Safira terjebak malam panas dengan kakak tirinya karena dijebak temannya sendiri. Safira semakin hancur ketika mendapati dirinya hamil. Ia terpaksa menikah dengan kakak tirinya. Kehamilan itu merenggut semua impian Safira. Semua orang menjauhinya, bahkan ayahnya juga mengusirnya. Kebenciannya pada kakak tirinya semakin menjadi-jadi setelahnya. Mampukah Safira menerima pernikahan itu dan melupakan kebenciannya? Atau tetap kukuh bercerai setelah anaknya lahir?
View More“Safira memang hamil, dia hamil anak saya, bukan anak laki-laki itu,” ungkap Agam tanpa basa-basi. Bahkan, tanpa diminta lelaki itu langsung menempati salah satu kursi yang kosong di dekat tempat duduk Safira.Safira melayangkan tatapan membunuh pada kakak tirinya. Sebelumnya, mereka sudah sepakat untuk merahasiakan masalah ini. Tetapi, bisa-bisanya Agam malah membongkar semuanya. Safira baru saja mendapatkan alasan untuk menyangkal tuduhan yang semua orang berikan padanya. Namun, Agam yang baru saja datang malah menghancurkan semuanya. Safira dapat menyaksikan jika tatapan orang-orang yang duduk di seberangnya langsung menatapnya dengan sorot berbeda, begitu juga dengan Wisnu. Harga dirinya benar-benar hancur lebur hari ini. Agam mengabaikan tatapan tajam yang Safira layangkan padanya kemudian kembali menatap ke depan. “Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya harap orang yang tidak berkepentingan berada bisa keluar dari sini.”Salah seorang yang duduk di barisan dosen langsung men
“Jangan sembarangan!” balas Safira setengah membentak. Walaupun wanita itu tetap mempertahankan ekspresi marah di wajahnya, tubuhnya mulai gemetar saat ini. Safira tidak ingin rahasia besarnya terbongkar secepat ini. Ia belum siap mendapat tatapan cemooh dari orang lain jika rahasianya terbongkar. Ketika Safira hendak melangkah pergi, lagi-lagi Wisnu menghalangi jalannya. Safira menggertakkan giginya menahan kesal. “Minggir! Jangan ganggu aku lagi, kita nggak punya urusan apa pun!” Ia tidak ingin salah bicara yang malah akan membuat rahasianya terbongkar. “Oke, kita bicara di tempat lain.” Tanpa mengidahkan pengusiran yang Safira lakukan, Wisnu langsung menarik pelan lengan wanita itu agar mengikuti langkahnya. Safira berhenti meronta saat mereka mulai menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin menambah gosip baru tentangnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengikuti gerak kaki Wisnu yang entah akan membawa dirinya ke mana. Di tengah jalan, Safira tak sengaja bertemu pandang denga
Tubuh Safira menegang mendengar suara sang ayah di belakangnya. Wanita itu spontan memutar tubuhnya seraya berdeham pelan. “Nggak ada apa-apa, Yah. Kami cuma lagi—” “Aku cuma ngajak Safira berangkat bareng ke kampus, tapi dia nggak mau,” potong Agam sebelum Safira selesai memberikan pembelaan. Lelaki itu mengabaikan tatapan protes yang Safira layangkan padanya. Safira mengepalkan kedua tangannya. Bisa-bisanya Agam malah mencari kesempatan dalam kesempitan. “Aku bisa berangkat ke kampus sendiri, Yah. Biasanya juga gitu,” timpalnya sebelum sang ayah menyetujui usul Agam. Pasalnya, Afnan nyaris selalu satu pendapat dengan Agam. Sedangkan saat ini Safira sedang berusaha keras untuk menghindari Agam. Setidaknya sampai pikirannya benar-benar tenang dan ia bisa memutuskan sesuatu. Afnan menatap Safira dan Agam secara bergantian seraya berkata, “Menurut Ayah, usul Agam ada benarnya. Kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kalian berangkat bersama.” “Kalau kamu nggak mau berangkat bareng A
PLAK! Tatapan membunuh yang terpancar dari mata Safira semakin tajam. Deru napasnya mulai memburu, wajahnya berubah merah padam dengan emosi yang semakin memuncak. Agam menyentuh pipinya yang terasa panas karena tamparan keras Safira. “Kenapa kamu malah tampar aku?” protesnya dengan rahang mengeras. Ekspresi tenang di wajahnya perlahan menguap. “Kamu gila!” jerit Safira sembari menunjuk wajah Agam. Wanita itu berusaha keras menahan air mata yang mendesak di pelupuk matanya. “Dengar ini baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi menikah sama kamu!” Safira melangkah mundur seraya menggeleng pelan. Wanita itu mengangkat tangannya ketika Agam hendak berjalan ke arahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri malam ini, bukan menambah masalah. Safira tahu, rahasia ini tidak akan bisa ia sembunyikan selamanya. Tetapi, jika dirinya harus menikah dengan kakak tirinya ini untuk mengatasi semuanya, ia benar-benar tidak sanggup. Safira dan Agam memang tidak memiliki huhungan darah sama
Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi. Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal. Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu. “Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil. “Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun. Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi
Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari. Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu. Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang. Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan
Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja. Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya. Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka. Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi. “Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi. Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya,
Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu. Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments