Seperti pagi biasanya, setibanya di kampus, Sarah langsung melajukan kakinya ke ruangan dosen. Ia akan meletakan tas yang ia bawa ke meja kerjanya sebelum memasuki kelas yang akan ia ajar hari ini. Tapi begitu tiba di mejanya, Sarah merasa ada yang aneh. Biasanya di atas meja kerjanya hanya ada tumpukan lembar tugas dan beberapa buku, tetapi mengapa kali ini terdapat 5 tangkai bunga mawar dan juga 10 buah cokelat dengan berbagai bentuk juga tergeletak di mejanya?
Ulah siapakah yang berani-beraninya merusak tatanan meja kerjanya? Jangan bilang kalau semua ini diberikan oleh salah satu mahasiswanya yang sedari kemari terus muncul dan mengganggu dirinya. Tapi, sudahlah ia tak ingin mengambil pusing. Toh, ia tinggal menyingkirkan saja benda-benda yang terlihat seperti sampah yang mengotori mejanya tersebut.
“Selamat pagi, Bu. Permisi saya mau mengumpulkan tugas yang minggu lalu Ibu berikan,” ujar Rini yang merupakan mahasiswa penanggung jawab di salah satu kelas yang ia ampu.
Beruntung ada Rini datang ke mejanya, sehingga ia tak perlu membuang-buang cokelat di mejanya. Tadinya, ia berniat ingin menyingkirkan cokelat dan bunga di atas mejanya ke dalam tong sampah. Tapi, ketika melihat Rini datang ia mengurungkan niatnya.
“Baiklah, kamu taruh saja di bagian meja saya yang kosong,” tutur Sarah sambil memunguti cokelat dan bunga di atas mejanya lalu memasukkan dua buah benda itu ke dalam kantung plastik.
“Tugasnya sudah saya taruh di meja Ibu. Kalau begitu, saya permisi kembali ke kelas saya, Bu,” pamit Rini yang memperhatikan Sarah yang masih memasukkan dua buah batang cokelat yang tersisa di meja dosennya itu.
“Tunggu sebentar. Saya boleh minta tolong untuk membawa ini keluar sekalian. Kamu bisa mengambilnya jika ingin. Tetapi kalau kamu tidak mau, kamu bisa memberikan benda-benda yang ada di plastik kepada orang lain,” pinta Sarah buru-buru memasukkan sisa cokelat di mejanya dan memberikan kantung plastik di tangannya ke hadapan Rini.
Rini yang tak enak menolak permintaan tolong dosennya terpaksa menerima kantung plastik yang disodorkan oleh Sarah. “Ba–baik, Bu. Terima kasih. Kalau begitu, saya permisi.” setelah mengatakan itu, Rini melangkah pergi dari meja kerja Sarah.
****
“Sudah selesai mengajarnya, Bu Sarah? Biar saya bantu membawakan buku-buku yang Ibu bawa supaya Ibu bisa lebih leluasa berjalan. Saya tidak mau Ibu tersandung sesuatu di jalan kalau membawa buku-buku yang berat,” kata Rafka yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Sarah saat Sarah baru saja keluar dari ruangan kelas tempatnya mengajar.
Sarah memberikan tatapan tajam bercampur nyalang ketika melihat Rafka berada di hadapannya. “Tidak usah. Saya masih kuat untuk membawa buku-buku milik saya. Lagi pula saya tidak ingin berurusan denganmu seperti kemarin, Rafka Mahendra!”
“Saya juga sebenarnya tidak ingin mengganggu seperti ini. Tetapi saya terpaksa harus begini lagi karena kemarin Ibu tidak menepati janji kepada saya. Ibu bilang saya boleh menunggu, tetapi kenapa pulang duluan?!”
“Kemarin saya hanya mengatakan kamu boleh menunggu kalau sanggup. Tapi, saya tidak pernah bilang kalau saya setuju untuk pulang bersama kamu. Artinya saya tidak mengingkari janji apa pun padamu, bukan?” Sarah masih mencoba untuk menanggapi keluhan yang Rafka layangkan padanya dengan sabar.
Rafka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang benar kemarin Sarah tak mengatakan kalau wanita itu berjanji akan memenuhi syarat yang ia berikan untuk mau pulang bersamanya. Satu-satunya yang dosennya itu katakan adalah akan mempertimbangkan syarat yang ia berikan. Tapi, tetap saja kata mengusahakan yang keluar dari mulut Sarah kemarin mampu memberikan Rafka sedikit harapan.
“Baiklah, saya akui bahwa Ibu hanya mengatakan akan mengusahakan dan sama sekali tidak menjanjikan apa pun pada saya. Tapi, tetap saja saya merasa seperti diberikan harapan palsu. Ngomong-ngomong, nomor handphone Ibu masih aktif? Kemarin kenapa saya kirim pesan dan saya telepon tidak diangkat?” tanya Rafka masih menghadang tubuh Sarah agar wanita di depannya tak bisa kabur kemana pun.
“Semenjak menjadi dosen di kampus ini, saya tidak pernah mengganti nomor telepon saya. Alasan saya tidak membalas pesan dan mengangkat telepon dari kamu karena saya tidak akan menanggapi pesan atau pembicaraan di luar mata kuliah yang saya ampu di kelas kamu!” tandas Fara.
“Kalau begitu alasannya, saya tidak jadi kesal. Walaupun Ibu tidak membalas pesan saya, tapi setidaknya Ibu melihat pesan yang saya kirimkan kemarin.” Rafka mengatakan itu sambil memasang cengiran kesenangan.
Dia merasa senang karena kalau sampai Sarah tahu bahwa pesan darinya bukanlah membicarakan mengenai mata kuliah, itu artinya Sarah telah membaca pesan darinya secara tidak langsung.
“Saya tidak ada waktu lagi untuk meladeni ucapanmu yang melantur kemana-mana ini. Sebentar lagi saya ada rapat dosen yang harus dihadiri, sehingga saya mohon pengertianmu untuk menyingkir karena saya ingin lewat,” ungkap Sarah yang mulai merasa kesabarannya sudah habis. Ia tak ingin lebih lama lagi menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk berhadapan dengan anak muda yang berceloteh tak jelas seperti Rafka.
Menemukan emosi dalam perkataan Sarah, Rafka pun berkata,“Tenanglah, Bu Sarah. Saya pasti akan menyingkir, tapi kalau Bu Sarah mau berjanji kalau akan mengizinkan saya untuk mengantar Ibu pulang hari ini.”
“Rafka Mahendra lagi-lagi kamu bertingkah seperti ini lagi. Kemarin saya masih bisa mentolerir sikap tidak pantas dan kurang ajar yang kamu tunjukan kepada saya selaku dosenmu. Kali ini saya memberikan peringatan terakhir padamu untuk tidak mencoba mengganggu saya lagi. Kalau sampai saya melihatmu bersikap melewati batas lagi, saya tidak akan segan-segan memberikanmu nilai D bahkan E untuk mata kuliah saya,” ancam Sarah dengan mata yang menyala tajam.
Bukannya merasa takut mendapati ancaman dari Sarah, Rafka malah terlihat memasang senyum di wajahnya sambil mengangkat telapak tangannya sejajar dengan kepalanya.
“Sepertinya Ibu sedang emosi, jadi saya akan membiarkan Ibu lewat kali ini,” ucap Rafka dengan entengnya. “Tapi, bukan berarti saya takut dengan ancaman Ibu. Hanya saja saya tidak mau melihat wajah cantik Ibu menjadi berkerut ketika marah.”
Rafka meneriakkan kata terakhirnya ketika Sarah telah berjalan cukup jauh melewatinya, tetapi ia yakin wanita itu masih bisa mendengar suaranya. Ternyata sulit juga menaklukkan hati dosennya itu. Kini, ia jadi mengerti alasan teman-temannya sampai harus memberikan waktu satu bulan untuk bisa mendapatkan Sarah karena memang tak mudah untuk meluluhkan wanita seperti Sarah.
Namun, mengetahui betapa sulitnya untuk bisa mendapatkan Sarah bukannya membuatnya menyerah. Entah mengapa, Rafka malah semakin merasa tertantang untuk bisa mencairkan hati Sarah agar luluh kepada dirinya. Tak peduli, jika ia harus mendapatkan nilai D atau E dari Sarah, asal ia bisa menjadikan Sarah sebagai pacar dan menang taruhan, ia rasa hal itu sepadan.
“Sudah sore, saya yakin Ibu tidak punya kegiatan lagi di kampus. Bersediakah Ibu untuk saya antarkan pulang?” Rafka sedari tadi memang sengaja diam-diam mengikuti kegiatan Sarah selama di kampus. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Tentu saja, jauh dalam hatinya Rafka tak ingin bersikap seolah-olah menjadi penguntit seperti ini. Tetapi, ia terpaksa melakukan hal ini karena ia ingin memiliki kesempatan untuk mengantar Sarah pulang.Untuk ke-sekian kalinya ketika berhadapan dengan Rafka, Sarah mengembuskan nafas berat. Sungguh lelah rasanya, terus-menerus berurusan dengan anak muda yang sudah selama seminggu ini tiada henti-hentinya mengusik dirinya dengan kemunculan mahasiswanya itu.“Ada apa lagi kamu menemui saya setiap saya selesai melakukan kegiatan di kampus ini, Rafka Mahendra. Apakah kamu tidak mempunyai kegiatan lain selain mengganggu saya dengan kehadiranmu? Sudah berapa kali saya ingatkan padamu untuk tidak mengganggu saya lagi, tetapi berani sekali kamu tak mengindahkan per
“Permisi, Tuan muda. Saya sudah mendapatkan yang Tuan muda minta untuk diselidiki,” lontar mata-mata yang Rafka suruh untuk menyelidiki mengenai Sarah.Sebenarnya, Rafka tak ingin bertindak sampai sejauh ini. Hanya saja, sewaktu mengikuti Sarah sampai ke rumah wanita itu 2 hari lalu, tanpa sengaja Rafka mendapati seorang anak lelaki memanggil Sarah dengan sebutan Mama. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Rafka pun meminta tolong pada mata-mata Papanya untuk menyelidiki mengenai siapa anak lelaki yang memanggil Sarah dengan sebutan “Mama”? Apakah selama ini Sarah sudah menikah? Kalau ternyata Sarah sudah menikah, haruskah ia membatalkan pertaruhannya bersama teman-temannya. Karena sepanjang sepak terjangnya dalam mendapatkan seorang wanita, ia dan belum pernah terlibat dengan seorang wanita yang sudah menikah. Dari pada terus disibukkan dengan pemikirannya sendiri, lebih baik Rafka segera menanyakan detail yang berhasil didapatkan oleh mata-mata yang ia tugaskan untuk menyelid
Sarah yang merasa bergidik dan hampir marah karena melihat tingkah Rafka yang tiba-tiba mendekatkan mulut lelaki muda itu ke telinganya, sesaat merasa dingin menjalari tubuhnya kala mendengar hal yang dibisikkan oleh lelaki muda itu.Dalam hatinya, Sarah bertanya-tanya, bagaimana mungkin anak muda di sampingnya ini mengetahui rahasianya? Padahal, Sarah sengaja mencari kampus yang jauh dari rumahnya, supaya tak ada orang di kampus tempatnya mengajar ini mengetahui mengenai rahasia yang sengaja ia sembunyikan selama ini.Memandangi wajah Sarah yang tampak tercengang, menimbulkan seutas senyum miring samar di bibir Rafka. Ia yakin sekali setelah membisikkan kepada Sarah bahwa ia mengetahui rahasia wanita itu, pasti Sarah tak akan bersikap mengabaikan dan tak mau berbicara lagi padanya.Sekilas senyum miring Rafka terlihat di sudut mata Sarah. Melihat hal itu, membuat Sarah menormalkan kembali wajahnya yang sempat tertegun sejenak. “Ikut saya! Kita bicara di luar!” pungkas Sarah bangkit
Usai berhadapan dengan anak muda yang pagi-pagi begini sudah menyulut emosinya hingga sampai puncak tertinggi, Sarah memilih untuk pergi ke toilet dan menyibakkan air ke wajahnya. Tak peduli jika make-up di wajahnya akan luntur. Sekarang, yang ia butuhkan hanya air untuk menyegarkan diri dari sisa emosi dalam dirinya.“Untung saja aku bisa menunjukkan sikap berani di hadapan anak muda itu. Semoga saja setelah ini anak muda itu tidak akan berani menghampiri dan menggangguku lagi,” gumam Sarah kembali mengaplikasikan make up yang telah luntur akibat air yang ia sapukan ke wajahnya tadi.Syukurlah tadi ia bisa menghadapi mahasiswanya yang bernama Rafka itu. Kalau tidak, ia tak yakin bisa pergi dari hadapan Rafka sebelum keinginan anak muda itu dikabulkan olehnya. Tentu saja, Sarah yang selama ini selalu berpegangan pada moralitas, tidak bisa menerima negosiasi Rafka untuk menjadi pacar lelaki muda itu.Meskipun, Rafka mengancamnya dengan bersikukuh akan menyebarkan rahasia yang ia miliki
Ide untuk menggunakan cara lain demi bisa menaklukkan hati Sarah telah Rafka temukan. Kini, saatnya ia merealisasikan ide yang telah ia dapatkan dengan berpikir susah payah di tengah-tengah kebuntuan yang sempat dialami oleh otaknya. Untung saja, mata-mata yang ia suruh untuk menyelidiki tentang Sarah memiliki keterangan dan biodata mengenai anak Sarah. Rencananya, hari ini ia akan menjemput anak Sarah di sekolah anak itu yang alamatnya ia dapatkan dari biodata yang diterima dari mata-mata suruhannya Bermodalkan alamat sekolah di tangannya, Rafka melajukan mobil sportnya ke arena sekolah elite yang ternyata adalah almamaternya sewaktu menempuh pendidikan SMA dulu. Ternyata di bekas sekolahnya ini anak Sarah bersekolah. Ia rasa tak akan susah untuk bisa masuk ke dalam sekolah ini mengingat dulu orang tuanya adalah donatur tertinggi di sekolah ini. “Den, Rafka. Sudah lama saya tidak melihat Den Rafka datang kemari semenjak Den Rafka lulus,” sapa seorang satpam yang sudah bekerja sewak
“Mau ke mana lagi lo?!” tanya Rafka menahan geram setengah mati karena dari tadi Leo memintanya untuk mampir ketiga tempat yang berbeda-beda. Tak hanya sekedar mampir, tetapi anak remaja itu juga mengajak dirinya untuk singgah di 3 tempat yang membosankan baginya. Bagaimana bisa anak muda yang baru beranjak remaja itu mencari hiburan di tempat seperti perpustakaan, toko buku, dan kedai makanan pedas? Sungguh cupu sekali selera Leo sebagai seorang remaja lelaki yang mungkin dalam 5 tahun ke depan akan tumbuh dalam usai lelaki dewasa.“Sudah enggak ada tempat lagi yang mau gue kunjungi. Sekarang lo bisa antar gue pulang. Sekitar 2 jam lagi Mama pulang, gue harus sudah di rumah sebelum Mama pulang karena gue enggak mau kena omel” jawab Leo dengan wajah datar, tetapi dalam hati ia tersenyum puas karena berhasil mengerjai lelaki pembohong yang duduk di sebelahnya ini.Melihat wajah kesal bercampur bosan yang tertahan di wajah Rafka, sewaktu Leo mengajak Rafka ke perpustakaan dan toko bu
“Kamu kenal anak ini di mana, Leo?” tanya Sarah membawakan obat dan segelas air putih ke kamar Leo.Tentu saja obat dan segelas air ini ia bawakan bukan untuk anaknya. Melainkan, untuk anak muda yang berbaring di ranjang anaknya saat ini dalam keadaan masih tak sadarkan diri.“Tanyanya nanti aja, ya, Ma. Waktu dia sudah sadar,” pinta Leo sambil memegang dan mendekatkan minyak angin di tangannya ke hidung Rafka.Kalau tidak ada Mamanya yang memberikan sebotol minyak angin padanya, Leo akan lebih memilih menyadarkan Rafka menggunakan kaus kaki busuk miliknya. Lagi pula untuk apa ia bersikap baik hati kepada Rafka yang telah terbukti berbohong. Buktinya Mamanya saja bingung mengapa Rafka bisa berada di rumah ini, jadi bisa ia ambil kesimpulan bahwa Rafka memang benar-benar berbohong kalau pemuda itu disuruh Mamanya untuk menjemput dirinya di sekolah.Memang dari awal, Leo telah tahu bahwa Rafka berbohong. Sehingga dengan sengaja Leo mengajak bahkan memaksa Rafka untuk memakan makanan de
“Apa yang terjadi padamu, Leo? Kenapa kamu menghajar dia?” tanya Sarah sambil terpaksa mengobati luka Rafka karena putranyalah yang menyebabkan wajah lelaki muda di hadapannya ini dipenuhi luka-luka.“Aku cuma kesal aja sama dia, Ma,” jawab Leo dengan singkat.Dengan tatapan sengit Leo memperhatikan Rafka yang sedang diobati oleh Mamanya. Muak sekali ia melihat wajah Rafka yang tampak kesenangan karena Mamanya mengobati luka lelaki muda itu.Semenjak Leo tahu kalau Rafka sedang berusaha mengincar Ibunya untuk dijadikan pacar, sejak itu pula ia merasa dongkol dan tak suka tiap kali melihat sosok Rafka di depan matanya.“Apa alasan kamu kesal sama dia?” Sarah bertanya lagi. “Memangnya kamu kenal dia di mana? Kenapa dia bisa ada di rumah kita?” “Dia alumni di sekolahku, Ma. Tadi, ada acara reuni di sekolah. Terus dia enggak sengaja hampir menyerempetku. Karena rasa bersalah, dia mengantarku pulang. Aku kesal dengannya karena hampir menyerempetku,” papar Leo sengaja berbohong karena ia t
Dua bulan berlalu sejak kasus penculikan yang dilakukan oleh Sonia dan Riko terhadap Leo. Kini, kedua orang tersebut telah menemui hasil persidangan yaitu mereka masing-masing dijatuhi hukuman 7 tahun penjara atas perbuatan yang mereka lakukan. Sekarang luka di punggung Dea sudah mengering dan ia pun sudah keluar dari rumah sakit. Tetapi, ia baru sanggup untuk menemui Mamanya di penjara setelah keluar jatuhnya masa hukuman untuk Mamanya. “Yakin enggak mau aku temenin sampai dalem?” tanya Leo yang hari ini mengantarkan kekasihnya ke tempat Mama Dea menjalani hukuman atas kasus penculikan terhadap dirinya. “Enggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Kakak tunggu di mobil aja,” tolak Dea karena ia ingin berbicara dari hati ke hati dengan Mamanya. Sebenarnya, Leo sudah menawark
“Makasih ya, Pa. Papa tetap sayang dan perhatian sama Dea, padahal Papa udah tahu kalau Dea bukan anak kandung Papa. Dea jadi merasa enggak pantes dapet semuanya dari Papa lagi karena ternyata Dea enggak punya hubungan darah apa pun sama Papa.” lirih Dea berlinangan air mata.Ervan, bersama dengan Sarah dan Rafka memang baru saja datang beberapa menit yang lalu. Tetapi, seolah mengerti kalau Ervan membutuhkan waktu untuk membahas sesuatu yang privasi dengan Dea; Sarah dan Rafka pun mengajak Leo ke kafetaria rumah sakit dan memberikan waktu bagi Ervan dan Dea untuk saling bicara berdua dari hati ke hati.“Papa tidak peduli dengan apa pun yang kemarin Papa dengar. Bagi Papa selamanya kamu adalah putri Papa. Tak peduli jika kamu dan Papa tidak mempunyai hubungan darah sekali pun. Tapi, kamu akan selalu menjadi putri kecil Papa yang berharga.&rdqu
“Ngapain sih lo pake nyelametin gue segala?! Kan jadi lo juga yang harus masuk rumah sakit kayak gini! Belum lagi lo pasti kesakitan karena dapet luka tusuk, ‘kan? Harusnya lo enggak perlu ngelindungin gue dan biarin gue aja yang menanggung semua kesakitan yang lo rasain sekarang!” Sudah sehari ini, Leo memang meminta pada Mama, Om Ervan, dan Bang Rafka untuk mengizinkannya menunggui Dea seorang diri di ruang rawat inap tempat Dea dirawat.Memang Dea baru saja sadar usai menjalankan operasi penjahitan dari luka tusuk yang didapatkannya. Oleh karena itu, usai Dea selesai dioperasi dan masih belum sadarkan diri, Leo sengaja meminta pada keluarganya untuk menjaga Dea seorang diri. Kebetulan luka-luka yang ia dapati karena insiden penculikan kemarin, telah selesai ditangani oleh tenaga medis di rumah sakit ini juga..Anggap lah ia melakukan ini sebagai ucapan terima kasih pada Dea karena telah menyelamatkannya. Toh, ia juga merasa bersalah karena demi melindungi dirinya, malah Dea yan
Hati Ervan terasa remuk dan langkahnya meremang saat perlahan mendekati Sonia. Ia merasa seperti terhempas ke dalam labirin kebohongan yang tak terbayangkan sebelumnya. Marah dan kecewa menyatu dalam dirinya, membuatnya ingin melampiaskan semua emosinya di depan wanita itu.Sebagai seorang ayah yang selama ini yakin bahwa Dea adalah anak kandungnya, perasaannya hancur berkeping-keping ketika ada orang lain yang mengakui Dea sebagai anaknya dan seolah mengungkap bahwa Dea sebenarnya bukanlah darah dagingnya."Sonia!" pekik Ervan, suaranya penuh dengan rasa pahit. "apa arti dari semua ini? Katakan kepadaku, mengapa lelaki itu menyebut Dea sebagai anaknya? Apakah aku yang salah dengar atau memang benar begitu adanya?"Sonia menoleh dengan wajah pucat. "Ervan, aku..."Sonia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat terpojok di bawah sorotan tajam Ervan. Ia menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasan pada Ervan. Namun, sebelum Ia bisa menjawab, k
“Akhirnya kamu bertanya juga apa yang aku mau. Baiklah, aku akan mengatakannya langsung kalau yang kuinginkan agar bisa kubebaskan anak ini yaitu Ervan harus menyerahkan 80% harta dan aset yang kamu miliki kepadaku untuk menjamin masa depan Dea. Sedang kamu Rafka, harus memberikan 50% harta dan aset mu kepadaku kalau ingin anak ini kubebaskan tanpa luka yang lebih parah dari yang didapatkan saat ini.”“Kalau cuma harta, ambil lah sebanyak yang kamu mau, Son. Tapi, apakah kamu meragukan bahwa aku sebagai ayahnya tidak bisa menjamin kehidupan Dea selamanya? Sampai-sampai kamu harus memintaku menyerahkan hartamu untuk menjamin masa depannya?” tukas Ervan dengan tatapan terluka sekaligus ada perasaan kesal dalam hatinya.Sonia tersenyum masam. “Aku percaya padamu sebelum kutahu adanya anak harammu dengan Sarah. Tapi setelah itu, aku tak bisa percaya padamu lagi karena aku takut kamu tidak akan bisa dengan adil membagi harta warisanmu kepada Dea dan anak haram itu! Bagaimana pun anak haram
Setelah menaiki tangga berliku-liku; akhirnya Sarah, Rafka, dan Ervan berhasil menemukan Leo di lantai paling atas atau bagian atap. Namun, pemandangan yang mereka temui mampu menyayat hati dan membuat mereka bertiga tertegun bukan main.Leo terikat erat dan mulutnya ditutupi rapat oleh selembar solasi tebal, sehingga Leo hanya bisa memekik tertahan di balik mulut yang disumpal itu. Di samping Leo, mereka melihat Sonia yang berdiri dengan angkuh, dan di sebelahnya ada Riko, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Sekalipun Ervan kini adalah suami Sonia, tetapi bukan berarti ia sudah tahu kalau Riko adalah pacar Sonia dulu.Semantar itu, Mendapati orang-orang yang ia benci sudah ada di hadapannya, langsung saja Sonia menyuruh Riko untuk melancarkan tinjuan bertubi-tubi di wajah Leo yang telah sadar dari pingsannya.Wajah Leo yang tak tertutup lakban, terlihat mengkerut seolah Leo sedang berusaha keras untuk menahan rasa sakit dari tonjokkan tanpa henti yang sedang dilayangkan ke w
Usai menempuh perjalanan sekitar 1 jam lebih, akhirnya Sarah dan Rafka tiba di gedung kosong di jalan Raya Delima No. 25 dengan hati yang berdebar-debar dan penuh kekhawatiran.Namun saat Sarah dan Rafka baru saja tiba di depan gedung kosong itu, mereka melihat Ervan sudah lebih dulu berada di sana.Sarah dan Rafka berdiri di depan gedung kosong, gelisah menyelinap di benak mereka seiring dengan kehadiran Ervan. Rafka, yang masih membawa rasa kekesalan terhadap Ervan atas peristiwa masa lalu, menduga-duga dalam hati.Rafka berspekulasi bahwa Ervan mungkin saja terlibat dalam penculikan Leo, mengingat keterlibatannya dalam peristiwa tragis yang menimpa Sarah dahulu. Tanpa memberi kesempatan pada Ervan untuk memberi jawaban dan menjelaskan alasan kehadirannya di sini, Rafka menghentakkan tinjunya dengan keras ke arah wajah Ervan, dengan maksud ingin melepaskan kekesalannya. "Kenapa lo bisa ada di sini? Apa yang lagi lo lakuin, Bang?Jangan-jangan lo juga terlibat di balik penculikan Le
Sarah menggigit bibirnya dengan keras, matanya berkaca-kaca. “Ini apa maksudnya, Raf? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku benar-benar takut kalau Leo sampai kenapa-napa!”Rafka yang juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang tengah dirasakan Sarah, memilih merangkul istrinya agar kepanikan Sarah tak terlalu membahana. "Kita harus segera pergi, Sar. Leo mungkin berada dalam bahaya. Percaya lah, bagaimanapun caranya, aku akan menyelamatkan Leo dan enggak akan membiarkannya sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi dan menyelamatkan Leo secepat mungkin."Sarah mengangguk, wajahnya pucat. Mereka berdua bergegas keluar dari rumah dan menuju ke lokasi yang disebutkan dalam pesan tersebut dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Rasanya keduanya sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Leo dan siapakah orang yang berani sekali melakukan penculikan pada anak lelaki Sarah tersebut.****“Untung saja, bocah
Sarah duduk gelisah di ruang tamu, matanya tak henti-hentinya memandangi jam di dinding. Sudah larut malam, tetapi tak seperti biasanya, kali ini Sarah sama sekali tak bisa tidur.Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa tidur kalau malam kian larut, tetapi putranya belum kunjung pulang. Berkali-kali, Sarah menghubungi nomor Leo lewat panggilan ponsel, tetapi nomor Leo sama sekali tak bisa dihubungi.Seketika perasaan tak tenang dan gelisah mulai merayap ke dalam hati Sarah. Ia takut terjadi hal buruk pada putranya karena tiba-tiba perasaannya seperti merasa tidak enak.“Aku khawatir sekali pada Leo, Raf. Sekarang sudah jam 12 malam, tapi dia belum pulang dan ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Padahal semenjak berbaikan dengan Leo waktu itu, dia sudah tidak pernah pulang malam dan mabuk-mabukan lagi,” ujar Sarah dengan nada cemas dan penuh kekhawatiran, sehingga memuat suaranya gemetar.Saking cemasnya, tak henti-hentinya Sarah terus menerus menatap layar ponselnya yang terus menunju