**[Sebulan Sebelum Berangkat]**
“Istriku, sepertinya bulan depan kita bisa berangkat ke Maroko. Aku sudah mengurus semua dokumen untuk keberangkatan kita,” ucap Arhab dengan senyum penuh rasa bangga. “Iya, suamiku. Terima kasih banyak,” jawab istrinya dengan mata berbinar penuh antusiasme. **1 Bulan Kemudian** **[H-2 Sebelum Berangkat ke Maroko]** Arhab dan istrinya sedang sibuk berkemas untuk perjalanan mereka ke Maroko. Mereka memutuskan untuk terbang dari Jawa Timur ke Jakarta terlebih dahulu, lalu melanjutkan penerbangan ke Maroko dari Bandara Soekarno-Hatta. Di dalam pesawat, sebelum lepas landas, istrinya tiba-tiba memulai percakapan. “Yang...” ucapnya dengan nada penuh keraguan. “Iya, ada apa?” jawab Arhab, menoleh dengan penuh perhatian. Terjadi keheningan sejenak sebelum istrinya melanjutkan, “Eh, tidak jadi deh...” sambil tersenyum kecil. “Kenapa, sayang?” tanya Arhab, penasaran. “Tidak jadi, pokoknya,” jawab istrinya, nada suaranya berubah sedikit dingin. “Ya sudah...” ucap Arhab, mencoba menyembunyikan rasa penasaran. Arhab tidak menyadari tatapan istrinya yang penuh pikiran, sementara dia sendiri tenggelam dalam mendengarkan murotal melalui earphone-nya. Sesampainya di Jakarta, mereka menginap semalam di penginapan dekat bandara. Suasana terasa tenang, namun ketegangan terlihat jelas di wajah mereka. **[D-Day Berangkat ke Maroko]** Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Arhab memperhatikan wajah istrinya yang semakin pucat. “Yang, kamu tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat. Kamu sakit?” tanyanya dengan nada cemas. “Enggak kok, Yang. Aku cuma mengurangi makeup tadi, jadi mungkin terlihat pucat,” jawab istrinya sambil memaksakan senyum. “Tapi kamu terlihat tidak sehat. Kita batalkan saja perjalanan ini. Aku khawatir,” Arhab bersikeras, matanya penuh kekhawatiran. “Aduh, Ayang. Aku benar-benar baik-baik saja. Lagian, kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng seperti ini?” jawab istrinya, berusaha meyakinkan suaminya. “Ya, bisa nanti lagi. Lagian, kamu tidak akan ke mana-mana, kan? Bisa lain waktu jalan-jalan ketika kamu sehat.” ucap Arhab cemas. “Eh, tidak usah, ayo berangkat aja,” istrinya dengan nada tegas. “Apaan sih kamu? Percayalah sama aku, aku tidak apa-apa. Jangan terlalu perhatian. Kita sudah jauh-jauh ke sini. Sayang banget kalau tiketnya terbuang,” lanjut istrinya dengan tatapan tajam. Arhab terdiam, terkejut melihat perubahan drastis pada sikap istrinya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat kemarahan istrinya yang begitu intens. arhab langsung terdiam. Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, Arhab merasa terluka oleh kata-kata istrinya dan memilih untuk diam. Dalam hati, istrinya menyesali perbuatannya, merasa bersalah atas perlakuannya terhadap suaminya. Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah. Di bandara, suasana antara mereka sangat tegang. Tidak ada obrolan ringan atau canda tawa. Hanya hal-hal penting yang dibahas, sementara mereka menjaga jarak satu sama lain. Di pesawat, suasananya tetap suram. Istrinya tampak semakin lesu dan cuek. Arhab merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini, namun ia memutuskan untuk berbicara setelah mereka tiba di Maroko. Setelah belasan jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Bandara Maroko. Mereka segera menuju tempat pengambilan koper dan kemudian duduk di ruang tunggu. Arhab menelepon temannya, Ilham, yang tinggal di Maroko, untuk menjemput mereka. Saat ia selesai menelepon, ia berbalik dan melihat wajah istrinya semakin pucat. Arhab merasa ada yang tidak beres dan segera mendekati istrinya. Ketika Arhab melihat istrinya sudah mimisan, ia terkejut dan langsung berlari menuju istrinya. “Are you okay?” tanya Arhab dengan penuh kecemasan. “Sayang... aku tidak kuat,” jawab istrinya dengan suara lemah sambil memegang tisu di hidungnya, lalu pingsan. Arhab panik, segera memangku istrinya dan menelepon Ilham untuk segera menjemput mereka karena istrinya harus segera dibawa ke rumah sakit. Arhab mencari minyak kayu putih dan mendekatkannya pada hidung istrinya, berharap istrinya tersadar. Sambil menunggu kedatangan Ilham, Arhab memegang tangan istrinya dengan hati berdebar dan penuh kesedihan. **15 Menit Kemudian** Teman Arhab, Ilham, tiba dengan kursi roda. Mereka segera menuju rumah sakit terdekat. Istrinya langsung dilarikan ke IGD dan kemudian dipindahkan ke kamar inap. Dokter menjelaskan bahwa kondisi istrinya sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat. Hasil tes lab akan keluar paling cepat besok pagi atau siang. Setelah dokter keluar, Arhab duduk di luar ruang rawat dengan wajah lemas dan air mata yang mengalir. Temannya, Ilham, mencoba menghibur Arhab. “Sabar, Ya Hab. Istri kamu pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat. Kalau ada apa-apa, hubungi aku lagi. Maaf, aku harus pulang. Masih ada tugas lain,” kata Ilham dengan tulus. “Terima kasih, Ilham,” jawab Arhab sambil menyalami temannya yang kemudian pamit pulang, berjanji akan kembali besok pagi. Arhab memasuki ruangan tempat istrinya berbaring lemah dengan infus. Air mata Arhab turun deras saat ia duduk di samping ranjang, mencium tangan istrinya, dan merasa sangat menyesal. Malam pertama di Maroko dihabiskan di rumah sakit, penuh dengan keheningan dan rasa cemas. **Oke, segini dulu di chapter ini.** Apa yang sebenarnya diderita istri Arhab? baru sampe Maroko langsung masuk rumah sakit 😭 Jangan lewatkan chapter selanjutnya, di mana semua akan terungkap! Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupa untuk comment, vote, dan follow! See you in the next chapter! ---**[Keesokan Harinya]**Pagi hari, saat Arhab sedang membereskan barang-barang di ruang inap istrinya, tiba-tiba ada perawat yang mengetuk pintu. Arhab membuka pintu dan perawat tersebut dengan ramah menyampaikan bahwa ia diminta ke ruangan dokter untuk mengetahui hasil tes laboratorium istrinya.Arhab segera menuju ruangan dokter, sementara perawat memeriksa kondisi istrinya yang masih belum sadar dari pingsan semalam.Sesampainya di ruangan dokter, Arhab dipersilakan duduk. Ia langsung menanyakan hasil tes laboratorium istrinya dengan penuh kecemasan. Dokter menunjukkan surat hasil lab dan mulai menjelaskan.“Jadi begini, Pak. Berdasarkan hasil laboratorium ini, istri Bapak saat ini sedang mengandung, dengan usia kandungan sekitar dua minggu,” ucap dokter.Arhab terkejut dan tersenyum mendengar berita tersebut. Namun, senyum itu segera pudar ketika dokter melanjutkan penjelasan.“Namun, di sisi lain, istri Bapak mengalami komplikasi. Janin yang dikandungnya berisiko tidak dapat terse
"Present, Kak Ilham." ucap Humaira sambil mengangkat tangan dan tersenyum ke arah Kakak pembimbing. Senyuman Humaira pun dibalas oleh Ilham. ******* "Jarang banget kasih senyum gitu ke orang lain," ucap Gabriel kepada Humaira dengan nada mengejek. "Apa sih, Gab? Gak boleh gitu gue senyum ke orang lain?" jawab Humaira, melirik Gabriel dengan kesal. "Gak boleh dong. Ke gue aja gak pernah senyum manis kayak gitu," balas Gabriel dengan mudahnya. "Hah? Aneh lu," respon Humaira keheranan dengan ucapan Gabriel. Ia pun meninggalkan Gabriel dan berjalan menuju Marrie. Tak lama kemudian, dosen menyampaikan tugas kepada para mahasiswa. "Oke baik semuanya, mohon diperhatikan dan didengarkan dengan baik. Tugas kalian saat ini adalah menganalisis sedetail dan selengkap mungkin mengenai Kasbah des Oudayas bersama kelompok yang sudah dibentuk. Setiap Minggu, kalian harus menyerahkan progres penelitian kepada saya. Mohon diserahkan tepat waktu, jika sampai tidak ada perwakilan kelompok
"Iya, maaf. Kamu siapa ya?" tanya Humaira dengan heran."Akhirnyaaa kita ketemu juga!" jawab wanita itu dengan antusias."Oh iya, kenalin aku Hafizah. Aku mahasiswa Cambridge jurusan jurnalistik, adik angkatan Kakak," ucapnya sambil menjabat tangan Humaira, yang membalas dengan senyuman hangat."Wah, iya? Tapi kenapa kamu di sini? Ikut penelitian juga? Setahuku, mata kuliah penelitian itu di semester akhir. Kamu nabung mata kuliah atau bagaimana?" tanya Humaira, bingung."Betul sekali, Kak. Aku nabung mata kuliah biar bisa cepat lulus. Baru saja mata kuliah penelitianku di-approve, dan aku baru tiba kemarin," jawab Hafizah."Wih, keren! Ayo masuk dulu. Nggak enak ngobrol di depan gerbang. Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang," ajak Humaira dengan ramah."Yuk, Kak," jawab Hafizah dengan ceria.[Ruang Tengah Mess]Di ruang tengah mess, teman-teman Humaira sedang berkumpul, bercanda, dan bermain game. Begitu melihat Humaira masuk bersama Hafizah, mereka semua menoleh dan menyambut
**Parkir Mall**"Festival yang di sana, ya, Gab?" tanya Humaira sambil menatap Gabriel yang sedang memarkir motor di area parkir mall yang ramai."Iya, Mey. Nanti kita ke sana setelah belanja, ya?" jawab Gabriel sambil tersenyum, mengeluarkan helm dari kepalanya dan meletakkannya di motor."Okay," balas Humaira dengan senyum ceria.**Mall**Humaira dan Gabriel berjalan bersama melewati koridor mall yang penuh dengan pengunjung. Suara langkah kaki, kerincingan bel toko, dan aroma makanan menggoda dari area food court memenuhi udara. Mereka bercakap-cakap dengan riang, sambil mencari barang-barang yang mereka butuhkan untuk mess mereka."Gab, kita masih perlu beli bumbu dapur yang kemarin habis, kan?" tanya Humaira sambil tersenyum, matanya berkilau dengan semangat."Ya, Mey, habis. Tunggu sebentar, aku cari dulu," jawab Gabriel dengan penuh semangat, melanjutkan langkahnya menuju bagian bumbu dapur.Setelah berbelanja dengan riang di mall, mereka mendengar suara gemuruh dari festival m
"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya."Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis."Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati."Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum."Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab."Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata.Arhab langsung memeluk istrinya
Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan
Hari ini, Humaira dan teman-temannya memulai perjalanan wisata mereka sesuai jadwal yang telah Ilham bagikan di grup chat. Suasana penuh antusiasme menyelimuti mereka saat mereka mempersiapkan diri untuk petualangan di Gurun Sahara Maroko.Clark, dengan semangat, sudah siap dengan kameranya, siap mengabadikan setiap momen. Marrie telah menyiapkan persediaan makanan dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat. Gabriel memeriksa P3K-nya, memastikan semuanya siap jika dibutuhkan. Humaira membawa perlengkapan kemah untuk dua hari satu malam di gurun, dan Hafizah menyiapkan alat musiknya untuk menambah keceriaan malam nanti.Sebelum menuju gurun, mereka mampir ke supermarket untuk membeli tambahan persediaan makanan. Mereka bercanda dan tertawa sambil memilih bahan makanan, dan tak lupa membeli hadiah untuk ditukar satu sama lain saat permainan nanti.Dengan barang-barang yang lengkap, mereka berangkat menuju Gurun Sahara. Cuaca diperkirakan cerah dengan kemungkinan hanya badai kecil
Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber
Humaira tersentak ketika mendengar ketukan di jendela. Suara ketukan yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, mengusik ketenangan pikirannya. Ia melangkah perlahan ke arah jendela, menarik tirai dengan hati-hati, dan mendapati Arhab berdiri di luar. Wajah suaminya terlihat lelah, namun ketegasan masih tampak dari raut wajahnya. “Bisa tolong bukakan pintu?” suara Arhab terdengar datar namun tetap lembut, meminta untuk dibukakan pintu depan. “Oh, iya. Maaf, aku tidak mendengar ketukan pintu sebelumnya,” jawab Humaira sedikit tergagap. Ia segera berjalan ke pintu depan, membukanya, dan membiarkan Arhab masuk. Suasana di antara mereka tetap hening, tetapi Humaira merasakan sedikit kelegaan karena Arhab sudah pulang dengan selamat. Meski begitu, rasa canggung yang menyelimuti masih terasa tebal, terlebih setelah banyak hal terungkap antara mereka. Humaira menunduk, mencoba mengalihkan rasa canggung yang semakin membesar. “Mau ku siapkan air hangat? Untuk membersihkan diri setelah da
Ilham masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya sayu, tubuhnya terasa remuk. Ketika pintu ruangan terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang tak pernah ia sangka akan melihat di situasi seperti ini—Arhab, sahabatnya. "Arhab... kenapa kamu di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Arhab, yang berdiri di depan pintu dengan wajah serius, menarik napas panjang. Dia tahu situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang terlihat. Dengan perlahan, dia mendekati Ilham dan menjawab, "Aku di sini karena…istriku Humaira, Ham." Kalimat itu seolah membelah ruang yang semula hening. Mata Ilham melebar, jantungnya berdegup kencang. Ia menatap Humaira yang berdiri di samping Arhab, wajahnya tertunduk dalam-dalam, seolah tak berani menatap langsung pada Ilham. "Ya, Kak Ilham," ucap Humaira dengan suara lemah. "Kami telah menikah... sebelum Abi meninggal. Di rumah sakit.""Inalillahi wa inalillahi Raji'un, ya Allah pak kyai"
Humaira langsung mengusap air matanya, menaruh handphone di meja samping, dan berdiri dari ranjang. Kamar yang seharusnya menjadi tempat ia menghabiskan malam pertama sebagai istri baru, kini terasa begitu sesak. Setiap sudutnya seolah menekan dada, membuat napas terasa berat. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikirannya—pertanyaan tanpa jawaban, kekecewaan yang menusuk, dan kesedihan yang tak tertahankan.Begitu sampai di depan kamar Umma, Humaira melihat ibunya tengah tidur, memeluk foto Abi. Gambar suaminya yang baru saja pergi menghadap Ilahi, kini menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesedihan yang mendera. Humaira dengan lembut berbaring di samping Umma dan memeluknya dari belakang, mencari sedikit kehangatan di tengah rasa kehilangan yang dalam."Ada apa, Humaira?" tanya Umma dengan suara serak, setengah sadar.Humaira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaannya. "