Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya.
"Argh!" teriaknya.
"Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.
Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.
Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan.
"Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya.
Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga.
Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan.
"Shei," panggil Bara lembut.
Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila tidak ada. Bara menapakkan kakinya masuk, samar-samar terdengar suara gemericik air.
"Buka pintunya." Bara mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci.
Tidak ada sahutan.
"Sheila!" bentak Bara terus menggedor pintu kuat.
"Buka, Shei!" gertak Bara panik kepalanya dipenuhi pikiran buruk jika Sheila pingsan.
Bara mengambil ancang-ancang lalu menendang pintu itu hingga engselnya terlepas. Sheila berdiri di bawah guyuran air shower. Kaos putih yang dipakai Sheila tembus pandang.
Sial! Bara menelan ludahnya susah payah, ada yang menonjol di balik kaos itu ditambah Sheila tidak memakai bra. Miliknya yang di bawah menegang melihat tubuh Sheila yang masih terbalut kain.
Dengan langkah tegas Bara mematikan shower yang mengguyur Sheila, dilihatnya wajah pucat Sheila serta mata sayu dan sembab perempuan itu. Miris.
Bara mengelus pipi Sheila, sorot matanya melembut dan teduh.
"Kau sedang sakit, apa kau lupa? Jangan menghukum dirimu seperti ini," ucapnya.
"Kumohon ... pergilah. Tinggalkan aku sendiri," pinta Sheila parau.
"Tidak!"
Bara melepas paksa baju basah Sheila membuat sepasang gundukan kenyal itu menggantung indah saat ini. Sheila melotot kaget.
Bara tak berkedip mengagumi lekuk tubuh Sheila yang menjadi candu baginya, dia benar-benar dikuasai nafsu. Belum sempat Sheila menutupi dadanya dengan tangan. Bara telah merendahkan tubuhnya.
"Akh!" jerit Sheila ketika Bara melahap bagian atas dari dadanya, lidah Bara menjilatnya lalu memutarinya membuat Sheila menjambak rambut Bara. Sengatan kenikmatan menggerogoti tubuhnya membangkitkan gelora panas dalam dirinya. Bara terus menghisapnya rakus. Sheila lemah dalam permainan lidah dan tangan Bara. Dia jatuh dalam kenikmatan surga dunia.
"Bara ...." Satu desahan keluar dari bibir Sheila. Bara semakin bersemangat, dia mengangkat tubuh Sheila membuat Sheila mengaitkan kakinya di pinggang Bara. Sisi lain dalam tubuh Sheila menginginkan lebih.
Bibir seksi Bara terus mencium dadanya, lidah Bara dengan lihai bergerak naik menyarangkan kecupan di leher Sheila. Mencium sudut bibir Sheila kemudian menuju ke rahang dan menggigit kecil telinga Sheila.
Sheila berusaha berfikir jernih, kenikmatan ini tidak boleh menelan kesadarannya. Dia mendorong kepala Bara agar tidak menciumi dirinya.
"Bara! Cukup!" Teriakan Sheila membuat Bara mengakhiri sentuhan dan kecupannya. Bara mendongak masih dengan mata yang berkabut gairah. Dia melayangkan tatapan bingung ke arah Sheila.
"Apa tujuanmu menikahiku? Apa karena tubuhku? Demi memuaskan nafsumu?!" Rasa marah dan sesak bersatu di hati Sheila. Air matanya luruh tetapi, tersamarkan oleh air yang masih membasahi wajahnya.
"Memiliki nafsu itu manusiawi, Shei. Tidak usah naif, jika kau juga merasakan kenikmatan luar biasa," kata Bara mengusap bibir Sheila yang bergetar menahan isakannya.
Sheila merunduk lemah membuat Bara menyesali ucapannya.
"Bukan itu maksudku. Maaf, aku kehilangan kontrol diri."
Bara memeluk Sheila lalu melilitkan handuk ke tubuh Sheila. Tangannya naik menghapus jejak air mata istrinya. Bara mencium kelopak mata Sheila bergantian.
"Sekali lagi maaf, aku banyak membuatmu tertekan."
"Harusnya aku mengerti, kau juga butuh waktu untuk menerima ini," jelas Bara pengertian. Hati Sheila tenang. Sikap Bara yang seperti ini benar-benar membuatnya merasa dihargai. Sheila tidak ingin dianggap sebagai perempuan pemuas nafsu.
**
Sheila mengusap rambut hitam legam Bara. Lengan kekar Bara masih setia memeluknya, seolah Sheila akan hilang jika Bara melepasnya. Sheila mengulum senyum, sambil menyentuh otot-otot di tangan Bara. Diam-diam dia mengagumi Bara yang pandai merawat tubuhnya.
Pria ini begitu gagah dan menawan. Paras Bara terlihat damai ketika tidur, mata yang biasa menatapnya dengan sorot tajam itu tertutup rapat.
"Shei," panggil Bara serak merasakan sentuhan di rambutnya.
"Kau terbangun?" Perlahan mata Bara terbuka sempurna.
"Butuh sesuatu? Kau ingin apa?" tanya Bara lembut membuat Sheila hanyut dalam sikap hangat Bara.
"Aku ingin melihat bintang," kata Sheila menatap langit-langit kamar.
Sheila beranjak dari kasur menuju balkon membuat
Bara segera mengikuti Sheila dari belakang. Kedua tangannya melingkar memeluk pinggang Sheila. Dia membenamkan wajahnya di ceruk leher Sheila. Jujur, Bara sangat mengantuk, matanya terasa berat.
"Kamu harus menatap langit, cuacanya cerah dan bintangnya terlihat jelas," ucap Sheila dengan binar cerah di matanya.
Bara melihat ke angkasa sebentar, ia lebih memilih mengamati wajah Sheila yang tengah tersenyum dari samping. Bagi Bara, Sheila adalah pemandangan yang tiada tandingannya.
"Bara lihat! Ada bintang jatuh," tunjuk Sheila ke langit. Kilatan cahaya meluncur panjang dalam kegelapan.
"Buat permintaan, Bara!" pinta Sheila antusias.
"Itu hanya mitos," sahut Bara berat dan rendah.
"Ayolah!" Sheila menggoyangkan lengan Bara membuat Bara mendengus tetapi, menurutinya.
"Aku ingin menjadi lelaki yang paling dicintai Sheila selain ayahnya," ucap Bara yakin sembari memejam.
Sheila menoleh. "Aku harap begitu."
Bara terkejut, Sheila mengiyakan? Bara dengan cepat membalikan tubuh Sheila.
"Kau mulai menyukaiku?"
Sheila panik dan gugup, dia merutuk ucapannya. Padahal Sheila hanya akan membatin tapi ternyata pikiran dan mulutnya tidak sejalan.
"Shei, boleh?" telunjuk Bara menyentuh bibir merah muda Sheila. Kantuk yang menderanya mendadak lenyap.
"Tidak. Nanti bibirku bengkak," tolak Sheila.
Bara tersenyum tipis, "Janji pelan-pelan," kata Bara menatap lembut Sheila.
Sheila sudah menutup mata menunggu Bara menempelkan bibirnya. Namun, Bara justru mendekapnya erat. Bara juga menumpukan dagu di atas kepala Sheila.
"Tetap di pelukanku, Shei," ucap Bara tulus mencium puncak kepala Sheila.
**
Sheila menggeliat meregangkan tangannya. Dia menoleh pada jam dinding. Tatapannya beralih pada Bara, pinggangnya berat karena semalaman Bara terus merengkuhnya erat. Tidak memberi jarak di antara tubuh mereka.
"Bara, bangun," bisik Sheila.
Bara tidak menyahut, sebenarnya Bara sudah bangun dari tadi. Hanya saja, dia ingin Sheila membangunkannya.
Sheila menoel hidung Bara berkali-kali. "Kamu harus bangun dan bersiap."
"Lima menit lagi, Shei," tawar Bara menaikan selimutnya beralih posisi memunggungi Sheila.
Sheila menghembuskan napas kasar. "Nanti kamu telat ke kantor," protes Sheila menarik selimut Bara.
"Cium dulu." Bara memajukan bibirnya.
Sheila menggeleng lucu membuat Bara merengut dan alisnya hampir menyatu.
"Cium dulu, baru aku bangun," kata Bara memejam lagi.
Sheila mengalah, dia mendekat lalu mendaratkan kecupan singkat. Namun, yang Sheila dapat justru tatapan sinis dari Bara.
"Apa?" tanya Sheila menahan tawa.
"Bukan di situ! Di sini!" Bara menunjuk bibirnya. "Jika tidak mau, aku akan mengajakmu bermain kuda-kuda'an," kekeh Bara.
Sheila bersemu, dia refleks mengangkat guling──memukul kepala Bara.
“Argh! Ampun Shei!”
Sheila menghentikan aksinya dia menatap Bara ragu. "Bara, aku ingin ke rumah Kayla. Apa aku boleh ke sana?" tanya Sheila. Raut wajah Bara berubah dingin membuat Sheila berdebar.
"Setelah kejadian dua hari lalu kau pikir aku akan me──"
Bara terkejut ketika Sheila menangkup rahang tegasnya seraya mengecup bibirnya kilat.
"Sudah berani sekarang, hm?" tanya Bara menaikan sebelah alisnya menggoda Sheila. Dia tidak jadi marah karena perlakuan Sheila. Meskipun hanya singka tapi Bara menyukainya. Itu berarti Sheila mau membuka hati untuknya.
"Aku bosan," adu Sheila merasa jenuh terus menerus berada di rumah.
"Kau baru saja sembuh."
"Kalau begitu, aku akan ikut ke kantormu," pinta Sheila.
"Mau bertemu Bryan? Iya?" tuding Bara galak.
Sheila menegang, raut wajahnya panik seketika. "Tidak! Aku ingin merasakan suasana yang berbeda," jelas Sheila.
"Bohong," Bara menoel hidung Sheila.
"Aku tidak mengizinkanmu keluar, Shei dengan alasan apapun itu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi!" tegas Bara.
"Barbar posesif!" teriak Sheila.
"Iya! Kamu benar 100 persen!" balas Bara menyingkap selimut lalu turun dari ranjang
"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya."Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga."Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa."Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara."Kamu bantah Mama?"Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak. "Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah."Bagus, tahu diri juga dia!"**Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya. "Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.Sheila terkesiap, selang yang dia pegang te
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
Tanpa pikir panjang Sheila bergegas menuju lokasi itu. Sheila sampai di sana dengan piyama merahnya yang membara seperti amarahnya saat ini. Dia berhenti di depan pintu di mana dua orang berbadan besar menghalangi langkahnya."Tunggu sebentar, apakah anda bisa menunjukkan kartu anggota untuk masuk kemari?"Anggota? Oh, Sheila tahu tempat ini hanya dipakai oleh orang-orang elit."Suamiku ada di dalam sana. Jadi biarkan aku masuk!" hardik Sheila."Tidak bisa!""Oh jadi begitu? Kamu tidak akan tau seberapa kuat tenaga wanita saat marah!" Sheila menaikkan baju lengannya.Sheila memutar lengannya lalu meninju perut pria itu. Ketika pria yang satunya berusaha memegang tangannya, Sheila dengan cepat menginjak kaki pria itu dan meninju wajahnya.Sheila berlari masuk, dentuman musik yang keras menyambutnya membuat Sheila merasa pusing mendengarnya. Pandangannya mengedar mencari Bara. Sheila terbelalak melihat Bara tengah duduk diapit oleh dua orang wanita. Dari raut wajahnya Bara begitu menik
Setelah melihat Sheila pergi, Bara langsung mendorong Monica."Kau kasar sekali!" protes Monica yang terjatuh di lantai mengusap pinggulnya. Padahal sedikit lagi bibirnya menyentuh bibir Bara. Sedikit lagi."Giliranmu pergi!" tegas Bara dingin.Monica memberengut. Dia memang tidak pernah dihargai oleh Bara. Jelas-jelas pria itu duluan yang bersikap manis padanya. Lalu, mengapa sikapnya berubah drastis? Sifat Bara jauh lebih ekstrim jika dibandingkan dengan perubahan cuaca."Keluar atau aku panggil Satpam untuk menyeretmu pergi!" Kedua mata Monica membelalak."Bukankah tadi kau bersikap baik padaku?" protes Monica."Satu!" Bara mulai memberi aba-aba."Oh, jangan bilang kau hanya memanfaatkanku?""Dua!""Oke! Tapi aku tidak akan menyerah!" tegas Monica.Bara menyandarkan punggungnya di kursi. Dia mulai frustasi, hatinya menjadi khawatir pada Sheila. Kesedihan di sorot mata bening itu tercetak nyata. Bara rindu senyum Sheila. Dia rindu merayu Sheila hingga pipi wanita itu bersemu. Namun
Berulang kali Sheila menghirup napasnya dalam-dalam, meyakinkan jika semuanya baik-baik saja. Dia memegang daun pintu itu perlahan lalu menutupnya pelan. Sheila terkejut saat mata tajam Bara tertuju padanya. "Dasar wanita murahan, kenapa kau ada disini?" sapa Bara dengan nada menghina. Sheila tertohok, kalimat itu kembali mengiris hatinya, namun Bara mengatakan itu di luar kesadarannya. Pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. Sheila menulikan pendengarannya menganggap itu hanyalah angin lalu."Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu!" bentak Bara membuat Sheila berlari menghamburkan diri memeluk Bara."Aku mencintaimu, jangan seperti ini," lirih Sheila mengeratkan pelukannya tapi Bara dengan mudah menghempaskannya. "Aku sangat muak padamu!" rutuk Bara melihat Sheila terjatuh di lantai. Bara mencengkeram rahang Sheila membuat sekujur tubuh Sheila menegang."Polos tapi penipu!" rutuk Bara menyentak dagu Sheila.Tubuh Bara ambruk, tapi Sheila memeluknya. Dia tidak akan membiarkan wajah B
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan dan pengkhianatan. Bara. Sheila bersimpuh menahan kaki Bara. "Barbar, dengarkan aku," rintihnya mendongak dengan mata sembabnya.Bara mengetatkan rahangnya, muak menatap wajah Sheila yang basah penuh air mata palsu. Lihatlah, betapa pintar wanita itu mengiba memohon padanya."Singkirkan tanganmu!" maki Bara lantang, dia lantas menarik kakinya kasar membuat Sheila terdorong ke depan. Pria itu benar-benar dibutakan emosi.Sheila segera bangkit menyusul Bara dengan tegesa menuruni anak tangga."Jangan bersikap egois, kemarahanmu tidak akan menyelesaikan semuanya!" jerit Sheila berusaha meredam amarah suaminya.Bara berbalik sambil memegang guci yang berukuran cukup besar."Berhenti!" perintah Bara pada Sheila yang berdiri di anak tangga terakhir."Jangan menyakitinya," ucap Bryan parau, dia menuruni tangga sambil memegangi perutnya yang terasa perih."Kau tidak akan tau hal gila apa yang aku lakukan jika kau terus mengejarku! Me
Bara tersenyum sambil mengangguk membuat kedua mata Monica berbinar. "Aku akan menunjukkannya." Monica memegang tali gaunnya yang tipis berniat menurunkannya."Kau salah paham." Bara menahan tangan Monica."Aku sama sekali tidak tertarik," ucap Bara datar. Monica mengernyit kesal mendengar respon Bara. "Kau bisa memikat banyak pria di luar sana, kecuali aku." Bara berkata mutlak. Pria itu kembali memasang wajah dingin dan tatapan tajamnya. "Bara! Kau melukai harga diriku!" geramnya dengan wajah memerah diiringi napas memburu.Bara berdecak, "Justru kau yang merendahkan harga dirimu! Keluar!" usir Bara sambil menyeret paksa tangan Monica lalu membanting pintunya kasar. Monica menghentakkan kakinya kesal. "Aku berjanji akan membuatmu menyesal!" jeritnya tepat di depan pintu kamar Bara.**Terhitung sudah lima hari Bryan sering datang mengunjungi Sheila. Tidak ada hal yang mencurigakan. Bryan tetap menjaga batasannya. Namun yang membuat Sheila resah adalah Bara yang tidak bisa dihubu
Sheila berjalan mendekat guna mengamatinya lebih jelas. Matanya melebar, benda itu tampak tidak asing baginya.Ini mirip seperti milikku dulu, batinnya.Jepit berwarna pink berbentuk pita dengan bunga ungu di atasnya. Sheila bahkan memiliki pasangannya di rumah.Bagaimana mungkin Bara juga memilikinya?Robert menghela napas dan menatap Sheila dalam-dalam. "Sebenarnya Bara berusaha mencari gadis itu, tapi kami kesulitan menemukannya karena Bara tidak tau namanya. Yang dia katakan anak itu manis dengan rambut dikucir dua. Sebelumnya dia tidak pernah merengek namun, saat itu dia malah menangis keras ingin bertemu," jelas Robert semakin menambah rasa penasaran Sheila."Lalu bagaimana, Pa?" tanya Sheila sangat menanti kelanjutannya.Robert tertawa mengingat kejadian itu. "Aku hanya bisa berkata Bara, setiap kau memegangnya. Bayangkan jika gadis kecil itu ada bersamamu. Lalu aku memegang kedua pundaknya meyakinkan dia, suatu saat nanti kalian pasti bertemu.""Bagaimana tanggapannya?" "Dia
"Kenapa kamu seperti ini Yan?'Alih-alih terpengaruh oleh kata-kata Bryan. Sheila justru dibuat kaget dengan sifat Bryan yang berubah drastis, dia berjalan maju mengikis jarak di antara mereka."Kenapa kamu selalu berpikir buruk tentang Bara? Bryan yang aku kenal bukan orang yang seperti ini," lanjutnya. Tatapan Bryan berubah pilu "Haruskah aku menjelaskannya, She?" tanyanya dengan suara rendah. Rasa kecewa dan kesedihan itu sangat kentara dari matanya.Sheila memegang pundak Bryan, memandang sendu pada pria yang dulu selalu mengisi hatinya, mengibur di kala sedih dan memberi warna pada setiap harinya. Yang Sheila tahu Bryan bukan orang yang egois, dia selalu mempedulikan orang lain sebelum dirinya. "Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Yan. Ini bukan akhir kisah cintamu, kamu harus bangkit dan temukan cinta sejati itu," ucap Sheila penuh perhatian.Pandangan Bryan terarah pada pigura foto Bara. Rahangnya mengetat dan matanya menggelap penuh kebencian."Dia merusak kebahagiaan k
Bara memandang Sheila yang duduk di pahanya. Detak jantungnya berdebar tidak karuan. Hawa panas kian menyelubungi dirinya. Mengapa Sheila sangat manis dan seksi secara bersamaan? Bahkan untuk berpaling darinya barang sedetik saja, Bara tidak mau.Sheila menatapnya ragu, lamat-lamat bibir ranumnya yang sedikit bengkak bergerak. "Boleh aku menyentuhnya?"Seharusnya dia langsung menyentuhnya, seperti aku yang langsung menjamah setiap jengkal tubuhnya tanpa menunggu persetujuannya. Tapi, aku tidak bisa membandingkan diriku dengan Sheila. Dia adalah wanita yang lembut dan hati-hati, ucap Bara dalam hati.Bara bangun, sorot matanya menatap sayang pada istri polosnya. Dia mengambil tangan Sheila dan menaruhnya di sana."Sentuh aku di mana pun yang kau mau," bisik Bara serak. Dia menghirup kuat aroma di leher Sheila sambil memejamkan mata menikmati wangi vanila yang menguar di indera penciumannya. Bara melarikan bibirnya di sepanjang kulit leher Sheila dan berakhir mengecup dadanya singkat.
"Barbar," cicit Sheila memegang tangan Bara yang memegang salah satu bukit kembarnya. Pipinya bersemu merasakan napas Bara di lehernya kian memburu."Hm." Balasan bersuara berat itu mengalun rendah di telinganya. Sebelah tangan Bara bergerak naik ke pundaknya. Sheila menoleh lalu menahan tangan Bara yang ingin menurunkan tali lingerinya.Kening Bara mengerut keberatan. "Kau tidak suka aku menyentuhmu?" tanyanya agak tersinggung. Wajahnya yang semula berseri-seri berubah muram.Sheila terkekeh sambilberbalik, dia lantas mengalungkan tangannya di leher Bara. Ia memperhatikan detail ekspresi kesal suaminya."Sudah tidak tahan?" rayu Sheila mengangkat sebelah alisnya. Tangannya turun kemudian melepas dua kancing kemeja Bara. Dia lantas tersenyum jahil membuat Bara menggigit pipi bagian dalamnya, gemas.Bara langsung mendekap erat pinggang Sheila, merapatkan tubuh mereka. Karena itu, Sheila merasa sesuatu yang keras membentur perutnya. Seketika jantungnya berdegup kencang.Bara mengangk