“Mau apa kamu?! Berhenti di sini, karena saya tidak akan mengizinkan kamu untuk ikut masuk ke dalam kelas yang akan saya ajar!” sungut Sarah memberhentikan langkahnya di depan pintu kelas yang akan ia masuki. “Sekarang, tolong kembalikan tas saya karena saya sudah sampai di tempat yang ingin saya tuju!”
“Saya bakal kembalikan tas Ibu, tapi dengan satu syarat. Asal Ibu mau memenuhi syarat dari saya, saya bakal langsung kasih tas di tangan saya ini ke Ibu,” lontar Rafka sengaja berjinjit dan mengangkat tinggi-tinggi tas di tangannya supaya Sarah tidak bisa merebut tas milik wanita itu yang ada di tangannya.
Sarah hanya bisa menghela nafas lelah menghadapi tingkah mahasiswa di depannya yang bertingkah layaknya kanak-kanak usia dini. Meski begitu, tetap ia berikan tatapan nyalang ke arah Rafka.
“Katakan saja apa maumu! Kalau memang syaratmu tidak sulit dan tidak menyusahkan saya, mungkin saya bisa mengusahakan untuk menerimanya,” jawab Sarah yang langsung menanyakan syarat yang akan diajukan oleh lelaki itu karena ia enggan berlama-lama berhadapan dengan Rafka.
“Syaratnya mudah sekali, Ibu Sarah. Satu-satunya yang saya inginkan saat ini yaitu Ibu bersedia untuk saya antar pulang. Kalau Ibu menolak, saya enggak akan mengembalikan tas Ibu,” ujar Rafka menaik turunkan alisnya.
“Saya tidak akan pulang dalam waktu dekat karena masih ada satu kelas lagi yang harus saya hadiri setelah kelas ini. Lebih baik, tidak usah membuang waktu mudamu yang berharga untuk menunggu saya. Saya yakin kamu akan bosan setengah mati dan tidak akan sanggup menunggu saya hingga pulang kerja!”
Memang Sarah tidak terang-terangan mengatakan kata penolakan kepada Rafka. Namun, jauh dalam hatinya, kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi adalah bentuk penolakan halus terhadap permintaan yang lelaki muda itu ajukan terhadap dirinya.
“Saya rasa Ibu terlalu meremehkan saya. Meskipun di mata Ibu saya hanyalah anak muda, bukan berarti saya enggak akan sanggup menunggu. Apa pun yang terjadi, saya akan menunggu Ibu di depan gedung fakultas ini sampai semua kegiatan Ibu selesai!” tekan Rafka yang langsung menyerahkan tas milik Sarah kepada sang empunya.
Sarah menerima Tas yang disodorkan Rafka kepadanya sambil berkata, “Terserah padamu saja. Kalau memang sanggup menunggu, silakan saja menunggu. Setelah mengatakan itu, Sarah segera bergegas memasuki kelas tempatnya akan memberikan materi perkuliahan, tanpa melirik lagi ke arah Rafka yang masih berdiri di tempat yang sama.
“Apakah itu jawaban jika wanita itu setuju untuk gue antar pulang?” gumam Rafka memandangi pintu kelas yang telah tertutup rapat karena tubuh wanita yang menjadi bahan taruhan bersama teman-temannya telah menghilang dari balik pintu itu.
Setelah sibuk menebak-nebak, akhirnya sampailah Rafka pada kesimpulan sendiri bahwa Sarah menerima persyaratan dari dirinya. Buktinya wanita yang merupakan dosennya itu menyuruh dirinya untuk menunggu kalau sanggup. Tetapi, tentu saja ia akan sanggup menunggu Sarah karena motonya adalah pantang menyerah sampai dapat.
*****
Suara siulan terus menerus bersahut-sahutan dengan suara video yang terputar di ponsel pintar milik Rafka. Sudah hampir 3 jam lamanya, Rafka menunggu Sarah keluar dari gedung fakultas tempat Sarah mengajar. Tetapi, tak kunjung ia melihat sosok dosennya itu menampakkan tubuhnya.
Apakah mungkin dosen incarannya itu masih mengajar di kelas atau mengerjakan kegiatan lain di kampus? Ia hentikan kegiatan membosankan yang sedari tadi ia lakukan di ponselnya untuk membunuh rasa bosan selama menunggu Sarah. Diputuskannya untuk menelepon dosennya itu karena sedari tadi ia mengirimkan pesan juga tak di balas oleh Sarah.
“Sialan! Enggak diangkat!” gerutu Rafka hampir saja membanting ponsel miliknya ke tanha kalau saja ia tak mengingat bahwa ponsel itu baru saja ia beli kemarin.
Menyadari tak ada gunanya misuh-misuh sendiri, Reval memilih untuk masuk ke dalam gedung fakultasnya dan menjemput Sarah di dalam. Kalau memang Sarah ta mau menghampirinya, maka biarlah dirinya yang akan menjemput Sarah dimana pun wanita itu sedang berada.
Dilangkahkan kakinya untuk berkeliling menuju beberapa kelas, tetapi tak kunjung ia dapati siluet tubuh Sarah di kelas mana pun yang ia datangi. Tak ingin menyerah terlalu dini, Reval membelokkan kakinya menuju ruang dosen. Dengan menggunakan kedok berpura-pura akan menyerahkan tugas pada Sarah, ia pun memberanikan diri untuk memasuki ruangan dosen.
Saat tak ia temui adanya Sarah di meja dosen yang biasanya ditempati wanita itu, Reval pun langsung menanyakan tentang Sarah kepada Dosen yang duduk tak jauh dari meja Sarah.
“Permisi, Pak Ferdi. Saya ingin mengumpulkan tugas kepada Bu Sarah, tapi saya tidak melihat Bu Sarah berada di mejanya. Bapak tahu Ibu Sarah ada dimana?” tanya Reval kepada Bapak dosen yang pernah mengajar statistik di kelasnya setahun yang lalu.
“Bu Sarah sudah pulang dari tadi.” Begitulah jawaban yang Reval dapatkan dari Bapak Dosen berkepala plontos dan berkumis tebal tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Reval langsung berjalan cepat menuju ke tempat kendaraan terparkir. Dengan tangan terkepal, ia berjalan menahan sejuta kekesalan karena Bu Sarah tega sekali memberikan harapan palsu kepada dirinya.
Meski begitu, ia masih belum menyerah untuk bisa mendapatkan hati Bu Sarah, demi keberhasilan misi taruhan yang sedang ia jalankan dengan kedua temannya. Lihat saja, esok ia akan mendekati Sarah dengan pendekatan yang lebih ekstrem daripada hari ini.
Seperti pagi biasanya, setibanya di kampus, Sarah langsung melajukan kakinya ke ruangan dosen. Ia akan meletakan tas yang ia bawa ke meja kerjanya sebelum memasuki kelas yang akan ia ajar hari ini. Tapi begitu tiba di mejanya, Sarah merasa ada yang aneh. Biasanya di atas meja kerjanya hanya ada tumpukan lembar tugas dan beberapa buku, tetapi mengapa kali ini terdapat 5 tangkai bunga mawar dan juga 10 buah cokelat dengan berbagai bentuk juga tergeletak di mejanya? Ulah siapakah yang berani-beraninya merusak tatanan meja kerjanya? Jangan bilang kalau semua ini diberikan oleh salah satu mahasiswanya yang sedari kemari terus muncul dan mengganggu dirinya. Tapi, sudahlah ia tak ingin mengambil pusing. Toh, ia tinggal menyingkirkan saja benda-benda yang terlihat seperti sampah yang mengotori mejanya tersebut. “Selamat pagi, Bu. Permisi saya mau mengumpulkan tugas yang minggu lalu Ibu berikan,” ujar Rini yang merupakan mahasiswa penanggung jawab di salah satu kelas yang ia ampu. Beruntung
“Sudah sore, saya yakin Ibu tidak punya kegiatan lagi di kampus. Bersediakah Ibu untuk saya antarkan pulang?” Rafka sedari tadi memang sengaja diam-diam mengikuti kegiatan Sarah selama di kampus. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Tentu saja, jauh dalam hatinya Rafka tak ingin bersikap seolah-olah menjadi penguntit seperti ini. Tetapi, ia terpaksa melakukan hal ini karena ia ingin memiliki kesempatan untuk mengantar Sarah pulang.Untuk ke-sekian kalinya ketika berhadapan dengan Rafka, Sarah mengembuskan nafas berat. Sungguh lelah rasanya, terus-menerus berurusan dengan anak muda yang sudah selama seminggu ini tiada henti-hentinya mengusik dirinya dengan kemunculan mahasiswanya itu.“Ada apa lagi kamu menemui saya setiap saya selesai melakukan kegiatan di kampus ini, Rafka Mahendra. Apakah kamu tidak mempunyai kegiatan lain selain mengganggu saya dengan kehadiranmu? Sudah berapa kali saya ingatkan padamu untuk tidak mengganggu saya lagi, tetapi berani sekali kamu tak mengindahkan per
“Permisi, Tuan muda. Saya sudah mendapatkan yang Tuan muda minta untuk diselidiki,” lontar mata-mata yang Rafka suruh untuk menyelidiki mengenai Sarah.Sebenarnya, Rafka tak ingin bertindak sampai sejauh ini. Hanya saja, sewaktu mengikuti Sarah sampai ke rumah wanita itu 2 hari lalu, tanpa sengaja Rafka mendapati seorang anak lelaki memanggil Sarah dengan sebutan Mama. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Rafka pun meminta tolong pada mata-mata Papanya untuk menyelidiki mengenai siapa anak lelaki yang memanggil Sarah dengan sebutan “Mama”? Apakah selama ini Sarah sudah menikah? Kalau ternyata Sarah sudah menikah, haruskah ia membatalkan pertaruhannya bersama teman-temannya. Karena sepanjang sepak terjangnya dalam mendapatkan seorang wanita, ia dan belum pernah terlibat dengan seorang wanita yang sudah menikah. Dari pada terus disibukkan dengan pemikirannya sendiri, lebih baik Rafka segera menanyakan detail yang berhasil didapatkan oleh mata-mata yang ia tugaskan untuk menyelid
Sarah yang merasa bergidik dan hampir marah karena melihat tingkah Rafka yang tiba-tiba mendekatkan mulut lelaki muda itu ke telinganya, sesaat merasa dingin menjalari tubuhnya kala mendengar hal yang dibisikkan oleh lelaki muda itu.Dalam hatinya, Sarah bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak muda di sampingnya ini mengetahui rahasianya? Padahal, Sarah sengaja mencari kampus yang jauh dari rumahnya, supaya tak ada orang di kampus tempatnya mengajar ini mengetahui mengenai rahasia yang sengaja ia sembunyikan selama ini.Memandangi wajah Sarah yang tampak tercengang, menimbulkan seutas senyum miring samar di bibir Rafka. Ia yakin sekali setelah membisikkan kepada Sarah bahwa ia mengetahui rahasia wanita itu, pasti Sarah tak akan bersikap mengabaikan dan tak mau berbicara lagi padanya.Sekilas senyum miring Rafka terlihat di sudut mata Sarah. Melihat hal itu, membuat Sarah menormalkan kembali wajahnya yang sempat tertegun sejenak. “Ikut saya! Kita bicara di luar!” pungkas Sarah bangkit
Usai berhadapan dengan anak muda yang pagi-pagi begini sudah menyulut emosinya hingga sampai puncak tertinggi, Sarah memilih untuk pergi ke toilet dan menyibakkan air ke wajahnya. Tak peduli jika make-up di wajahnya akan luntur. Sekarang, yang ia butuhkan hanya air untuk menyegarkan diri dari sisa emosi dalam dirinya.“Untung saja aku bisa menunjukkan sikap berani di hadapan anak muda itu. Semoga saja setelah ini anak muda itu tidak akan berani menghampiri dan menggangguku lagi,” gumam Sarah kembali mengaplikasikan make up yang telah luntur akibat air yang ia sapukan ke wajahnya tadi.Syukurlah tadi ia bisa menghadapi mahasiswanya yang bernama Rafka itu. Kalau tidak, ia tak yakin bisa pergi dari hadapan Rafka sebelum keinginan anak muda itu dikabulkan olehnya. Tentu saja, Sarah yang selama ini selalu berpegangan pada moralitas, tidak bisa menerima negosiasi Rafka untuk menjadi pacar lelaki muda itu.Meskipun, Rafka mengancamnya dengan bersikukuh akan menyebarkan rahasia yang ia miliki
Ide untuk menggunakan cara lain demi bisa menaklukkan hati Sarah telah Rafka temukan. Kini, saatnya ia merealisasikan ide yang telah ia dapatkan dengan berpikir susah payah di tengah-tengah kebuntuan yang sempat dialami oleh otaknya. Untung saja, mata-mata yang ia suruh untuk menyelidiki tentang Sarah memiliki keterangan dan biodata mengenai anak Sarah. Rencananya, hari ini ia akan menjemput anak Sarah di sekolah anak itu yang alamatnya ia dapatkan dari biodata yang diterima dari mata-mata suruhannya Bermodalkan alamat sekolah di tangannya, Rafka melajukan mobil sportnya ke arena sekolah elite yang ternyata adalah almamaternya sewaktu menempuh pendidikan SMA dulu. Ternyata di bekas sekolahnya ini anak Sarah bersekolah. Ia rasa tak akan susah untuk bisa masuk ke dalam sekolah ini mengingat dulu orang tuanya adalah donatur tertinggi di sekolah ini. “Den, Rafka. Sudah lama saya tidak melihat Den Rafka datang kemari semenjak Den Rafka lulus,” sapa seorang satpam yang sudah bekerja sewak
“Mau ke mana lagi lo?!” tanya Rafka menahan geram setengah mati karena dari tadi Leo memintanya untuk mampir ketiga tempat yang berbeda-beda. Tak hanya sekedar mampir, tetapi anak remaja itu juga mengajak dirinya untuk singgah di 3 tempat yang membosankan baginya. Bagaimana bisa anak muda yang baru beranjak remaja itu mencari hiburan di tempat seperti perpustakaan, toko buku, dan kedai makanan pedas? Sungguh cupu sekali selera Leo sebagai seorang remaja lelaki yang mungkin dalam 5 tahun ke depan akan tumbuh dalam usai lelaki dewasa.“Sudah enggak ada tempat lagi yang mau gue kunjungi. Sekarang lo bisa antar gue pulang. Sekitar 2 jam lagi Mama pulang, gue harus sudah di rumah sebelum Mama pulang karena gue enggak mau kena omel” jawab Leo dengan wajah datar, tetapi dalam hati ia tersenyum puas karena berhasil mengerjai lelaki pembohong yang duduk di sebelahnya ini.Melihat wajah kesal bercampur bosan yang tertahan di wajah Rafka, sewaktu Leo mengajak Rafka ke perpustakaan dan toko bu
“Kamu kenal anak ini di mana, Leo?” tanya Sarah membawakan obat dan segelas air putih ke kamar Leo.Tentu saja obat dan segelas air ini ia bawakan bukan untuk anaknya. Melainkan, untuk anak muda yang berbaring di ranjang anaknya saat ini dalam keadaan masih tak sadarkan diri.“Tanyanya nanti aja, ya, Ma. Waktu dia sudah sadar,” pinta Leo sambil memegang dan mendekatkan minyak angin di tangannya ke hidung Rafka.Kalau tidak ada Mamanya yang memberikan sebotol minyak angin padanya, Leo akan lebih memilih menyadarkan Rafka menggunakan kaus kaki busuk miliknya. Lagi pula untuk apa ia bersikap baik hati kepada Rafka yang telah terbukti berbohong. Buktinya Mamanya saja bingung mengapa Rafka bisa berada di rumah ini, jadi bisa ia ambil kesimpulan bahwa Rafka memang benar-benar berbohong kalau pemuda itu disuruh Mamanya untuk menjemput dirinya di sekolah.Memang dari awal, Leo telah tahu bahwa Rafka berbohong. Sehingga dengan sengaja Leo mengajak bahkan memaksa Rafka untuk memakan makanan de