Share

"Sorrows and Encounters "

**[Keesokan Harinya]**

Pagi hari, saat Arhab sedang membereskan barang-barang di ruang inap istrinya, tiba-tiba ada perawat yang mengetuk pintu. Arhab membuka pintu dan perawat tersebut dengan ramah menyampaikan bahwa ia diminta ke ruangan dokter untuk mengetahui hasil tes laboratorium istrinya.

Arhab segera menuju ruangan dokter, sementara perawat memeriksa kondisi istrinya yang masih belum sadar dari pingsan semalam.

Sesampainya di ruangan dokter, Arhab dipersilakan duduk. Ia langsung menanyakan hasil tes laboratorium istrinya dengan penuh kecemasan. Dokter menunjukkan surat hasil lab dan mulai menjelaskan.

“Jadi begini, Pak. Berdasarkan hasil laboratorium ini, istri Bapak saat ini sedang mengandung, dengan usia kandungan sekitar dua minggu,” ucap dokter.

Arhab terkejut dan tersenyum mendengar berita tersebut. Namun, senyum itu segera pudar ketika dokter melanjutkan penjelasan.

“Namun, di sisi lain, istri Bapak mengalami komplikasi. Janin yang dikandungnya berisiko tidak dapat terselamatkan. Kami harus segera menindaklanjuti keadaan istri Bapak. Dengan berat hati, untuk menyelamatkan istri Bapak, janin tersebut harus diangkat karena akan berisiko pada keduanya jika hal ini dibiarkan. Ini adalah surat persetujuan untuk operasi pengangkatan janin istri Bapak. Saya harap Bapak segera memutuskan, karena kondisi istri Bapak sangat lemah untuk mengandung bayi saat ini,” lanjut dokter.

Arhab, yang awalnya merasa bahagia dengan berita kehamilan istrinya, kini harus menghadapi kabar sedih. Ia terdiam lama, lalu dengan berat hati menandatangani surat persetujuan operasi tanpa sepengetahuan istrinya.

“Baik, Pak. Terima kasih telah memutuskan untuk menyelamatkan salah satu dari mereka. Kami akan segera menyiapkan operasi istri Bapak siang ini. Bapak boleh menemani istri Bapak kembali. Terima kasih,” ucap dokter.

Arhab berpamitan kepada dokter sambil memegang salinan surat hasil lab. Dengan tatapan kosong dan air mata yang mengalir, ia berjalan kembali menuju ruang inap istrinya.

Setibanya di ruang inap, Arhab melihat istrinya telah siuman dan sedang membaca Al-Qur’an. Ketika mata mereka bertemu, Arhab tak kuasa menahan tangisnya dan memilih untuk meninggalkan ruangan. Ia menuju taman rumah sakit.

Istrinya kebingungan melihat sikap suaminya dan menyangka Arhab masih marah padanya. Dengan tangan yang terinfus dan kondisi yang masih lemah, ia tidak bisa mengejar suaminya.

**[Di Taman Rumah Sakit Maroko]**

Karena masih pagi dan tidak banyak orang di taman, Arhab duduk menunduk sambil menangis. Ia merenungi semua kejadian yang menimpanya.

Tiba-tiba, seseorang menghampiri dan menepuk bahunya. Itu adalah Ilham, sahabat Arhab, yang datang sambil membawa sebungkus sarapan.

“Masih sedih, Bro? Makan dulu, ya. Semalam pasti capek, maaf banget kalau aku nggak bisa bantu banyak. Ada tugas mendadak. Makan dulu, setelah itu ceritakan kondisinya istrimu. Siapa tahu aku bisa membantu,” kata Ilham sambil duduk dan memberikan sarapan.

“Terima kasih, bro. Maaf kalau aku baru datang langsung merepotkanmu,” ucap Arhab sambil menerima sarapan dari Ilham.

“Santai saja, Hab. Makan dulu. Wajahmu pucat. Kalau terus ngelamun, kamu bisa sakit. Jaga kesehatanmu, jangan terus-terusan sedih,” jawab Ilham.

Arhab tanpa berkata-kata langsung mengeluarkan surat hasil lab dari kantongnya dan menyerahkannya kepada Ilham. Ilham membaca surat tersebut dengan wajah terkejut.

“Innalillahi wa inna ilayhi raji'un. Astaghfirullah. Sabar ya, Hab,” ucap Ilham dengan penuh empati.

Arhab masih menunduk, menahan tangis.

***

Di sisi lain, Tak terasa sudah dua minggu Humaira berada di Maroko.

Hari ini, jadwal mereka adalah mengunjungi situs sejarah yang telah ditentukan oleh kampus untuk diteliti oleh para mahasiswa Cambridge yang ikut penelitian di Maroko.

Humaira sudah berada di tempat penelitian bersama teman-temannya, dengan tablet di tangannya untuk mencatat. Pembimbing penelitian tiba dan menyapa mereka dengan hangat. Humaira tersenyum malu-malu melihat pembimbing tersebut.

Gabriel, yang berdiri di samping Humaira, merasa heran dan sedikit cemburu.

“Dia ganteng ya, Gab?” tanya Humaira dalam bahasa Inggris.

Gabriel terkejut dengan pertanyaan itu. “Kamu suka sama dia?” tanyanya to the point.

“Hmmm, baru kagum doang sih. Baru empat kali ketemu, masa langsung suka? Lawak banget,” jawab Humaira sambil tertawa.

Gabriel berusaha menjaga ekspresinya meskipun terlihat kesal. “Iya, lawak ya,” ucapnya datar.

Tak lama kemudian, nama Humaira disebut oleh pembimbing saat absensi.

“Present, Kak Ilham,” ucap Humaira sambil tersenyum tipis dan mengangkat tangan.

Ilham membalas senyuman Humaira dan mencatat kehadirannya.

**WAITTTTTT.....**

ILHAM?

Yup! Dia Ilham, sahabat Arhab.

Ilham juga menjadi pembimbing penelitian Humaira di Maroko.

**Jadi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah hubungan Humaira dan Ilham hanya sebatas pembimbing dan mahasiswa, atau ada sesuatu yang lebih?**

Jangan lewatkan lanjutan cerita ini!

Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini. Jangan lupa untuk vote, comment, dan follow!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status