Share

"Cinta dan Rahasia"

"Present, Kak Ilham." ucap Humaira sambil mengangkat tangan dan tersenyum ke arah Kakak pembimbing.

Senyuman Humaira pun dibalas oleh Ilham.

*******

"Jarang banget kasih senyum gitu ke orang lain," ucap Gabriel kepada Humaira dengan nada mengejek.

"Apa sih, Gab? Gak boleh gitu gue senyum ke orang lain?" jawab Humaira, melirik Gabriel dengan kesal.

"Gak boleh dong. Ke gue aja gak pernah senyum manis kayak gitu," balas Gabriel dengan mudahnya.

"Hah? Aneh lu," respon Humaira keheranan dengan ucapan Gabriel. Ia pun meninggalkan Gabriel dan berjalan menuju Marrie.

Tak lama kemudian, dosen menyampaikan tugas kepada para mahasiswa.

"Oke baik semuanya, mohon diperhatikan dan didengarkan dengan baik. Tugas kalian saat ini adalah menganalisis sedetail dan selengkap mungkin mengenai Kasbah des Oudayas bersama kelompok yang sudah dibentuk. Setiap Minggu, kalian harus menyerahkan progres penelitian kepada saya. Mohon diserahkan tepat waktu, jika sampai tidak ada perwakilan kelompok yang mengumpulkan laporan hasil penelitian, dengan senang hati kalian akan dipulangkan dan mengulang di semester depan. Terima kasih," ucap sang profesor dengan tegas.

"Baik, Prof!" jawab seluruh mahasiswa penelitian serempak.

Setelah menyampaikan tugas, sang profesor meninggalkan para mahasiswa dan berbicara sebentar dengan Kak Ilham.

Kemudian, Kak Ilham menginstruksikan semua mahasiswa untuk bergabung sesuai kelompoknya dan mengikuti seorang pemandu yang telah disiapkan, sesuai nomor kelompok yang tertera di kertas pemandu. Pemandu tersebut akan membantu proses eksplorasi penelitian.

Humaira mendapat kelompok nomor 5, namun setelah diperhatikan, tidak ada seorang pemandu pun yang memegang kertas nomor 5. Humaira dan kelompoknya mulai kebingungan.

Satu per satu kelompok lain mulai pergi mengikuti pemandu masing-masing. Sementara kelompok Humaira masih kebingungan mencari pemandu mereka.

Akhirnya, Humaira dan Gabriel memutuskan untuk menghampiri Kak Ilham.

"Kak, maaf, pemandu untuk kelompok kami mana ya?" tanya Humaira.

"Memangnya kalian kelompok berapa?" jawab Kak Ilham.

"Kami kelompok 5, Kak," ucap Gabriel.

"Oh, kalian kelompok 5. Oke, ayo ikuti saya," ucap Kak Ilham.

Humaira dan Gabriel segera memanggil anggota kelompok lainnya untuk ikut mengikuti Kak Ilham.

Di perjalanan, Marrie bertanya pada Kak Ilham.

"Kak, kita mau diantar ke pemandu kita ya?" tanya Marrie.

Kak Ilham pun menghentikan langkahnya dan mengeluarkan ID card, lalu mengalungkannya di leher.

"Saya yang akan jadi pemandu kalian selama penelitian berlangsung," ucap Kak Ilham.

Anggota tim Humaira biasa saja mendengar hal itu, namun Humaira sangat terkejut mendengar pernyataan Kak Ilham.

Kak Ilham lalu menjelaskan bahwa ia hanya sementara menjadi pemandu tim Humaira. Pada awalnya, tim Humaira sudah memiliki pemandu lain, namun secara tiba-tiba, H-2 sebelum pelaksanaan tugas, pemandu tersebut mengundurkan diri karena ada urusan mendesak.

Jadi, selagi menunggu pemandu baru, Kak Ilham yang akan menjadi pemandu sementara tim Humaira.

*******

Hari itu, kelompok Humaira berjalan menyusuri lokasi penelitian, ditemani arahan dari Kak Ilham untuk mencari informasi.

Selama berjalan, Humaira sesekali mencuri pandang ke arah Kak Ilham, dan Gabriel pun menyadari hal itu, membuatnya terlihat sedikit kesal.

Setiap kali Humaira mencuri pandang ke arah Kak Ilham, Gabriel tiba-tiba mengajak ngobrol atau menyuruh Humaira mencatat informasi dari Kak Ilham, intinya Gabriel selalu mengganggu Humaira.

Hari sudah mulai sore, dan Kak Ilham menyudahi kegiatan eksplorasi hari itu, yang akan dilanjutkan esok hari. Kak Ilham memperkirakan bahwa eksplorasi tempat penelitian akan berlangsung selama seminggu di Kasbah des Oudayas, lalu sisa waktunya digunakan untuk membuat laporan.

Di sore itu, Kak Ilham mempersilakan kelompok Humaira untuk beristirahat dan pulang ke mess atau melanjutkan kegiatan lainnya.

Satu per satu anggota kelompok Humaira mulai berpamitan pada Kak Ilham untuk pulang ke mess.

Humaira adalah orang terakhir yang berpamitan pada Kak Ilham. Ketika Humaira berpamitan, tiba-tiba Kak Ilham berkata.

"Oh iya, sebentar Humaira. Maaf saya lupa memberikan nomor kontak saya kepada anggota kelompok kamu," ucap Kak Ilham dengan nada yang sedikit ragu, seperti malu atau canggung.

"Oh iya ya, Kak. Kalau gitu ini HP aku, Kakak bisa save nomor kontak Kakak di HP aku dulu. Nanti aku buatkan grup chat untuk komunikasi mengenai penelitiannya ya, Kak," ucap Humaira dengan semangat dan sedikit canggung sambil memberikan HP-nya kepada Kak Ilham.

Kak Ilham pun menuliskan nomor kontaknya di HP Humaira.

Sambil menunggu HP-nya yang sedang digunakan Kak Ilham, Humaira merasa canggung, dan hatinya berdebar tak karuan.

Pada saat itu, Humaira benar-benar sendirian tanpa ditemani Gabriel atau teman lainnya. Gabriel dan Clark pergi ke supermarket untuk membeli persediaan makanan, dan teman-teman lainnya langsung pulang ke mess.

Setelah selesai, Kak Ilham mengembalikan HP Humaira sambil mengucapkan terima kasih.

Humaira pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih kembali pada Kak Ilham.

Humaira berpamitan untuk pulang. Baru saja ia melangkah lima langkah, ia berhenti.

Humaira membalikkan badan ke arah Kak Ilham yang sedang berjalan menjauh.

"Kak Ilham, maaf tunggu sebentar," ucap Humaira.

Hal itu membuat Kak Ilham menoleh ke arah Humaira dan menghentikan langkahnya.

Humaira sudah berada kembali di dekat Kak Ilham.

"Iya, ada apa, Humaira?" tanya Kak Ilham.

"Maaf, Kak. Boleh minta tolong?" ucap Humaira dengan ragu.

"Tentu, minta tolong apa?" balas Kak Ilham.

"Maaf Kak, aku lupa jalan pulang ke mess. Boleh tolong tunjukin jalan ke mess nggak, Kak? Di ujung jalan sana belok kiri atau kanan ya, Kak, buat ke jalan besar? Setelah di jalan besar, ada transportasi umum nggak? Maaf Kak, aku lupa jalannya. Teman aku katanya sudah hampir sampai mess, mobilnya mau ke bengkel jadi kalau putar balik nggak bisa, aku bingung, Kak," ucap Humaira dengan ragu.

"Hmmm.. Ya udah, yuk ikut saya," ucap Kak Ilham sambil mengajak Humaira menuju parkiran untuk mengambil motornya.

"Loh, Kak, jalannya belok kanan apa kiri? Jalan keluarnya lewat sana kan?" tanya Humaira berjalan mengikuti Kak Ilham sambil menunjuk jalan keluar.

Ucapan Humaira diabaikan oleh Kak Ilham.

Saat sampai di parkiran, Kak Ilham sudah menaiki motornya.

"Ayo naik, saya antar kamu," ucap Kak Ilham.

"Loh Kak, nggak usah, nanti jadi ngerepotin, aku bisa kok pulang sendiri," jawab Humaira.

"Nggak yakin saya. Kamu lupa jalan ke mess kan? Yuk, saya antar daripada nanti kamu nyasar dan bingung. Emang agak pusing sih jalan di sini, susah dihapal. Nanti saya kasih tahu deh tips menghapal jalan di Maroko ini. Gimana?" ucap Kak Ilham.

"Tapi beneran nggak apa-apa, Kak? Emang Kakak nggak sibuk gitu?" tanya Humaira dengan ragu.

"Nggak, saya lagi nggak sibuk. Yuk naik, Mey, udah mulai gelap nih, takut kena maghrib, nanti telat ke masjid hehe," ucap Kak Ilham.

"Oke Kak, makasih banyak ya. Nanti aku traktir Kakak deh makan siang buat besok hehehe," ucap Humaira.

"Beneran nih? Yaudah, deal yaa," ucap Kak Ilham sambil tertawa kecil dan memberikan helm.

"Iya, Kak wkwkwk," balas Humaira sambil tertawa dan memasang helm.

Akhirnya Humaira diantar pulang oleh Kak Ilham menggunakan motor.

Selama perjalanan di motor, mereka berdua saling diam. Humaira masih canggung karena untuk pertama kalinya dibonceng oleh laki-laki selain ayahnya. Hanya Abi laki-laki yang pernah membonceng Humaira.

Untuk memecah keheningan perjalanan, tiba-tiba Kak Ilham bertanya kepada Humaira.

"Oh iya, kamu dari Indonesia juga kan, sama seperti saya. Dari daerah mana kamu?" tanya Kak Ilham.

"Hmm, saya dari Jawa Timur, Kak. Kalau Kakak dari mana?" jawab Humaira.

"Oh iya? Saya dari Manado, tapi pernah tinggal di Jawa Timur buat pesantren di Darul Huda," ucap Kak Ilham dengan sedikit terkejut.

"Hah? Kakak pernah jadi santri di Pesantren Darul Huda?" ucap Humaira dengan terkejut.

"Iya, saya pernah jadi santri di sana. Kok kamu kaget gitu, hahaha. Kamu tinggal di mana, btw?" ucap Kak Ilham sambil tertawa kecil.

Mendengar pernyataan Kak Ilham, Humaira merasa terkejut sekaligus bingung harus merespons apa. Ternyata, Kak Ilham pernah menjadi santri di pesantren milik ayahnya. Perasaan Humaira bercampur aduk, seperti tak karuan. Dia takut jika harus mengakui bahwa dirinya adalah anak Pak Kyai, pemilik Pesantren Darul Huda.

Pikiran Humaira berputar cepat, "Sepertinya aku tidak bisa menyebutkan siapa sebenarnya aku. Kalau aku bilang, dia pasti akan langsung menyadarinya, dan tahu bahwa aku anak tunggal Abi."

Setelah beberapa detik berlalu dalam kebingungan, Humaira akhirnya berkata, "Ooh, a-aku juga pernah jadi santriwati di Pesantren Darul Huda, Kak. Wah, nggak nyangka bisa ketemu alumni pesantren juga di luar negeri," ucapnya dengan canggung, suaranya terdengar sedikit gugup.

"Weh, seriusan? Kamu angkatan berapa?" tanya Kak Ilham, tampak sangat terkejut.

"Aku angkatan 32, Kak. Kakak angkatan berapa?" jawab Humaira.

"Oh, berarti kamu di bawah saya empat tahun ya? Saya angkatan 28, Humeyy. Eh, tapi jujur ya, pas pertama kali lihat wajah kamu, kayaknya familiar deh. Kita pernah ketemu nggak sih pas di pesantren?" ucap Kak Ilham, matanya menyipit, mencoba mengingat-ingat.

"Kalo itu, kayaknya aku baru kali ini deh lihat wajah Kakak, hehehe. Seingat aku, aku belum pernah ketemu Kakak pas di pesantren," jawab Humaira dengan senyum polos.

"Oh gitu, iya juga ya. Kita mana mungkin ketemu, orang beda kawasan, wkwkwk. Ikhwan sama akhwat jauh juga kan tempatnya. Mungkin iya, kita memang belum pernah ketemu ya pas di pesantren," ucap Kak Ilham sambil tertawa.

"Mungkin juga, wajah aku aja kali Kak yang pasaran, hehe," ucap Humaira, berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa kecil.

Dalam pikirannya, Humaira berkata, Kak Ilham kayaknya pernah lihat aku deh, secara aku anak Kyai, pasti jadi sorotan kalau ada. Aduh, semoga Kak Ilham nggak ingat atau curiga kalau aku anak Pak Kyai. Aku takut banget, soalnya dulu aku agak bandel.

"Enggaklah, wajah secantik kamu mana mungkin pasaran," ucap Kak Ilham dengan polos, namun kalimatnya membuat Humaira terdiam sejenak.

Detak jantung Humaira tiba-tiba berdegup kencang mendengar pujian itu keluar dari mulut Kak Ilham. Seolah tak percaya, ia berusaha mengendalikan perasaannya.

"Bisa aja, Kak. Wkwkwk," ucap Humaira sambil memegang dadanya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.

Gombalannya berasa sampai ke tulang, coy, pikir Humaira sambil tersenyum malu-malu.

"Oh iya, Mey, kalau dengar nama kamu tuh, jadi ingat nama istri teman saya, yang kemarin baru sampai sini buat bulan madu di Maroko. Tapi sayangnya, pas mereka sampai Maroko harus ke rumah sakit dulu," ucap Kak Ilham, suaranya berubah serius.

"Oh iya? Syafakillah buat istri teman Kakak, semoga cepat sembuh. Sakit apa, Kak, kalau boleh tahu? Oh, btw, namanya persis banget kayak aku, Kak?" tanya Humaira, mulai merasa penasaran.

Saat Kak Ilham hendak menjawab, tiba-tiba HP-nya berbunyi. Dengan cepat, ia meminta izin kepada Humaira untuk mengangkat teleponnya. Motornya segera melipir ke pinggir jalan untuk parkir. Mereka berhenti tepat di dekat perempatan, tak jauh dari mess Humaira.

"Sebentar ya, Humeyy," ucap Kak Ilham sambil tersenyum.

"Oke, Kak," jawab Humaira sambil turun dari motor.

Menunggu sebentar, Humaira bisa mendengar percakapan serius antara Kak Ilham dan seseorang di telepon. Dari cara bicara dan banyaknya kata "bro" yang terlontar, Humaira menebak itu pasti saudara atau sahabat dekat Kak Ilham.

Percakapan telepon itu hanya berlangsung dua menit, namun bagi Humaira rasanya seperti lebih lama.

"Ayo naik lagi, Mey," ucap Kak Ilham, menawarkan tempat duduk di motornya.

"Bentar, Kak. Maaf banget, tadi Humey nggak sengaja dengar. Kakak mau pergi ke rumah sakit ya?" tanya Humaira dengan nada penuh perhatian.

"Iya, Mey. Saya mau jenguk teman yang lagi di rumah sakit, yang baru kita obrolin tadi. Tapi nggak apa-apa, saya antar dulu kamu sampai mess," ucap Kak Ilham dengan tenang.

"Eh, nggak usah, Kak. Itu mess aku kan yang di seberang itu, Kak, hehehe. Aku lihat plang di sana, rumah sakit belok kiri, sedangkan mess aku lurus. Jadi nggak apa-apa, daripada Kakak muter balik, aku jalan aja nyebrang, hehe," jawab Humaira sambil menunjuk arah mess-nya.

"Beneran? Tapi aman nggak? Jangan lupa traktir buat besok, hahahaha," ucap Kak Ilham sambil tertawa.

"Beneran, Kak, aman kok. Aku pasti traktir besok, wkwkwk. Yaudah, aku duluan ya, Kak. Makasih banyak Kak, tumpangannya. Hati-hati di jalan juga ya, Kak," ucap Humaira sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan dan berjalan menuju zebra cross.

"Iya, kamu hati-hati juga, Mey," balas Kak Ilham, melambaikan tangan dengan senyum yang hangat.

Saat berjalan menuju mess, Humaira masih termenung, memikirkan semua yang baru saja terjadi. Ia masih tak percaya dirinya bisa begitu nyaman bersama Kak Ilham, bahkan dibonceng motor dan bercanda tanpa merasa canggung.

Humaira bertanya-tanya dalam hatinya, Kok bisa? Seorang Humaira yang dikenal sebagai 'untouchable' bisa sesantai itu dibonceng cowok, sambil bercanda pula. Padahal, sama Gabriel pun aku nggak pernah merasa senyaman ini. Aku ngerasa kayak dibonceng Abi, cara bicara, humornya. Aku ngerasa Abi di dalam diri Kak Ilham. Apa Kak Ilham orangnya? Eh, astaghfirullah, enggak, Humey. Ini berlebihan banget. Orang baru ketemu, kok pikiran kamu udah kemana-mana. Aduh, tipu daya nafsu, pergilah jauh-jauh dari pikiranku! gumam Humaira dalam hati, sambil menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh itu.

Tak lama kemudian, Humaira sampai di depan gerbang mess-nya.

Baru saja Humaira hendak memasuki gerbang, langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya dari arah trotoar.

"Kak Humairaaa, sebentar..." panggil seorang wanita cantik berhijab, dengan wajah yang memiliki ciri khas Arab. Wanita itu mengenakan gamis pink oversize yang tampak begitu anggun di tubuhnya.

"Huft... Kakak namanya Humaira, kan?" ucap wanita misterius itu sambil menghela nafas, tampak lelah setelah berlari kecil mengejar Humaira.

"Iya, maaf, kamu siapa ya?" tanya Humaira, bingung dan heran melihat wanita itu.

"Akhirnyaaaa, ketemu juga..." ucap wanita itu, seolah lega setelah menemukan Humaira.

Humaira terdiam dan terheran tiba tiba di samperin wanita asing, dia siapa? tanya Humaira dalam batinnya

************

Baiklah, sampai di sini dulu cerita di chapter ini.

Cukup panjang, ya? Semoga kalian menikmati setiap momennya. Tadinya mau dipotong jadi dua bagian, tapi rasanya sayang kalau di-cut. Ada kejutan menarik yang menunggu di chapter berikutnya, jadi jangan lewatkan!

Sedikit catatan, tempat, tokoh, dan cerita ini semuanya fiktif. Jadi kalau ada kemiripan dengan kejadian atau orang lain, itu hanya kebetulan semata.

Gimana? Sudah mulai menangkap beberapa petunjuk tentang istri Kak Ilham? Atau mungkin kalian punya tebakan sendiri? Oh iya, siapa yang kira-kira bakal bersama Humaira? Habib muda yang mana, Arhab atau Ilham? Dan jangan lupa, Ilham juga seorang habib, lho.

Lalu, siapa wanita misterius yang baru saja muncul? Apakah dia akan mempengaruhi cerita Humaira?

Penasaran, kan? Jangan lupa untuk tetap mengikuti kisah ini. Vote, komen, dan follow sangat dihargai. Kalau belum menambahkan ke library, yuk tambahkan sekarang!

Sampai jumpa di chapter berikutnya. Terima kasih banyak buat kalian semua yang sudah vote, comment, follow, dan add ke library!✨

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status