Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Karpet merah terbentang dari luar pintu masuk hingga ke dalam. Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Diantara sekian banyak orang yang hadir, Sheila merasa jika setiap langkah kakinya bersama Bara menjadi sorotan. Sheila seharusnya tidak kaget mengingat suaminya adalah seorang pengusaha terkenal dan disegani di kalangan banyak orang. Hanya saja, Sheila belum terbiasa dengan semua ini."Abaikan tatapan mereka. Tatap aku jika kau merasa gugup," lirih Bara."Bara," sapa pria dengan tuxedo berwarna navy. Parasnya tampan, dengan tinggi sekitar 180 cm. Dia tampak gagah dan berwibawa, tetapi raut wajahnya terkesan dingin. "Gerald. Biasanya kau datang lebih awal daripada aku.""Dia terlalu lama menungguku," terang seorang gadis bersurai hitam lurus bergaun pink selutut dengan pita di belakang punggungnya.Gadis itu berhasil mencuri perhatian Bara.Bara menyenggol lengan Gerald."Dia siapa?" tanyanya menyelidik."Perkenalkan aku Nara," ujar Nara."Salam kenal, saya Bara. Ini istri sa
"Iya. Kenapa wajahmu cemberut?" tanya Bara."Aku takut ada yang merebutmu," ungkap Sheila. Ya, dia merasa gelisah ketika memergoki para tamu wanita mencuri-curi pandang pada suaminya. Bara menangkup pipi Sheila gemas. "Itu tidak akan terjadi. Di hatiku sudah tidak ada tempat lagi, semuanya untukmu. Pikiranku selalu dipenuhi tentangmu. Bagaimana mungkin orang lain bisa masuk jika kunci itu ada pada dirimu?"Sheila mengulum senyum, Bara menunduk menyatukan kening mereka."Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah." Ungkapan Bara menenangkan batin Sheila, pipinya bersemu. Gerald bersidekap tangan masih setia berdiri di tempatnya. Berada disini sungguh membosankan! Seharusnya dia tidak datang ke pesta. Jika bukan karena rengekan Nara, dia tidak akan terjebak diantara pasangan yang saling jatuh cinta dengan tatapan memuja. Contohnya Bara, pria itu bucin akut pada Sheila. "Gerald, aku ingin seperti mereka. Ajari aku!" pinta Nara antusias menarik-narik tangan Gerald. Ya Tuhan, bisak
Bara Alexander Rodriguez, seorang CEO muda, gagah dan tampan. Sosoknya adalah idaman bagi setiap wanita. Namun, di balik namanya yang melejit sebagai seorang pengusaha muda berbakat, Bara tak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia terlalu fokus dengan karirnya untuk memajukan bisnis konstruksi perusahaan keluarganya, Rodriguez Corporation. Bara berjalan tergesa memasuki Kafe untuk bertemu dengan klien. Lantaran tidak memperhatikan sekitar dia malah menabrak seseorang hingga terjatuh. "Awh!" Bara yang kaget langsung berjongkok melihat keadaan gadis bersuarai hitam sepunggung itu. "Maafkan saya, apa kau baik-baik saja?" tanya Bara sopan.Gadis itu mendongak lalu mengumbar senyum manis padanya membuat detak jantung Bara berdebar kuat saat lesung di pipi kanan gadis itu tampak jelas. Semakin menambah kecantikannya berkali-kali lipat. Bara sadar ada yang salah dalam dirinya. Debaran yang tak tertahan di dadanya. Inikah yang disebut jatuh cinta pandangan pertama
"Iya. Kenapa wajahmu cemberut?" tanya Bara."Aku takut ada yang merebutmu," ungkap Sheila. Ya, dia merasa gelisah ketika memergoki para tamu wanita mencuri-curi pandang pada suaminya. Bara menangkup pipi Sheila gemas. "Itu tidak akan terjadi. Di hatiku sudah tidak ada tempat lagi, semuanya untukmu. Pikiranku selalu dipenuhi tentangmu. Bagaimana mungkin orang lain bisa masuk jika kunci itu ada pada dirimu?"Sheila mengulum senyum, Bara menunduk menyatukan kening mereka."Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah." Ungkapan Bara menenangkan batin Sheila, pipinya bersemu. Gerald bersidekap tangan masih setia berdiri di tempatnya. Berada disini sungguh membosankan! Seharusnya dia tidak datang ke pesta. Jika bukan karena rengekan Nara, dia tidak akan terjebak diantara pasangan yang saling jatuh cinta dengan tatapan memuja. Contohnya Bara, pria itu bucin akut pada Sheila. "Gerald, aku ingin seperti mereka. Ajari aku!" pinta Nara antusias menarik-narik tangan Gerald. Ya Tuhan, bisak
Karpet merah terbentang dari luar pintu masuk hingga ke dalam. Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Diantara sekian banyak orang yang hadir, Sheila merasa jika setiap langkah kakinya bersama Bara menjadi sorotan. Sheila seharusnya tidak kaget mengingat suaminya adalah seorang pengusaha terkenal dan disegani di kalangan banyak orang. Hanya saja, Sheila belum terbiasa dengan semua ini."Abaikan tatapan mereka. Tatap aku jika kau merasa gugup," lirih Bara."Bara," sapa pria dengan tuxedo berwarna navy. Parasnya tampan, dengan tinggi sekitar 180 cm. Dia tampak gagah dan berwibawa, tetapi raut wajahnya terkesan dingin. "Gerald. Biasanya kau datang lebih awal daripada aku.""Dia terlalu lama menungguku," terang seorang gadis bersurai hitam lurus bergaun pink selutut dengan pita di belakang punggungnya.Gadis itu berhasil mencuri perhatian Bara.Bara menyenggol lengan Gerald."Dia siapa?" tanyanya menyelidik."Perkenalkan aku Nara," ujar Nara."Salam kenal, saya Bara. Ini istri sa
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem