamnya dengan bersikukuh akan menyebarkan rahasia yang ia miliki
Dua bulan berlalu sejak kasus penculikan yang dilakukan oleh Sonia dan Riko terhadap Leo. Kini, kedua orang tersebut telah menemui hasil persidangan yaitu mereka masing-masing dijatuhi hukuman 7 tahun penjara atas perbuatan yang mereka lakukan. Sekarang luka di punggung Dea sudah mengering dan ia pun sudah keluar dari rumah sakit. Tetapi, ia baru sanggup untuk menemui Mamanya di penjara setelah keluar jatuhnya masa hukuman untuk Mamanya. “Yakin enggak mau aku temenin sampai dalem?” tanya Leo yang hari ini mengantarkan kekasihnya ke tempat Mama Dea menjalani hukuman atas kasus penculikan terhadap dirinya. “Enggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Kakak tunggu di mobil aja,” tolak Dea karena ia ingin berbicara dari hati ke hati dengan Mamanya. Sebenarnya, Leo sudah menawark
“Makasih ya, Pa. Papa tetap sayang dan perhatian sama Dea, padahal Papa udah tahu kalau Dea bukan anak kandung Papa. Dea jadi merasa enggak pantes dapet semuanya dari Papa lagi karena ternyata Dea enggak punya hubungan darah apa pun sama Papa.” lirih Dea berlinangan air mata.Ervan, bersama dengan Sarah dan Rafka memang baru saja datang beberapa menit yang lalu. Tetapi, seolah mengerti kalau Ervan membutuhkan waktu untuk membahas sesuatu yang privasi dengan Dea; Sarah dan Rafka pun mengajak Leo ke kafetaria rumah sakit dan memberikan waktu bagi Ervan dan Dea untuk saling bicara berdua dari hati ke hati.“Papa tidak peduli dengan apa pun yang kemarin Papa dengar. Bagi Papa selamanya kamu adalah putri Papa. Tak peduli jika kamu dan Papa tidak mempunyai hubungan darah sekali pun. Tapi, kamu akan selalu menjadi putri kecil Papa yang berharga.&rdqu
“Ngapain sih lo pake nyelametin gue segala?! Kan jadi lo juga yang harus masuk rumah sakit kayak gini! Belum lagi lo pasti kesakitan karena dapet luka tusuk, ‘kan? Harusnya lo enggak perlu ngelindungin gue dan biarin gue aja yang menanggung semua kesakitan yang lo rasain sekarang!” Sudah sehari ini, Leo memang meminta pada Mama, Om Ervan, dan Bang Rafka untuk mengizinkannya menunggui Dea seorang diri di ruang rawat inap tempat Dea dirawat.Memang Dea baru saja sadar usai menjalankan operasi penjahitan dari luka tusuk yang didapatkannya. Oleh karena itu, usai Dea selesai dioperasi dan masih belum sadarkan diri, Leo sengaja meminta pada keluarganya untuk menjaga Dea seorang diri. Kebetulan luka-luka yang ia dapati karena insiden penculikan kemarin, telah selesai ditangani oleh tenaga medis di rumah sakit ini juga..Anggap lah ia melakukan ini sebagai ucapan terima kasih pada Dea karena telah menyelamatkannya. Toh, ia juga merasa bersalah karena demi melindungi dirinya, malah Dea yan
Hati Ervan terasa remuk dan langkahnya meremang saat perlahan mendekati Sonia. Ia merasa seperti terhempas ke dalam labirin kebohongan yang tak terbayangkan sebelumnya. Marah dan kecewa menyatu dalam dirinya, membuatnya ingin melampiaskan semua emosinya di depan wanita itu.Sebagai seorang ayah yang selama ini yakin bahwa Dea adalah anak kandungnya, perasaannya hancur berkeping-keping ketika ada orang lain yang mengakui Dea sebagai anaknya dan seolah mengungkap bahwa Dea sebenarnya bukanlah darah dagingnya."Sonia!" pekik Ervan, suaranya penuh dengan rasa pahit. "apa arti dari semua ini? Katakan kepadaku, mengapa lelaki itu menyebut Dea sebagai anaknya? Apakah aku yang salah dengar atau memang benar begitu adanya?"Sonia menoleh dengan wajah pucat. "Ervan, aku..."Sonia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat terpojok di bawah sorotan tajam Ervan. Ia menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasan pada Ervan. Namun, sebelum Ia bisa menjawab, k
“Akhirnya kamu bertanya juga apa yang aku mau. Baiklah, aku akan mengatakannya langsung kalau yang kuinginkan agar bisa kubebaskan anak ini yaitu Ervan harus menyerahkan 80% harta dan aset yang kamu miliki kepadaku untuk menjamin masa depan Dea. Sedang kamu Rafka, harus memberikan 50% harta dan aset mu kepadaku kalau ingin anak ini kubebaskan tanpa luka yang lebih parah dari yang didapatkan saat ini.”“Kalau cuma harta, ambil lah sebanyak yang kamu mau, Son. Tapi, apakah kamu meragukan bahwa aku sebagai ayahnya tidak bisa menjamin kehidupan Dea selamanya? Sampai-sampai kamu harus memintaku menyerahkan hartamu untuk menjamin masa depannya?” tukas Ervan dengan tatapan terluka sekaligus ada perasaan kesal dalam hatinya.Sonia tersenyum masam. “Aku percaya padamu sebelum kutahu adanya anak harammu dengan Sarah. Tapi setelah itu, aku tak bisa percaya padamu lagi karena aku takut kamu tidak akan bisa dengan adil membagi harta warisanmu kepada Dea dan anak haram itu! Bagaimana pun anak haram
Setelah menaiki tangga berliku-liku; akhirnya Sarah, Rafka, dan Ervan berhasil menemukan Leo di lantai paling atas atau bagian atap. Namun, pemandangan yang mereka temui mampu menyayat hati dan membuat mereka bertiga tertegun bukan main.Leo terikat erat dan mulutnya ditutupi rapat oleh selembar solasi tebal, sehingga Leo hanya bisa memekik tertahan di balik mulut yang disumpal itu. Di samping Leo, mereka melihat Sonia yang berdiri dengan angkuh, dan di sebelahnya ada Riko, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Sekalipun Ervan kini adalah suami Sonia, tetapi bukan berarti ia sudah tahu kalau Riko adalah pacar Sonia dulu.Semantar itu, Mendapati orang-orang yang ia benci sudah ada di hadapannya, langsung saja Sonia menyuruh Riko untuk melancarkan tinjuan bertubi-tubi di wajah Leo yang telah sadar dari pingsannya.Wajah Leo yang tak tertutup lakban, terlihat mengkerut seolah Leo sedang berusaha keras untuk menahan rasa sakit dari tonjokkan tanpa henti yang sedang dilayangkan ke w
Usai menempuh perjalanan sekitar 1 jam lebih, akhirnya Sarah dan Rafka tiba di gedung kosong di jalan Raya Delima No. 25 dengan hati yang berdebar-debar dan penuh kekhawatiran.Namun saat Sarah dan Rafka baru saja tiba di depan gedung kosong itu, mereka melihat Ervan sudah lebih dulu berada di sana.Sarah dan Rafka berdiri di depan gedung kosong, gelisah menyelinap di benak mereka seiring dengan kehadiran Ervan. Rafka, yang masih membawa rasa kekesalan terhadap Ervan atas peristiwa masa lalu, menduga-duga dalam hati.Rafka berspekulasi bahwa Ervan mungkin saja terlibat dalam penculikan Leo, mengingat keterlibatannya dalam peristiwa tragis yang menimpa Sarah dahulu. Tanpa memberi kesempatan pada Ervan untuk memberi jawaban dan menjelaskan alasan kehadirannya di sini, Rafka menghentakkan tinjunya dengan keras ke arah wajah Ervan, dengan maksud ingin melepaskan kekesalannya. "Kenapa lo bisa ada di sini? Apa yang lagi lo lakuin, Bang?Jangan-jangan lo juga terlibat di balik penculikan Le
Sarah menggigit bibirnya dengan keras, matanya berkaca-kaca. “Ini apa maksudnya, Raf? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku benar-benar takut kalau Leo sampai kenapa-napa!”Rafka yang juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang tengah dirasakan Sarah, memilih merangkul istrinya agar kepanikan Sarah tak terlalu membahana. "Kita harus segera pergi, Sar. Leo mungkin berada dalam bahaya. Percaya lah, bagaimanapun caranya, aku akan menyelamatkan Leo dan enggak akan membiarkannya sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi dan menyelamatkan Leo secepat mungkin."Sarah mengangguk, wajahnya pucat. Mereka berdua bergegas keluar dari rumah dan menuju ke lokasi yang disebutkan dalam pesan tersebut dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Rasanya keduanya sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Leo dan siapakah orang yang berani sekali melakukan penculikan pada anak lelaki Sarah tersebut.****“Untung saja, bocah
Sarah duduk gelisah di ruang tamu, matanya tak henti-hentinya memandangi jam di dinding. Sudah larut malam, tetapi tak seperti biasanya, kali ini Sarah sama sekali tak bisa tidur.Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa tidur kalau malam kian larut, tetapi putranya belum kunjung pulang. Berkali-kali, Sarah menghubungi nomor Leo lewat panggilan ponsel, tetapi nomor Leo sama sekali tak bisa dihubungi.Seketika perasaan tak tenang dan gelisah mulai merayap ke dalam hati Sarah. Ia takut terjadi hal buruk pada putranya karena tiba-tiba perasaannya seperti merasa tidak enak.“Aku khawatir sekali pada Leo, Raf. Sekarang sudah jam 12 malam, tapi dia belum pulang dan ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Padahal semenjak berbaikan dengan Leo waktu itu, dia sudah tidak pernah pulang malam dan mabuk-mabukan lagi,” ujar Sarah dengan nada cemas dan penuh kekhawatiran, sehingga memuat suaranya gemetar.Saking cemasnya, tak henti-hentinya Sarah terus menerus menatap layar ponselnya yang terus menunju