"Menjadi wanita kedua dalam hidup seorang habib tidaklah mudah. Apalagi aku tidak mencintainya." Humaira, mahasiswi Cambridge University yang independen dan sulit diatur, kehidupan nya berubah 180° dan harus menikah dengan habib yang sudah beristri. Perjodohan atas dasar patuh pada orang tua. Sangatlah sulit. Apakah Humaira akan menerima perjodohan itu? dan bersedia menjadi istri kedua⁉️
View MoreHumaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "
Arhab terdiam di depan Humaira, hatinya berat menerima permintaan wanita yang ada di hadapannya. Kata-kata Humaira sebelumnya masih terngiang di telinganya—permintaan menikah yang datang tiba-tiba, tak disangka. Namun, tatapan penuh harap dari mata Humaira dan desakan keadaan membuat Arhab tak kuasa menolak. "Aku akan menikahimu, Humaira," akhirnya, kata-kata itu meluncur dari bibir Arhab, meskipun hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Tapi kita harus melakukannya secepat mungkin, sebelum keadaan semakin memburuk."Humaira tersenyum kecil, walau hatinya masih bergelut dengan perasaan cemas. Keputusan ini bukanlah yang ia inginkan, tapi ia melakukannya demi Abi—demi keinginan terakhir ayahnya yang ingin melihat putrinya menikah sebelum ajal menjemput. Namun, tak satu pun dari mereka tahu bahwa keputusan ini akan berdampak lebih besar daripada yang mereka duga.Di sudut ruangan, Umma yang mendengar percakapan itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia mengetahui ba
Humaira menatap layar ponselnya, senyum kecil terukir di wajahnya. Pesan yang ia tunggu- tunggu akhirnya tiba. *“Hari ini mas akan berangkat ke Mekkah yaa, mas sudah di bandara mau check-in tiket. Sampai jumpa di sana, Humeyy.”* Hati Humaira terasa lebih ringan, membayangkan Ilham yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah untuk menemuinya. Ada sedikit kelegaan di tengah perasaan cemas yang membebani pikirannya selama beberapa hari terakhir. Namun, ketika ia menoleh ke arah Arhab, ia mendapati pria itu tampak bingung, wajahnya tampak tegang dan penuh keraguan. Humaira segera menjelaskan, merasa bahwa itu adalah langkah yang tepat. “Mas, sebenarnya aku sedang menunggu seseorang. Dia akan datang untuk melamarku,” kata Humaira dengan nada pelan namun tegas, mencoba menjelaskan situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Dia sedang dalam perjalanan ke sini, dan aku berharap semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi, tolong jangan beri tahu orang tuaku dulu, ya. Aku ingin memastikan semuanya sebe
Setelah perjalanan liburan di Maroko bersama Ilham, Humaira harus kembali ke Inggris untuk menyelesaikan proyek penelitian di kampus. Meski hatinya dipenuhi oleh bayangan lamaran Ilham, ia sadar bahwa tugas akademis adalah prioritas utama. Kehidupan di kampus berjalan seperti biasa—rapat kelompok, diskusi dosen, dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Namun, di sela-sela kesibukannya, hubungan antara Humaira dan Ilham terus berkembang. Mereka sering berbicara melalui pesan singkat. Setiap malam, obrolan mereka selalu terasa hangat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang apa yang mereka rasakan, bahkan hal-hal kecil yang biasanya tak terlalu diperhatikan. Ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh semakin kuat di antara mereka, meski jarak ribuan kilometer memisahkan. Namun, di balik setiap kata yang mereka tukarkan, ada sesuatu yang mulai membuat Humaira merasa tak nyaman—Hafizah. Hafizah, sahabat dekat Humaira, yang dulunya tak pernah menjadi masalah, kini tampak
“Will you marry me?” ucap Ilham dengan tegas, namun lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban berat di pundaknya.Seketika Humaira terdiam. Jantungnya berdegup kencang, terlalu cepat hingga sulit baginya untuk bernapas dengan tenang. Bagaimana mungkin kata-kata sederhana itu dapat membuat dunianya seakan berhenti? Ilham, yang dikenalinya sebagai sosok yang tenang dan penuh perhitungan, kini berlutut di hadapannya, mengajukan pertanyaan yang selama ini ia bayangkan akan datang, tapi tak pernah ia pikir akan sesegera ini.Tangan Humaira mulai gemetar, membuat sate yang ada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa menatap Ilham dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, terkejut, dan gugup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ini adalah momen yang seharusnya membahagiakan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang mendalam dan sulit diabaikan.Pikiran Humaira mendadak mela
Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya."Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis."Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati."Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum."Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab."Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata.Arhab langsung memeluk istrinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments