Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja.
Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya.Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka.Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi.“Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi.Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya, mencari jejak Emily. Sayangnya, sejauh mata memandang dirinya tidak menemukan Emily. Padahal masih ada banyak pertanyaan yang ingin Safira layangkan, tetapi semuanya gagal karena kecerobohannya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Safira?” desak Agam tak sabaran. Tangan kekarnya kembali menyentuh pundak Safira dan memberi sedikit guncangan di sana.Berhasil! Safira langsung tersadar dari lamunannya dan menyingkirkan tangan Agam yang bertengger di pundaknya dengan gerakan kasar. Sorot matanya menajam saat bertemu pandang dengan lelaki itu.Kemarahan bercampur kebencian yang masih menggelora di dada Safira tidak serta merta padam walaupun Agam telah menyelamatkannya. Jangan harap dirinya sudi mengucapkan terimakasih.“Itu bukan urusan kamu!” balas Safira sarkas. “Jangan kamu pikir karena kamu menyelamatkan aku, aku akan ngelupain sikap brengsek kamu! Itu nggak akan pernah terjadi!”Safira semakin risih karena mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di bahu jalan. Entah kenapa pagi ini begitu banyak pejalan yang berlalu lalang di sekitar mereka.Meskipun semua orang terlihat fokus dengan urusan masing-masing, tetapi Safira menyadari jika orang-orang itu mulai tertarik dengan pertengkarannya dengan Agam.Agam terkekeh sinis seraya melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa kamu nggak bisa sekedar mengucapkan terimakasih? Kalau aku nggak buru-buru lari ke sini, mungkin sekarang kamu udah bersimbah darah dan tergeletak di tengah jalan.”Safira mencibir. “Jangan harap aku akan berterimakasih sama kamu! Aku nggak akan pernah ngelakuin itu!” Wanita itu menjeda kalimatnya dan maju selangkah. “Aku harap kita nggak akan ketemu lagi selamanya!”Setelah itu Safira langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah cepat meninggalkan Agam. Tidak ada gunanya ia berlama-lama di sana, berdekatan dengan Agam hanya membuat emosinya semakin mendidih saja.Safira memilih kembali ke rumah untuk menenangkan diri. Semoga saja saat dirinya pulang nanti, ayahnya sedang tidak berada di rumah. Saat ini dirinya tidak ingin bertemu dengan siapa pun, apalagi jika ditanya macam-macam.Di hari-hari berikutnya Safira nyaris tak pernah bertemu dengan Agam padahal mereka tinggal satu rumah. Entah karena Safira yang lebih banyak mendekam di kamar atau Agam lebih banyak berkeliaran di luar rumah.Safira akan jauh lebih senang jika Agam keluar dari rumahnya. Sayangnya, kemungkinan tersebut nyaris mustahil karena ayahnya sangat menyayangi lelaki itu.Safira memoles riasan tipis wajahnya agar terlihat lebih segar. Setidaknya itu bisa sedikit menutupi suasana hatinya yang mending serta pikiran yang kusut karena permasalahan yang bertubi-tubi datang ke hidupnya.Setelah dirasa siap, Safira segera meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas meja dan bergegas keluar dari kamar. Tungkai jenjangnya berpacu menuju ruang makan. Namun, gerak langkahnya terhenti karena seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya dari belakang.Geraman samar lolos dari bibir Safira saat mengetahui siapa yang berani menyentuh tangannya. “Jangan sentuh aku!” Wanita itu langsung menyentak cekalan Agam.Padahal pagi ini mood Safira sedang bagus, tetapi kedatangan Agam langsung menghancurkan semuanya. Moodnya memang tidak pernah bagus setelah bertemu dengan lelaki itu.Tanpa mempedulikan alasan Agam yang tiba-tiba menghampirinya, Safira segera memutar arah meninggalkan ruang makan. Selera makannya telah hilang tak bersisa, lebih baik dirinya sarapan di kampus saja.Safira berdecak kesal karena Agam masih saja mengikutinya hingga keluar rumah, tetapi ia berusaha bersikap masa bodoh. Safira tidak ingin lagi berurusan dengan saudara tirinya itu.Lagi-lagi Agam menarik tangan Safira ketika wanita itu hendak berbelok ke garasi. Tentu saja langsung mendapat sentakan keras disertai tatapan sinis pemiliknya. “Kita perlu bicara, hanya sebentar.”Safira berdecih sinis sembari melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku nggak punya waktu untuk ngeladenin kamu! Nggak ada yang perlu dibicarakan, lebih baik kamu pergi!”Tanpa membuang waktu lagi, Safira berjalan cepat ke arah mobilnya. Safira menduga jika apa yang ingin Agam bicarakan berkaitan dengan kejadian tempo hari dan ia tidak ingin membahas apa pun lagi.Sampai detik ini, Safira masih berusaha mencari keberadaan Emily yang menghilang ditelan bumi. Ponsel gadis itu tidak pernah aktif dan batang hidung tidak pernah terlihat.Safira sudah mencoba mendatangi indekos Emily juga menanyakan keberadaan gadis itu pada beberapa orang, tetapi hasilnya nihil. Sedangkan keluarga besar Emily tinggal di Surabaya dan tidak mungkin Safira nekat menyusul ke sana.Kebenciannya pada Emily perlahan mencuat. Mungkin memang selama ini dirinya hanya dimanfaatkan hingga akhirnya Emily berhasil mencari celah untuk menghancurkannya.“Pagi semuanya! Boleh gabung di sini?” sapa Safira sembari memamerkan senyum ramah andalannya. Di tangannya ada setumpuk roti bakar dengan selai cokelat dan segelas orange juice.Kantin fakultas sangat ramai dan penuh sesak sehingga Safira tidak menemukan meja yang benar-benar kosong. Alhasil, ia terpaksa menghampiri meja yang diisi teman-teman satu fakultasnya demi mendapat tempat duduk.Seluruh penghuni meja mengangguk serempak dan mempersilakan Safira bergabung dengan mereka. Sebenarnya Safira sedang ingin menyendiri, tetapi keadaan tidak mendukung suasana hatinya.Di tengah kegiatan sarapannya, tiba-tiba Safira merasakan perutnya bergejolak seolah akan mengeluarkan sesuatu. Ia membekap mulutnya untuk menahan gelayar asing itu.“Lo kenapa, Fir? Sakit?” tanya perempuan yang duduk di samping Safira.Safira berdeham pelan seraya menggeleng cepat. “Nggak, gue baik-baik aja.”Safira mencuri-curi pandang pada teman satu fakultasnya yang duduk di meja seberang, berusaha mengintip menu makanan orang itu. Sayangnya jarak yang cukup jauh membuat jarak pandangnya terbatas.Dari sanalah aroma menyengat itu berasal. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aroma makanan itu. Aromanya segar dan menggugah selera makan, letak permasalahan ada pada Safira sendiri.Safira berusaha keras untuk menahan mual yang membuatnya tidak nyaman. Lama-kelamaan ia menyerah, tak kuat menahan sesuatu yang terus mendesak keluar di ujung kerongkongannya.Safira langsung pergi dari meja itu tanpa berpamitan pada rekannya. Masa bodoh dengan tatapan-tatapan penuh keheranan yang mereka layangkan padanya, ada urusan yang jauh lebih penting yang harus ia tuntaskan.Begitu tiba di toilet, Safira langsung memuntahkan isi perutnya. Jemarinya mencengkeram pinggiran wastafel sebagai penopang, tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga.Hanya cairan bening yang meninggalkan rasa pahit di ujung lidahnya yang keluar. Safira mengerutkan kening. “Apa yang terjadi sama aku?” gumamnya menerka-nerka.Tubuh Safira langsung menegang saat menyadari satu hal. “Apa jangan-jangan aku—”Bahkan, untuk sekedar mengatakannya saja ia tak mampu. Tidak! Safira berusaha mengusir pikiran negatif yang mulai berputar di otaknya. Dirinya seperti ini karena sedang kurang sehat saja, bukan karena hal lain.Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari. Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu. Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang. Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan
Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi. Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal. Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu. “Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil. “Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun. Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi
PLAK! Tatapan membunuh yang terpancar dari mata Safira semakin tajam. Deru napasnya mulai memburu, wajahnya berubah merah padam dengan emosi yang semakin memuncak. Agam menyentuh pipinya yang terasa panas karena tamparan keras Safira. “Kenapa kamu malah tampar aku?” protesnya dengan rahang mengeras. Ekspresi tenang di wajahnya perlahan menguap. “Kamu gila!” jerit Safira sembari menunjuk wajah Agam. Wanita itu berusaha keras menahan air mata yang mendesak di pelupuk matanya. “Dengar ini baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi menikah sama kamu!” Safira melangkah mundur seraya menggeleng pelan. Wanita itu mengangkat tangannya ketika Agam hendak berjalan ke arahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri malam ini, bukan menambah masalah. Safira tahu, rahasia ini tidak akan bisa ia sembunyikan selamanya. Tetapi, jika dirinya harus menikah dengan kakak tirinya ini untuk mengatasi semuanya, ia benar-benar tidak sanggup. Safira dan Agam memang tidak memiliki huhungan darah sama
Tubuh Safira menegang mendengar suara sang ayah di belakangnya. Wanita itu spontan memutar tubuhnya seraya berdeham pelan. “Nggak ada apa-apa, Yah. Kami cuma lagi—” “Aku cuma ngajak Safira berangkat bareng ke kampus, tapi dia nggak mau,” potong Agam sebelum Safira selesai memberikan pembelaan. Lelaki itu mengabaikan tatapan protes yang Safira layangkan padanya. Safira mengepalkan kedua tangannya. Bisa-bisanya Agam malah mencari kesempatan dalam kesempitan. “Aku bisa berangkat ke kampus sendiri, Yah. Biasanya juga gitu,” timpalnya sebelum sang ayah menyetujui usul Agam. Pasalnya, Afnan nyaris selalu satu pendapat dengan Agam. Sedangkan saat ini Safira sedang berusaha keras untuk menghindari Agam. Setidaknya sampai pikirannya benar-benar tenang dan ia bisa memutuskan sesuatu. Afnan menatap Safira dan Agam secara bergantian seraya berkata, “Menurut Ayah, usul Agam ada benarnya. Kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kalian berangkat bersama.” “Kalau kamu nggak mau berangkat bareng A
“Jangan sembarangan!” balas Safira setengah membentak. Walaupun wanita itu tetap mempertahankan ekspresi marah di wajahnya, tubuhnya mulai gemetar saat ini. Safira tidak ingin rahasia besarnya terbongkar secepat ini. Ia belum siap mendapat tatapan cemooh dari orang lain jika rahasianya terbongkar. Ketika Safira hendak melangkah pergi, lagi-lagi Wisnu menghalangi jalannya. Safira menggertakkan giginya menahan kesal. “Minggir! Jangan ganggu aku lagi, kita nggak punya urusan apa pun!” Ia tidak ingin salah bicara yang malah akan membuat rahasianya terbongkar. “Oke, kita bicara di tempat lain.” Tanpa mengidahkan pengusiran yang Safira lakukan, Wisnu langsung menarik pelan lengan wanita itu agar mengikuti langkahnya. Safira berhenti meronta saat mereka mulai menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin menambah gosip baru tentangnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengikuti gerak kaki Wisnu yang entah akan membawa dirinya ke mana. Di tengah jalan, Safira tak sengaja bertemu pandang denga
“Safira memang hamil, dia hamil anak saya, bukan anak laki-laki itu,” ungkap Agam tanpa basa-basi. Bahkan, tanpa diminta lelaki itu langsung menempati salah satu kursi yang kosong di dekat tempat duduk Safira.Safira melayangkan tatapan membunuh pada kakak tirinya. Sebelumnya, mereka sudah sepakat untuk merahasiakan masalah ini. Tetapi, bisa-bisanya Agam malah membongkar semuanya. Safira baru saja mendapatkan alasan untuk menyangkal tuduhan yang semua orang berikan padanya. Namun, Agam yang baru saja datang malah menghancurkan semuanya. Safira dapat menyaksikan jika tatapan orang-orang yang duduk di seberangnya langsung menatapnya dengan sorot berbeda, begitu juga dengan Wisnu. Harga dirinya benar-benar hancur lebur hari ini. Agam mengabaikan tatapan tajam yang Safira layangkan padanya kemudian kembali menatap ke depan. “Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya harap orang yang tidak berkepentingan berada bisa keluar dari sini.”Salah seorang yang duduk di barisan dosen langsung men
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men
Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu. Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan
“Safira memang hamil, dia hamil anak saya, bukan anak laki-laki itu,” ungkap Agam tanpa basa-basi. Bahkan, tanpa diminta lelaki itu langsung menempati salah satu kursi yang kosong di dekat tempat duduk Safira.Safira melayangkan tatapan membunuh pada kakak tirinya. Sebelumnya, mereka sudah sepakat untuk merahasiakan masalah ini. Tetapi, bisa-bisanya Agam malah membongkar semuanya. Safira baru saja mendapatkan alasan untuk menyangkal tuduhan yang semua orang berikan padanya. Namun, Agam yang baru saja datang malah menghancurkan semuanya. Safira dapat menyaksikan jika tatapan orang-orang yang duduk di seberangnya langsung menatapnya dengan sorot berbeda, begitu juga dengan Wisnu. Harga dirinya benar-benar hancur lebur hari ini. Agam mengabaikan tatapan tajam yang Safira layangkan padanya kemudian kembali menatap ke depan. “Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya harap orang yang tidak berkepentingan berada bisa keluar dari sini.”Salah seorang yang duduk di barisan dosen langsung men
“Jangan sembarangan!” balas Safira setengah membentak. Walaupun wanita itu tetap mempertahankan ekspresi marah di wajahnya, tubuhnya mulai gemetar saat ini. Safira tidak ingin rahasia besarnya terbongkar secepat ini. Ia belum siap mendapat tatapan cemooh dari orang lain jika rahasianya terbongkar. Ketika Safira hendak melangkah pergi, lagi-lagi Wisnu menghalangi jalannya. Safira menggertakkan giginya menahan kesal. “Minggir! Jangan ganggu aku lagi, kita nggak punya urusan apa pun!” Ia tidak ingin salah bicara yang malah akan membuat rahasianya terbongkar. “Oke, kita bicara di tempat lain.” Tanpa mengidahkan pengusiran yang Safira lakukan, Wisnu langsung menarik pelan lengan wanita itu agar mengikuti langkahnya. Safira berhenti meronta saat mereka mulai menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin menambah gosip baru tentangnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengikuti gerak kaki Wisnu yang entah akan membawa dirinya ke mana. Di tengah jalan, Safira tak sengaja bertemu pandang denga
Tubuh Safira menegang mendengar suara sang ayah di belakangnya. Wanita itu spontan memutar tubuhnya seraya berdeham pelan. “Nggak ada apa-apa, Yah. Kami cuma lagi—” “Aku cuma ngajak Safira berangkat bareng ke kampus, tapi dia nggak mau,” potong Agam sebelum Safira selesai memberikan pembelaan. Lelaki itu mengabaikan tatapan protes yang Safira layangkan padanya. Safira mengepalkan kedua tangannya. Bisa-bisanya Agam malah mencari kesempatan dalam kesempitan. “Aku bisa berangkat ke kampus sendiri, Yah. Biasanya juga gitu,” timpalnya sebelum sang ayah menyetujui usul Agam. Pasalnya, Afnan nyaris selalu satu pendapat dengan Agam. Sedangkan saat ini Safira sedang berusaha keras untuk menghindari Agam. Setidaknya sampai pikirannya benar-benar tenang dan ia bisa memutuskan sesuatu. Afnan menatap Safira dan Agam secara bergantian seraya berkata, “Menurut Ayah, usul Agam ada benarnya. Kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kalian berangkat bersama.” “Kalau kamu nggak mau berangkat bareng A
PLAK! Tatapan membunuh yang terpancar dari mata Safira semakin tajam. Deru napasnya mulai memburu, wajahnya berubah merah padam dengan emosi yang semakin memuncak. Agam menyentuh pipinya yang terasa panas karena tamparan keras Safira. “Kenapa kamu malah tampar aku?” protesnya dengan rahang mengeras. Ekspresi tenang di wajahnya perlahan menguap. “Kamu gila!” jerit Safira sembari menunjuk wajah Agam. Wanita itu berusaha keras menahan air mata yang mendesak di pelupuk matanya. “Dengar ini baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi menikah sama kamu!” Safira melangkah mundur seraya menggeleng pelan. Wanita itu mengangkat tangannya ketika Agam hendak berjalan ke arahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri malam ini, bukan menambah masalah. Safira tahu, rahasia ini tidak akan bisa ia sembunyikan selamanya. Tetapi, jika dirinya harus menikah dengan kakak tirinya ini untuk mengatasi semuanya, ia benar-benar tidak sanggup. Safira dan Agam memang tidak memiliki huhungan darah sama
Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi. Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal. Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu. “Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil. “Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun. Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi
Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari. Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu. Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang. Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan
Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja. Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya. Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka. Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi. “Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi. Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya,
Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu. Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men