Share

"Honeymoon "

**[Sebulan Sebelum Berangkat]**

“Istriku, sepertinya bulan depan kita bisa berangkat ke Maroko. Aku sudah mengurus semua dokumen untuk keberangkatan kita,” ucap Arhab dengan senyum penuh rasa bangga.

“Iya, suamiku. Terima kasih banyak,” jawab istrinya dengan mata berbinar penuh antusiasme.

**1 Bulan Kemudian**

**[H-2 Sebelum Berangkat ke Maroko]**

Arhab dan istrinya sedang sibuk berkemas untuk perjalanan mereka ke Maroko. Mereka memutuskan untuk terbang dari Jawa Timur ke Jakarta terlebih dahulu, lalu melanjutkan penerbangan ke Maroko dari Bandara Soekarno-Hatta.

Di dalam pesawat, sebelum lepas landas, istrinya tiba-tiba memulai percakapan.

“Yang...” ucapnya dengan nada penuh keraguan.

“Iya, ada apa?” jawab Arhab, menoleh dengan penuh perhatian.

Terjadi keheningan sejenak sebelum istrinya melanjutkan, “Eh, tidak jadi deh...” sambil tersenyum kecil.

“Kenapa, sayang?” tanya Arhab, penasaran.

“Tidak jadi, pokoknya,” jawab istrinya, nada suaranya berubah sedikit dingin.

“Ya sudah...” ucap Arhab, mencoba menyembunyikan rasa penasaran.

Arhab tidak menyadari tatapan istrinya yang penuh pikiran, sementara dia sendiri tenggelam dalam mendengarkan murotal melalui earphone-nya.

Sesampainya di Jakarta, mereka menginap semalam di penginapan dekat bandara. Suasana terasa tenang, namun ketegangan terlihat jelas di wajah mereka.

**[D-Day Berangkat ke Maroko]**

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Arhab memperhatikan wajah istrinya yang semakin pucat.

“Yang, kamu tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat. Kamu sakit?” tanyanya dengan nada cemas.

“Enggak kok, Yang. Aku cuma mengurangi makeup tadi, jadi mungkin terlihat pucat,” jawab istrinya sambil memaksakan senyum.

“Tapi kamu terlihat tidak sehat. Kita batalkan saja perjalanan ini. Aku khawatir,” Arhab bersikeras, matanya penuh kekhawatiran.

“Aduh, Ayang. Aku benar-benar baik-baik saja. Lagian, kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng seperti ini?” jawab istrinya, berusaha meyakinkan suaminya.

“Ya, bisa nanti lagi. Lagian, kamu tidak akan ke mana-mana, kan? Bisa lain waktu jalan-jalan ketika kamu sehat.” ucap Arhab cemas.

“Eh, tidak usah, ayo berangkat aja,” istrinya dengan nada tegas.

“Apaan sih kamu? Percayalah sama aku, aku tidak apa-apa. Jangan terlalu perhatian. Kita sudah jauh-jauh ke sini. Sayang banget kalau tiketnya terbuang,” lanjut istrinya dengan tatapan tajam.

Arhab terdiam, terkejut melihat perubahan drastis pada sikap istrinya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat kemarahan istrinya yang begitu intens.

arhab langsung terdiam.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, Arhab merasa terluka oleh kata-kata istrinya dan memilih untuk diam. Dalam hati, istrinya menyesali perbuatannya, merasa bersalah atas perlakuannya terhadap suaminya. Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah.

Di bandara, suasana antara mereka sangat tegang. Tidak ada obrolan ringan atau canda tawa. Hanya hal-hal penting yang dibahas, sementara mereka menjaga jarak satu sama lain.

Di pesawat, suasananya tetap suram. Istrinya tampak semakin lesu dan cuek. Arhab merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini, namun ia memutuskan untuk berbicara setelah mereka tiba di Maroko.

Setelah belasan jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Bandara Maroko. Mereka segera menuju tempat pengambilan koper dan kemudian duduk di ruang tunggu.

Arhab menelepon temannya, Ilham, yang tinggal di Maroko, untuk menjemput mereka. Saat ia selesai menelepon, ia berbalik dan melihat wajah istrinya semakin pucat. Arhab merasa ada yang tidak beres dan segera mendekati istrinya.

Ketika Arhab melihat istrinya sudah mimisan, ia terkejut dan langsung berlari menuju istrinya. “Are you okay?” tanya Arhab dengan penuh kecemasan.

“Sayang... aku tidak kuat,” jawab istrinya dengan suara lemah sambil memegang tisu di hidungnya, lalu pingsan.

Arhab panik, segera memangku istrinya dan menelepon Ilham untuk segera menjemput mereka karena istrinya harus segera dibawa ke rumah sakit. Arhab mencari minyak kayu putih dan mendekatkannya pada hidung istrinya, berharap istrinya tersadar.

Sambil menunggu kedatangan Ilham, Arhab memegang tangan istrinya dengan hati berdebar dan penuh kesedihan.

**15 Menit Kemudian**

Teman Arhab, Ilham, tiba dengan kursi roda. Mereka segera menuju rumah sakit terdekat. Istrinya langsung dilarikan ke IGD dan kemudian dipindahkan ke kamar inap. Dokter menjelaskan bahwa kondisi istrinya sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat. Hasil tes lab akan keluar paling cepat besok pagi atau siang.

Setelah dokter keluar, Arhab duduk di luar ruang rawat dengan wajah lemas dan air mata yang mengalir. Temannya, Ilham, mencoba menghibur Arhab.

“Sabar, Ya Hab. Istri kamu pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat. Kalau ada apa-apa, hubungi aku lagi. Maaf, aku harus pulang. Masih ada tugas lain,” kata Ilham dengan tulus.

“Terima kasih, Ilham,” jawab Arhab sambil menyalami temannya yang kemudian pamit pulang, berjanji akan kembali besok pagi.

Arhab memasuki ruangan tempat istrinya berbaring lemah dengan infus. Air mata Arhab turun deras saat ia duduk di samping ranjang, mencium tangan istrinya, dan merasa sangat menyesal.

Malam pertama di Maroko dihabiskan di rumah sakit, penuh dengan keheningan dan rasa cemas.

**Oke, segini dulu di chapter ini.**

Apa yang sebenarnya diderita istri Arhab? baru sampe Maroko langsung masuk rumah sakit 😭

Jangan lewatkan chapter selanjutnya, di mana semua akan terungkap!

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupa untuk comment, vote, dan follow!

See you in the next chapter!

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status