"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya.
"Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis. "Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati. "Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum. "Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab. "Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata. Arhab langsung memeluk istrinya dan menangis bersama. Arhab pun meminta maaf pada istrinya karena telah menyembunyikan tentang operasi kuret Aisha. Mereka berdua menangis bersama dan berusaha mengikhlaskan semua yang terjadi pada mereka. Mereka sadar bahwa setiap ujian pasti ada hikmah di baliknya. Jalan cerita setiap manusia tidak ada yang tahu, hanya Allah yang tahu. Wallahu a'lam. Arhab pun langsung bergegas menuju lab pengambilan darah, untuk darahnya di donorkan ke anak bimbingan nya ilham. **** Operasi menjahit luka kepala Humaira berjalan dengan lancar, dan Humaira sudah melewati masa kritis. Humaira sudah bisa dipindahkan ke ruang inap. Keesokan harinya... Berbarengan dengan adzan subuh, Humaira mulai tersadar dari masa kritisnya. Ia terkejut melihat Hafizah yang duduk di samping ranjangnya sambil bersandar tertidur. Ia juga bingung mengapa berada di rumah sakit. Seketika, kepala Humaira terasa sakit, dan dia langsung memegang kepalanya. Pergerakan Humaira membuat Hafizah terbangun. "Kak Humey, Alhamdulillah, Kakak sudah siuman," ucap Hafizah sambil memegang tangan Humaira. Humaira langsung menanyakan mengapa dirinya dibawa ke rumah sakit dan lain sebagainya. Hafizah menenangkan Humaira yang terlihat bingung dan sedikit panik. Hafizah hanya menjawab bahwa nanti Kak Ilham yang akan menjelaskan semua pertanyaan Humaira. Hafizah langsung menghubungi Kak Ilham, memberi kabar bahwa Humaira sudah siuman. 15 menit kemudian... Ilham dan Gabriel mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruang inap Humaira. "Humey!" ucap Gabriel langsung menghampiri Humaira yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Disusul oleh Kak Ilham juga. "Kak Ilham, Gabriel," ucap Humaira dengan suara yang lemah. Gabriel dan Kak Ilham mengucap syukur atas kondisi Humaira yang terbangun dan bisa melewati masa kritis. Lalu, Kak Ilham meminta maaf karena tidak langsung datang karena sedang di masjid. Hafizah berkata kepada mereka bahwa sudah ada perawat yang datang dan mengecek kondisi Humaira selagi menunggu mereka. Humaira langsung menanyakan mengenai keadaannya kepada Kak Ilham, namun Kak Ilham hanya menjawab bahwa nanti akan ia jelaskan di siang hari. Melihat kondisi Humaira yang masih belum stabil, Kak Ilham khawatir jika dijelaskan langsung malah kondisinya drop. Humaira tiba-tiba mengatakan, "Kak Ilham, Kakak nggak kasih tahu orang tua aku kan kalau aku masuk rumah sakit?" "Belum, tapi nanti aku akan beritahu." "Jangan, Kak, please jangan ya," ucap Humaira. "Kenapa?" tanya Kak Ilham. "Jangan dulu, Kak. Aku takut mereka makin khawatir dan nekat menemui aku ke mari. Aku nggak mau bikin mereka cemas. Nanti aku beritahu sendiri ke orang tua aku ya. Please, boleh kan, Kak?" "Oke kalau gitu, boleh. Tapi kamu harus cepat pulih ya. Istirahat lagi sekarang," ucap Ilham. "Oke, Kak," ucap Humaira, lalu memejamkan mata kembali. Ilham dan Hafizah keluar dari ruang inap untuk membicarakan suatu hal, sementara Gabriel duduk di sofa dekat ruang inap sambil mengabari Marrie dan Clark tentang kondisi Humaira. *** Ilham langsung menanyakan kontak keluarga Humaira yang dapat dihubungi kepada Hafizah. Hafizah pun terkejut dan berkata, "Bukankah nanti Humaira sendiri yang akan menghubungi keluarganya?" "Iya, tapi untuk berjaga-jaga, saya harus memiliki kontak keluarga Humaira yang dapat dihubungi jika terjadi apa-apa." "Oke, namun aku tidak punya kontak keluarga Humaira, tapi kita bisa lihat di website akun kampus Humaira. Kebetulan dia pernah login di HP aku, dan password-nya masih terhubung di browser aku. Sebentar ya, Kak," ucap Hafizah sambil mengotak-atik HP-nya. "Oke, syukurlah," ucap Kak Ilham. Beberapa saat kemudian... "Yeay, bisa login. Maaf ya, Kak Mey, aku buka akun kampus Kakak dengan lancang," ucap Hafizah dengan suara pelan sambil memberikan HP-nya pada Kak Ilham. "Gapapa, Fizah. Nanti kalau ada apa-apa, aku yang tanggung jawab, soalnya lumayan darurat juga," ucap Kak Ilham sambil menerima HP Hafizah. Ilham pun langsung mencari di akun profil Humaira, menuju biodata diri lalu keluarga. Setelah terlihat, alangkah terkejutnya Ilham melihat nama ayah dan ibu Humaira. Ia tidak percaya mereka adalah orang tua Humaira. Dengan cepat, Ilham melihat nomor kontak ayah Humaira. Ilham langsung mencatat nomor kontak ayah Humaira di HP-nya. Betapa terkejutnya ia karena nomor kontak tersebut sudah tersimpan di HP-nya. Ternyata, dugaannya benar. "Subhanallah, Pak Kyai," ucap Ilham sambil menutup mulutnya dengan penuh tidak percaya. "Kenapa, Kak? Ada apa?" ucap Hafizah yang terkejut dengan reaksi Ilham. "Ternyata selama ini Humaira putri dari Pak Kyai Ayyub. Ya Allah..." ucap Kak Ilham sambil duduk melemah badannya. "Pak Kyai pemilik pesantren Darul Huda?" tanya Hafizah dengan bingung. ***** Sore hari telah tiba... Aisha sudah diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Akhirnya, Arhab dan Aisha pergi menuju apartemen yang sudah disewakan oleh Arhab untuk tinggal mereka berdua sementara. Tanpa bertemu Humaira, Arhab langsung pergi meninggalkan rumah sakit bersama istrinya, walau dalam hatinya masih ada rasa penasaran pada seorang wanita yang sudah ia beri transfusi darahnya itu. Apa lagi nama tersebut membuat hatinya tergetar. Tak lama, mereka sampai di apartemen. Arhab langsung membantu istrinya untuk berbaring kembali di tempat tidur, karena kondisinya yang masih lumayan lemah, belum sembuh total. Masih masa pemulihan. Tiba-tiba, Aisha menginginkan makanan khas Maroko untuk makan malam nanti. "Sayang, aku pengen couscous deh buat dinner nanti, boleh?" ucap Aisha dengan lembut. "Tentu boleh, sayang. Nanti aku siapkan. Kita mau dinner di apartemen atau mau turun di restoran bawah?" tanya Arhab sambil duduk di samping tempat tidur dan menatap istrinya. "Kayaknya buat malam ini, aku mau di apartemen aja deh. Aku mager ke bawahnya hehe," ucap Aisha sambil tersenyum. "Oke boleh, aku juga setuju. Kamu masih dalam masa pemulihan, jadi lebih baik kamu nggak banyak gerak ya buat hari ini. Oke, kalau gitu, aku mau mandi dulu yaa. Nanti setelah itu, aku telepon room service, oke?" ucap Arhab sambil beranjak dari posisinya duduk dan mencium kembali kening istrinya. Arhab langsung membawa handuk dari koper. "Eh, aku aja, Yang. Aku aja yang pesannya yaa," ucap Aisha. Arhab pun menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju dan masuk ke kamar mandi. Aisha pun langsung menelpon room service untuk menyiapkan couscous pesanannya untuk dinner malam ini dan meminta dibawakan pada jam 8 malam. Setelah menutup teleponnya, Aisha mulai bosan duduk. Akhirnya ia berjalan kecil bolak-balik untuk mengetes, apakah masih ada rasa ngilu di perutnya atau sudah berkurang. Saat berjalan kecil mengitari kamar apartemennya, tak sengaja Aisha menemukan sebuah buku berwarna coklat berukuran A5 yang tak begitu tebal di dekat koper suaminya. Aisha yang penasaran langsung menghampiri koper suaminya itu. Dalam batinnya, Aisha menebak-nebak apakah ini diary suaminya. Aisha baru pertama kali tahu suaminya ternyata suka menulis di sebuah diary. Dengan ragu, Aisha mengangkat diary bercover dari bahan kulit sapi tersebut. Dalam batinnya, ia bertanya-tanya, *'Apa boleh aku membuka diary suamiku? Sopan tidak ya? Tapi aku penasaran, suamiku suka menulis hal apa saja.'* Aisha menoleh ke arah kamar mandi untuk memastikan suaminya belum keluar. Dalam hatinya ia berkata, *'Sayang, aku izin buka diary kamu ya, maaf nggak bilang langsung dulu.'* Setelah itu, dengan ragu Aisha perlahan membuka diary suaminya itu sambil mengucapkan bismillah. Lembar pertama yang Aisha lihat adalah tempelan foto seorang anak kecil. Aisha pun langsung menebak bahwa itu adalah foto masa kecil suaminya. Aisha tersenyum melihat foto yang sangat lucu dengan wajah balita Arab yang menggemaskan. Lembar selanjutnya, Aisha melihat daftar rencana suaminya yang tertulis dengan rapi. Membaca beberapa di antaranya, ada hal yang membuat Aisha tersenyum lagi karena melihat salah satu destinasi impiannya, yaitu Maroko. Di lembar berikutnya, Aisha dibuat tertawa geli dengan judul tulisan suaminya, *'Pujangga Mencari Cinta.'* Aisha hanya bisa menahan tawa dengan menutup mulutnya dengan tangannya. Lalu, di lembar berikutnya, Aisha melihat tulisan: --- **2013** *Wahai bungaku, Pandangan pertama yang membuatku jatuh cinta padamu...* --- Belum selesai membaca, Aisha terkejut mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, menandakan bahwa suaminya selesai mandi. Aisha langsung menutup buku itu dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Dengan cepat, Aisha bergerak mendekati meja yang terdapat air minum. Aisha langsung meminum segelas air. "Aisha, gimana? Udah mendingan sakit di perutnya?" tanya Arhab sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk dan berjalan menghampiri Aisha. "Udah berkurang banget, sayang. Udah nggak sesakit sebelumnya, cuma ngilu dikit tapi masih aman," jawab Aisha dengan sedikit terbata-bata, lalu berjalan kembali ke ranjangnya. "Alhamdulillah kalau begitu. Terus, sambil nunggu malam, kamu mau istirahat lagi atau ngemil, atau yang lainnya?" tanya Arhab sambil menaruh handuknya di gantungan. "Kayaknya aku mau N*****x-an aja deh. Episode baru drama itu pasti udah tayang," jawab istrinya. "Oke deh, aku temenin ya," ucap Arhab sambil naik ke ranjang dan duduk di samping istrinya, lalu menutup kakinya dengan selimut seperti istrinya. Aisha hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang menggemaskan itu. "Apa sih judul dramanya, lupa lagi aku," tanya Arhab sambil mengalihkan tampilan TV ke N*****x. Tiba-tiba, istri di sampingnya langsung memberi kecupan di bibir Arhab, membuat Arhab terdiam terkejut. "Maafin aku ya, sayang. Aku belum bisa memberikan nafkah batin selama aku sakit. Maaf banget kalau bikin kamu menunggu," ucap Aisha dengan lembut, berbicara hanya 5 cm dari wajah Arhab. Dengan terbata-bata, Arhab berkata, "I- iya nggak apa-apa kok, sayang. Tapi kenapa kamu tiba-tiba sih? Hihi, bikin kaget aja, tapi boleh kan sekali lagi? Hehehe," ucap Arhab sambil tertawa kecil. Tanpa ragu, Aisha kembali mengecup suaminya, dan kali ini kecupan yang dalam membuat Arhab sedikit terbang menikmati momen itu. Setelah itu, Aisha langsung memeluk suaminya begitu erat, dan Arhab membalas pelukannya dengan hangat. Akhirnya, mereka menonton drama sambil berpelukan manja. ******* Sekian di chapter ini, 1. Akhirnya, Kak Ilham mengetahui siapa Humaira sebenarnya. 2. Siapa yang menjadi bunga dalam hati Arhab sehingga tertulis di buku diary-nya? Stay tuned terus di chapter selanjutnya. Byeee!Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
“Will you marry me?” ucap Ilham dengan tegas, namun lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa beban berat di pundaknya.Seketika Humaira terdiam. Jantungnya berdegup kencang, terlalu cepat hingga sulit baginya untuk bernapas dengan tenang. Bagaimana mungkin kata-kata sederhana itu dapat membuat dunianya seakan berhenti? Ilham, yang dikenalinya sebagai sosok yang tenang dan penuh perhitungan, kini berlutut di hadapannya, mengajukan pertanyaan yang selama ini ia bayangkan akan datang, tapi tak pernah ia pikir akan sesegera ini.Tangan Humaira mulai gemetar, membuat sate yang ada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia hanya bisa menatap Ilham dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, terkejut, dan gugup. Air mata mulai mengalir di pipinya. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ini adalah momen yang seharusnya membahagiakan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang mendalam dan sulit diabaikan.Pikiran Humaira mendadak mela
Setelah perjalanan liburan di Maroko bersama Ilham, Humaira harus kembali ke Inggris untuk menyelesaikan proyek penelitian di kampus. Meski hatinya dipenuhi oleh bayangan lamaran Ilham, ia sadar bahwa tugas akademis adalah prioritas utama. Kehidupan di kampus berjalan seperti biasa—rapat kelompok, diskusi dosen, dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Namun, di sela-sela kesibukannya, hubungan antara Humaira dan Ilham terus berkembang. Mereka sering berbicara melalui pesan singkat. Setiap malam, obrolan mereka selalu terasa hangat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang apa yang mereka rasakan, bahkan hal-hal kecil yang biasanya tak terlalu diperhatikan. Ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh semakin kuat di antara mereka, meski jarak ribuan kilometer memisahkan. Namun, di balik setiap kata yang mereka tukarkan, ada sesuatu yang mulai membuat Humaira merasa tak nyaman—Hafizah. Hafizah, sahabat dekat Humaira, yang dulunya tak pernah menjadi masalah, kini tampak
Humaira menatap layar ponselnya, senyum kecil terukir di wajahnya. Pesan yang ia tunggu- tunggu akhirnya tiba. *“Hari ini mas akan berangkat ke Mekkah yaa, mas sudah di bandara mau check-in tiket. Sampai jumpa di sana, Humeyy.”* Hati Humaira terasa lebih ringan, membayangkan Ilham yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah untuk menemuinya. Ada sedikit kelegaan di tengah perasaan cemas yang membebani pikirannya selama beberapa hari terakhir. Namun, ketika ia menoleh ke arah Arhab, ia mendapati pria itu tampak bingung, wajahnya tampak tegang dan penuh keraguan. Humaira segera menjelaskan, merasa bahwa itu adalah langkah yang tepat. “Mas, sebenarnya aku sedang menunggu seseorang. Dia akan datang untuk melamarku,” kata Humaira dengan nada pelan namun tegas, mencoba menjelaskan situasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Dia sedang dalam perjalanan ke sini, dan aku berharap semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi, tolong jangan beri tahu orang tuaku dulu, ya. Aku ingin memastikan semuanya sebe
Arhab terdiam di depan Humaira, hatinya berat menerima permintaan wanita yang ada di hadapannya. Kata-kata Humaira sebelumnya masih terngiang di telinganya—permintaan menikah yang datang tiba-tiba, tak disangka. Namun, tatapan penuh harap dari mata Humaira dan desakan keadaan membuat Arhab tak kuasa menolak. "Aku akan menikahimu, Humaira," akhirnya, kata-kata itu meluncur dari bibir Arhab, meskipun hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Tapi kita harus melakukannya secepat mungkin, sebelum keadaan semakin memburuk."Humaira tersenyum kecil, walau hatinya masih bergelut dengan perasaan cemas. Keputusan ini bukanlah yang ia inginkan, tapi ia melakukannya demi Abi—demi keinginan terakhir ayahnya yang ingin melihat putrinya menikah sebelum ajal menjemput. Namun, tak satu pun dari mereka tahu bahwa keputusan ini akan berdampak lebih besar daripada yang mereka duga.Di sudut ruangan, Umma yang mendengar percakapan itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia mengetahui ba
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "
Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "