"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya.
"Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa.
"Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara.
"Kamu bantah Mama?"
Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak.
"Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah.
"Bagus, tahu diri juga dia!"
**
Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya.
"Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.
Sheila terkesiap, selang yang dia pegang terlempar akibat pelukan tiba-tiba dari belakang.
"Shei ...." Suara serak Bara membuat Sheila merinding.
Sheila menoleh kikuk, "Kenapa kamu sudah pulang?"
"Aku merindukanmu, sayang," ungkap Bara menekan hidungnya ke leher Sheila. Bara suka sekali menghirup aroma tubuh Sheila. Harum dan menenangkan.
"Gombal!"
Bara mengaitkan jari Sheila diantara jemarinya, mengajak Sheila duduk di kursi. Sheila kaget Bara merebahkan kepala di pangkuannya.
Bara memandang wajah Sheila dari bawah, begitu cantik. Sheila juga tak lepas mengamati paras Bara. Tatapan lekat Bara membuat jantung Sheila berdetak cepat.
"Mama, ingin kita makan siang bersama," ucap Bara.
"Sekarang?"
"Tahun depan, Shei!" seru Bara jengah merotasikan matanya.
"Oh. Kalau begitu, ayo siap-siap," ajak Sheila.
Bara memiringkan tubuhnya memeluk pinggang Sheila erat.
"Eh! Lepaskan aku," kata Sheila mencoba menguraikan tangan Bara.
"Tidak mau! Terlanjur nyaman," balas Bara.
Bara membenamkan wajah di perut Sheila. Dia dengan sengaja menggesekkan hidungnya membuat Sheila tertawa karenanya.
"Bara, geli," kekeh Sheila.
"Lagi?" Bara makin usil, dia semakin gencar menggelitiki tubuh Sheila.
"Berhenti!" Tawa Sheila menguar dan menular pada Bara.
Senyuman Sheila selalu membuat Bara berdebar. Semua yang ada dalam diri Sheila membuat Bara begitu mencintainya. Bukan hanya sekedar obsesi tapi juga sebagai cinta sejati.
"Apa aku terlalu egois demi mendapatkan wanita secantik dirimu?"
Sheila berhenti tertawa, tatapan dalam Bara sanggup menenggelamkannya tapi rasa ragu terselip di hatinya. Apa Bara tulus mencintainya?
**
Sheila menatap takjub bangunan mewah nan kokoh di depannya. Dia juga melihat nama RODRIGUEZ yang terletak di tengah-tengah pagar rumah keluarga Bara. Sheila tidak menyangka, ini bahkan seperti istana negeri dongeng──bergaya ala Eropa.
"Butuh berapa pelayan untuk membersihkan rumah ini?"
Bara tersenyum melihat kepolosan Sheila. "Apa tidak ada pertanyaan lain?"
Sheila terkekeh geli, dia juga tidak tahu mengapa melontarkan pertanyaan itu. Sheila menatap tangan Bara yang perlahan mengisi sela-sela jarinya. Menyalurkan rasa hangat di telapak tangannya.
"Kau bisa menghitungnya saat kita masuk," pungkas Bara tersenyum.
Mata Sheila berbinar, desain rumah ini begitu khas. Warna emas nyaris mendominasi barang-barang di sini.
"Shei, apa benda-benda di rumah ini lebih menarik dariku?" tanya Bara dengan nada cemburunya.
"Semua barang-barang di sini begitu unik. Aku belum pernah melihatnya," puji Sheila mengedarkan pandangannya.
"Ya, karena rata-rata barang ini langka," sahut Bara sedikit kesal.
Bara dan Sheila sudah berada di ruang makan. Kedua orang tua Bara langsung berdiri melihat kedatangan Bara dan Sheila. Jantung Sheila berdebar kencang tatkala semua pasang mata tersorot padanya. Sheila merasa seperti seorang musuh yang harus dilenyapkan. Menyadari kegugupan istrinya Bara berbisik pelan.
"Ada aku di sini," ucapnya membuat Sheila mendongak, teduhnya tatapan Bara berhasil mencairkan ketegangan dalam dirinya.
Mata Bara memicing menyadari seseorang yang sangat dia hindari.
"Monica," gumamnya melihat Monica duduk di sebelah Elisa.
"Hai, Bara," sapa Monica ramah berjalan menghampiri Bara.
"Aku sudah memiliki istri!" tegas Bara saat Monica hendak memeluknya.
Monica berhenti kikuk sedangkan Sheila menahan senyum melihat ekspresi wanita itu.
Dasar Wanita genit! batin Sheila.
"Ah, iya. Aku lupa, maafkan aku." Monica berusaha tersenyum menutupi rasa malunya. Monica kembali ke tempat duduknya dengan perasaan marah ditolak Bara mentah-mentah.
"Pa, Ma. Perkenalkan ini Sheila, istriku," kata Bara.
Sheila mengulurkan tangan pada Ayah Bara. Robert tersenyum menyambut Sheila.
"Selamat, kamu telah menjadi bagian dari keluarga Rodriguez," kata Robert tulus seraya memeluk Sheila.
Benak Sheila menghangat, dugaanya salah. Walau wajah Robert terlihat garang tapi ternyata mertuanya ini begitu baik dan mau menerimanya.
Sheila beralih pada Elisa──Ibu Bara.
"Saya Sheila, Ma," ucap Sheila dengan uluran tangan yang tidak dibalas oleh Elisa. Wanita paruh baya itu justru menyilangkan tangan dan menatap Sheila remeh.
"Biasa saja. Monica jauh lebih berkelas daripada kamu!” hina Elisa memperhatikan Sheila yang memakai dress selutut simpel berwarna putih.
Sheila menelan ludahnya berat menyadari kehadirannya belum diterima baik oleh Elisa. Sheila bisa memaklumi itu, mengingat ini baru pertama kali pertemuan mereka. Mungkin keluarga Bara juga syok seperti dia karena pernikahan yang mendadak ini.
"Mama bingung, apa istimewanya Wanita ini?" tanya Elisa membuat Sheila menunduk.
Sheila makin merasa tidak pantas sekarang. Jadi, Sheila diundang di sini hanya untuk dibandingkan?
Rahang Bara mengetat. "Sheila jauh lebih baik daripada Monica yang bahkan tidak bisa memasak," sindir Bara telak.
"Itu dulu," sahut Monica.
"Lalu sekarang?!" tanya Bara menantang.
"Bukankah kau sangat khawatir jika kulit mulusmu itu terciprat minyak panas?" Suara Bara meninggi dengan nada sindiran yang begitu jelas.
Monica merengut sebal. Apa yang dikatakan Bara memang benar namun menurutnya itu tidak perlu dipermasalahkan mengingat dia dan Bara berasal dari keluarga kaya. Dia bisa dengan mudah menyuruh koki pribadi untuk menyiapkan makanan tanpa repot-repot memasak sendiri.
"Ma, Bara sudah dewasa. Pasti ada sesuatu dalam diri Sheila yang membuat Bara menyukainya." Robert berusaha menjadi penengah.
Bara mengacungkan jempol. Ayahnya ini memang tahu betul wataknya.
"Papa, benar," puji Bara. Keduanya lalu melakukan tos layaknya seseorang yang telah berhasil bekerja sama.
"Dasar! Ayah dan anak sama saja!" dengus Elisa.
**
"Sepertinya Mama kamu tidak setuju dengan pernikahan kita," cetus Sheila ketika dirinya melihat Elisa mengobrol asik dengan Monica di kursi pinggir kolam renang.
Bara menepuk bahu Sheila lalu mengusapnya. "Semua ucapan Mama yang tidak baik. Jangan dimasukkan hati. Ini hanya masalah waktu," jelas Bara berusaha menghibur Sheila.
Sheila mengangguk pelan. Raut sedihnya perlahan memudar.
"Mama, suka kue apa?" tanya Sheila menghadap Bara.
"Dia suka bolu keju," jawab Bara.
"Oh, ya? Kok sama?" Sheila merasa senang mendengarnya. Ada satu persamaan di antara dirinya dengan Ibu Bara.
"Iya, Mama pecinta keju," ungkap Bara.
"Hm, bagaimana kalau aku membuatkannya?" usul Sheila, ada binar harapan di matanya.
"Kau bisa?"
"Kamu lupa, aku punya usaha kue. Tentu saja aku bisa." Sheila begitu yakin mengatakannya.
"Baiklah, aku siap menjadi asistenmu," tawar Bara tersenyum penuh arti membuat Sheila curiga dengan gelagat Bara.
"Tapi tidak gratis," kata Bara membuat Sheila mengerutkan dahi.
"Mau dibayar berapa?" tanya Sheila.
"Bukan uang," kata Bara seraya menggeleng.
"Ih! Jangan minta yang aneh-aneh!" peringat Sheila menepuk lengan kekar Bara.
"Tutup mata," pinta Bara.
Bara berdecak. "Aku menyuruhmu menutup mata, bukan menutup mulut!" sinis Bara membuat Sheila menurunkan telapak tangannya.
"Ge'er sekali! Memangnya aku mau menciummu?" sindir Bara.
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Tanpa pikir panjang Sheila bergegas menuju lokasi itu. Sheila sampai di sana dengan piyama merahnya yang membara seperti amarahnya saat ini. Dia berhenti di depan pintu di mana dua orang berbadan besar menghalangi langkahnya."Tunggu sebentar, apakah anda bisa menunjukkan kartu anggota untuk masuk kemari?"Anggota? Oh, Sheila tahu tempat ini hanya dipakai oleh orang-orang elit."Suamiku ada di dalam sana. Jadi biarkan aku masuk!" hardik Sheila."Tidak bisa!""Oh jadi begitu? Kamu tidak akan tau seberapa kuat tenaga wanita saat marah!" Sheila menaikkan baju lengannya.Sheila memutar lengannya lalu meninju perut pria itu. Ketika pria yang satunya berusaha memegang tangannya, Sheila dengan cepat menginjak kaki pria itu dan meninju wajahnya.Sheila berlari masuk, dentuman musik yang keras menyambutnya membuat Sheila merasa pusing mendengarnya. Pandangannya mengedar mencari Bara. Sheila terbelalak melihat Bara tengah duduk diapit oleh dua orang wanita. Dari raut wajahnya Bara begitu menik
Setelah melihat Sheila pergi, Bara langsung mendorong Monica."Kau kasar sekali!" protes Monica yang terjatuh di lantai mengusap pinggulnya. Padahal sedikit lagi bibirnya menyentuh bibir Bara. Sedikit lagi."Giliranmu pergi!" tegas Bara dingin.Monica memberengut. Dia memang tidak pernah dihargai oleh Bara. Jelas-jelas pria itu duluan yang bersikap manis padanya. Lalu, mengapa sikapnya berubah drastis? Sifat Bara jauh lebih ekstrim jika dibandingkan dengan perubahan cuaca."Keluar atau aku panggil Satpam untuk menyeretmu pergi!" Kedua mata Monica membelalak."Bukankah tadi kau bersikap baik padaku?" protes Monica."Satu!" Bara mulai memberi aba-aba."Oh, jangan bilang kau hanya memanfaatkanku?""Dua!""Oke! Tapi aku tidak akan menyerah!" tegas Monica.Bara menyandarkan punggungnya di kursi. Dia mulai frustasi, hatinya menjadi khawatir pada Sheila. Kesedihan di sorot mata bening itu tercetak nyata. Bara rindu senyum Sheila. Dia rindu merayu Sheila hingga pipi wanita itu bersemu. Namun
Berulang kali Sheila menghirup napasnya dalam-dalam, meyakinkan jika semuanya baik-baik saja. Dia memegang daun pintu itu perlahan lalu menutupnya pelan. Sheila terkejut saat mata tajam Bara tertuju padanya. "Dasar wanita murahan, kenapa kau ada disini?" sapa Bara dengan nada menghina. Sheila tertohok, kalimat itu kembali mengiris hatinya, namun Bara mengatakan itu di luar kesadarannya. Pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. Sheila menulikan pendengarannya menganggap itu hanyalah angin lalu."Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu!" bentak Bara membuat Sheila berlari menghamburkan diri memeluk Bara."Aku mencintaimu, jangan seperti ini," lirih Sheila mengeratkan pelukannya tapi Bara dengan mudah menghempaskannya. "Aku sangat muak padamu!" rutuk Bara melihat Sheila terjatuh di lantai. Bara mencengkeram rahang Sheila membuat sekujur tubuh Sheila menegang."Polos tapi penipu!" rutuk Bara menyentak dagu Sheila.Tubuh Bara ambruk, tapi Sheila memeluknya. Dia tidak akan membiarkan wajah B
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan dan pengkhianatan. Bara. Sheila bersimpuh menahan kaki Bara. "Barbar, dengarkan aku," rintihnya mendongak dengan mata sembabnya.Bara mengetatkan rahangnya, muak menatap wajah Sheila yang basah penuh air mata palsu. Lihatlah, betapa pintar wanita itu mengiba memohon padanya."Singkirkan tanganmu!" maki Bara lantang, dia lantas menarik kakinya kasar membuat Sheila terdorong ke depan. Pria itu benar-benar dibutakan emosi.Sheila segera bangkit menyusul Bara dengan tegesa menuruni anak tangga."Jangan bersikap egois, kemarahanmu tidak akan menyelesaikan semuanya!" jerit Sheila berusaha meredam amarah suaminya.Bara berbalik sambil memegang guci yang berukuran cukup besar."Berhenti!" perintah Bara pada Sheila yang berdiri di anak tangga terakhir."Jangan menyakitinya," ucap Bryan parau, dia menuruni tangga sambil memegangi perutnya yang terasa perih."Kau tidak akan tau hal gila apa yang aku lakukan jika kau terus mengejarku! Me
Bara tersenyum sambil mengangguk membuat kedua mata Monica berbinar. "Aku akan menunjukkannya." Monica memegang tali gaunnya yang tipis berniat menurunkannya."Kau salah paham." Bara menahan tangan Monica."Aku sama sekali tidak tertarik," ucap Bara datar. Monica mengernyit kesal mendengar respon Bara. "Kau bisa memikat banyak pria di luar sana, kecuali aku." Bara berkata mutlak. Pria itu kembali memasang wajah dingin dan tatapan tajamnya. "Bara! Kau melukai harga diriku!" geramnya dengan wajah memerah diiringi napas memburu.Bara berdecak, "Justru kau yang merendahkan harga dirimu! Keluar!" usir Bara sambil menyeret paksa tangan Monica lalu membanting pintunya kasar. Monica menghentakkan kakinya kesal. "Aku berjanji akan membuatmu menyesal!" jeritnya tepat di depan pintu kamar Bara.**Terhitung sudah lima hari Bryan sering datang mengunjungi Sheila. Tidak ada hal yang mencurigakan. Bryan tetap menjaga batasannya. Namun yang membuat Sheila resah adalah Bara yang tidak bisa dihubu
Sheila berjalan mendekat guna mengamatinya lebih jelas. Matanya melebar, benda itu tampak tidak asing baginya.Ini mirip seperti milikku dulu, batinnya.Jepit berwarna pink berbentuk pita dengan bunga ungu di atasnya. Sheila bahkan memiliki pasangannya di rumah.Bagaimana mungkin Bara juga memilikinya?Robert menghela napas dan menatap Sheila dalam-dalam. "Sebenarnya Bara berusaha mencari gadis itu, tapi kami kesulitan menemukannya karena Bara tidak tau namanya. Yang dia katakan anak itu manis dengan rambut dikucir dua. Sebelumnya dia tidak pernah merengek namun, saat itu dia malah menangis keras ingin bertemu," jelas Robert semakin menambah rasa penasaran Sheila."Lalu bagaimana, Pa?" tanya Sheila sangat menanti kelanjutannya.Robert tertawa mengingat kejadian itu. "Aku hanya bisa berkata Bara, setiap kau memegangnya. Bayangkan jika gadis kecil itu ada bersamamu. Lalu aku memegang kedua pundaknya meyakinkan dia, suatu saat nanti kalian pasti bertemu.""Bagaimana tanggapannya?" "Dia
"Kenapa kamu seperti ini Yan?'Alih-alih terpengaruh oleh kata-kata Bryan. Sheila justru dibuat kaget dengan sifat Bryan yang berubah drastis, dia berjalan maju mengikis jarak di antara mereka."Kenapa kamu selalu berpikir buruk tentang Bara? Bryan yang aku kenal bukan orang yang seperti ini," lanjutnya. Tatapan Bryan berubah pilu "Haruskah aku menjelaskannya, She?" tanyanya dengan suara rendah. Rasa kecewa dan kesedihan itu sangat kentara dari matanya.Sheila memegang pundak Bryan, memandang sendu pada pria yang dulu selalu mengisi hatinya, mengibur di kala sedih dan memberi warna pada setiap harinya. Yang Sheila tahu Bryan bukan orang yang egois, dia selalu mempedulikan orang lain sebelum dirinya. "Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Yan. Ini bukan akhir kisah cintamu, kamu harus bangkit dan temukan cinta sejati itu," ucap Sheila penuh perhatian.Pandangan Bryan terarah pada pigura foto Bara. Rahangnya mengetat dan matanya menggelap penuh kebencian."Dia merusak kebahagiaan k
Bara memandang Sheila yang duduk di pahanya. Detak jantungnya berdebar tidak karuan. Hawa panas kian menyelubungi dirinya. Mengapa Sheila sangat manis dan seksi secara bersamaan? Bahkan untuk berpaling darinya barang sedetik saja, Bara tidak mau.Sheila menatapnya ragu, lamat-lamat bibir ranumnya yang sedikit bengkak bergerak. "Boleh aku menyentuhnya?"Seharusnya dia langsung menyentuhnya, seperti aku yang langsung menjamah setiap jengkal tubuhnya tanpa menunggu persetujuannya. Tapi, aku tidak bisa membandingkan diriku dengan Sheila. Dia adalah wanita yang lembut dan hati-hati, ucap Bara dalam hati.Bara bangun, sorot matanya menatap sayang pada istri polosnya. Dia mengambil tangan Sheila dan menaruhnya di sana."Sentuh aku di mana pun yang kau mau," bisik Bara serak. Dia menghirup kuat aroma di leher Sheila sambil memejamkan mata menikmati wangi vanila yang menguar di indera penciumannya. Bara melarikan bibirnya di sepanjang kulit leher Sheila dan berakhir mengecup dadanya singkat.
"Barbar," cicit Sheila memegang tangan Bara yang memegang salah satu bukit kembarnya. Pipinya bersemu merasakan napas Bara di lehernya kian memburu."Hm." Balasan bersuara berat itu mengalun rendah di telinganya. Sebelah tangan Bara bergerak naik ke pundaknya. Sheila menoleh lalu menahan tangan Bara yang ingin menurunkan tali lingerinya.Kening Bara mengerut keberatan. "Kau tidak suka aku menyentuhmu?" tanyanya agak tersinggung. Wajahnya yang semula berseri-seri berubah muram.Sheila terkekeh sambilberbalik, dia lantas mengalungkan tangannya di leher Bara. Ia memperhatikan detail ekspresi kesal suaminya."Sudah tidak tahan?" rayu Sheila mengangkat sebelah alisnya. Tangannya turun kemudian melepas dua kancing kemeja Bara. Dia lantas tersenyum jahil membuat Bara menggigit pipi bagian dalamnya, gemas.Bara langsung mendekap erat pinggang Sheila, merapatkan tubuh mereka. Karena itu, Sheila merasa sesuatu yang keras membentur perutnya. Seketika jantungnya berdegup kencang.Bara mengangk