Malam Minggu di Inggris, Humaira masih sibuk dengan tugasnya. Ia terus mengerjakan hingga lupa waktu.
Tiba-tiba, ada panggilan Skype masuk. Ternyata dari Gabriel, yang membuat perhatian Humaira teralihkan dari tugas di laptopnya. Tanpa berpikir panjang, Humaira langsung mengangkat panggilan Skype dari Gabriel. "Hey, what's up? Oh my God, you look so busy. Sorry I disturbed you," ucap Gabriel sambil melambaikan tangan dan tersenyum. "Oh, it's okay. I'm just doing my assignment. Kamu belum mengerjakan tugas?" tanya Humaira sambil menutup buku dan membuka kacamatanya. "Assignment? what's assignment?" jawab Gabriel. "Culture coursework," kata Humaira. "Oh yeah. I forgot. Hehe, but tomorrow we can go to Morocco. For what? Doing the task," ujar Gabriel dengan enteng. "Okay, it's not weird anymore. But this task is from the killer lecture, so I need to finish it," kata Humaira. Gabriel hanya tertawa tanpa beban pikiran. "Oh, Humaira, have you made preparations for Morocco tomorrow?" tanya Gabriel. "Of course. And you?" jawab Humaira sambil menulis sesuatu di buku harian. "Yes, I have too," ucap Gabriel. "By the way, I want to say something, but I'll tell you in Morocco. Be ready?!" lanjut Gabriel. Ucapan itu membuat Humaira berhenti sejenak dari menulis catatan di bukunya. Ia terdiam sejenak, memikirkan apa yang akan disampaikan Gabriel nanti. Tanpa berlama-lama, Humaira langsung mengakhiri panggilan Skype-nya. "Okay, see you tomorrow, Gabriel. Bye," kata Humaira sambil menutup panggilan Skype. Humaira langsung termenung, memikirkan sikap Gabriel yang semakin perhatian. Hal itu membuatnya bingung, apalagi dengan percakapan tadi yang menyebutkan kejutan. Ia mulai cemas memikirkan kejutan apa yang akan diberikan. Pikiran Humaira teralihkan saat ia mengingat packing untuk besok berangkat ke Maroko. "Aduh, aku harus cross-check packinganku. Takut ada yang ketinggalan. Dua bulan di sana. Okay, semangat, Humey!" ucap Humaira pada dirinya sendiri sambil beranjak dari meja belajar. *** Pagi harinya... Jam 8.00 AM waktu UK, Humaira berangkat menuju bandara dengan taksi. Sesampainya di bandara sekitar pukul 8.15 AM, Humaira langsung melakukan check-in dan menunggu di kursi tunggu. Baru saja Humaira duduk, tiba-tiba ia mendapat telepon dari Clara. Clara mengabarkan bahwa ia tidak bisa mengikuti penelitian ke Maroko karena mengalami keguguran kandungannya. Padahal, dua minggu yang lalu, Clara baru saja melangsungkan pernikahannya. Clara mengatakan bahwa ia tidak bisa memaksakan diri untuk ikut dan mungkin akan cuti semester ini. Ia juga menyebutkan bahwa jika tidak ikut penelitian ini, berarti akan ikut di semester depan. Humaira langsung terkejut dan khawatir dengan keadaan Clara. Keduanya menangis sedih. Humaira kecewa dengan keputusan Clara yang cuti karena sangat ingin melakukan penelitian bersama dan bersenang-senang di Maroko dengan sahabatnya. Clara meminta maaf kepada Humaira karena tidak bisa bersama di kelas, dan mereka saling mengucapkan perpisahan. Tak lama kemudian, pembimbing penelitian mendatangi Humaira dan meminta Humaira untuk bergabung dengan orang yang akan berangkat di tempat tunggu lain. Ternyata, Humaira salah tempat menunggu. Orang yang menunggu di tempat yang benar adalah Gabriel. Humaira menemui Gabriel yang sudah menunggu dan duduk di sampingnya dengan mata yang sedikit sembab. "What happened? Are you okay?" tanya Gabriel setelah melihat mata Humaira yang sembab. "Yeah, I'm okay," jawab Humaira sambil menyeka air mata yang tersisa. "Clara won't come along, huh? It's okay, just the two of us," ucap Gabriel. Humaira hanya terdiam, menunduk, tanpa menjawab. Secara mengejutkan, Clark dan Marie, sahabat Humaira, datang. "Yuhuuu, we'll also join your team!" seru Marie sambil menyeret kopernya dan duduk di samping Humaira. "What??" tanya Gabriel. "Two days ago, the lecturer moved us to Morocco and added us to your team. How do you feel about it?" tanya Clark sambil duduk setelah Marie. "Oh, really? I'm really happy you're joining. So the workload can be divided and it becomes lighter," kata Humaira sambil memeluk Marie. "Yeah, that's right. We can enjoy the research together while on vacation there. Don't cry, Mey. It's a tough decision for Clara, but what can we do, right?" kata Marie. Gabriel tampak setengah kaget dan kecewa mendengar pernyataan Marie. Ia senang, tetapi juga merasa tidak nyaman karena awalnya ingin berdua saja dengan Humaira. Kemudian, ada pengumuman keberangkatan pesawat. Mereka langsung bergegas memasuki pesawat. *** Selama perjalanan di pesawat, banyak hal tak terduga yang terjadi pada Humaira. Humaira kebetulan mendapatkan kursi di sebelah Gabriel, dengan Humaira di dekat jendela pesawat dan Gabriel di sampingnya. Saat pesawat mulai naik dan mengalami sedikit goncangan, Gabriel tiba-tiba memegang erat tangan Humaira dengan mata tertutup, menahan rasa takut. Humaira terkejut melihat tindakan Gabriel dan hendak melepaskan genggaman tangan Gabriel, tetapi terhenti saat melihat wajah ketakutan Gabriel. Akhirnya, Humaira membiarkan Gabriel menggenggam tangannya hingga pesawat stabil di atas awan. Saat tangan mereka bergenggaman, Humaira merasakan getaran di hatinya. Banyak hal terbesit di pikirannya. Ia benar-benar takut jatuh hati pada Gabriel. "Aduh, tidak bisa nih kalau aku pacaran sama sahabat sendiri. Mana lagi ada tembok tinggi yang tidak mudah ditembus. Aduh, mulai deh mikir kemana-mana. Udah, Mey, tenang. Sekali ini saja dipegang Gabriel, nanti tidak boleh lagi," ucap Humaira dalam hati. Setelah pesawat stabil, Humaira dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Gabriel dan menoleh sambil minta maaf dengan senyum cengengesan. Gabriel pun meminta maaf juga kepada Humaira sambil tersenyum. Ia menjelaskan bahwa dia memiliki fobia ketinggian dan ini adalah pertama kalinya ia naik pesawat, sehingga ia secara refleks memegang tangan Humaira karena takut. Humaira pun memahami dan memaklumi kejadian tersebut, meskipun hatinya masih berdegup kencang. Ini adalah pertama kalinya seorang pria, selain ayah dan laki-laki dalam keluarganya, yang memegang tangannya. Humaira hanya berkata kepada Gabriel, "It's okay for this time," sambil tersenyum. Beberapa jam kemudian... Humaira yang bosan mengambil Al-Qur'an mini dari tas kecilnya dan mulai membacanya dengan suara yang sangat pelan. Gabriel yang sedang memainkan HP di samping Humaira langsung tertegun dan menoleh ke arah Humaira. Gabriel segera menyimpan HP-nya dan pura-pura tidur, padahal dia mendengarkan dengan seksama lantunan ayat yang dibacakan Humaira, meskipun sangat pelan namun masih terdengar olehnya. Ketika Humaira selesai membaca Al-Qur'an dan memasukkannya kembali ke dalam tas, ia berkata, "Don't look at me like that, I'm embarrassed." Ucapan Humaira membuat Gabriel terkejut. "Ouch, I caught you. I just happened to see it. You read the book of a Muslim, the Quran, right?" tanya Gabriel. "Yes, how did you know?" jawab Humaira dengan terkejut. "Hmmmm," ucap Gabriel sambil tertawa kecil. Humaira heran dengan tingkah Gabriel akhir-akhir ini. "Kemarin malam dia mau bilang sesuatu di Maroko. Sekarang dia tahu tentang Al-Qur'an? Dia tahu dari mana, padahal baru kali ini aku baca Al-Qur'an di dekatnya. Dia kan seorang ateis, tidak mungkin tertarik dengan hal berbau agama. Aduh, mungkin dia cari tahu karena temannya seorang Muslim seperti aku. Sudahlah, tidak usah dipikirkan, mending makan," ucap Humaira dalam hati sambil sesekali menoleh ke Gabriel yang sedang tersenyum sendiri sambil melihat HP-nya. Kebetulan saat Humaira berbicara dalam hati, pramugari memberikan makanan pada para penumpang. Setelah berpikir dalam hati, Humaira langsung menyendok appetizer di meja kursinya. Sebelum makanan mendarat di mulut Humaira, tiba-tiba Gabriel berkata, "Bilhana wa assyifa, Humeyy," sambil tersenyum dan melirik Humaira. Humaira tertegun dengan ucapan Gabriel. "Kok dia bisa tahu bahasa Arab?" pikirnya sambil menoleh ke arah Gabriel. Mereka pun bertatapan beberapa detik. *** Otw ke Maroko, part Humaira segini dulu. Bagaimana menurut kalian? Gabriel semakin membuat Humaira heran. Dari mana Gabriel tahu soal Al-Qur'an dan bahasa Arab? Akankah mereka bisa bersama dalam status yang lebih dari sekadar teman? Tunggu kelanjutannya! Jangan lupa untuk vote, comment, dan follow agar penulis semakin semangat dan cepat dalam update cerita berikutnya! See you in the next chapter. Bye! ---**[Sebulan Sebelum Berangkat]**“Istriku, sepertinya bulan depan kita bisa berangkat ke Maroko. Aku sudah mengurus semua dokumen untuk keberangkatan kita,” ucap Arhab dengan senyum penuh rasa bangga.“Iya, suamiku. Terima kasih banyak,” jawab istrinya dengan mata berbinar penuh antusiasme.**1 Bulan Kemudian****[H-2 Sebelum Berangkat ke Maroko]**Arhab dan istrinya sedang sibuk berkemas untuk perjalanan mereka ke Maroko. Mereka memutuskan untuk terbang dari Jawa Timur ke Jakarta terlebih dahulu, lalu melanjutkan penerbangan ke Maroko dari Bandara Soekarno-Hatta.Di dalam pesawat, sebelum lepas landas, istrinya tiba-tiba memulai percakapan.“Yang...” ucapnya dengan nada penuh keraguan.“Iya, ada apa?” jawab Arhab, menoleh dengan penuh perhatian.Terjadi keheningan sejenak sebelum istrinya melanjutkan, “Eh, tidak jadi deh...” sambil tersenyum kecil.“Kenapa, sayang?” tanya Arhab, penasaran.“Tidak jadi, pokoknya,” jawab istrinya, nada suaranya berubah sedikit dingin.“Ya sudah...” ucap
**[Keesokan Harinya]**Pagi hari, saat Arhab sedang membereskan barang-barang di ruang inap istrinya, tiba-tiba ada perawat yang mengetuk pintu. Arhab membuka pintu dan perawat tersebut dengan ramah menyampaikan bahwa ia diminta ke ruangan dokter untuk mengetahui hasil tes laboratorium istrinya.Arhab segera menuju ruangan dokter, sementara perawat memeriksa kondisi istrinya yang masih belum sadar dari pingsan semalam.Sesampainya di ruangan dokter, Arhab dipersilakan duduk. Ia langsung menanyakan hasil tes laboratorium istrinya dengan penuh kecemasan. Dokter menunjukkan surat hasil lab dan mulai menjelaskan.“Jadi begini, Pak. Berdasarkan hasil laboratorium ini, istri Bapak saat ini sedang mengandung, dengan usia kandungan sekitar dua minggu,” ucap dokter.Arhab terkejut dan tersenyum mendengar berita tersebut. Namun, senyum itu segera pudar ketika dokter melanjutkan penjelasan.“Namun, di sisi lain, istri Bapak mengalami komplikasi. Janin yang dikandungnya berisiko tidak dapat terse
"Present, Kak Ilham." ucap Humaira sambil mengangkat tangan dan tersenyum ke arah Kakak pembimbing. Senyuman Humaira pun dibalas oleh Ilham. ******* "Jarang banget kasih senyum gitu ke orang lain," ucap Gabriel kepada Humaira dengan nada mengejek. "Apa sih, Gab? Gak boleh gitu gue senyum ke orang lain?" jawab Humaira, melirik Gabriel dengan kesal. "Gak boleh dong. Ke gue aja gak pernah senyum manis kayak gitu," balas Gabriel dengan mudahnya. "Hah? Aneh lu," respon Humaira keheranan dengan ucapan Gabriel. Ia pun meninggalkan Gabriel dan berjalan menuju Marrie. Tak lama kemudian, dosen menyampaikan tugas kepada para mahasiswa. "Oke baik semuanya, mohon diperhatikan dan didengarkan dengan baik. Tugas kalian saat ini adalah menganalisis sedetail dan selengkap mungkin mengenai Kasbah des Oudayas bersama kelompok yang sudah dibentuk. Setiap Minggu, kalian harus menyerahkan progres penelitian kepada saya. Mohon diserahkan tepat waktu, jika sampai tidak ada perwakilan kelompok
"Iya, maaf. Kamu siapa ya?" tanya Humaira dengan heran."Akhirnyaaa kita ketemu juga!" jawab wanita itu dengan antusias."Oh iya, kenalin aku Hafizah. Aku mahasiswa Cambridge jurusan jurnalistik, adik angkatan Kakak," ucapnya sambil menjabat tangan Humaira, yang membalas dengan senyuman hangat."Wah, iya? Tapi kenapa kamu di sini? Ikut penelitian juga? Setahuku, mata kuliah penelitian itu di semester akhir. Kamu nabung mata kuliah atau bagaimana?" tanya Humaira, bingung."Betul sekali, Kak. Aku nabung mata kuliah biar bisa cepat lulus. Baru saja mata kuliah penelitianku di-approve, dan aku baru tiba kemarin," jawab Hafizah."Wih, keren! Ayo masuk dulu. Nggak enak ngobrol di depan gerbang. Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang," ajak Humaira dengan ramah."Yuk, Kak," jawab Hafizah dengan ceria.[Ruang Tengah Mess]Di ruang tengah mess, teman-teman Humaira sedang berkumpul, bercanda, dan bermain game. Begitu melihat Humaira masuk bersama Hafizah, mereka semua menoleh dan menyambut
**Parkir Mall**"Festival yang di sana, ya, Gab?" tanya Humaira sambil menatap Gabriel yang sedang memarkir motor di area parkir mall yang ramai."Iya, Mey. Nanti kita ke sana setelah belanja, ya?" jawab Gabriel sambil tersenyum, mengeluarkan helm dari kepalanya dan meletakkannya di motor."Okay," balas Humaira dengan senyum ceria.**Mall**Humaira dan Gabriel berjalan bersama melewati koridor mall yang penuh dengan pengunjung. Suara langkah kaki, kerincingan bel toko, dan aroma makanan menggoda dari area food court memenuhi udara. Mereka bercakap-cakap dengan riang, sambil mencari barang-barang yang mereka butuhkan untuk mess mereka."Gab, kita masih perlu beli bumbu dapur yang kemarin habis, kan?" tanya Humaira sambil tersenyum, matanya berkilau dengan semangat."Ya, Mey, habis. Tunggu sebentar, aku cari dulu," jawab Gabriel dengan penuh semangat, melanjutkan langkahnya menuju bagian bumbu dapur.Setelah berbelanja dengan riang di mall, mereka mendengar suara gemuruh dari festival m
"Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin, sayang," ucap Arhab setelah mencium kening istrinya."Tapi kenapa kamu menangis?" tanya istrinya, bingung melihat suaminya menangis."Enggak, aku terharu. Kamu mulai cerewet lagi," jawab Arhab, menutupi rasa sedih bahwa istrinya tidak bisa memiliki buah hati."Kamu ini bisa saja," ucap Aisha sambil tersenyum."Kalau boleh tahu nih, kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Arhab."Tadi pas kamu pergi, dokter sama perawat mengecek kondisi aku dan mengganti cairan infusku. Aku tadi tanya dokter tentang penyakitku ini, terus dokter menjelaskan bahwa aku sudah operasi kuret. Kemarin di perutku ada bayi, tapi nggak bisa bertahan lama karena ibunya masih egois dan suka marah-marah sama suami sendiri. Juga, kondisi aku masih belum fit. Mungkin Allah ambil dulu lagi ya, nanti kita dikasih lagi, kan? Kamu kenapa nggak jujur aja, sayang? Biar kita sedihnya barengan..." ucap Aisha sambil menahan air mata.Arhab langsung memeluk istrinya
Humaira terbangun dari tidurnya dan melihat Marrie serta Clark duduk di sofa sambil mengerjakan tugas laporan penelitian mereka.“Mey… sudah bangun?” ucap Marrie saat melihat Humaira berusaha duduk di ranjang rumah sakit. Marrie langsung menyimpan laptopnya dan menghampiri Humaira.“Kalian sudah lama di sini? Kenapa tidak membangunkan aku saja?” tanya Humaira.“Tidak lah, kamu kan sedang istirahat, masa kami bangunkan,” jawab Marrie.“Kalian sedang mengerjakan tugas, ya? Aku mau bantu dong,” kata Humaira.“Tidak usah, aku dan Clark saja yang menyusun laporan. Lagipula, kamu sudah mencatat isi penelitiannya kemarin, tinggal kami susun, sudah aman, tenang saja,” kata Marrie.“Oke, kalau begitu. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang saja ya. Oh iya, Gabriel ke mana?” tanya Humaira.“Dia tadi membeli makanan buat kita sekaligus mengambil obat kamu di apotek, tapi dari tadi belum datang lagi,” jawab Marrie.“Oh begitu. Kalau Kak Ilham dan Hafizah ke mana?” tanya Humaira.“Hafizah sedang me
Keesokan harinya...Arhab dan Aisha pergi ke bandara diantar oleh Ilham dan Hafizah.Sambil menyetir mobil, Ilham mengeluhkan mengapa mereka pulang lebih cepat padahal ia ingin menjadi pemandu saat mereka liburan. Arhab menjawab bahwa nanti, jika mereka liburan lagi, ia akan meminta Ilham menjadi pemandu.Selama perjalanan menuju bandara, mereka mengobrol sambil bercanda dan tertawa bersama. Di tengah obrolan, tiba-tiba Aisha berkata, "Dilihat-lihat, kalian cocok deh," yang ditujukan untuk Hafizah dan Ilham yang saling bercanda.Arhab sedikit terkejut dengan ucapan istrinya dan langsung menoleh ke arah Aisha. Hafizah dan Ilham pun menoleh sebentar ke Aisha. Setelah mendengar itu, Hafizah terlihat tersipu malu, sedangkan Ilham langsung menghentikan senyum candaan dan menggantinya dengan senyuman canggung sambil fokus pada jalan di depan.Sebenarnya, Aisha tidak mengetahui hubungan masa lalu antara Ilham dan Hafizah.Dulu, mereka pernah dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing dan