"Iya, maaf. Kamu siapa ya?" tanya Humaira dengan heran.
"Akhirnyaaa kita ketemu juga!" jawab wanita itu dengan antusias. "Oh iya, kenalin aku Hafizah. Aku mahasiswa Cambridge jurusan jurnalistik, adik angkatan Kakak," ucapnya sambil menjabat tangan Humaira, yang membalas dengan senyuman hangat. "Wah, iya? Tapi kenapa kamu di sini? Ikut penelitian juga? Setahuku, mata kuliah penelitian itu di semester akhir. Kamu nabung mata kuliah atau bagaimana?" tanya Humaira, bingung. "Betul sekali, Kak. Aku nabung mata kuliah biar bisa cepat lulus. Baru saja mata kuliah penelitianku di-approve, dan aku baru tiba kemarin," jawab Hafizah. "Wih, keren! Ayo masuk dulu. Nggak enak ngobrol di depan gerbang. Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang," ajak Humaira dengan ramah. "Yuk, Kak," jawab Hafizah dengan ceria. [Ruang Tengah Mess] Di ruang tengah mess, teman-teman Humaira sedang berkumpul, bercanda, dan bermain game. Begitu melihat Humaira masuk bersama Hafizah, mereka semua menoleh dan menyambut Hafizah dengan hangat, seolah sudah mengenalnya. "Assalamualaikum," sapa Humaira dan Hafizah serentak. "Waalaikumsalam," jawab teman-teman Humaira dengan ceria. "Kalian nggak kaget? Kalian sudah kenal Hafizah?" tanya Humaira, masih bingung. "Ya, kami sudah tahu. Dia bakal gabung di tim penelitian kita. Masa kamu nggak tahu?" jawab Clark sambil tersenyum ke Hafizah. "Hah? Member baru tim kita? Kok aku baru tahu? Dari mana kalian tahu?" tanya Humaira. "Makanya cek email kampus. Kamu sih jarang buka email," ejek Marrie sambil bercanda. "Oh iya, selamat datang di tim kita, Hafizah!" ucap Humaira sambil memeriksa emailnya. Semua anggota tim menyambut Hafizah dengan hangat. "Makasih, Kakak-Kakak," jawab Hafizah malu-malu. Malam itu pun diakhiri dengan perayaan kecil untuk menyambut anggota baru tim Humaira. **** [Kasbah des Oudayas] Keesokan paginya, tim Humaira sudah berkumpul di lokasi penelitian, meski Kak Ilham belum tiba. Sambil menunggu, mereka menikmati camilan yang dibawa. "Kak Humaira, ketua tim kita siapa ya?" tanya Hafizah. "Kak Gabriel. Kenapa, Zah?" jawab Humaira. "Nggak apa-apa, Kak. Cuma pengen tahu. Maaf, aku baru pertama kali ikut penelitian," jawab Hafizah dengan senyum. "Nggak apa-apa. Lagian kita baru mulai observasi kemarin, jadi kamu nggak akan ketinggalan. Tenang saja," kata Humaira sambil menepuk punggung Hafizah. "Iya, Kak. Terima kasih," balas Hafizah dengan lega. Setengah jam kemudian, Kak Ilham tiba dan langsung menghampiri tim Humaira. "Maaf, teman-teman. Tadi saya terjebak macet, jadi telat. Kalian nunggu lama?" tanya Kak Ilham. "Nggak, Kak. Cuma sejam saja kok, aman," jawab Gabriel sambil tersenyum. "Wah, maaf banget. Nggak nyangka jalannya bisa macet begitu," kata Kak Ilham menyesal. "Iya, Kak, nggak apa-apa," timpal Clark. Sementara itu, Humaira dan Hafizah sedang membeli minuman, jadi mereka belum tahu Kak Ilham sudah tiba. Saat mereka kembali, keduanya langsung menghampiri tim dan Kak Ilham. "Halo, Kak. Sudah sampai ternyata. Maaf, tadi aku sama Hafizah beli minum dulu," ucap Humaira. Namun, raut wajah Kak Ilham dan Hafizah tiba-tiba berubah terkejut saat saling bertatap muka. "Kak Ilham?" panggil Hafizah. "Hafizah?" jawab Kak Ilham, terkejut. "Loh, Kakak kok ada di sini?" tanya Hafizah. "Kalian saling kenal? Eh, Zah, kamu bisa bahasa Indonesia?" tanya Humaira, terkejut melihat Hafizah berbicara dalam bahasa Indonesia. Sejak kemarin, mereka berbicara dalam bahasa Inggris, dan Humaira mengira Hafizah adalah orang Arab. Mereka terdiam sejenak, saling menatap. "Halo, Hafizah. Nggak nyangka kita ketemu lagi. Oke, aku yang akan memandu tim kamu. Selamat bergabung," ucap Kak Ilham dengan tenang. "Halo juga, Kak. Mohon bimbingannya untuk tim aku," balas Hafizah dengan senyum. Humaira kebingungan dengan situasi ini dan berjalan mendekati Marrie, meninggalkan Hafizah yang berbincang dengan Kak Ilham. "Wow, ada reuni nih," celetuk Marrie sambil tertawa kecil dan menyenggol Humaira. "Hush, jangan gitu. Eh, kok kamu tahu mereka saling kenal?" tanya Humaira dengan bingung, mengingat Marrie tidak bisa berbahasa Indonesia. Gabriel, yang melihat kebingungan Humaira, bertanya. "Kalian saling kenal?" tanya Gabriel, menegaskan. Hafizah tersenyum sedikit. "Iya, aku kenal Kak Gabriel." "Oke, kalau begitu, mari kita mulai eksplorasi lagi. Semangat, semuanya!" ucap Kak Ilham, mengalihkan pembicaraan sambil berjalan menuju salah satu gedung di Kasbah des Oudayas. Mereka pun melanjutkan penelitian. Tak terasa, waktu makan siang pun tiba, dan mereka akhirnya makan siang di restoran terdekat. Humaira duduk di antara Marrie dan Hafizah, sementara Kak Ilham duduk di seberang Humaira. Saat tiba waktunya membayar, Humaira berkata kepada Kak Ilham yang hendak membayar makan siangnya. "Eh, tunggu, Kak. Aku traktir Kakak, ya," ucap Humaira sambil menyerahkan uang ke kasir. "Eh, nggak usah, Mey. Biar aku saja," jawab Kak Ilham. "Sudah aku kasih ke kasir. Hehehe. Aku juga sudah janji mau traktir Kakak kemarin," kata Humaira sambil tertawa kecil. "Iya sih, kirain kamu lupa. Haha. Lain kali, kamu boleh ngojek lagi sama aku, ya," ucap Kak Ilham dengan canda. "Siap, Kak. Hahaha," balas Humaira sambil tertawa. Setelah itu, mereka meninggalkan restoran dan melanjutkan penelitian. Humaira, Gabriel, dan Hafizah, yang kebetulan sedang berada di lokasi yang sama, tiba-tiba Hafizah bertanya kepada Humaira. "Kakak Humaira, ngojek sama Kak Ilham ke mana?" tanya Hafizah penasaran. Humaira, yang sedang fokus mencatat, terkejut mendengar pertanyaan itu. Gabriel, yang sedang menulis, juga berhenti sejenak. "Oh, itu. Kemarin aku pulang diantar Kak Ilham karena aku lupa jalan pulang ke mess dan takut nyasar. Jadi aku tanya arah ke Kak Ilham, eh malah ditawarin ngojek," jawab Humaira sambil kembali menulis. "Oh, gitu. Aku boleh tanya lagi nggak, Kak?" ucap Hafizah. "Boleh, tanya apa, Zah?" jawab Humaira. "Hmm... Kakak suka sama Kak Ilham?" tanya Hafizah dengan penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan Hafizah kembali mengejutkan Humaira dan Gabriel. Hati Humaira berdebar saat mendengar pertanyaan itu, bingung harus menjawab bagaimana. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" tanya Gabriel, ingin tahu. "Maaf kalau membuat Kakak-Kakak terkejut. Aku cuma penasaran saja. Soalnya, Kak Ilham biasanya dingin sama wanita yang bukan mahramnya. Tapi tadi aku lihat dia sangat cair sama Kak Humaira. Aku cuma penasaran, apakah Kakak menyukai Kak Ilham juga?" jelas Hafizah. "Hmm... Harusnya kamu tanya langsung ke Kak Ilham, Fizah. Hahaha. Kan Kak Ilham yang berubah," ucap Gabriel sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. Humaira, yang tadi terdiam cukup lama, akhirnya berbicara. "Iya... Aku suka sama Kak Ilham," ucap Humaira dengan jujur. Pernyataan itu mengejutkan Hafizah dan Gabriel. Mereka berdua langsung menatap Humaira dengan penuh perhatian. "Sebagai kakak mentor yang baik buat tim kita. Kenapa kamu tiba-tiba tanya ini, Fizah?" lanjut Humaira sambil kembali mencatat. Gabriel terlihat bernapas lega. "Oalah, cuma sebatas kakak mentor yang baik? Nggak lebih?" tanya Hafizah, setengah bercanda. "Iya, Fizah, nggak lebih. Tenang, aman kok. Oh iya, kenapa kamu tanya ini tiba-tiba? Dan kenapa kamu sepertinya lebih tahu tentang Kak Ilham?" balas Humaira, mencoba mengalihkan perhatian. "Syukurlah kalau cuma sebatas kakak mentor. Kak Ilham itu sebenarnya..." ucap Hafizah, tetapi kalimatnya terputus. "Kalian sudah selesai eksplorasi-nya? Waktu kalian tinggal 10 menit lagi. Tempatnya mau tutup karena renovasi. Cepat, ya. Kalau sudah, kita ngumpul di gerbang depan," seru Kak Ilham yang mendekati mereka bertiga sebelum beranjak pergi. Langkah Kak Ilham terhenti dan dia menambahkan, "Oh iya, Hafizah, nanti pulang kamu mau ke rumah sakit nggak?" "Hah? Rumah sakit? Aku nggak sakit apa-apa, Kak. Atau Kakak yang sakit?" tanya Hafizah dengan polos, membuat Humaira dan Gabriel meliriknya karena terkejut. "Bukan saya yang sakit. Kakakmu sedang di rumah sakit. Kalau kamu mau, kita bisa ke sana bersama. Oke, kalau sudah selesai, langsung ke gerbang depan. Saya tunggu di sana," kata Kak Ilham sambil berjalan menjauh. "Oke, Kak," jawab Gabriel. Humaira termenung setelah Kak Ilham meninggalkan mereka. Dia kembali mencatat hasil penelitian, sementara Gabriel mencari angle bagus untuk dokumentasi foto. Setelah selesai, Hafizah meminta Gabriel untuk mengambil gambar dirinya untuk diunggah di I***a Story. Sore itu, mereka semua berkumpul di depan gerbang dan mulai berpamitan satu per satu. Clark dan Marrie pergi lebih dulu ke mess untuk menyusun materi penelitian dan membersihkan mess karena jadwal mereka. Di depan gerbang, Hafizah dan Kak Ilham masih tersisa. Gabriel tiba-tiba berkata kepada Humaira, "Humey, kita ke mall yuk, beli bahan buat masak, terus ke festival malam di samping mall. Aku lihat info-nya di I*******m. Mau ikut?" "Hah? Emang bahan makan kita habis? Trus kita mau naik apa? Aku malas deh," jawab Humaira. "Habislah, soalnya kamu masaknya gosong terus. Bahan makanan menipis. Lagipula aku sudah sewa motor di toko sana. Kalau kamu nggak mau, aku pergi sendiri," kata Gabriel santai. Humaira merenung sejenak. "Beneran nggak ikut, nih?" tanya Gabriel. Humaira masih terdiam. "Yaudah, aku ambil motor dulu di toko sana. Kak Ilham, Fizah, duluan ya," kata Gabriel sambil meninggalkan Humaira. Setelah Gabriel pergi beberapa langkah, Humaira akhirnya memutuskan. "Oke, aku ikut deh. Tungguin!" teriak Humaira sambil mengejar Gabriel. Kak Ilham dan Hafizah memperhatikan Humaira yang berlari kecil menuju Gabriel dengan senyum tipis di wajah mereka. Perjalanan ke rumah sakit terasa canggung. Hafizah ingin bertanya apakah Kak Ilham menyukai orang lain dan apakah masih ada harapan untuk kembali? *** Itulah bagian terakhir dari chapter ini. Siapa yang lebih dulu suka, Kak Ilham atau Humaira? 🤔 Sebenarnya, apa hubungan Kak Ilham dengan Hafizah? Dan apa maksud kalimat terakhir Hafizah? Bagaimana keseruan kencan pertama Humaira dengan Gabriel di Festival Maroko? Tunggu jawabannya di chapter berikutnya. Jangan lupa untuk terus ikuti cerita ini, tambahkan ke library kalian, dan jangan lupa vote, comment, dan follow! 🥰 Byee, see you soon! Thank you! 🤗 Jangan lupa vote untuk semangat author biar update cepat lagi! Hehe. ---**Parkir Mall**"Festival yang di sana, ya, Gab?" tanya Humaira sambil menatap Gabriel yang sedang memarkir motor di area parkir mall yang ramai."Iya, Mey. Nanti kita ke sana setelah belanja, ya?" jawab Gabriel sambil tersenyum, mengeluarkan helm dari kepalanya dan meletakkannya di motor."Okay," balas Humaira dengan senyum ceria.**Mall**Humaira dan Gabriel berjalan bersama melewati koridor mall yang penuh dengan pengunjung. Suara langkah kaki, kerincingan bel toko, dan aroma makanan menggoda dari area food court memenuhi udara. Mereka bercakap-cakap dengan riang, sambil mencari barang-barang yang mereka butuhkan untuk mess mereka."Gab, kita masih perlu beli bumbu dapur yang kemarin habis, kan?" tanya Humaira sambil tersenyum, matanya berkilau dengan semangat."Ya, Mey, habis. Tunggu sebentar, aku cari dulu," jawab Gabriel dengan penuh semangat, melanjutkan langkahnya menuju bagian bumbu dapur.Setelah berbelanja dengan riang di mall, mereka mendengar suara gemuruh dari festival m
"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya."Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis."Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati."Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum."Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab."Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata.Arhab langsung memeluk istrinya
Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
“Will you marry me?” ucap Ilham dengan tegas, namun lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban berat di pundaknya.Seketika Humaira terdiam. Jantungnya berdegup kencang, terlalu cepat hingga sulit baginya untuk bernapas dengan tenang. Bagaimana mungkin kata-kata sederhana itu dapat membuat dunianya seakan berhenti? Ilham, yang dikenalinya sebagai sosok yang tenang dan penuh perhitungan, kini berlutut di hadapannya, mengajukan pertanyaan yang selama ini ia bayangkan akan datang, tapi tak pernah ia pikir akan sesegera ini.Tangan Humaira mulai gemetar, membuat sate yang ada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa menatap Ilham dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, terkejut, dan gugup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ini adalah momen yang seharusnya membahagiakan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang mendalam dan sulit diabaikan.Pikiran Humaira mendadak mela
Setelah perjalanan liburan di Maroko bersama Ilham, Humaira harus kembali ke Inggris untuk menyelesaikan proyek penelitian di kampus. Meski hatinya dipenuhi oleh bayangan lamaran Ilham, ia sadar bahwa tugas akademis adalah prioritas utama. Kehidupan di kampus berjalan seperti biasa—rapat kelompok, diskusi dosen, dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Namun, di sela-sela kesibukannya, hubungan antara Humaira dan Ilham terus berkembang. Mereka sering berbicara melalui pesan singkat. Setiap malam, obrolan mereka selalu terasa hangat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang apa yang mereka rasakan, bahkan hal-hal kecil yang biasanya tak terlalu diperhatikan. Ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh semakin kuat di antara mereka, meski jarak ribuan kilometer memisahkan. Namun, di balik setiap kata yang mereka tukarkan, ada sesuatu yang mulai membuat Humaira merasa tak nyaman—Hafizah. Hafizah, sahabat dekat Humaira, yang dulunya tak pernah menjadi masalah, kini tampak
Humaira menatap layar ponselnya, senyum kecil terukir di wajahnya. Pesan yang ia tunggu- tunggu akhirnya tiba. *“Hari ini mas akan berangkat ke Mekkah yaa, mas sudah di bandara mau check-in tiket. Sampai jumpa di sana, Humeyy.”* Hati Humaira terasa lebih ringan, membayangkan Ilham yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah untuk menemuinya. Ada sedikit kelegaan di tengah perasaan cemas yang membebani pikirannya selama beberapa hari terakhir. Namun, ketika ia menoleh ke arah Arhab, ia mendapati pria itu tampak bingung, wajahnya tampak tegang dan penuh keraguan. Humaira segera menjelaskan, merasa bahwa itu adalah langkah yang tepat. “Mas, sebenarnya aku sedang menunggu seseorang. Dia akan datang untuk melamarku,” kata Humaira dengan nada pelan namun tegas, mencoba menjelaskan situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Dia sedang dalam perjalanan ke sini, dan aku berharap semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi, tolong jangan beri tahu orang tuaku dulu, ya. Aku ingin memastikan semuanya sebe
Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "