Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari.
Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu.Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang.Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan diri. “Aku pasti baik-baik aja.”Safira memejamkan matanya sejenak seraya menghela napas lelah. Sekeras apa pun usahanya untuk tetap tenang, semuanya sia-sia. Asumsi-asumsi negatif terus bermunculan dan memenuhi kepalanya.Safira tidak bisa membayangkan apa yang harus ia lakukan jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi. Safira tidak akan pernah siap menerima kemungkinan itu.Ayahnya bisa langsung membunuhnya jika mengetahui apa yang pernah terjadi di antara dirinya dan kakak tirinya tempo hari. Sampai kapan pun Safira tidak akan membiarkan ayahnya tahu.Safira melirik permukaan perutnya yang masih tertutup pakaian dengan tatapan berkaca-kaca. “Nggak mungkin ada sesuatu di sana, ‘kan?”Masih ada banyak mimpi yang belum sempat Safira raih. Ia tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang menghancurkan semua mimpinya dalam sekejap. Mungkin saat itu juga hidupnya akan hancur berantakan.Tiba-tiba Safira merasakan gejolak hebat itu kembali datang. Wanita itu tak memiliki pilihan lain selain segera berlari menuju toilet yang ada di kamarnya dan memuntahkan isi perutnya.Lagi-lagi hanya cairan bening yang Safira muntahkan. Bahkan, pagi ini dirinya belum sempat menelan apa pun, tetapi tetap saja mual itu kembali datang.“Apa yang terjadi sama aku sebenarnya?” gumamnya frustasi.Mungkin satu-satunya cara mengetahui apa yang terjadi padanya adalah dengan mendatangi dokter. Namun, Safira tidak memiliki nyali sebesar itu untuk pergi ke sana.Safira mendesah pelan. Ia tidak bisa menceritakan masalah ini kepada siapa pun untuk mencari solusi. Mau tidak mau, dirinya harus memecahkan persoalan ini sendirian.Tak berselang lama mual itu datang lagi. Ketika sedang menunduk di depan wastafel, tiba-tiba Safira merasakan sebuah tangan besar menyentuh tengkuknya dan memberi pijatan hangat di sana.Tubuh Safira menegang seketika. Wanita itu spontan menegakkan tubuhnya dan matanya langsung menangkap bayangan Agam dari cermin di hadapannya. Safira terperanjat dengan mata membulat sempurna.Agam berdiri di belakang Safira dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya beradu pandang melalui perantara cermin selama beberapa saat. Saat itu pula Safira menyadari ada kobaran amarah dari kedua bola mata Agam yang menatapnya tajam.“Sejak kapan kamu masuk ke kamarku?” sembur Safira dengan sorot nyalang.Seingatnya, ia masih mengunci pintu kamarnya dari dalam yang tidak memungkinkan orang lain masuk tanpa izin darinya. Entah bagaimana caranya Agam bisa masuk.Semenjak gejala aneh ini mulai muncul di tubuhnya, Safira lebih sering menghindari Agam setiap mereka tak sengaja bertemu. Ia tidak mau Agam mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.Safira membalikkan tubuhnya dengan alis menukik tajam. “Kamu nggak bisa sembarangan masuk kamarku! Pergi dari sini sekarang juga!” usirnya tanpa basa-basi.Safira mendorong Agam sekuat tenaga. Tetapi, usahanya berakhir sia-sia karena lelaki itu tak bergerak seinchi pun dari posisi awalnya. Bukannya menyingkir, Agam malah mendesak maju dengan tatapan penuh selidik.Wajah Safira yang memang sudah pucat bertambah pucat karena keberadaan Agam. Safira berusaha terlihat baik-baik saja, namun mual yang mendera ternyata belum usai.Tanpa mempedulikan keberadaan Agam, Safira kembali memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya nyaris terhuyung karena mendadak lemas dengan kepala yang berdenyut. Beruntung Agam yang berada di belakangnya dengan sigap menopang tubuhnya.“Sejak kapan kamu seperti ini?” tanya Agam sembari melingkarkan lengan kekarnya di perut Safira.Safira berdecih sinis sembari melepaskan diri dari rengkuhan Agam dan memilih berpegangan pada wastafel. “Kamu nggak perlu tahu! Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini dan jangan ganggu aku lagi!”Agam menyipitkan matanya. “Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” desisnya penuh penekanan. “Kalau ini ada kaitannya dengan kejadian tempo hari, berarti aku berhak tahu.”Safira kembali memutar tubuhnya. “Ini nggak ada kaitannya sama kejadian hari itu! Aku nggak mau dengar kamu bahas kejadian itu lagi!”Napas Safira mulai terengah seiring dengan emosi yang semakin membumbung di dadanya. Wajahnya berubah merah padam. Perasaannya campur aduk, gelisah, takut, dan amarah menjadi satu.Ditambah lagi akhir-akhir ini emosinya mudah sekali berubah. Bahkan, ketika sedang bersenda gurau dengan teman-temannya di kampus pun ia lebih mudah terbawa emosi. Padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu.Safira tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak setiap malamnya. Kejadian itu benar-benar mengubah hidupnya dan mantan sahabatnya lah yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.“Kenapa kamu bereaksi seperti ini kalau nggak ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Harusnya kamu nggak perlu emosi sampai meledak-ledak seperti ini,” balas Agam tak mau kalah.“Itu karena aku nggak suka kamu ada di sini!” sentak Safira nyaring. “Aku baik-baik aja dan nggak ada yang kamu sembunyikan. Sekarang kamu pergi dari kamarku!”Agam semakin menghimpit tubuh Safira hingga tak ada celah lagi bagi wanita itu untuk melarikan diri. Jemari besarnya menyentuh dagu Safira, memaksa wanita itu mendongak dan membalas tatapannya.Agam berdecih sinis. “Aku nggak akan pernah ke mana pun sebelum kamu jujur sama aku. Apa ini alasan kamu selalu menghindar dari aku akhir-akhir ini?”“Kamu harus ingat kalau kita memang nggak pernah dekat!” seru Safira sembari menyingkirkan jemari Agam dari dagunya dengan gerakan kasar.Agam tidak tidak menyahuti kalimat sarkas yang keluar dari mulut Safira. Lelaki itu terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu, kemudian kembali melirik Safira sekilas.“Kalau kamu nggak mau jujur, kita harus ke rumah sakit sekarang biar semuanya jelas!” tegas Agam sembari menarik tangan Safira.Safira menggeleng panik. “Aku nggak akan pergi ke mana pun sama kamu!” tolaknya seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Agam di tangannya. “Lepasin tangan aku!”Agam menggertakkan giginya untuk menahan emosinya yang memuncak. “Jangan keras kepala!” Tanpa mempedulikan Safira yang terus berusaha meronta, Agam segera menarik wanita itu agar mengikuti langkahnya.Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi. Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal. Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu. “Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil. “Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun. Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi
PLAK! Tatapan membunuh yang terpancar dari mata Safira semakin tajam. Deru napasnya mulai memburu, wajahnya berubah merah padam dengan emosi yang semakin memuncak. Agam menyentuh pipinya yang terasa panas karena tamparan keras Safira. “Kenapa kamu malah tampar aku?” protesnya dengan rahang mengeras. Ekspresi tenang di wajahnya perlahan menguap. “Kamu gila!” jerit Safira sembari menunjuk wajah Agam. Wanita itu berusaha keras menahan air mata yang mendesak di pelupuk matanya. “Dengar ini baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi menikah sama kamu!” Safira melangkah mundur seraya menggeleng pelan. Wanita itu mengangkat tangannya ketika Agam hendak berjalan ke arahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri malam ini, bukan menambah masalah. Safira tahu, rahasia ini tidak akan bisa ia sembunyikan selamanya. Tetapi, jika dirinya harus menikah dengan kakak tirinya ini untuk mengatasi semuanya, ia benar-benar tidak sanggup. Safira dan Agam memang tidak memiliki huhungan darah sama
Tubuh Safira menegang mendengar suara sang ayah di belakangnya. Wanita itu spontan memutar tubuhnya seraya berdeham pelan. “Nggak ada apa-apa, Yah. Kami cuma lagi—” “Aku cuma ngajak Safira berangkat bareng ke kampus, tapi dia nggak mau,” potong Agam sebelum Safira selesai memberikan pembelaan. Lelaki itu mengabaikan tatapan protes yang Safira layangkan padanya. Safira mengepalkan kedua tangannya. Bisa-bisanya Agam malah mencari kesempatan dalam kesempitan. “Aku bisa berangkat ke kampus sendiri, Yah. Biasanya juga gitu,” timpalnya sebelum sang ayah menyetujui usul Agam. Pasalnya, Afnan nyaris selalu satu pendapat dengan Agam. Sedangkan saat ini Safira sedang berusaha keras untuk menghindari Agam. Setidaknya sampai pikirannya benar-benar tenang dan ia bisa memutuskan sesuatu. Afnan menatap Safira dan Agam secara bergantian seraya berkata, “Menurut Ayah, usul Agam ada benarnya. Kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kalian berangkat bersama.” “Kalau kamu nggak mau berangkat bareng A
“Jangan sembarangan!” balas Safira setengah membentak. Walaupun wanita itu tetap mempertahankan ekspresi marah di wajahnya, tubuhnya mulai gemetar saat ini. Safira tidak ingin rahasia besarnya terbongkar secepat ini. Ia belum siap mendapat tatapan cemooh dari orang lain jika rahasianya terbongkar. Ketika Safira hendak melangkah pergi, lagi-lagi Wisnu menghalangi jalannya. Safira menggertakkan giginya menahan kesal. “Minggir! Jangan ganggu aku lagi, kita nggak punya urusan apa pun!” Ia tidak ingin salah bicara yang malah akan membuat rahasianya terbongkar. “Oke, kita bicara di tempat lain.” Tanpa mengidahkan pengusiran yang Safira lakukan, Wisnu langsung menarik pelan lengan wanita itu agar mengikuti langkahnya. Safira berhenti meronta saat mereka mulai menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin menambah gosip baru tentangnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengikuti gerak kaki Wisnu yang entah akan membawa dirinya ke mana. Di tengah jalan, Safira tak sengaja bertemu pandang denga
“Safira memang hamil, dia hamil anak saya, bukan anak laki-laki itu,” ungkap Agam tanpa basa-basi. Bahkan, tanpa diminta lelaki itu langsung menempati salah satu kursi yang kosong di dekat tempat duduk Safira.Safira melayangkan tatapan membunuh pada kakak tirinya. Sebelumnya, mereka sudah sepakat untuk merahasiakan masalah ini. Tetapi, bisa-bisanya Agam malah membongkar semuanya. Safira baru saja mendapatkan alasan untuk menyangkal tuduhan yang semua orang berikan padanya. Namun, Agam yang baru saja datang malah menghancurkan semuanya. Safira dapat menyaksikan jika tatapan orang-orang yang duduk di seberangnya langsung menatapnya dengan sorot berbeda, begitu juga dengan Wisnu. Harga dirinya benar-benar hancur lebur hari ini. Agam mengabaikan tatapan tajam yang Safira layangkan padanya kemudian kembali menatap ke depan. “Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya harap orang yang tidak berkepentingan berada bisa keluar dari sini.”Salah seorang yang duduk di barisan dosen langsung men
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men
Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu. Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan
Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja. Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya. Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka. Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi. “Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi. Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya,
“Safira memang hamil, dia hamil anak saya, bukan anak laki-laki itu,” ungkap Agam tanpa basa-basi. Bahkan, tanpa diminta lelaki itu langsung menempati salah satu kursi yang kosong di dekat tempat duduk Safira.Safira melayangkan tatapan membunuh pada kakak tirinya. Sebelumnya, mereka sudah sepakat untuk merahasiakan masalah ini. Tetapi, bisa-bisanya Agam malah membongkar semuanya. Safira baru saja mendapatkan alasan untuk menyangkal tuduhan yang semua orang berikan padanya. Namun, Agam yang baru saja datang malah menghancurkan semuanya. Safira dapat menyaksikan jika tatapan orang-orang yang duduk di seberangnya langsung menatapnya dengan sorot berbeda, begitu juga dengan Wisnu. Harga dirinya benar-benar hancur lebur hari ini. Agam mengabaikan tatapan tajam yang Safira layangkan padanya kemudian kembali menatap ke depan. “Mohon maaf sebelumnya, tetapi saya harap orang yang tidak berkepentingan berada bisa keluar dari sini.”Salah seorang yang duduk di barisan dosen langsung men
“Jangan sembarangan!” balas Safira setengah membentak. Walaupun wanita itu tetap mempertahankan ekspresi marah di wajahnya, tubuhnya mulai gemetar saat ini. Safira tidak ingin rahasia besarnya terbongkar secepat ini. Ia belum siap mendapat tatapan cemooh dari orang lain jika rahasianya terbongkar. Ketika Safira hendak melangkah pergi, lagi-lagi Wisnu menghalangi jalannya. Safira menggertakkan giginya menahan kesal. “Minggir! Jangan ganggu aku lagi, kita nggak punya urusan apa pun!” Ia tidak ingin salah bicara yang malah akan membuat rahasianya terbongkar. “Oke, kita bicara di tempat lain.” Tanpa mengidahkan pengusiran yang Safira lakukan, Wisnu langsung menarik pelan lengan wanita itu agar mengikuti langkahnya. Safira berhenti meronta saat mereka mulai menjadi pusat perhatian. Ia tidak ingin menambah gosip baru tentangnya. Akhirnya, wanita itu memilih mengikuti gerak kaki Wisnu yang entah akan membawa dirinya ke mana. Di tengah jalan, Safira tak sengaja bertemu pandang denga
Tubuh Safira menegang mendengar suara sang ayah di belakangnya. Wanita itu spontan memutar tubuhnya seraya berdeham pelan. “Nggak ada apa-apa, Yah. Kami cuma lagi—” “Aku cuma ngajak Safira berangkat bareng ke kampus, tapi dia nggak mau,” potong Agam sebelum Safira selesai memberikan pembelaan. Lelaki itu mengabaikan tatapan protes yang Safira layangkan padanya. Safira mengepalkan kedua tangannya. Bisa-bisanya Agam malah mencari kesempatan dalam kesempitan. “Aku bisa berangkat ke kampus sendiri, Yah. Biasanya juga gitu,” timpalnya sebelum sang ayah menyetujui usul Agam. Pasalnya, Afnan nyaris selalu satu pendapat dengan Agam. Sedangkan saat ini Safira sedang berusaha keras untuk menghindari Agam. Setidaknya sampai pikirannya benar-benar tenang dan ia bisa memutuskan sesuatu. Afnan menatap Safira dan Agam secara bergantian seraya berkata, “Menurut Ayah, usul Agam ada benarnya. Kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kalian berangkat bersama.” “Kalau kamu nggak mau berangkat bareng A
PLAK! Tatapan membunuh yang terpancar dari mata Safira semakin tajam. Deru napasnya mulai memburu, wajahnya berubah merah padam dengan emosi yang semakin memuncak. Agam menyentuh pipinya yang terasa panas karena tamparan keras Safira. “Kenapa kamu malah tampar aku?” protesnya dengan rahang mengeras. Ekspresi tenang di wajahnya perlahan menguap. “Kamu gila!” jerit Safira sembari menunjuk wajah Agam. Wanita itu berusaha keras menahan air mata yang mendesak di pelupuk matanya. “Dengar ini baik-baik, sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi menikah sama kamu!” Safira melangkah mundur seraya menggeleng pelan. Wanita itu mengangkat tangannya ketika Agam hendak berjalan ke arahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri malam ini, bukan menambah masalah. Safira tahu, rahasia ini tidak akan bisa ia sembunyikan selamanya. Tetapi, jika dirinya harus menikah dengan kakak tirinya ini untuk mengatasi semuanya, ia benar-benar tidak sanggup. Safira dan Agam memang tidak memiliki huhungan darah sama
Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi. Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal. Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu. “Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil. “Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun. Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi
Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari. Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu. Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang. Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan
Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja. Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya. Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka. Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi. “Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi. Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya,
Ringisan pelan keluar dari bibir Safira ketika merasakan kepalanya seakan dihantam sesuatu yang berat saat hendak membuka mata. Safira memijat pelipisnya, berharap dapat meredakan nyeri yang mengganggu. Setelah merasa lebih baik, Safira kembali membuka kelopak matanya. Alangkah terkejutnya Safira saat menyadari dirinya tertidur di dada bidang seseorang. Ia langsung mengangkat kepalanya tanpa mempedulikan rasa nyeri yang menghantam.Pekikan Safira membuat lelaki yang berbaring di sampingnya terjaga. Agam segera bangkit dan membuka mulutnya seakan hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi, bibirnya kembali mengatup karena tamparan keras yang Safira layangkan padanya.Safira menatap Agam dengan tatapan nyalang. “Apa yang kamu lakuin ke aku?!” semburnya murka. Safira mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang membalut tubuhnya yang benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Meskipun otaknya tidak bisa di ajak bekerja sama mengingat apa yang terjadi semalam, Safira tahu bahwa dirinya dan
Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya. Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya. “Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri. Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun. Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika men