"Present, Kak Ilham." ucap Humaira sambil mengangkat tangan dan tersenyum ke arah Kakak pembimbing.
Senyuman Humaira pun dibalas oleh Ilham. ******* "Jarang banget kasih senyum gitu ke orang lain," ucap Gabriel kepada Humaira dengan nada mengejek. "Apa sih, Gab? Gak boleh gitu gue senyum ke orang lain?" jawab Humaira, melirik Gabriel dengan kesal. "Gak boleh dong. Ke gue aja gak pernah senyum manis kayak gitu," balas Gabriel dengan mudahnya. "Hah? Aneh lu," respon Humaira keheranan dengan ucapan Gabriel. Ia pun meninggalkan Gabriel dan berjalan menuju Marrie. Tak lama kemudian, dosen menyampaikan tugas kepada para mahasiswa. "Oke baik semuanya, mohon diperhatikan dan didengarkan dengan baik. Tugas kalian saat ini adalah menganalisis sedetail dan selengkap mungkin mengenai Kasbah des Oudayas bersama kelompok yang sudah dibentuk. Setiap Minggu, kalian harus menyerahkan progres penelitian kepada saya. Mohon diserahkan tepat waktu, jika sampai tidak ada perwakilan kelompok yang mengumpulkan laporan hasil penelitian, dengan senang hati kalian akan dipulangkan dan mengulang di semester depan. Terima kasih," ucap sang profesor dengan tegas. "Baik, Prof!" jawab seluruh mahasiswa penelitian serempak. Setelah menyampaikan tugas, sang profesor meninggalkan para mahasiswa dan berbicara sebentar dengan Kak Ilham. Kemudian, Kak Ilham menginstruksikan semua mahasiswa untuk bergabung sesuai kelompoknya dan mengikuti seorang pemandu yang telah disiapkan, sesuai nomor kelompok yang tertera di kertas pemandu. Pemandu tersebut akan membantu proses eksplorasi penelitian. Humaira mendapat kelompok nomor 5, namun setelah diperhatikan, tidak ada seorang pemandu pun yang memegang kertas nomor 5. Humaira dan kelompoknya mulai kebingungan. Satu per satu kelompok lain mulai pergi mengikuti pemandu masing-masing. Sementara kelompok Humaira masih kebingungan mencari pemandu mereka. Akhirnya, Humaira dan Gabriel memutuskan untuk menghampiri Kak Ilham. "Kak, maaf, pemandu untuk kelompok kami mana ya?" tanya Humaira. "Memangnya kalian kelompok berapa?" jawab Kak Ilham. "Kami kelompok 5, Kak," ucap Gabriel. "Oh, kalian kelompok 5. Oke, ayo ikuti saya," ucap Kak Ilham. Humaira dan Gabriel segera memanggil anggota kelompok lainnya untuk ikut mengikuti Kak Ilham. Di perjalanan, Marrie bertanya pada Kak Ilham. "Kak, kita mau diantar ke pemandu kita ya?" tanya Marrie. Kak Ilham pun menghentikan langkahnya dan mengeluarkan ID card, lalu mengalungkannya di leher. "Saya yang akan jadi pemandu kalian selama penelitian berlangsung," ucap Kak Ilham. Anggota tim Humaira biasa saja mendengar hal itu, namun Humaira sangat terkejut mendengar pernyataan Kak Ilham. Kak Ilham lalu menjelaskan bahwa ia hanya sementara menjadi pemandu tim Humaira. Pada awalnya, tim Humaira sudah memiliki pemandu lain, namun secara tiba-tiba, H-2 sebelum pelaksanaan tugas, pemandu tersebut mengundurkan diri karena ada urusan mendesak. Jadi, selagi menunggu pemandu baru, Kak Ilham yang akan menjadi pemandu sementara tim Humaira. ******* Hari itu, kelompok Humaira berjalan menyusuri lokasi penelitian, ditemani arahan dari Kak Ilham untuk mencari informasi. Selama berjalan, Humaira sesekali mencuri pandang ke arah Kak Ilham, dan Gabriel pun menyadari hal itu, membuatnya terlihat sedikit kesal. Setiap kali Humaira mencuri pandang ke arah Kak Ilham, Gabriel tiba-tiba mengajak ngobrol atau menyuruh Humaira mencatat informasi dari Kak Ilham, intinya Gabriel selalu mengganggu Humaira. Hari sudah mulai sore, dan Kak Ilham menyudahi kegiatan eksplorasi hari itu, yang akan dilanjutkan esok hari. Kak Ilham memperkirakan bahwa eksplorasi tempat penelitian akan berlangsung selama seminggu di Kasbah des Oudayas, lalu sisa waktunya digunakan untuk membuat laporan. Di sore itu, Kak Ilham mempersilakan kelompok Humaira untuk beristirahat dan pulang ke mess atau melanjutkan kegiatan lainnya. Satu per satu anggota kelompok Humaira mulai berpamitan pada Kak Ilham untuk pulang ke mess. Humaira adalah orang terakhir yang berpamitan pada Kak Ilham. Ketika Humaira berpamitan, tiba-tiba Kak Ilham berkata. "Oh iya, sebentar Humaira. Maaf saya lupa memberikan nomor kontak saya kepada anggota kelompok kamu," ucap Kak Ilham dengan nada yang sedikit ragu, seperti malu atau canggung. "Oh iya ya, Kak. Kalau gitu ini HP aku, Kakak bisa save nomor kontak Kakak di HP aku dulu. Nanti aku buatkan grup chat untuk komunikasi mengenai penelitiannya ya, Kak," ucap Humaira dengan semangat dan sedikit canggung sambil memberikan HP-nya kepada Kak Ilham. Kak Ilham pun menuliskan nomor kontaknya di HP Humaira. Sambil menunggu HP-nya yang sedang digunakan Kak Ilham, Humaira merasa canggung, dan hatinya berdebar tak karuan. Pada saat itu, Humaira benar-benar sendirian tanpa ditemani Gabriel atau teman lainnya. Gabriel dan Clark pergi ke supermarket untuk membeli persediaan makanan, dan teman-teman lainnya langsung pulang ke mess. Setelah selesai, Kak Ilham mengembalikan HP Humaira sambil mengucapkan terima kasih. Humaira pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih kembali pada Kak Ilham. Humaira berpamitan untuk pulang. Baru saja ia melangkah lima langkah, ia berhenti. Humaira membalikkan badan ke arah Kak Ilham yang sedang berjalan menjauh. "Kak Ilham, maaf tunggu sebentar," ucap Humaira. Hal itu membuat Kak Ilham menoleh ke arah Humaira dan menghentikan langkahnya. Humaira sudah berada kembali di dekat Kak Ilham. "Iya, ada apa, Humaira?" tanya Kak Ilham. "Maaf, Kak. Boleh minta tolong?" ucap Humaira dengan ragu. "Tentu, minta tolong apa?" balas Kak Ilham. "Maaf Kak, aku lupa jalan pulang ke mess. Boleh tolong tunjukin jalan ke mess nggak, Kak? Di ujung jalan sana belok kiri atau kanan ya, Kak, buat ke jalan besar? Setelah di jalan besar, ada transportasi umum nggak? Maaf Kak, aku lupa jalannya. Teman aku katanya sudah hampir sampai mess, mobilnya mau ke bengkel jadi kalau putar balik nggak bisa, aku bingung, Kak," ucap Humaira dengan ragu. "Hmmm.. Ya udah, yuk ikut saya," ucap Kak Ilham sambil mengajak Humaira menuju parkiran untuk mengambil motornya. "Loh, Kak, jalannya belok kanan apa kiri? Jalan keluarnya lewat sana kan?" tanya Humaira berjalan mengikuti Kak Ilham sambil menunjuk jalan keluar. Ucapan Humaira diabaikan oleh Kak Ilham. Saat sampai di parkiran, Kak Ilham sudah menaiki motornya. "Ayo naik, saya antar kamu," ucap Kak Ilham. "Loh Kak, nggak usah, nanti jadi ngerepotin, aku bisa kok pulang sendiri," jawab Humaira. "Nggak yakin saya. Kamu lupa jalan ke mess kan? Yuk, saya antar daripada nanti kamu nyasar dan bingung. Emang agak pusing sih jalan di sini, susah dihapal. Nanti saya kasih tahu deh tips menghapal jalan di Maroko ini. Gimana?" ucap Kak Ilham. "Tapi beneran nggak apa-apa, Kak? Emang Kakak nggak sibuk gitu?" tanya Humaira dengan ragu. "Nggak, saya lagi nggak sibuk. Yuk naik, Mey, udah mulai gelap nih, takut kena maghrib, nanti telat ke masjid hehe," ucap Kak Ilham. "Oke Kak, makasih banyak ya. Nanti aku traktir Kakak deh makan siang buat besok hehehe," ucap Humaira. "Beneran nih? Yaudah, deal yaa," ucap Kak Ilham sambil tertawa kecil dan memberikan helm. "Iya, Kak wkwkwk," balas Humaira sambil tertawa dan memasang helm. Akhirnya Humaira diantar pulang oleh Kak Ilham menggunakan motor. Selama perjalanan di motor, mereka berdua saling diam. Humaira masih canggung karena untuk pertama kalinya dibonceng oleh laki-laki selain ayahnya. Hanya Abi laki-laki yang pernah membonceng Humaira. Untuk memecah keheningan perjalanan, tiba-tiba Kak Ilham bertanya kepada Humaira. "Oh iya, kamu dari Indonesia juga kan, sama seperti saya. Dari daerah mana kamu?" tanya Kak Ilham. "Hmm, saya dari Jawa Timur, Kak. Kalau Kakak dari mana?" jawab Humaira. "Oh iya? Saya dari Manado, tapi pernah tinggal di Jawa Timur buat pesantren di Darul Huda," ucap Kak Ilham dengan sedikit terkejut. "Hah? Kakak pernah jadi santri di Pesantren Darul Huda?" ucap Humaira dengan terkejut. "Iya, saya pernah jadi santri di sana. Kok kamu kaget gitu, hahaha. Kamu tinggal di mana, btw?" ucap Kak Ilham sambil tertawa kecil. Mendengar pernyataan Kak Ilham, Humaira merasa terkejut sekaligus bingung harus merespons apa. Ternyata, Kak Ilham pernah menjadi santri di pesantren milik ayahnya. Perasaan Humaira bercampur aduk, seperti tak karuan. Dia takut jika harus mengakui bahwa dirinya adalah anak Pak Kyai, pemilik Pesantren Darul Huda. Pikiran Humaira berputar cepat, "Sepertinya aku tidak bisa menyebutkan siapa sebenarnya aku. Kalau aku bilang, dia pasti akan langsung menyadarinya, dan tahu bahwa aku anak tunggal Abi." Setelah beberapa detik berlalu dalam kebingungan, Humaira akhirnya berkata, "Ooh, a-aku juga pernah jadi santriwati di Pesantren Darul Huda, Kak. Wah, nggak nyangka bisa ketemu alumni pesantren juga di luar negeri," ucapnya dengan canggung, suaranya terdengar sedikit gugup. "Weh, seriusan? Kamu angkatan berapa?" tanya Kak Ilham, tampak sangat terkejut. "Aku angkatan 32, Kak. Kakak angkatan berapa?" jawab Humaira. "Oh, berarti kamu di bawah saya empat tahun ya? Saya angkatan 28, Humeyy. Eh, tapi jujur ya, pas pertama kali lihat wajah kamu, kayaknya familiar deh. Kita pernah ketemu nggak sih pas di pesantren?" ucap Kak Ilham, matanya menyipit, mencoba mengingat-ingat. "Kalo itu, kayaknya aku baru kali ini deh lihat wajah Kakak, hehehe. Seingat aku, aku belum pernah ketemu Kakak pas di pesantren," jawab Humaira dengan senyum polos. "Oh gitu, iya juga ya. Kita mana mungkin ketemu, orang beda kawasan, wkwkwk. Ikhwan sama akhwat jauh juga kan tempatnya. Mungkin iya, kita memang belum pernah ketemu ya pas di pesantren," ucap Kak Ilham sambil tertawa. "Mungkin juga, wajah aku aja kali Kak yang pasaran, hehe," ucap Humaira, berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa kecil. Dalam pikirannya, Humaira berkata, Kak Ilham kayaknya pernah lihat aku deh, secara aku anak Kyai, pasti jadi sorotan kalau ada. Aduh, semoga Kak Ilham nggak ingat atau curiga kalau aku anak Pak Kyai. Aku takut banget, soalnya dulu aku agak bandel. "Enggaklah, wajah secantik kamu mana mungkin pasaran," ucap Kak Ilham dengan polos, namun kalimatnya membuat Humaira terdiam sejenak. Detak jantung Humaira tiba-tiba berdegup kencang mendengar pujian itu keluar dari mulut Kak Ilham. Seolah tak percaya, ia berusaha mengendalikan perasaannya. "Bisa aja, Kak. Wkwkwk," ucap Humaira sambil memegang dadanya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Gombalannya berasa sampai ke tulang, coy, pikir Humaira sambil tersenyum malu-malu. "Oh iya, Mey, kalau dengar nama kamu tuh, jadi ingat nama istri teman saya, yang kemarin baru sampai sini buat bulan madu di Maroko. Tapi sayangnya, pas mereka sampai Maroko harus ke rumah sakit dulu," ucap Kak Ilham, suaranya berubah serius. "Oh iya? Syafakillah buat istri teman Kakak, semoga cepat sembuh. Sakit apa, Kak, kalau boleh tahu? Oh, btw, namanya persis banget kayak aku, Kak?" tanya Humaira, mulai merasa penasaran. Saat Kak Ilham hendak menjawab, tiba-tiba HP-nya berbunyi. Dengan cepat, ia meminta izin kepada Humaira untuk mengangkat teleponnya. Motornya segera melipir ke pinggir jalan untuk parkir. Mereka berhenti tepat di dekat perempatan, tak jauh dari mess Humaira. "Sebentar ya, Humeyy," ucap Kak Ilham sambil tersenyum. "Oke, Kak," jawab Humaira sambil turun dari motor. Menunggu sebentar, Humaira bisa mendengar percakapan serius antara Kak Ilham dan seseorang di telepon. Dari cara bicara dan banyaknya kata "bro" yang terlontar, Humaira menebak itu pasti saudara atau sahabat dekat Kak Ilham. Percakapan telepon itu hanya berlangsung dua menit, namun bagi Humaira rasanya seperti lebih lama. "Ayo naik lagi, Mey," ucap Kak Ilham, menawarkan tempat duduk di motornya. "Bentar, Kak. Maaf banget, tadi Humey nggak sengaja dengar. Kakak mau pergi ke rumah sakit ya?" tanya Humaira dengan nada penuh perhatian. "Iya, Mey. Saya mau jenguk teman yang lagi di rumah sakit, yang baru kita obrolin tadi. Tapi nggak apa-apa, saya antar dulu kamu sampai mess," ucap Kak Ilham dengan tenang. "Eh, nggak usah, Kak. Itu mess aku kan yang di seberang itu, Kak, hehehe. Aku lihat plang di sana, rumah sakit belok kiri, sedangkan mess aku lurus. Jadi nggak apa-apa, daripada Kakak muter balik, aku jalan aja nyebrang, hehe," jawab Humaira sambil menunjuk arah mess-nya. "Beneran? Tapi aman nggak? Jangan lupa traktir buat besok, hahahaha," ucap Kak Ilham sambil tertawa. "Beneran, Kak, aman kok. Aku pasti traktir besok, wkwkwk. Yaudah, aku duluan ya, Kak. Makasih banyak Kak, tumpangannya. Hati-hati di jalan juga ya, Kak," ucap Humaira sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan dan berjalan menuju zebra cross. "Iya, kamu hati-hati juga, Mey," balas Kak Ilham, melambaikan tangan dengan senyum yang hangat. Saat berjalan menuju mess, Humaira masih termenung, memikirkan semua yang baru saja terjadi. Ia masih tak percaya dirinya bisa begitu nyaman bersama Kak Ilham, bahkan dibonceng motor dan bercanda tanpa merasa canggung. Humaira bertanya-tanya dalam hatinya, Kok bisa? Seorang Humaira yang dikenal sebagai 'untouchable' bisa sesantai itu dibonceng cowok, sambil bercanda pula. Padahal, sama Gabriel pun aku nggak pernah merasa senyaman ini. Aku ngerasa kayak dibonceng Abi, cara bicara, humornya. Aku ngerasa Abi di dalam diri Kak Ilham. Apa Kak Ilham orangnya? Eh, astaghfirullah, enggak, Humey. Ini berlebihan banget. Orang baru ketemu, kok pikiran kamu udah kemana-mana. Aduh, tipu daya nafsu, pergilah jauh-jauh dari pikiranku! gumam Humaira dalam hati, sambil menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh itu. Tak lama kemudian, Humaira sampai di depan gerbang mess-nya. Baru saja Humaira hendak memasuki gerbang, langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya dari arah trotoar. "Kak Humairaaa, sebentar..." panggil seorang wanita cantik berhijab, dengan wajah yang memiliki ciri khas Arab. Wanita itu mengenakan gamis pink oversize yang tampak begitu anggun di tubuhnya. "Huft... Kakak namanya Humaira, kan?" ucap wanita misterius itu sambil menghela nafas, tampak lelah setelah berlari kecil mengejar Humaira. "Iya, maaf, kamu siapa ya?" tanya Humaira, bingung dan heran melihat wanita itu. "Akhirnyaaaa, ketemu juga..." ucap wanita itu, seolah lega setelah menemukan Humaira. Humaira terdiam dan terheran tiba tiba di samperin wanita asing, dia siapa? tanya Humaira dalam batinnya ************ Baiklah, sampai di sini dulu cerita di chapter ini. Cukup panjang, ya? Semoga kalian menikmati setiap momennya. Tadinya mau dipotong jadi dua bagian, tapi rasanya sayang kalau di-cut. Ada kejutan menarik yang menunggu di chapter berikutnya, jadi jangan lewatkan! Sedikit catatan, tempat, tokoh, dan cerita ini semuanya fiktif. Jadi kalau ada kemiripan dengan kejadian atau orang lain, itu hanya kebetulan semata. Gimana? Sudah mulai menangkap beberapa petunjuk tentang istri Kak Ilham? Atau mungkin kalian punya tebakan sendiri? Oh iya, siapa yang kira-kira bakal bersama Humaira? Habib muda yang mana, Arhab atau Ilham? Dan jangan lupa, Ilham juga seorang habib, lho. Lalu, siapa wanita misterius yang baru saja muncul? Apakah dia akan mempengaruhi cerita Humaira? Penasaran, kan? Jangan lupa untuk tetap mengikuti kisah ini. Vote, komen, dan follow sangat dihargai. Kalau belum menambahkan ke library, yuk tambahkan sekarang! Sampai jumpa di chapter berikutnya. Terima kasih banyak buat kalian semua yang sudah vote, comment, follow, dan add ke library!✨ Sampai jumpa di bab berikutnya!"Iya, maaf. Kamu siapa ya?" tanya Humaira dengan heran."Akhirnyaaa kita ketemu juga!" jawab wanita itu dengan antusias."Oh iya, kenalin aku Hafizah. Aku mahasiswa Cambridge jurusan jurnalistik, adik angkatan Kakak," ucapnya sambil menjabat tangan Humaira, yang membalas dengan senyuman hangat."Wah, iya? Tapi kenapa kamu di sini? Ikut penelitian juga? Setahuku, mata kuliah penelitian itu di semester akhir. Kamu nabung mata kuliah atau bagaimana?" tanya Humaira, bingung."Betul sekali, Kak. Aku nabung mata kuliah biar bisa cepat lulus. Baru saja mata kuliah penelitianku di-approve, dan aku baru tiba kemarin," jawab Hafizah."Wih, keren! Ayo masuk dulu. Nggak enak ngobrol di depan gerbang. Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang," ajak Humaira dengan ramah."Yuk, Kak," jawab Hafizah dengan ceria.[Ruang Tengah Mess]Di ruang tengah mess, teman-teman Humaira sedang berkumpul, bercanda, dan bermain game. Begitu melihat Humaira masuk bersama Hafizah, mereka semua menoleh dan menyambut
**Parkir Mall**"Festival yang di sana, ya, Gab?" tanya Humaira sambil menatap Gabriel yang sedang memarkir motor di area parkir mall yang ramai."Iya, Mey. Nanti kita ke sana setelah belanja, ya?" jawab Gabriel sambil tersenyum, mengeluarkan helm dari kepalanya dan meletakkannya di motor."Okay," balas Humaira dengan senyum ceria.**Mall**Humaira dan Gabriel berjalan bersama melewati koridor mall yang penuh dengan pengunjung. Suara langkah kaki, kerincingan bel toko, dan aroma makanan menggoda dari area food court memenuhi udara. Mereka bercakap-cakap dengan riang, sambil mencari barang-barang yang mereka butuhkan untuk mess mereka."Gab, kita masih perlu beli bumbu dapur yang kemarin habis, kan?" tanya Humaira sambil tersenyum, matanya berkilau dengan semangat."Ya, Mey, habis. Tunggu sebentar, aku cari dulu," jawab Gabriel dengan penuh semangat, melanjutkan langkahnya menuju bagian bumbu dapur.Setelah berbelanja dengan riang di mall, mereka mendengar suara gemuruh dari festival m
"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya."Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis."Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati."Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum."Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab."Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata.Arhab langsung memeluk istrinya
Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
“Will you marry me?” ucap Ilham dengan tegas, namun lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban berat di pundaknya.Seketika Humaira terdiam. Jantungnya berdegup kencang, terlalu cepat hingga sulit baginya untuk bernapas dengan tenang. Bagaimana mungkin kata-kata sederhana itu dapat membuat dunianya seakan berhenti? Ilham, yang dikenalinya sebagai sosok yang tenang dan penuh perhitungan, kini berlutut di hadapannya, mengajukan pertanyaan yang selama ini ia bayangkan akan datang, tapi tak pernah ia pikir akan sesegera ini.Tangan Humaira mulai gemetar, membuat sate yang ada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa menatap Ilham dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, terkejut, dan gugup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ini adalah momen yang seharusnya membahagiakan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang mendalam dan sulit diabaikan.Pikiran Humaira mendadak mela
Setelah perjalanan liburan di Maroko bersama Ilham, Humaira harus kembali ke Inggris untuk menyelesaikan proyek penelitian di kampus. Meski hatinya dipenuhi oleh bayangan lamaran Ilham, ia sadar bahwa tugas akademis adalah prioritas utama. Kehidupan di kampus berjalan seperti biasa—rapat kelompok, diskusi dosen, dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Namun, di sela-sela kesibukannya, hubungan antara Humaira dan Ilham terus berkembang. Mereka sering berbicara melalui pesan singkat. Setiap malam, obrolan mereka selalu terasa hangat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang apa yang mereka rasakan, bahkan hal-hal kecil yang biasanya tak terlalu diperhatikan. Ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh semakin kuat di antara mereka, meski jarak ribuan kilometer memisahkan. Namun, di balik setiap kata yang mereka tukarkan, ada sesuatu yang mulai membuat Humaira merasa tak nyaman—Hafizah. Hafizah, sahabat dekat Humaira, yang dulunya tak pernah menjadi masalah, kini tampak
Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "