“Tugas Bu Sarah kali ini, serahkan aja ke gue. Biar gue yang antar ke ruangannya,” lontar Rafka ketika ia mengumpulkan tugas miliknya ke penanggung jawab mata kuliah yang diampu oleh Sarah.
“Enggak usah, Raf. Sudah tugas gue buat kasih tugas kita ke Bu Sarah. Nanti yang ada aku kena marah Bu Sarah, kalau bukan gue yang antar tugasnya,” tolak Nera–teman sekelas Rafka—bergidik ngeri sendiri membayangkan ia akan terkena dampratan dari Bu dosennya yang terkenal berhati dingin itu.Rafka yang memang ingin segera memulai rencana pertamanya dalam misi memenangkan taruhan, ingin segera bertemu dengan Sarah dan melancarkan aksinya. Menurutnya, hanya cara ini yang terlihat alami untuk memulai melakukan pendekatan dengan Bu Sarah, Oleh karena itu, bagaimanapun caranya, ia harus bisa mendapatkan tumpukan tugas ini dan mengantarkannya ke ruangan Sarah.“Lo enggak usah takut. Entar gue bilang sama Bu Sarah kalau lo tiba-tiba sakit perut, jadi lo enggak bisa kasih tugas ini ke dia,” dalih Rafka berusaha keras mendapatkan persetujuan dari Nera untuk menggantikan gadis itu memberikan tugas ke ruangan dosen.Namun, Nera yang benar-benar takut dengan Bu Sarah kembali menolak permintaan dari Rafka. “Sorry, Raf, tapi gue enggak bisa. Gue juga enggak mau harus terlibat kebohongan kayak begitu, apalagi ke dosen yang terkenal tegas kayak Bu Sarah.”Rafka yang rasanya sudah kehabisan kesabaran untuk sekadar membujuk Nera dan mencoba berbicara baik-baik dengan gadis itu, akhirnya langsung saja merebut tumpukan tugas yang ada di tangan Nera. Setelahnya, Rafka langsung kabur dari hadapan Nera dengan secepat kilat.“Rafka, bawa balik ke gue tugasnya!!!” begitu pekikan yang Rafka dengar dari Nera sebelum ia meninggalkan ruangan kelasnya. Namun, Rafka sama sekali tak memedulikan teriakan Nera. Baginya, yang terpenting saat ini, ia harus segera pergi ke ruang dosen dan bertemu dengan Sarah di sana.***“Pagi, Bu. Permisi, saya mau mengumpulkan tugas yang kemarin Ibu berikan kepada kelas 6 A,” sapa Rafka ketika ia telah sampai di meja Sarah yang ada di dalam di ruang dosen.“Kenapa kamu yang mengumpulkannya? Bukankah penanggung jawab mata kuliah saya dari kelas 6 A adalah Nera?!” tanya Sarah dengan sorotan mata yang tajam dan menyelidik.“Nera tiba-tiba sakit perut, Bu. Jadi saya menawarkan bantuan untuk mengantarkan tugas ini kepada Ibu,” jawab Rafka memasang senyum kikuk di wajahnya.Sarah tampak tak berminat menanggapi penjelasan yang diberikan oleh Rafka. Sambil memfokuskan tatapannya kembali ke layar laptop, ia berkata dengan wajah datar, “Taruh tugasnya di meja! Kalau sudah, kamu bisa keluar dari sini!”Glek!Untuk sesaat, Rafka hanya bisa menelan ludah ketika mendapati sikap dingin yang ditunjukkan oleh Sarah kepadanya. Pantas saja, Nera merasa takut pada Sarah dan tak mengizinkan ia untuk menggantikan Nera mengantarkan tugas kepada dosen di hadapannya ini. Kalau melihat sikap Sarah yang datar, dingin, dan tegas seperti ini, ia sendiri juga merasa enggan berhadapan lama-lama dengan dosennya itu.Namun, demi memenangkan taruhan, ia harus bisa bertahan menghadapi segala sikap yang Sarah tunjukan kepada dirinya. Sejenak, Rafka menarik nafas panjang untuk menghilangkan perasaan gugup yang sempat menyerang dirinya. Sesudahnya, ia mulai menunjukkan aksi beraninya dengan mengambil setangkai mawar merah dari dalam tasnya..“Sebelum saya pergi, saya mau kasih ini buat Ibu,” kata Rafka sambil meletakkan mawar yang ada di tangannya, di samping tumpukan tugas yang beberapa detik lalu ia taruh di atas meja Sarah.“Apa ini?! Saya hanya menerima pengumpulan kertas tugas saja. Di luar itu, lebih baik kamu singkirkan dari meja saya!” tandas Sarah memindahkan pandangan matanya dari laptop, lalu memberikan tatapan nyalang kepada Rafka.“Maaf, tapi saya tidak bisa mengambil benda yang sudah saya berikan kepada orang lain. Lagi pula, mawar ini cocok berada di dekat wanita cantik seperti Ibu,” jawab Rafka dengan beraninya menampilkan senyum, saat jelas-jelas Sarah memberikan tatapan tajam kepada dirinya.“Baiklah … Kalau memang kamu tidak mau menyingkirkannya, biar saya sendiri yang menyingkirkannya!” Dengan gerakan cepat, Sarah memindahkan mawar dari atas mejanya ke dalam kotak sampah yang ada di bawah meja kerjanya. “Tolong jaga sikap dan perkataanmu! Saya ini dosenmu dan tak sepantasnya kamu mengatakan hal seperti itu kepada saya!”Bukannya merasa malu karena Sarah membuang bunga mawar yang ia berikan, Rafka justru semakin menggila. “Kayaknya Ibu enggak suka bunga mawar. Kalau begitu, besok saya kasih ibu bunga yang lain saja atau cokelat juga sepertinya bukan ide yang buruk.”Rafka yang merasa tak bisa mundur lagi, memutuskan untuk terus maju. Tak peduli seberapa kerasnya dan seberapa dinginnya sikap Sarah, ia pasti akan bisa meluluhkan dan mencairkan hati wanita itu. Untuk sementara, ia rela mengesampingkan dulu rasa malunya di depan banyaknya orang yang sedang melihatnya terang-terangan merayu Sarah. Bahkan, ia tak keberatan kalau harus mengendurkan sejenak harga dirinya yang tinggi di hadapan Sarah.“Rafka Mahendra! Sekali lagi, saya minta tolong kepada kamu untuk menghentikan sikap kurang ajar seperti itu!” Sarah menekan bibir bawahnya dengan gigi atasnya karena ia sedang menahan amarahnya agar tidak meledak. “Sekarang, lebih baik kamu segera keluar dari ruang kerja saya, sebelum saya benar-benar menyembur kamu dengan kemarahan saya!”“Saya akan menuruti semua yang Ibu suruh. Kalau ibu suruh saya keluar, saya akan keluar demi Ibu. Lagian, saya enggak mau lihat wajah Ibu yang cantik berkerut gara-gara kebanyakan marah.”Setelah mengatakan itu, Rafka benar-benar keluar dari ruangan dosen dengan kecepatan penuh. Pasalnya, usai mengatakan itu, ia melihat wajah Sarah yang terlihat merah padam. Seolah-olah dengan wajah seperti itu, Sarah bisa saja menyemburkan api kemarahan yang berkobar-kobar kepada dirinya, jika seandainya ia tak juga pergi dari hadapan wanita itu.***“Dari mana, Bro? Habis ketemu sama gebetan baru ceritanya?” ledek Kevin ketika melihat Rafka sudah kembali lagi ke kelas, karena dalam waktu 30 menit lagi, mata kuliah kedua mereka hari ini akan dimulai.“Tadi, Nera cari lo sambil marah-marah ke kita. Katanya lo bawa kabur tugas yang harus di kasih ke Bu Sarah. Tapi, gue yakin pasti itu rencana lo biar bisa ketemu dia ‘kan?” kali ini Tyo menimpali sambil menaik turunkan alisnya.“Berisik lo berdua! Lagian, lo berdua ke mana aja baru datang sekarang?” tanya Rafka kepada kedua kawannya yang tak datang saat mata kuliah pertama mereka hari ini. “Mampus aja lo berdua karena tugas dari Bu Sarah belum lo berdua kumpul.”“Waduh … Mati gue. Bisa-bisa kita kena semprot Bu Sarah minggu depan, gara-gara lupa kumpul tugas. Pokoknya, lo harus tanggung jawab, Yo. Gara-gara ajakan minum-minum semalam di apartemen lo, kita jadi lupa buat tugasnya Bu Sarah,” damprat Kevin kepada Tyo. Hal tersebut karena sepanjang pagi ini mereka ketiduran, akibat mabuk semalam. Kevin dan Tyo baru bangun dan sadar ketika mereka Ingat sudah hampir masuk jam mata kuliah kedua.“Salah lo sendiri kenapa mau terima ajakan gue,” sahut Tyo yang tak terima disalahkan oleh Kevin. “Lo juga, Raf, bisa-bisanya lo enggak kasih tahu kita.”“Gue sudah kasih tahu lo berdua semalam. Gue bilang lewat telepon enggak bisa ikutan minum-minum karena gue mau mengerjakan tugas dari Bu Sarah. Tapi, karena lo berdua terlalu asyik minum, jadi enggak didengar omongan gue!” gerutu Rafka menoyor kepala kedua temannya.Setelah mengingat-ingat perkataan Rafka semalam lewat telepon semalam, Tyo dan Kevin langsung kicep seketika. Bahkan mereka tak membalas saat Rafka menoyor kepala mereka, karena perkataan Rafka memang benar adanya.“Tapi gue lihat-lihat, lo jadi rajin, Raf. Apa karena pengaruh lo lagi berusaha melakukan pendekatan sama Bu Sarah? Wah … mentang-mentang mau pacaran sama dosen, berubah jadi rajin lo!” Kevin kembali mengeluarkan gurauannya. Karena ia tak suka meratapi tugas yang tak terkumpul itu, jadi ia ingin melupakannya dengan membicarakan hal lain.“Sok tahu lo, Kev. Gue begini bukan karena rajin. Tapi, terpaksa supaya gue bisa kumpul tugas tepat waktu dan ketemu sama Bu Sarah. Kalau kagak sih, gue bakal menyelesaikan tugas artikel itu, habis gue minum-minum sama lo berdua.”Rafka sendiri memang tidak suka belajar, tetapi ia memiliki kecerdasan lahiriah yang bisa membuatnya mudah memahami sesuatu pelajaran tanpa perlu banyak belajar. Terkadang, Rafka memang malas dan suka menunda-nunda mengerjakan tugas. Meskipun begitu, tetap saja ia kerjakan tugas itu, karena ia suka sensasi adrenalin ketika mengerjakan tugas di waktu-waktu yang begitu mepet. Sehingganya, sering kali ia mengumpulkan tugas terlambat dari waktunya.***“Lo berdua duluan aja. Nanti gue nyusul ke tempat biasa,” ujar Rafka yang semula akan nongkrong bersama teman-temannya usai pulang kuliah karena tak ada jadwal mata kuliah lagi hari ini. Tetapi, ia terpaksa menundanya, ketika melihat Sarah yang berjalan dengan menenteng tas laptop.Tyo tampak keheranan sendiri melihat temannya yang untuk pertama kali terlihat masih ingin berkeliaran di kampus, meski tak ada lagi mata kuliah yang harus mereka ikuti hari ini. “Mau ngapain lo? Tumben banget betah lama-lama di kampus? Biasanya, lo orang pertama yang pengen cepat cabut dari kampus, kalau udah enggak ada mata kuliah lagi.”“Lo enggak perlu heran, Yo. Biasalah, namanya juga doi lagi berusaha untuk deket sama uB Sarah. Tuh, lihat Bu Sarah ada di sana.” Kevin menanggapi pertanyaan Tyo yang diajukan untuk Rafka sambil cekikikan.“Nah, itu lo tahu. Jadi, sana lo berdua pergi. Jangan ganggu gue yang lagi mau tebar pesona sama Ibu Dosen kita,” usir Rafka sambil turun dari motornya.“Oke, good luck, Bro. Moga-moga lo enggak kena amuk bu Sarah,” goda Kevin sebelum meluncurkan motornya meninggalkan halaman kampus bersama dengan Tyo.Rafka langsung saja berlari secepat kilatan cahaya, ketika melihat Sarah akan berjalan menaiki tangga. Akibatnya, bunyi nafasnya terdengar jelas saat ia telah sampai di samping Sarah.“Biar tasnya saya bantu bawa, Bu. Supaya Ibu enggak terlalu capek naik tangga karena bawa beban yang lumayan berat,” tutur Rafka setelah ia selesai mengatur nafasnya. Tadinya, ia ingin bertanya mengapa Sarah menaiki tangga, tetapi pertanyaan itu ia urungkan ketika melihat tulisan lift sedang diperbaiki.“Tidak usah, saya bisa membawa tas saya sendiri,” tolak Sarah yang mulai menaiki anak tangga dan melanjutkan langkahnya—yang sempat terhenti karena kehadiran Rafka—.Tak ia pedulikan, Rafka yang sedari pagi selalu saja menemuinya tiba-tiba seperti ini. Yang ada, kalau ia tanggapi, anak muda seperti Rafka akan makin bersikap kurang ajar dan berani kepada dirinya. Namun, pikiran Sarah ternyata salah, karena Rafka tetap saja bersikap berani kepada wanita itu, meskipun Sarah sama sekali tidak menanggapinya.Dengan kurang ajarnya, tiba-tiba saja Rafka merebut tas itu dari tangan Sarah, lalu berkata, “Ibu enggak perlu gengsi sama saya. Saya ikhlas 100% kasih bantuan buat dosen secantik Ibu.”Ketika menyadari tas laptop di genggamannya telah berpindah tangan, dengan suara tertahan Sarah mengeluarkan geraman kesal, “Rafka Mahendra! Kembalikan tas Saya!”“Mau apa kamu?! Berhenti di sini, karena saya tidak akan mengizinkan kamu untuk ikut masuk ke dalam kelas yang akan saya ajar!” sungut Sarah memberhentikan langkahnya di depan pintu kelas yang akan ia masuki. “Sekarang, tolong kembalikan tas saya karena saya sudah sampai di tempat yang ingin saya tuju!”“Saya bakal kembalikan tas Ibu, tapi dengan satu syarat. Asal Ibu mau memenuhi syarat dari saya, saya bakal langsung kasih tas di tangan saya ini ke Ibu,” lontar Rafka sengaja berjinjit dan mengangkat tinggi-tinggi tas di tangannya supaya Sarah tidak bisa merebut tas milik wanita itu yang ada di tangannya.Sarah hanya bisa menghela nafas lelah menghadapi tingkah mahasiswa di depannya yang bertingkah layaknya kanak-kanak usia dini. Meski begitu, tetap ia berikan tatapan nyalang ke arah Rafka.“Katakan saja apa maumu! Kalau memang syaratmu tidak sulit dan tidak menyusahkan saya, mungkin saya bisa mengusahakan untuk menerimanya,” jawab Sarah yang langsung menanyakan syarat yang akan diaj
Seperti pagi biasanya, setibanya di kampus, Sarah langsung melajukan kakinya ke ruangan dosen. Ia akan meletakan tas yang ia bawa ke meja kerjanya sebelum memasuki kelas yang akan ia ajar hari ini. Tapi begitu tiba di mejanya, Sarah merasa ada yang aneh. Biasanya di atas meja kerjanya hanya ada tumpukan lembar tugas dan beberapa buku, tetapi mengapa kali ini terdapat 5 tangkai bunga mawar dan juga 10 buah cokelat dengan berbagai bentuk juga tergeletak di mejanya? Ulah siapakah yang berani-beraninya merusak tatanan meja kerjanya? Jangan bilang kalau semua ini diberikan oleh salah satu mahasiswanya yang sedari kemari terus muncul dan mengganggu dirinya. Tapi, sudahlah ia tak ingin mengambil pusing. Toh, ia tinggal menyingkirkan saja benda-benda yang terlihat seperti sampah yang mengotori mejanya tersebut. “Selamat pagi, Bu. Permisi saya mau mengumpulkan tugas yang minggu lalu Ibu berikan,” ujar Rini yang merupakan mahasiswa penanggung jawab di salah satu kelas yang ia ampu. Beruntung
“Sudah sore, saya yakin Ibu tidak punya kegiatan lagi di kampus. Bersediakah Ibu untuk saya antarkan pulang?” Rafka sedari tadi memang sengaja diam-diam mengikuti kegiatan Sarah selama di kampus. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Tentu saja, jauh dalam hatinya Rafka tak ingin bersikap seolah-olah menjadi penguntit seperti ini. Tetapi, ia terpaksa melakukan hal ini karena ia ingin memiliki kesempatan untuk mengantar Sarah pulang.Untuk ke-sekian kalinya ketika berhadapan dengan Rafka, Sarah mengembuskan nafas berat. Sungguh lelah rasanya, terus-menerus berurusan dengan anak muda yang sudah selama seminggu ini tiada henti-hentinya mengusik dirinya dengan kemunculan mahasiswanya itu.“Ada apa lagi kamu menemui saya setiap saya selesai melakukan kegiatan di kampus ini, Rafka Mahendra. Apakah kamu tidak mempunyai kegiatan lain selain mengganggu saya dengan kehadiranmu? Sudah berapa kali saya ingatkan padamu untuk tidak mengganggu saya lagi, tetapi berani sekali kamu tak mengindahkan per
“Permisi, Tuan muda. Saya sudah mendapatkan yang Tuan muda minta untuk diselidiki,” lontar mata-mata yang Rafka suruh untuk menyelidiki mengenai Sarah.Sebenarnya, Rafka tak ingin bertindak sampai sejauh ini. Hanya saja, sewaktu mengikuti Sarah sampai ke rumah wanita itu 2 hari lalu, tanpa sengaja Rafka mendapati seorang anak lelaki memanggil Sarah dengan sebutan Mama. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Rafka pun meminta tolong pada mata-mata Papanya untuk menyelidiki mengenai siapa anak lelaki yang memanggil Sarah dengan sebutan “Mama”? Apakah selama ini Sarah sudah menikah? Kalau ternyata Sarah sudah menikah, haruskah ia membatalkan pertaruhannya bersama teman-temannya. Karena sepanjang sepak terjangnya dalam mendapatkan seorang wanita, ia dan belum pernah terlibat dengan seorang wanita yang sudah menikah. Dari pada terus disibukkan dengan pemikirannya sendiri, lebih baik Rafka segera menanyakan detail yang berhasil didapatkan oleh mata-mata yang ia tugaskan untuk menyelid
Sarah yang merasa bergidik dan hampir marah karena melihat tingkah Rafka yang tiba-tiba mendekatkan mulut lelaki muda itu ke telinganya, sesaat merasa dingin menjalari tubuhnya kala mendengar hal yang dibisikkan oleh lelaki muda itu.Dalam hatinya, Sarah bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak muda di sampingnya ini mengetahui rahasianya? Padahal, Sarah sengaja mencari kampus yang jauh dari rumahnya, supaya tak ada orang di kampus tempatnya mengajar ini mengetahui mengenai rahasia yang sengaja ia sembunyikan selama ini.Memandangi wajah Sarah yang tampak tercengang, menimbulkan seutas senyum miring samar di bibir Rafka. Ia yakin sekali setelah membisikkan kepada Sarah bahwa ia mengetahui rahasia wanita itu, pasti Sarah tak akan bersikap mengabaikan dan tak mau berbicara lagi padanya.Sekilas senyum miring Rafka terlihat di sudut mata Sarah. Melihat hal itu, membuat Sarah menormalkan kembali wajahnya yang sempat tertegun sejenak. “Ikut saya! Kita bicara di luar!” pungkas Sarah bangkit
Usai berhadapan dengan anak muda yang pagi-pagi begini sudah menyulut emosinya hingga sampai puncak tertinggi, Sarah memilih untuk pergi ke toilet dan menyibakkan air ke wajahnya. Tak peduli jika make-up di wajahnya akan luntur. Sekarang, yang ia butuhkan hanya air untuk menyegarkan diri dari sisa emosi dalam dirinya.“Untung saja aku bisa menunjukkan sikap berani di hadapan anak muda itu. Semoga saja setelah ini anak muda itu tidak akan berani menghampiri dan menggangguku lagi,” gumam Sarah kembali mengaplikasikan make up yang telah luntur akibat air yang ia sapukan ke wajahnya tadi.Syukurlah tadi ia bisa menghadapi mahasiswanya yang bernama Rafka itu. Kalau tidak, ia tak yakin bisa pergi dari hadapan Rafka sebelum keinginan anak muda itu dikabulkan olehnya. Tentu saja, Sarah yang selama ini selalu berpegangan pada moralitas, tidak bisa menerima negosiasi Rafka untuk menjadi pacar lelaki muda itu.Meskipun, Rafka mengancamnya dengan bersikukuh akan menyebarkan rahasia yang ia miliki
Ide untuk menggunakan cara lain demi bisa menaklukkan hati Sarah telah Rafka temukan. Kini, saatnya ia merealisasikan ide yang telah ia dapatkan dengan berpikir susah payah di tengah-tengah kebuntuan yang sempat dialami oleh otaknya. Untung saja, mata-mata yang ia suruh untuk menyelidiki tentang Sarah memiliki keterangan dan biodata mengenai anak Sarah. Rencananya, hari ini ia akan menjemput anak Sarah di sekolah anak itu yang alamatnya ia dapatkan dari biodata yang diterima dari mata-mata suruhannya Bermodalkan alamat sekolah di tangannya, Rafka melajukan mobil sportnya ke arena sekolah elite yang ternyata adalah almamaternya sewaktu menempuh pendidikan SMA dulu. Ternyata di bekas sekolahnya ini anak Sarah bersekolah. Ia rasa tak akan susah untuk bisa masuk ke dalam sekolah ini mengingat dulu orang tuanya adalah donatur tertinggi di sekolah ini. “Den, Rafka. Sudah lama saya tidak melihat Den Rafka datang kemari semenjak Den Rafka lulus,” sapa seorang satpam yang sudah bekerja sewak
“Mau ke mana lagi lo?!” tanya Rafka menahan geram setengah mati karena dari tadi Leo memintanya untuk mampir ketiga tempat yang berbeda-beda. Tak hanya sekedar mampir, tetapi anak remaja itu juga mengajak dirinya untuk singgah di 3 tempat yang membosankan baginya. Bagaimana bisa anak muda yang baru beranjak remaja itu mencari hiburan di tempat seperti perpustakaan, toko buku, dan kedai makanan pedas? Sungguh cupu sekali selera Leo sebagai seorang remaja lelaki yang mungkin dalam 5 tahun ke depan akan tumbuh dalam usai lelaki dewasa.“Sudah enggak ada tempat lagi yang mau gue kunjungi. Sekarang lo bisa antar gue pulang. Sekitar 2 jam lagi Mama pulang, gue harus sudah di rumah sebelum Mama pulang karena gue enggak mau kena omel” jawab Leo dengan wajah datar, tetapi dalam hati ia tersenyum puas karena berhasil mengerjai lelaki pembohong yang duduk di sebelahnya ini.Melihat wajah kesal bercampur bosan yang tertahan di wajah Rafka, sewaktu Leo mengajak Rafka ke perpustakaan dan toko bu
Dua bulan berlalu sejak kasus penculikan yang dilakukan oleh Sonia dan Riko terhadap Leo. Kini, kedua orang tersebut telah menemui hasil persidangan yaitu mereka masing-masing dijatuhi hukuman 7 tahun penjara atas perbuatan yang mereka lakukan. Sekarang luka di punggung Dea sudah mengering dan ia pun sudah keluar dari rumah sakit. Tetapi, ia baru sanggup untuk menemui Mamanya di penjara setelah keluar jatuhnya masa hukuman untuk Mamanya. “Yakin enggak mau aku temenin sampai dalem?” tanya Leo yang hari ini mengantarkan kekasihnya ke tempat Mama Dea menjalani hukuman atas kasus penculikan terhadap dirinya. “Enggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Kakak tunggu di mobil aja,” tolak Dea karena ia ingin berbicara dari hati ke hati dengan Mamanya. Sebenarnya, Leo sudah menawark
“Makasih ya, Pa. Papa tetap sayang dan perhatian sama Dea, padahal Papa udah tahu kalau Dea bukan anak kandung Papa. Dea jadi merasa enggak pantes dapet semuanya dari Papa lagi karena ternyata Dea enggak punya hubungan darah apa pun sama Papa.” lirih Dea berlinangan air mata.Ervan, bersama dengan Sarah dan Rafka memang baru saja datang beberapa menit yang lalu. Tetapi, seolah mengerti kalau Ervan membutuhkan waktu untuk membahas sesuatu yang privasi dengan Dea; Sarah dan Rafka pun mengajak Leo ke kafetaria rumah sakit dan memberikan waktu bagi Ervan dan Dea untuk saling bicara berdua dari hati ke hati.“Papa tidak peduli dengan apa pun yang kemarin Papa dengar. Bagi Papa selamanya kamu adalah putri Papa. Tak peduli jika kamu dan Papa tidak mempunyai hubungan darah sekali pun. Tapi, kamu akan selalu menjadi putri kecil Papa yang berharga.&rdqu
“Ngapain sih lo pake nyelametin gue segala?! Kan jadi lo juga yang harus masuk rumah sakit kayak gini! Belum lagi lo pasti kesakitan karena dapet luka tusuk, ‘kan? Harusnya lo enggak perlu ngelindungin gue dan biarin gue aja yang menanggung semua kesakitan yang lo rasain sekarang!” Sudah sehari ini, Leo memang meminta pada Mama, Om Ervan, dan Bang Rafka untuk mengizinkannya menunggui Dea seorang diri di ruang rawat inap tempat Dea dirawat.Memang Dea baru saja sadar usai menjalankan operasi penjahitan dari luka tusuk yang didapatkannya. Oleh karena itu, usai Dea selesai dioperasi dan masih belum sadarkan diri, Leo sengaja meminta pada keluarganya untuk menjaga Dea seorang diri. Kebetulan luka-luka yang ia dapati karena insiden penculikan kemarin, telah selesai ditangani oleh tenaga medis di rumah sakit ini juga..Anggap lah ia melakukan ini sebagai ucapan terima kasih pada Dea karena telah menyelamatkannya. Toh, ia juga merasa bersalah karena demi melindungi dirinya, malah Dea yan
Hati Ervan terasa remuk dan langkahnya meremang saat perlahan mendekati Sonia. Ia merasa seperti terhempas ke dalam labirin kebohongan yang tak terbayangkan sebelumnya. Marah dan kecewa menyatu dalam dirinya, membuatnya ingin melampiaskan semua emosinya di depan wanita itu.Sebagai seorang ayah yang selama ini yakin bahwa Dea adalah anak kandungnya, perasaannya hancur berkeping-keping ketika ada orang lain yang mengakui Dea sebagai anaknya dan seolah mengungkap bahwa Dea sebenarnya bukanlah darah dagingnya."Sonia!" pekik Ervan, suaranya penuh dengan rasa pahit. "apa arti dari semua ini? Katakan kepadaku, mengapa lelaki itu menyebut Dea sebagai anaknya? Apakah aku yang salah dengar atau memang benar begitu adanya?"Sonia menoleh dengan wajah pucat. "Ervan, aku..."Sonia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat terpojok di bawah sorotan tajam Ervan. Ia menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasan pada Ervan. Namun, sebelum Ia bisa menjawab, k
“Akhirnya kamu bertanya juga apa yang aku mau. Baiklah, aku akan mengatakannya langsung kalau yang kuinginkan agar bisa kubebaskan anak ini yaitu Ervan harus menyerahkan 80% harta dan aset yang kamu miliki kepadaku untuk menjamin masa depan Dea. Sedang kamu Rafka, harus memberikan 50% harta dan aset mu kepadaku kalau ingin anak ini kubebaskan tanpa luka yang lebih parah dari yang didapatkan saat ini.”“Kalau cuma harta, ambil lah sebanyak yang kamu mau, Son. Tapi, apakah kamu meragukan bahwa aku sebagai ayahnya tidak bisa menjamin kehidupan Dea selamanya? Sampai-sampai kamu harus memintaku menyerahkan hartamu untuk menjamin masa depannya?” tukas Ervan dengan tatapan terluka sekaligus ada perasaan kesal dalam hatinya.Sonia tersenyum masam. “Aku percaya padamu sebelum kutahu adanya anak harammu dengan Sarah. Tapi setelah itu, aku tak bisa percaya padamu lagi karena aku takut kamu tidak akan bisa dengan adil membagi harta warisanmu kepada Dea dan anak haram itu! Bagaimana pun anak haram
Setelah menaiki tangga berliku-liku; akhirnya Sarah, Rafka, dan Ervan berhasil menemukan Leo di lantai paling atas atau bagian atap. Namun, pemandangan yang mereka temui mampu menyayat hati dan membuat mereka bertiga tertegun bukan main.Leo terikat erat dan mulutnya ditutupi rapat oleh selembar solasi tebal, sehingga Leo hanya bisa memekik tertahan di balik mulut yang disumpal itu. Di samping Leo, mereka melihat Sonia yang berdiri dengan angkuh, dan di sebelahnya ada Riko, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Sekalipun Ervan kini adalah suami Sonia, tetapi bukan berarti ia sudah tahu kalau Riko adalah pacar Sonia dulu.Semantar itu, Mendapati orang-orang yang ia benci sudah ada di hadapannya, langsung saja Sonia menyuruh Riko untuk melancarkan tinjuan bertubi-tubi di wajah Leo yang telah sadar dari pingsannya.Wajah Leo yang tak tertutup lakban, terlihat mengkerut seolah Leo sedang berusaha keras untuk menahan rasa sakit dari tonjokkan tanpa henti yang sedang dilayangkan ke w
Usai menempuh perjalanan sekitar 1 jam lebih, akhirnya Sarah dan Rafka tiba di gedung kosong di jalan Raya Delima No. 25 dengan hati yang berdebar-debar dan penuh kekhawatiran.Namun saat Sarah dan Rafka baru saja tiba di depan gedung kosong itu, mereka melihat Ervan sudah lebih dulu berada di sana.Sarah dan Rafka berdiri di depan gedung kosong, gelisah menyelinap di benak mereka seiring dengan kehadiran Ervan. Rafka, yang masih membawa rasa kekesalan terhadap Ervan atas peristiwa masa lalu, menduga-duga dalam hati.Rafka berspekulasi bahwa Ervan mungkin saja terlibat dalam penculikan Leo, mengingat keterlibatannya dalam peristiwa tragis yang menimpa Sarah dahulu. Tanpa memberi kesempatan pada Ervan untuk memberi jawaban dan menjelaskan alasan kehadirannya di sini, Rafka menghentakkan tinjunya dengan keras ke arah wajah Ervan, dengan maksud ingin melepaskan kekesalannya. "Kenapa lo bisa ada di sini? Apa yang lagi lo lakuin, Bang?Jangan-jangan lo juga terlibat di balik penculikan Le
Sarah menggigit bibirnya dengan keras, matanya berkaca-kaca. “Ini apa maksudnya, Raf? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku benar-benar takut kalau Leo sampai kenapa-napa!”Rafka yang juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang tengah dirasakan Sarah, memilih merangkul istrinya agar kepanikan Sarah tak terlalu membahana. "Kita harus segera pergi, Sar. Leo mungkin berada dalam bahaya. Percaya lah, bagaimanapun caranya, aku akan menyelamatkan Leo dan enggak akan membiarkannya sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi dan menyelamatkan Leo secepat mungkin."Sarah mengangguk, wajahnya pucat. Mereka berdua bergegas keluar dari rumah dan menuju ke lokasi yang disebutkan dalam pesan tersebut dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Rasanya keduanya sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Leo dan siapakah orang yang berani sekali melakukan penculikan pada anak lelaki Sarah tersebut.****“Untung saja, bocah
Sarah duduk gelisah di ruang tamu, matanya tak henti-hentinya memandangi jam di dinding. Sudah larut malam, tetapi tak seperti biasanya, kali ini Sarah sama sekali tak bisa tidur.Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa tidur kalau malam kian larut, tetapi putranya belum kunjung pulang. Berkali-kali, Sarah menghubungi nomor Leo lewat panggilan ponsel, tetapi nomor Leo sama sekali tak bisa dihubungi.Seketika perasaan tak tenang dan gelisah mulai merayap ke dalam hati Sarah. Ia takut terjadi hal buruk pada putranya karena tiba-tiba perasaannya seperti merasa tidak enak.“Aku khawatir sekali pada Leo, Raf. Sekarang sudah jam 12 malam, tapi dia belum pulang dan ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Padahal semenjak berbaikan dengan Leo waktu itu, dia sudah tidak pernah pulang malam dan mabuk-mabukan lagi,” ujar Sarah dengan nada cemas dan penuh kekhawatiran, sehingga memuat suaranya gemetar.Saking cemasnya, tak henti-hentinya Sarah terus menerus menatap layar ponselnya yang terus menunju