“Pulanglah She, sudah malam,” perintah Bryan.
“Tapi….”
"Jangan pikirkan aku, istirahatlah. Aku tau kau lelah selain mengurus persiapan pernikahan, kau juga sibuk mengurus toko kuemu. Aku tidak mau kau sakit saat hari pernikahan kita.”
"Baiklah kalau begitu aku pamit. Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Semoga ibumu cepat pulih," kata Sheila.
"Amin. Hati-hati, She. Aku minta maaf tidak bisa antar kamu pulang," balas Bryan. Sheila tersenyum sembari mengusap pundak Bryan.
"Aku tau kondisi kamu Bryan.”
"Iya."
Sheila berada di pintu keluar rumah sakit. Hujan turun dengan lebat. Sheila mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah agar pandangannya bisa melihat jelas ke depan. Terpaksa, Sheila berlari menerobos guyuran hujan deras dari pelataran demi menuju halte.
Napas Sheila memburu, dia mengusap wajahnya.
"Hey, kita bertemu lagi," sapa Bara ketika Sheila ikut berteduh di halte yang sama.
Bara memang sudah menduga Sheila pasti akan kemari karena ia membuntuti Sheila dan bergerak cepat mendahului gadis itu.
Sheila tersenyum canggung. "Senang bertemu kamu lagi," balas Sheila memandang Bara sebentar lalu mengusap lengannya.
"Sepertinya hujan yang mempertemukan kita," timpal Bara membuat Sheila menoleh.
Bara kini berhadapan dengan Sheila dengan senyum maut yang mampu meluluhkan hati perempuan yang menatapnya.
Jatuhlah dalam pesonaku Shei, pikir Bara.
Sheila ingat, kamu sudah punya Bryan! peringat hati kecil Sheila.
"Astaga!" gumam Sheila tanpa sadar, sudah seharusnya dia menjaga pandangan.
"Kau kenapa, Shei?" Kening Bara mengerut karena Sheila berucap dengan nada terkejut.
"Hm, a-aku melamun tadi," jawab Sheila menunduk.
"Oh."
"Shei, saya ingin kita berkenalan secara resmi," pinta Bara seraya mengulurkan tangan.
Sheila tersenyum salah tingkah. Gaya bicara Bara terdengar unik.
Sheila menjabat tangan Bara, kulit tangan Sheila terasa lembut dan begitu pas di genggaman Bara. Perasaan Bara bergejolak, darahnya berdesir. Bara jadi berfikir, apa Sheila merasakan hal sama?
"Sheila Annatasya," ucap Sheila dengan degup jantung menggila. Sheila pastikan, ini hanyalah debaran biasa karena Sheila gugup di dekat Bara. Ya, Sheila tak menyangkal pesona Bara sekuat itu.
"Bara," balas Bara kemudian tautan tangan mereka perlahan lepas.
Angin berhembus dingin menerpa halus kulit Sheila membuat gadis itu memeluk lengannya.
Bara melepas jas hitamnya lalu menyampirkannya di belakang punggung Sheila.
Sheila menatap Bara tidak enak. "Nanti basah kalau kamu kasih ini ke aku." Sheila hendak melepas, tapi tangan Bara menahannya.
"Jangan pedulikan itu, saya lebih khawatir jika kau jatuh sakit karena kedinginan," ucap Bara berhasil membuat hati Sheila menghangat.
"Tapi ... bagaimana kalau pacarmu melihat kita?" tanya Sheila panik. Dia tidak ingin di cap sebagai perebut kekasih orang.
Bara tergelak mendengarnya. Apa Sheila bilang? Pacar? Yang benar saja, asal Sheila tahu dia lah perempuan yang Bara inginkan.
Dahi Sheila mengernyit, apa ada yang lucu dari pertanyaannya?
"Sheila kamu ini ada-ada saja, saya belum memiliki pacar," aku Bara membuat Sheila melongo serta mulut yang sedikit menganga.
Sheila bertanya ragu dalam benaknya. Apa iya, Pria sebaik dan setampan Bara belum memiliki pendamping?
"Saya sibuk mengurus bisnis, sampai saya masih belum memikirkan untuk memiliki pendamping hidup," jelas Bara seakan mampu membaca pertanyaan yang muncul di benak Sheila.
Sheila mengangguk paham. Di zaman sekarang memiliki uang banyak dan jabatan tinggi adalah keinginan semua orang.
Atensi keduanya teralih pada sebuah mobil hitam mewah yang berhenti tepat di depan halte.
"Sheila, jika kau tidak keberatan, ikutlah dengan saya. Saya akan mengantarmu pulang," ajak Bara.
"Tidak usah repot-repot. Aku naik taksi saja," tolak Sheila pelan.
"Shei," panggil Bara dengan tatapan yang penuh harap.
"Baiklah, aku ikut," jawab Sheila.
Bara menggulung lengan kemejanya sampai siku menampakkan otot-otot yang tercetak jelas di sana. Bara memegang payung putih pemberian sopirnya. Dia memayungi Sheila bahkan tangannya memeluk lengan Sheila dari belakang. Bara membawa tubuh Sheila merapat padanya. Sheila sempat terkejut, dia mendongak melihat payung itu lebih banyak ke arahnya. Dadanya berdebar kencang lagi. Bara melindunginya.
"Perhatikan jalanmu, Shei! Jika tidak, kau bisa tersandung," peringat Bara padahal keduanya hanya berjalan pelan dan lurus.
**
Sheila telah sampai di rumahnya bahkan Bara sudah kembali masuk ke mobilnya. Namun, detik itu Sheila berbalik.
"Bara, tunggu sebentar," sergah Sheila membuat Bara tidak jadi menaikkan kaca jendelanya.
Sheila berlari masuk ke rumah membuat Bara menunggu.
"Aku mau kasih ini."
Bara tersenyum kecut seraya meraihnya. "Undangan, ya," gumam Bara biasa, padahal hatinya terbakar cemburu.
"Aku tunggu kedatangan kamu," ucap Sheila dengan wajah berseri.
Aku akan datang, tapi bukan sebagai tamu, melainkan calon suamimu!
"Pasti, saya akan datang," pungkas Bara.
"Hati-hati." Sheila melambaikan tangan ketika mobil Bara mulai melaju.
Bara meremat kuat undangan berwarna pink berpadu warna putih itu.
Sayup-sayup Bara mendengar suara dari heandsetnya.
"Sheila, kamu sudah memiliki Bryan, jangan sampai hatimu berpaling."
"Iya, Ma. Itu tidak akan terjadi, Bryan adalah Lelaki yang baik. Dia satu-satunya lelaki yang aku cintai."
Bara mendengarnya karena dia memasukan penyadap suara ke dalam kantong kecil tas Sheila tanpa sepengetahuan gadis itu.
Sontak emosi Bara langsung melesak naik. "Tidak ada Pria yang boleh kau puji selain aku, Sheila! Secepatnya, aku akan mengambilmu dari Bryan!" tekad Bara berapi-api.
**
Waktu terus bergulir, hari yang begitu dinanti Sheila dan Bryan telah tiba. Momen mendebarkan sekaligus bermakna bagi keduanya. Sheila duduk menghadap cermin memandang pantulan dirinya yang memakai kebaya putih dengan model kutu baru serta rambut yang disanggul, memancarkan aura kecantikannya.
Laras memegang pundak Sheila dengan wajah berseri-seri. "Shei, Mama sampai pangling lihat kamu," puji Laras, ibu Sheila.
"Ah, Mama," ucap Sheila tersipu malu. "Padahal Mama awet muda, masih cantikkan Mama daripada Sheila," goda Sheila diiringi kekehan geli.
"Kamu ini bisa saja," balas Laras mencubit pipi Sheila gemas.
Pintu kamar Sheila kembali terbuka, Sheila dan Laras kompak menoleh. Perempuan dengan tinggi semampai dan senyum merekah berjalan ke arah mereka.
"Ya, ampun Shei, kamu cantik banget!" puji Kayla histeris.
"Kayla bisa aja," ucap Sheila dengan paras yang merona.
"Kamu nih, kalau dipuji selalu aja merendah," ujar Kayla dibalas senyum simpul oleh Sheila.
Rasanya masih seperti mimpi bagi Laras, putri kecilnya telah tumbuh dewasa. Dia akan memulai lembaran baru bersama Bryan. Laras menitikan air mata haru. Dia segera menyekanya, tidak ingin Sheila mengetahuinya.
Semoga kamu bahagia sayang, putri tercinta Mama dan Papa, batin Laras.
"Kita ke depan, semuanya sudah menunggu kamu," kata Laras pelan.
Sheila menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan.
"Santai, Shei," ucap Kayla terkekeh. Sheila milirik kesal pada Kayla karena terus menertawakannya.
Laras dan Kayla berjalan bersisian menggiring Sheila menuju tempat akad nikah dilangsungkan. Tepatnya di ruang tamu rumah Sheila yang telah didekorasi sederhana namun mempesona.
Ketika Sheila menginjakkan kakinya kemari, semua perhatian berpusat padanya. Sheila gugup, namun ia berusaha mengumbar senyum. Sheila melihat Bryan yang tampak berwibawa dengan jas putih yang membalut tubuhnya.
Laras menarik kursi mempersilahkan Sheila duduk di samping Bryan. Senyum yang terpatri di wajah Bryan membuat Sheila bersemu. Pria itu memuji Sheila dari pancaran matanya. Tak terkecuali para tamu yang menatap Sheila terkesima.
Degup jantung Sheila berdebar kuat. Ada yang aneh, di balik rasa bahagia yang menggebu terselip keresahan di hatinya.
"Baik, mari kita mulai," kata Pak Penghulu.
Ayah Sheila mulai mengulurkan tangan dan Bryan dengan mantap menjabat uluran tangan itu.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Bryan Darmawan bin Hasan Darmawan Almarhum dengan anak saya bernama Sheila Annatasya binti Herman Kurniawan dengan mas kawin senilai delapan juta rupiah dibayar tunai."
"Saya ter──"
"Hentikan!"
Rasanya, jantung Bryan berhenti berdetak, wajahnya memucat. Semua orang di sana berdiri ketika melihat Bara datang mengagetkan semua orang.
Bara berjalan gagah menampakan raut wajah sangar yang tengah menahan emosi. Pandangannya tak lepas dari Sheila.
"Bryan, apa kau lupa perjanjian kita?!" sindir Bara.
Hampir semua orang yang mendengarnya mengerutkan kening diiringi tanda tanya besar.
Bryan menelan ludah berat. Tenggorokannya tercekat. Darimana Bara tahu jika pernikahannya diadakan sekarang?
"Kau lupa Bryan? Sainganmu ini bukan orang sembarangan!" tegas Bara melipat tangan.
Sheila menatap Bryan kemudian beralih pada Bara. Sesungguhnya apa yang terjadi?
Bara mendekat lalu mencengkeram kerah Bryan membuat tubuh keduanya hanya berjarak satu jengkal.
Seringaian jahat terbit di wajah Bara. "Kau cerdik, tapi saya licik Bryan. Bisa-bisanya kau ingin menikah dengan Sheila, sementara Sheila menjadi jaminan atas hutangmu!" kelakar Bara kesal menghempas tubuh Bryan ke samping hingga membentur meja.
Sheila tercengang, "Hutang?" tanyanya bingung.
Bryan menunduk lemah. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan.
Herman menatap nyalang Bryan yang diam seperti pengecut.
"Kau ini! Beraninya menjadikan putriku sebagai jaminan! Kurang ajar sekali kau Bryan!" seru Herman kecewa, dadanya naik turun beriringan dengan emosi yang menderu.
"Ayah, Bryan pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan ini," bela Sheila mengusap lengan ayahnya memberi ketenangan. Meski dirinya juga syok atas tindakan Bryan.
"Bryan, jelaskan sejujurnya," pinta Laras menengahi di atas ketegangan yang menguasai.
Bryan menghembuskan napas berat. "Saya terpaksa melakukan ini. Memang benar, saya meminjam uang pada Bara. Saya menggunakannya untuk biaya operasi Ibu saya. Saya berjanji akan membayarnya, tapi Bara bersikeras menginginkan Sheila menjadi jaminannya."
Hening sesaat. Semua pasang mata tertuju pada Bryan.
"Saya sudah menolak namun, di sisi lain saya butuh uang itu segera. Demi keselamatan ibu saya," jelas Bryan pilu membuat Sheila trenyuh mendengarnya.
Sedangkan Bara justru berdecak malas, ini terlalu mengulur waktu. Apa susahnya tinggal berkata iya dan memberikan Sheila padanya.
Ibu Bryan yang duduk di kursi roda, merasa bersalah sekaligus benci pada dirinya. Menurutnya, akar dari masalah ini adalah dia.
"Harusnya ibu mati saja Bryan agar tidak menyusahkan kamu!" sesal Santi, dia bisa berbicara namun kaki dan tangannya masih belum bisa berfungsi normal.
Bryan menggeleng kuat, dia bersimpuh di kaki ibunya. "Jangan katakan itu, Bu. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya," ucap Bryan membuat Santi terisak. Syifa adiknya, memeluk ibunya erat.
"Jangan ambil Sheila dari saya!" seru Bryan.
Alih-alih terpancing, Bara justru memandang remeh. "Mudah saja, kau harus melunasi hutang itu sekarang," balas Bara telak.
"Saya tidak memberi batas waktu dalam perjanjian kita. Jadi, terserah saya mau menagihnya kapan saja," lanjut Bara santai.
Bryan menggeram emosi. "Anda keterlaluan Bara, bahkan saya rasa uang itu tidak ada harganya bagi anda," balas Bryan sengit.
"Karena tujuan saya adalah memiliki dia! Saya mencintainya dan saya ingin Sheila menjadi istri saya!" tegas Bara menunjuk Sheila sementara Sheila ketakutan dan mundur beberapa langkah.
"Saya tidak akan membiarkan Sheila jatuh ke tanganmu!" tolak Bryan bangkit. "Kau menantangku?!" Bara mulai tersulut emosi. Dia langsung meninju rahang kiri Bryan kuat hingga pria itu terhuyung merasakan kuatnya pukulan Bara. Semuanya menjerit histeris, belum sempat Bryan membalas, Bara menendang keras di ulu hatinya. "Akh!" erang Bryan saat rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya."Jangan ada yang mendekat atau membantu dia atau kalian berurusan dengan saya!" ancam Bara ketika beberapa orang ingin melawannya."Sebenarnya siapa Bara? Kenapa dia sangat berkuasa?" tanya Sheila pada Kayla."Dia itu ...." Kayla menggantung kalimatnya."Anak pemilik perusahaan RodriguezCorp yang bergerak di bidang konstruksi. Memiliki beberapa cabang di luar negeri. Bara, pemimpin galak dan terkenal perfeksionis," jelas Kayla membuat Sheila tercengang."Shei, kamu tidak sadar?" tanya Kayla menoleh pada Sheila.Sheila menggeleng, Bara di foto dan dunia nyata berbeda. Jika dilihat langsung, Bara lebih tamp
Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya."Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan."Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.Sheila merinding, hembusan napas
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora
Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara. "Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang. Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar. "Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring. "A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya. "Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila."Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya. Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.Bara mencium bib
Kalimat itu membuat aliran darah Sheila berdesir. Dadanya berdebar, sebuah rasa yang menghadirkan kebimbangan di benaknya. Sheila menahan napas ketika Bara semakin merunduk bahkan hampir menyentuh bibirnya. "Tuan, hari ini ada rapat pen──"Anton berhenti berbicara ketika dia hampir masuk ke kamar Bara. Matanya melebar, Anton menelan ludahnya kasar. Pria itu segera berbalik badan. Refleks, Sheila berapaling muka sedangkanBara segera menegakkan punggungnya. "Siapa yang menyuruhmu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu?" gertak Bara dengan intonasi suara beratnya. Dari kerutan yang kentara di dahinya──jelas menunjukan jika Bara marah karena momen romantisnya terganggu."Ma-maaf, saya lancang Tuan, tapi pintu ini tidak ditutup tadi." Anton tergagap, aura Bara mengintimidasinya.Bara mendengus, dia beralih menatap Sheila hangat sembari mengusap puncak kepala Sheila."Aku tinggal dulu, hanya sebentar, Shei," ucap Bara lembut.Sheila mengangguk kecil. Dalam hati Sheila sangat berterima kasih
Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya. "Argh!" teriaknya. "Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan. "Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya. Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga. Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan."Shei," panggil Bara lembut.Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila t
"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya."Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga."Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa."Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara."Kamu bantah Mama?"Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak. "Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah."Bagus, tahu diri juga dia!"**Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya. "Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.Sheila terkesiap, selang yang dia pegang te
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
"Iya. Kenapa wajahmu cemberut?" tanya Bara."Aku takut ada yang merebutmu," ungkap Sheila. Ya, dia merasa gelisah ketika memergoki para tamu wanita mencuri-curi pandang pada suaminya. Bara menangkup pipi Sheila gemas. "Itu tidak akan terjadi. Di hatiku sudah tidak ada tempat lagi, semuanya untukmu. Pikiranku selalu dipenuhi tentangmu. Bagaimana mungkin orang lain bisa masuk jika kunci itu ada pada dirimu?"Sheila mengulum senyum, Bara menunduk menyatukan kening mereka."Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah." Ungkapan Bara menenangkan batin Sheila, pipinya bersemu. Gerald bersidekap tangan masih setia berdiri di tempatnya. Berada disini sungguh membosankan! Seharusnya dia tidak datang ke pesta. Jika bukan karena rengekan Nara, dia tidak akan terjebak diantara pasangan yang saling jatuh cinta dengan tatapan memuja. Contohnya Bara, pria itu bucin akut pada Sheila. "Gerald, aku ingin seperti mereka. Ajari aku!" pinta Nara antusias menarik-narik tangan Gerald. Ya Tuhan, bisak
Karpet merah terbentang dari luar pintu masuk hingga ke dalam. Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Diantara sekian banyak orang yang hadir, Sheila merasa jika setiap langkah kakinya bersama Bara menjadi sorotan. Sheila seharusnya tidak kaget mengingat suaminya adalah seorang pengusaha terkenal dan disegani di kalangan banyak orang. Hanya saja, Sheila belum terbiasa dengan semua ini."Abaikan tatapan mereka. Tatap aku jika kau merasa gugup," lirih Bara."Bara," sapa pria dengan tuxedo berwarna navy. Parasnya tampan, dengan tinggi sekitar 180 cm. Dia tampak gagah dan berwibawa, tetapi raut wajahnya terkesan dingin. "Gerald. Biasanya kau datang lebih awal daripada aku.""Dia terlalu lama menungguku," terang seorang gadis bersurai hitam lurus bergaun pink selutut dengan pita di belakang punggungnya.Gadis itu berhasil mencuri perhatian Bara.Bara menyenggol lengan Gerald."Dia siapa?" tanyanya menyelidik."Perkenalkan aku Nara," ujar Nara."Salam kenal, saya Bara. Ini istri sa
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem