Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar.
Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"
Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya.
"Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan.
"Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.
Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.
Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.
Sheila merinding, hembusan napas halus Bara terasa menggelitik. "B-bara," panggil Sheila tergagap.
"Iya, Sayang," jawab Bara.
"Aku kira kau melarikan diri," ucap Bara membenamkan wajahnya di ceruk leher Sheila. Sebenarnya Sheila risih, tapi mau bagaimana lagi, Bara suaminya. Bara berhak atas tubuhnya.
"Apa kamu takut, kalau aku pergi?" tanya Sheila.
"Jelas, karena aku mencintaimu," ungkap Bara mencium pipi Sheila.
Sheila bisa merasakan ketulusan dari Bara. Namun hatinya masih mendambakan sosok Bryan.
"Bara, lepas. Aku mau mengambil piring," perintah Sheila melepas tangan Bara bukannya menurut Bara kian mengeratkan pelukannya.
"Aku ikut," rengek Bara.
"Astaga," gumam Sheila menggeleng dengan sikap manja Bara. Alhasil Sheila berjalan mengambil piring dengan Bara yang masih memeluknya dari belakang.
"Kenapa harus dua? Kurasa satu saja cukup," protes Bara membuat Sheila meletakkan satu piringnya.
Sheila memindahkan nasi goreng dari teflon ke piring, sedangkan Bara ikut memperhatikannya.
"Aku lapar, aku mau duduk lalu sarapan," keluh Sheila.
Bara melepas pelukannya lalu duduk manis di kursi meja makan.
"Aku ingin kau menyuapiku," pinta Bara membuka mulutnya.
Sheila berdecak. "Memangnya kamu bayi apa?" ejeknya menimbulkan tawa kecil bagi Bara.
Sheila mulai menyendok nasi goreng kemudian mengangkatnya ke arah mulut Bara.
"Enak Shei ... selain cantik, ternyata kau pandai memasak. Aku memang tidak salah memilih istri, " ucap Bara bangga pada dirinya sendiri.
"Hm, iya-iya," jawab Sheila. Bara memberengut ketika raut wajah Sheila terlihat terpaksa.
Bara mencondongkan tubuhnya, dia mengecup bibir Sheila singkat.
Sheila tertegun, matanya terbelalak.
"Ini baru sarapan sesungguhnya," ucap Bara santai lalu melahap nasi goreng itu lagi, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sheila menatap Bara lekat saat mengingat bingkai berwarna emas besar berisi foto Bara dan keluarganya.
"Bara, apa keluargamu tau kita sudah menikah?" tanya Sheila.
Bara mengangguk pelan. "Aku sudah memberi mereka kabar, tapi sekarang mereka ada di luar negeri. Hawai," terang Bara membuat Sheila mengerti bila keluarga Bara tengah berlibur.
"Kenapa kamu tidak ikut?"
Senyum jahil muncul di paras Bara. "Jadi kau sedang memberiku kode? Kau ingin bulan madu, Sayang?" goda Bara bersemangat.
Sheila tersedak ludahnya sendiri.
"A-aku hanya bertanya," kilah Sheila meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya.
"Shei, jangan malu. Kita bisa berangkat hari ini juga kalau kau mau. Lagi pula, aku ingin segera memberi cucu untuk, Oma. Dia selalu menagih itu padaku," papar Bara sengaja menekankan kata demi katanya.
"Bara!" pekik Sheila malu, wajahnya merona, tangan Bara terulur mengusapnya membuat rona merah itu makin jelas.
"Blushing! Tapi makin cantik," ledek Bara.
"Ish kamu!" Sheila memukul lengan Bara.
"Bara, hari ini aku mau pergi ke toko kue. Ada pesanan soalnya, boleh, ya?" Sheila meminta izin meski ia ragu, akankah Bara memperbolehkannya.
Seketika raut Bara berubah dingin, dia tampak keberatan. "Kau lupa Sayang? Kau adalah Nyonya di rumah ini. Kau hanya perlu duduk manis dan merasakan kemewahan yang aku berikan padamu. Mencari nafkah itu kewajibanku."
"Iya, aku tau. Tapi aku butuh kegiatan untuk mengisi waktuku. Usaha kue itu sudah aku kelola sejak SMA dan, aku ingin terus mengelolanya. Aku mohon Mas Bara," pinta Sheila dengan wajah menggemaskan.
Satu alis Bara berjengit. Sheila barusan memanggilnya, Mas? Astaga, Bara menggigit pipi bagian dalamnya. Tersipu, istrinya ini benar-benar pandai merayunya.
"Aku izinkan, asal mereka menemanimu." Bara menunjuk Anton dan Angga yang dia tugasi khusus menjaga Sheila.
"Oke, tidak masalah," jawab Sheila lugas. Dia tersenyum penuh arti.
**
Sheila berada di mobil sambil meremas jemari tangannya. Rencananya sudah tersusun rapi di otak, hanya tinggal mempraktekkannya saja.
"Bisa kita berhenti sebentar? Aku ingin ke toilet," ucap Sheila menekan perutnya. Perlahan laju mobil mulai melambat dan berhenti di tepi jalan.
"Baik, Nyonya. Tapi kami harus mengikuti Nyonya," kata Anton.
"Terserah kalian," ketus Sheila.
Anton keluar kemudian membukakan pintu mobil untuk Sheila. Ketika Sheila keluar, dia langsung mendorong Anton membuat Anton dengan sigap mencekal tangan Sheila.
"Jangan mencoba kabur, Nyonya!'' tegas Anton.
"Aku harus pergi," gumam Sheila terpaksa menendang aset pribadi Anton.
"Akh! N-nyonya Sheila!" pekik Anton meraskan nyeri yang tak tertahan.
"Maafkan aku!" jerit Sheila berlari kencang.
Angga turun menghampiri. Dia mengeluarkan ponselnya.
"Jangan beritahu Tuan Bara! Dia bisa marah besar," cegah Anton pada Angga.
Anton bergidik ngeri bila mengingat kemarahan Bara, Pria itu pasti akan mengamuk.
"Apa kau kira dengan kita menyembunyikan ini nyawa kita aman?" tanya Angga.
"Setidaknya, kita cari dulu kemana Sheila pergi. Jika memang tidak bisa ditemukan baru kita lapor," usul Anton.
"Cepat kejar dia!" perintah Anton.
Angga berlari menyusul Sheila meninggalkan Anton yang masih berkutat pada rasa sakitnya.
**
Sheila menoleh ke belakang dengan wajah panik. Dari kejauhan terlihat Angga berlari menuju ke arahnya. Peluh keringat menetes dari dahi Sheila. Dia lelah dan akhirnya Sheila masuk ke dalam toko pakaian dan mengambil jaket, topi juga kacamata hitam menyamar layaknya seorang pembeli.
Jantung Sheila berdebar tak karuan ketika Angga masuk dan menatapnya curiga.
Semoga dia tidak mengenalku! batin Sheila matanya memejam erat.
Sheila menelan ludahnya berat saat derap langkah Angga mendekatinya.
"Maaf, Mbak, saya hanya ingin memberi tahu. Kaca mata anda terbalik," ucap Angga.
"Oh ini," kata Sheila memegang kaca matanya, suara Sheila terdengar serak.
"Saya memang sengaja, karena zaman sekarang hal seperti ini menjadi tren," kata Sheila asal dengan suara dibuat serak.
"Aku baru tahu," kata Angga kebingungan lalu mengedarkan pandangannya.
Sheila bergegas menuju kasir dan membayar pakaian dan aksesoris yang membalut tubuhnya.
Sheila merogoh ponselnya dan mengetik pesan.
Sheila.
[Bryan, temui aku di taman Kenangan]
Setelah itu Sheila mematikan ponselnya agar Bara tidak bisa melacak keberadaannya.
"Maafkan aku Bara, aku tidak bisa hidup denganmu," ungkap Sheila merasa bersalah.
Sheila telah menunggu Bryan sekitar tiga puluh menit. Namun Bryan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Taman Kenangan terasa sunyi jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tapi tetap saja Sheila khawatir.
"Ada apa She?" tanya Bryan, seketika Sheila berdiri. Dia menatap prihatin penampilan Bryan yang terlihat kacau, mata sayu serta lebam biru keunguan di wajahnya.
"Aku mau kita pergi dari sini Bryan." Sheila memegang erat lengan Bryan.
"Sejauh apapun kita pergi, Bara akan mampu mengetahui keberadaan kita, She." Bryan menatap kosong ke depan.
"Jadi ... kamu benar-benar merelakanku, Yan?" tanya Sheila tidak menyangka.
"Kamu tidak mau memperjuangkan aku? Aku kecewa sama kamu, Yan!" seru Sheila.
"Sekarang, aku paham maksud ucapan kamu di rumah sakit itu. Kamu sendiri yang membuat aku pergi darimu!"
"She, cukup!" Bryan tidak tahan mendengar kalimat Sheila yang menusuk dalam relung hatinya.
"Keadaan yang membuatku begini," lirih Bryan.
"Kembalilah ke rumah, sebelum Bara menyadarinya," perintah Bryan membuat Sheila menatapnya tidak percaya.
"Semudah itu kamu melupakanku Bryan?" Rasa sesak kian menghimpit dada Sheila.
"Bryan, aku kira kamu rela melakukan apapun untukku, tapi aku salah besar! Kamu tidak lebih dari pengecut yang hanya memanfaatkanku!" jerit Sheila menangis.
"She, berhenti menyalahkanku! Aku benar-benar terdesak! Aku begini demi ibuku, She. Cuma dia orang tuaku sekarang. Aku tidak mau kejadian tiga tahun terulang lagi, ayahku meninggal karena terlambat ditangani. Karena apa? Karena aku tidak memiliki uang!" bentak Bryan menggoyangkan kedua bahu Sheila.
Sheila terisak. Gadis itu berlari, tidak ada yang bisa diharapkan dari Bryan. Pria itu menyerah.
"Aku berjanji akan melepaskanmu dari belenggu Bara. Tapi tidak sekarang. Maaf mungkin tidak bisa menebus kesalahanku, She. Karena aku, kamu terperangkap dengan lelaki kasar dan tidak berhati seperti Bara," sesal Bryan.
**
Bara menghubungi Sheila, namun ponsel istrinya tidak aktif.
"Kenapa tidak mengangkat telfonku? Dimana kau sekarang, Shei?" panik Bara.
Mata Bara memicing tidak suka melihat kedatangan Anton dan Angga yang menunduk.
"Ada apa kalian ke sini? Bukankah saya menyuruh kalian untuk mengawasi Sheila? Sekarang mana dia?" tanya Bara curiga pada dua pengawalnya.
"Nyonya kabur, Tuan," ungkap Anton.
"Dasar tidak becus!" murka Bara, dia meraup wajahnya kasar.
"Hal sekecil ini pun tidak bisa kalian atasi?!"
Bara membanting apapun benda yang ada di hadapannya.
"Dasar tidak berguna!" rutuk Bara meninju meja kaca hingga pecah membuat darah segar menetes deras dari buku-buku jarinya.
"Sheila, kau membuatku gila!"
"Jadi sikap manismu tadi pagi hanyalah tipu dayamu?" Bara tertawa miris, cinta membuatnya mudah dibodohi.
"Setelah ini tidak ada lagi kebebasan untukmu! Tidak ada! Hahaha!" Pria itu tertawa sumbang.
Kehilangan Sheila adalah hal menakutkan. Dia terlanjur jatuh hati dan terobsesi.
"Aku tidak akan pernah melepasmu, Sheila!"
"Tuan, kami akan mencari Nyonya sampai ketemu," ucap Angga.
"Tidak perlu! Saya yang akan mencarinya sendiri!" murka Bara.
"Begitu aku menemukanmu, aku akan memberimu hukuman Sheila! Kau bermain-main dengan orang yang salah! Membangunkan singa yang tidur adalah bencana bagimu!"
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora
Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara. "Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang. Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar. "Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring. "A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya. "Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila."Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya. Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.Bara mencium bib
Kalimat itu membuat aliran darah Sheila berdesir. Dadanya berdebar, sebuah rasa yang menghadirkan kebimbangan di benaknya. Sheila menahan napas ketika Bara semakin merunduk bahkan hampir menyentuh bibirnya. "Tuan, hari ini ada rapat pen──"Anton berhenti berbicara ketika dia hampir masuk ke kamar Bara. Matanya melebar, Anton menelan ludahnya kasar. Pria itu segera berbalik badan. Refleks, Sheila berapaling muka sedangkanBara segera menegakkan punggungnya. "Siapa yang menyuruhmu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu?" gertak Bara dengan intonasi suara beratnya. Dari kerutan yang kentara di dahinya──jelas menunjukan jika Bara marah karena momen romantisnya terganggu."Ma-maaf, saya lancang Tuan, tapi pintu ini tidak ditutup tadi." Anton tergagap, aura Bara mengintimidasinya.Bara mendengus, dia beralih menatap Sheila hangat sembari mengusap puncak kepala Sheila."Aku tinggal dulu, hanya sebentar, Shei," ucap Bara lembut.Sheila mengangguk kecil. Dalam hati Sheila sangat berterima kasih
Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya. "Argh!" teriaknya. "Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan. "Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya. Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga. Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan."Shei," panggil Bara lembut.Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila t
"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya."Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga."Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa."Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara."Kamu bantah Mama?"Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak. "Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah."Bagus, tahu diri juga dia!"**Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya. "Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.Sheila terkesiap, selang yang dia pegang te
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
"Astaga! Aku bercanda, Sayang," jelas Bara merangkul Sheila──membawanya bersandar di dadanya.Bara terkekeh, "Aku ingin memiliki bayi kembar. Bagaimana denganmu?" tanya Bara memainkan ujung rambut Sheila."Kita bisa ikut programnya," jawab Sheila sambil mengangguk."Kau tidak keberatan?" tanya Bara terkejut sekaligus merasa senang. Senyum di bibir Bara menular pada Sheila."Tentu saja tidak. Tapi Semoga saja dia tidak pemaksa dan keras kepala sepertimu," candanya terkekeh geli. Bara menatap Sheila tidak setuju."Aku ini ayahnya, mereka mewarisi gen-ku. Jika laki-laki aku akan mendidiknya menjadi seorang yang tangguh. Jika dia perempuan, aku akan melindunginya lebih dari apa pun," tegas Bara.Hati Sheila tersentuh, Bara begitu sungguh-sungguh mengatakannya. Terlebih cinta untuk anak mereka kelak kini terpancar di matanya."Dia pasti cantik sepertimu," goda Bara menoel hidung Sheila."Dan satunya tampan seperti Ayahnya," balas Sheila membuat Bara membayangkan tentang bayi mereka, suara
"Iya. Kenapa wajahmu cemberut?" tanya Bara."Aku takut ada yang merebutmu," ungkap Sheila. Ya, dia merasa gelisah ketika memergoki para tamu wanita mencuri-curi pandang pada suaminya. Bara menangkup pipi Sheila gemas. "Itu tidak akan terjadi. Di hatiku sudah tidak ada tempat lagi, semuanya untukmu. Pikiranku selalu dipenuhi tentangmu. Bagaimana mungkin orang lain bisa masuk jika kunci itu ada pada dirimu?"Sheila mengulum senyum, Bara menunduk menyatukan kening mereka."Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah." Ungkapan Bara menenangkan batin Sheila, pipinya bersemu. Gerald bersidekap tangan masih setia berdiri di tempatnya. Berada disini sungguh membosankan! Seharusnya dia tidak datang ke pesta. Jika bukan karena rengekan Nara, dia tidak akan terjebak diantara pasangan yang saling jatuh cinta dengan tatapan memuja. Contohnya Bara, pria itu bucin akut pada Sheila. "Gerald, aku ingin seperti mereka. Ajari aku!" pinta Nara antusias menarik-narik tangan Gerald. Ya Tuhan, bisak
Karpet merah terbentang dari luar pintu masuk hingga ke dalam. Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Diantara sekian banyak orang yang hadir, Sheila merasa jika setiap langkah kakinya bersama Bara menjadi sorotan. Sheila seharusnya tidak kaget mengingat suaminya adalah seorang pengusaha terkenal dan disegani di kalangan banyak orang. Hanya saja, Sheila belum terbiasa dengan semua ini."Abaikan tatapan mereka. Tatap aku jika kau merasa gugup," lirih Bara."Bara," sapa pria dengan tuxedo berwarna navy. Parasnya tampan, dengan tinggi sekitar 180 cm. Dia tampak gagah dan berwibawa, tetapi raut wajahnya terkesan dingin. "Gerald. Biasanya kau datang lebih awal daripada aku.""Dia terlalu lama menungguku," terang seorang gadis bersurai hitam lurus bergaun pink selutut dengan pita di belakang punggungnya.Gadis itu berhasil mencuri perhatian Bara.Bara menyenggol lengan Gerald."Dia siapa?" tanyanya menyelidik."Perkenalkan aku Nara," ujar Nara."Salam kenal, saya Bara. Ini istri sa
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d