Home / Romansa / Jerat Cinta Lelaki Muda / Bab 5 Ancaman Sarah

Share

Bab 5 Ancaman Sarah

Seperti pagi biasanya, setibanya di kampus, Sarah langsung melajukan kakinya ke ruangan dosen. Ia akan meletakan tas yang ia bawa ke meja kerjanya sebelum memasuki kelas yang akan ia ajar hari ini. Tapi begitu tiba di mejanya, Sarah merasa ada yang aneh. Biasanya di atas meja kerjanya hanya ada tumpukan lembar tugas dan beberapa buku, tetapi mengapa kali ini terdapat 5 tangkai bunga mawar dan juga 10 buah cokelat dengan berbagai bentuk juga tergeletak di mejanya?

Ulah siapakah yang berani-beraninya merusak tatanan meja kerjanya? Jangan bilang kalau semua ini diberikan oleh salah satu mahasiswanya yang sedari kemari terus muncul dan mengganggu dirinya. Tapi, sudahlah ia tak ingin mengambil pusing. Toh, ia tinggal menyingkirkan saja benda-benda yang terlihat seperti sampah yang mengotori mejanya tersebut.

“Selamat pagi, Bu. Permisi saya mau mengumpulkan tugas yang minggu lalu Ibu berikan,” ujar Rini yang merupakan mahasiswa penanggung jawab di salah satu kelas yang ia ampu.

Beruntung ada Rini datang ke mejanya, sehingga ia tak perlu membuang-buang cokelat di mejanya. Tadinya, ia berniat ingin menyingkirkan cokelat dan bunga di atas mejanya ke dalam tong sampah. Tapi, ketika melihat Rini datang ia mengurungkan niatnya.

“Baiklah, kamu taruh saja di bagian meja saya yang kosong,” tutur Sarah sambil memunguti cokelat dan bunga di atas mejanya lalu memasukkan dua buah benda itu ke dalam kantung plastik. 

“Tugasnya sudah saya taruh di meja Ibu. Kalau begitu, saya permisi kembali ke kelas saya, Bu,” pamit Rini yang memperhatikan Sarah yang masih memasukkan dua buah batang cokelat yang tersisa di meja dosennya itu.

“Tunggu sebentar. Saya boleh minta tolong untuk membawa ini keluar sekalian. Kamu bisa mengambilnya jika ingin. Tetapi kalau kamu tidak mau, kamu bisa memberikan benda-benda yang ada di plastik kepada orang lain,” pinta Sarah buru-buru memasukkan sisa cokelat di mejanya dan memberikan kantung plastik di tangannya ke hadapan Rini.

Rini yang tak enak menolak permintaan tolong dosennya terpaksa menerima kantung plastik yang disodorkan oleh Sarah. “Ba–baik, Bu. Terima kasih. Kalau begitu, saya permisi.” setelah mengatakan itu, Rini melangkah pergi dari meja kerja Sarah.

****

“Sudah selesai mengajarnya, Bu Sarah? Biar saya bantu membawakan buku-buku yang Ibu bawa supaya Ibu bisa lebih leluasa berjalan. Saya tidak mau Ibu tersandung sesuatu di jalan kalau membawa buku-buku yang berat,” kata Rafka yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Sarah saat Sarah baru saja keluar dari ruangan kelas tempatnya mengajar.

Sarah memberikan tatapan tajam bercampur nyalang ketika melihat Rafka berada di hadapannya. “Tidak usah. Saya masih kuat untuk membawa buku-buku milik saya. Lagi pula saya tidak ingin berurusan denganmu seperti kemarin, Rafka Mahendra!”

“Saya juga sebenarnya tidak ingin mengganggu seperti ini. Tetapi saya terpaksa harus begini lagi karena kemarin Ibu tidak menepati janji kepada saya. Ibu bilang saya boleh menunggu, tetapi kenapa pulang duluan?!” 

“Kemarin saya hanya mengatakan kamu boleh menunggu kalau sanggup. Tapi, saya tidak pernah bilang kalau saya setuju untuk pulang bersama kamu. Artinya saya tidak mengingkari janji apa pun padamu, bukan?” Sarah masih mencoba untuk menanggapi keluhan yang Rafka layangkan padanya dengan sabar.

Rafka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang benar kemarin Sarah tak mengatakan kalau wanita itu berjanji akan memenuhi syarat yang ia berikan untuk mau pulang bersamanya. Satu-satunya yang dosennya itu katakan adalah akan mempertimbangkan syarat yang ia berikan. Tapi, tetap saja kata mengusahakan yang keluar dari mulut Sarah kemarin mampu memberikan Rafka sedikit harapan.

“Baiklah, saya akui bahwa Ibu hanya mengatakan akan mengusahakan dan sama sekali tidak menjanjikan apa pun pada saya. Tapi, tetap saja saya merasa seperti diberikan harapan palsu. Ngomong-ngomong, nomor handphone Ibu masih aktif? Kemarin kenapa saya kirim pesan dan saya telepon tidak diangkat?” tanya Rafka masih menghadang tubuh Sarah agar wanita di depannya tak bisa kabur kemana pun.

“Semenjak menjadi dosen di kampus ini, saya tidak pernah mengganti nomor telepon saya. Alasan saya tidak membalas pesan dan mengangkat telepon dari kamu karena saya tidak akan menanggapi pesan atau pembicaraan di luar mata kuliah yang saya ampu di kelas kamu!” tandas Fara. 

“Kalau begitu alasannya, saya tidak jadi kesal. Walaupun Ibu tidak membalas pesan saya, tapi setidaknya Ibu melihat pesan yang saya kirimkan kemarin.” Rafka mengatakan itu sambil memasang cengiran kesenangan.

Dia merasa senang karena kalau sampai Sarah tahu bahwa pesan darinya bukanlah membicarakan mengenai mata kuliah, itu artinya Sarah telah membaca pesan darinya secara tidak langsung. 

“Saya tidak ada waktu lagi untuk meladeni ucapanmu yang melantur kemana-mana ini. Sebentar lagi saya ada rapat dosen yang harus dihadiri, sehingga saya mohon pengertianmu untuk menyingkir karena saya ingin lewat,” ungkap Sarah yang mulai merasa kesabarannya sudah habis. Ia tak ingin lebih lama lagi menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk berhadapan dengan anak muda yang berceloteh tak jelas seperti Rafka.

Menemukan emosi dalam perkataan Sarah, Rafka pun berkata,“Tenanglah, Bu Sarah. Saya pasti akan menyingkir, tapi kalau Bu Sarah mau berjanji kalau akan mengizinkan saya untuk mengantar Ibu pulang hari ini.”

“Rafka Mahendra lagi-lagi kamu bertingkah seperti ini lagi. Kemarin saya masih bisa mentolerir sikap tidak pantas dan kurang ajar yang kamu tunjukan kepada saya selaku dosenmu. Kali ini saya memberikan peringatan terakhir padamu untuk tidak mencoba mengganggu saya lagi. Kalau sampai saya melihatmu bersikap melewati batas lagi, saya tidak akan segan-segan memberikanmu nilai D bahkan E untuk mata kuliah saya,” ancam Sarah dengan mata yang menyala tajam.

Bukannya merasa takut mendapati ancaman dari Sarah, Rafka malah terlihat memasang senyum di wajahnya sambil mengangkat telapak tangannya sejajar dengan kepalanya.

“Sepertinya Ibu sedang emosi, jadi saya akan membiarkan Ibu lewat kali ini,” ucap Rafka dengan entengnya. “Tapi, bukan berarti saya takut dengan ancaman Ibu. Hanya saja saya tidak mau melihat wajah cantik Ibu menjadi berkerut ketika marah.”

Rafka meneriakkan kata terakhirnya ketika Sarah telah berjalan cukup jauh melewatinya, tetapi ia yakin wanita itu masih bisa mendengar suaranya. Ternyata sulit juga menaklukkan hati dosennya itu. Kini, ia jadi mengerti alasan teman-temannya sampai harus memberikan waktu satu bulan untuk bisa mendapatkan Sarah karena memang tak mudah untuk meluluhkan wanita seperti Sarah.

Namun, mengetahui betapa sulitnya untuk bisa mendapatkan Sarah bukannya membuatnya menyerah. Entah mengapa, Rafka malah semakin merasa tertantang untuk bisa mencairkan hati Sarah agar luluh kepada dirinya. Tak peduli, jika ia harus mendapatkan nilai D atau E dari Sarah, asal ia bisa menjadikan Sarah sebagai pacar dan menang taruhan, ia rasa hal itu sepadan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status