Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya.
"Argh!" teriaknya.
"Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.
Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.
Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan.
"Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya.
Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga.
Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan.
"Shei," panggil Bara lembut.
Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila tidak ada. Bara menapakkan kakinya masuk, samar-samar terdengar suara gemericik air.
"Buka pintunya." Bara mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci.
Tidak ada sahutan.
"Sheila!" bentak Bara terus menggedor pintu kuat.
"Buka, Shei!" gertak Bara panik kepalanya dipenuhi pikiran buruk jika Sheila pingsan.
Bara mengambil ancang-ancang lalu menendang pintu itu hingga engselnya terlepas. Sheila berdiri di bawah guyuran air shower. Kaos putih yang dipakai Sheila tembus pandang.
Sial! Bara menelan ludahnya susah payah, ada yang menonjol di balik kaos itu ditambah Sheila tidak memakai bra. Miliknya yang di bawah menegang melihat tubuh Sheila yang masih terbalut kain.
Dengan langkah tegas Bara mematikan shower yang mengguyur Sheila, dilihatnya wajah pucat Sheila serta mata sayu dan sembab perempuan itu. Miris.
Bara mengelus pipi Sheila, sorot matanya melembut dan teduh.
"Kau sedang sakit, apa kau lupa? Jangan menghukum dirimu seperti ini," ucapnya.
"Kumohon ... pergilah. Tinggalkan aku sendiri," pinta Sheila parau.
"Tidak!"
Bara melepas paksa baju basah Sheila membuat sepasang gundukan kenyal itu menggantung indah saat ini. Sheila melotot kaget.
Bara tak berkedip mengagumi lekuk tubuh Sheila yang menjadi candu baginya, dia benar-benar dikuasai nafsu. Belum sempat Sheila menutupi dadanya dengan tangan. Bara telah merendahkan tubuhnya.
"Akh!" jerit Sheila ketika Bara melahap bagian atas dari dadanya, lidah Bara menjilatnya lalu memutarinya membuat Sheila menjambak rambut Bara. Sengatan kenikmatan menggerogoti tubuhnya membangkitkan gelora panas dalam dirinya. Bara terus menghisapnya rakus. Sheila lemah dalam permainan lidah dan tangan Bara. Dia jatuh dalam kenikmatan surga dunia.
"Bara ...." Satu desahan keluar dari bibir Sheila. Bara semakin bersemangat, dia mengangkat tubuh Sheila membuat Sheila mengaitkan kakinya di pinggang Bara. Sisi lain dalam tubuh Sheila menginginkan lebih.
Bibir seksi Bara terus mencium dadanya, lidah Bara dengan lihai bergerak naik menyarangkan kecupan di leher Sheila. Mencium sudut bibir Sheila kemudian menuju ke rahang dan menggigit kecil telinga Sheila.
Sheila berusaha berfikir jernih, kenikmatan ini tidak boleh menelan kesadarannya. Dia mendorong kepala Bara agar tidak menciumi dirinya.
"Bara! Cukup!" Teriakan Sheila membuat Bara mengakhiri sentuhan dan kecupannya. Bara mendongak masih dengan mata yang berkabut gairah. Dia melayangkan tatapan bingung ke arah Sheila.
"Apa tujuanmu menikahiku? Apa karena tubuhku? Demi memuaskan nafsumu?!" Rasa marah dan sesak bersatu di hati Sheila. Air matanya luruh tetapi, tersamarkan oleh air yang masih membasahi wajahnya.
"Memiliki nafsu itu manusiawi, Shei. Tidak usah naif, jika kau juga merasakan kenikmatan luar biasa," kata Bara mengusap bibir Sheila yang bergetar menahan isakannya.
Sheila merunduk lemah membuat Bara menyesali ucapannya.
"Bukan itu maksudku. Maaf, aku kehilangan kontrol diri."
Bara memeluk Sheila lalu melilitkan handuk ke tubuh Sheila. Tangannya naik menghapus jejak air mata istrinya. Bara mencium kelopak mata Sheila bergantian.
"Sekali lagi maaf, aku banyak membuatmu tertekan."
"Harusnya aku mengerti, kau juga butuh waktu untuk menerima ini," jelas Bara pengertian. Hati Sheila tenang. Sikap Bara yang seperti ini benar-benar membuatnya merasa dihargai. Sheila tidak ingin dianggap sebagai perempuan pemuas nafsu.
**
Sheila mengusap rambut hitam legam Bara. Lengan kekar Bara masih setia memeluknya, seolah Sheila akan hilang jika Bara melepasnya. Sheila mengulum senyum, sambil menyentuh otot-otot di tangan Bara. Diam-diam dia mengagumi Bara yang pandai merawat tubuhnya.
Pria ini begitu gagah dan menawan. Paras Bara terlihat damai ketika tidur, mata yang biasa menatapnya dengan sorot tajam itu tertutup rapat.
"Shei," panggil Bara serak merasakan sentuhan di rambutnya.
"Kau terbangun?" Perlahan mata Bara terbuka sempurna.
"Butuh sesuatu? Kau ingin apa?" tanya Bara lembut membuat Sheila hanyut dalam sikap hangat Bara.
"Aku ingin melihat bintang," kata Sheila menatap langit-langit kamar.
Sheila beranjak dari kasur menuju balkon membuat
Bara segera mengikuti Sheila dari belakang. Kedua tangannya melingkar memeluk pinggang Sheila. Dia membenamkan wajahnya di ceruk leher Sheila. Jujur, Bara sangat mengantuk, matanya terasa berat.
"Kamu harus menatap langit, cuacanya cerah dan bintangnya terlihat jelas," ucap Sheila dengan binar cerah di matanya.
Bara melihat ke angkasa sebentar, ia lebih memilih mengamati wajah Sheila yang tengah tersenyum dari samping. Bagi Bara, Sheila adalah pemandangan yang tiada tandingannya.
"Bara lihat! Ada bintang jatuh," tunjuk Sheila ke langit. Kilatan cahaya meluncur panjang dalam kegelapan.
"Buat permintaan, Bara!" pinta Sheila antusias.
"Itu hanya mitos," sahut Bara berat dan rendah.
"Ayolah!" Sheila menggoyangkan lengan Bara membuat Bara mendengus tetapi, menurutinya.
"Aku ingin menjadi lelaki yang paling dicintai Sheila selain ayahnya," ucap Bara yakin sembari memejam.
Sheila menoleh. "Aku harap begitu."
Bara terkejut, Sheila mengiyakan? Bara dengan cepat membalikan tubuh Sheila.
"Kau mulai menyukaiku?"
Sheila panik dan gugup, dia merutuk ucapannya. Padahal Sheila hanya akan membatin tapi ternyata pikiran dan mulutnya tidak sejalan.
"Shei, boleh?" telunjuk Bara menyentuh bibir merah muda Sheila. Kantuk yang menderanya mendadak lenyap.
"Tidak. Nanti bibirku bengkak," tolak Sheila.
Bara tersenyum tipis, "Janji pelan-pelan," kata Bara menatap lembut Sheila.
Sheila sudah menutup mata menunggu Bara menempelkan bibirnya. Namun, Bara justru mendekapnya erat. Bara juga menumpukan dagu di atas kepala Sheila.
"Tetap di pelukanku, Shei," ucap Bara tulus mencium puncak kepala Sheila.
**
Sheila menggeliat meregangkan tangannya. Dia menoleh pada jam dinding. Tatapannya beralih pada Bara, pinggangnya berat karena semalaman Bara terus merengkuhnya erat. Tidak memberi jarak di antara tubuh mereka.
"Bara, bangun," bisik Sheila.
Bara tidak menyahut, sebenarnya Bara sudah bangun dari tadi. Hanya saja, dia ingin Sheila membangunkannya.
Sheila menoel hidung Bara berkali-kali. "Kamu harus bangun dan bersiap."
"Lima menit lagi, Shei," tawar Bara menaikan selimutnya beralih posisi memunggungi Sheila.
Sheila menghembuskan napas kasar. "Nanti kamu telat ke kantor," protes Sheila menarik selimut Bara.
"Cium dulu." Bara memajukan bibirnya.
Sheila menggeleng lucu membuat Bara merengut dan alisnya hampir menyatu.
"Cium dulu, baru aku bangun," kata Bara memejam lagi.
Sheila mengalah, dia mendekat lalu mendaratkan kecupan singkat. Namun, yang Sheila dapat justru tatapan sinis dari Bara.
"Apa?" tanya Sheila menahan tawa.
"Bukan di situ! Di sini!" Bara menunjuk bibirnya. "Jika tidak mau, aku akan mengajakmu bermain kuda-kuda'an," kekeh Bara.
Sheila bersemu, dia refleks mengangkat guling──memukul kepala Bara.
“Argh! Ampun Shei!”
Sheila menghentikan aksinya dia menatap Bara ragu. "Bara, aku ingin ke rumah Kayla. Apa aku boleh ke sana?" tanya Sheila. Raut wajah Bara berubah dingin membuat Sheila berdebar.
"Setelah kejadian dua hari lalu kau pikir aku akan me──"
Bara terkejut ketika Sheila menangkup rahang tegasnya seraya mengecup bibirnya kilat.
"Sudah berani sekarang, hm?" tanya Bara menaikan sebelah alisnya menggoda Sheila. Dia tidak jadi marah karena perlakuan Sheila. Meskipun hanya singka tapi Bara menyukainya. Itu berarti Sheila mau membuka hati untuknya.
"Aku bosan," adu Sheila merasa jenuh terus menerus berada di rumah.
"Kau baru saja sembuh."
"Kalau begitu, aku akan ikut ke kantormu," pinta Sheila.
"Mau bertemu Bryan? Iya?" tuding Bara galak.
Sheila menegang, raut wajahnya panik seketika. "Tidak! Aku ingin merasakan suasana yang berbeda," jelas Sheila.
"Bohong," Bara menoel hidung Sheila.
"Aku tidak mengizinkanmu keluar, Shei dengan alasan apapun itu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi!" tegas Bara.
"Barbar posesif!" teriak Sheila.
"Iya! Kamu benar 100 persen!" balas Bara menyingkap selimut lalu turun dari ranjang
"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya."Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga."Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa."Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara."Kamu bantah Mama?"Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak. "Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah."Bagus, tahu diri juga dia!"**Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya. "Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.Sheila terkesiap, selang yang dia pegang te
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Tolong ...." rintih Sheila lemah, satu tangannya menekan luka di perutnya dengan perasaan putus asa. Darah terus mengalir dari sana membuat wajah Sheila begitu pucat. Dia berusaha menyeret tubuhnya untuk mencari pintu keluar."Saat kau menemukan jalan keluar, semuanya sudah terlambat Sheila. Kau akan mati kehabisan darah!" seru sosok itu tanpa belas kasihan."Mas Bara tolong aku ... sakit Mas, ini sakit ..." ucap Sheila perih.Bara terbangun mendengar rintihan Sheila. Dia melihat wajah Sheila sudah dipenuhi dengan peluh keringat. "Astaga." Istrinya pasti sedang bermimpi buruk. "Shei, bangun... sayang buka matamu, aku di sini," ucap Bara tenang tepat di samping telinga Sheila.Sheila tersadar, tangisnya pecah saat melihat Bara ada di dekatnya. Dia langsung memeluk leher Bara erat. Hanya mimpi namun terasa begitu nyata. Sheila terisak di pelukan Bara."Tenang, Sayang. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun melukaimu dan calon anak kita. Memangnya mimpi apa tadi?'' Sheila semakin m
Monica membuka pintu apartemen setelah mendapat telfon dari Kevin. Saat pria itu akan melangkah masuk, dia menahan tubuh Kevin. Matanya memicing melihat Kevin menyunggingkan senyum penuh arti."Mau apa?" ketus Monica."Aku kemari karena merindukanmu Mona. Apa aku tidak boleh masuk?" rayu Kevin menyentuh pipi Monica membuat wanita itu menyingkir.Kevin langsung menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki di angkat ke atas meja. Seolah-olah tempat ini adalah miliknya. "Ambilkan aku minum," pintanya.Monica menatap sinis Kevin yang semena-mena padanya."Gunakan tangan dan kakimu yang masih berfungsi itu. Kau pikir aku pelayan?!" sahut Monica kesal, ia paling benci disuruh-suruh.Kevin menghela napas berat. "Kau tau apa kabar paling indah hari ini?""Apa?""Aku bertemu Sheila tadi, dia sangat cantik tidak heran bila Bara mencintainya," puji Kevin sambil tersenyum membayangkan paras Sheila. Pesona istri orang memang luar biasa, batinnya. "Cantik? Apa matamu rusak?!" maki Monica. Mendengar
Sheila mendesah pelan di sela ciuman mereka. "Uh, Barbar," lenguhnya saat bibir Bara menjelajah ke lehernya dengan gerakan tangan yang terus meraba punggungnya. Bara yang sudah diselubungi gairahnya langsung menggendong Sheila seperti koala. Dia membawa Sheila ke ranjang tanpa melepas ciuman panasnya. Bara membaringkan Sheila lalu menindihnya. Menciumi Sheila liar hingga suara kecapannya terdengar menggema di kamar ini."Huh." Bara menyudahi aksinya pria itu tersenyum melihat wajah Sheila yang memerah. Ekspresi Sheila saat ini begitu seksi dengan bibir terbuka dan mata sayu yang membuat Bara tidak tahan untuk menyerang bibir ranumnya lagi.Sheila mengusap rahang tegas Bara. Dia menyentuh dada bidang Bara lalu membalikkan posisi, Sheila menumpukan wajahnya di sana.Bara menjengitkan sebelah alisnya saat Sheila tidak melakukan apa-apa dan hanya memandangnya kagum.Tangan Bara sudah menyusup ke punggung Sheila melepaskan kaitan branya. Sedangkan Sheila tersenyum malu dengan reaksi tidak
Elisa menghembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan Bara. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Sheila yang secara tidak langsung mengubah sikap Bara. Namun, demi putra kesayangannya, ia berusaha untuk lapang dada."Panggil Sheila ke sini," pintanya dengan suara parau.Bara mengangguk lalu berjalan keluar. Sheila bangkit dari duduknya saat Bara membuka pintu."Gimana kondisi Mama?" tanyanya dengan sorot mata cemas."Mama cari kamu, Shei." Ucap Bara membuat Sheila terdiam.Bara menggenggam tangan Sheila yang meragu, dia tahu terselip ketakutan di benak istrinya."Aku boleh masuk?""Iya. Gak apa-apa, Sayang," ucap Bara menatap Sheila teduh.Sheila dan Elisa saling bersitatap membuat Sheila merunduk takut dan tanpa sadar mengeratkan genggamannya. Elisa tersenyum melihat keduanya. Jika diperhatikan, mereka memang sangat serasi. Kenapa dia baru menyadarinya?"She, kemari lebih dekat. Jangan takut," pinta Elisa lembut. Sheila menoleh sebentar pada Bara dan lelaki itu membawa Sheila m
"Aku bercanda, Shei! Hahaha!" Tawa Bara memudarkan raut tegang di wajah Sheila. "Jahat!" seru Sheila kesal membuang muka.Bara menarik dagu Sheila dengan telunjuknya. Dia tidak bisa menahan senyumnya melihat wajah Sheila tertekuk masam. Bibirnya mengerucut lucu membuat Bara ingin menciumnya. "Jangan marah. Lagi pula bibir kamu mungil, Sayang, aku gak akan tega masukinnya." Bara mencium kening Sheila yang membuat wanita itu mendorong dada Bara agar menjauh."Jangan dibahas lagi," pinta Sheila sinis lalu melipat tangannya.Pria itu menoel-noel pipi Sheila yang cemberut. "Ayo belanja, beli apa pun yang kamu mau," bujuk Bara yang dibalas gelengan oleh Sheila, dia memilih berganti posisi duduk memunggungi suaminya.Bara menumpukan dagunya di pundak Sheila lalu berbisik lembut. "Ayo ke pantai."Sheila menoleh membuat hidung mereka bersentuhan. Sebenarnya dia sama sekali tidak marah, hanya sedikit terkejut dengan permintaan suaminya. Sheila juga merasa kesal lantaran tontonan favoritnya di
Sheila mematut dirinya di depan cermin dengan dress ketat keemasan sebatas paha dan sedikit memperlihatkan belahan dadanya. Sheila paham betul jika Bara menyukainya berpenampilan seksi begini, tentunya hanya untuk Bara seorang. Suaminya jelas akan marah jika dia mengenakan gaun ini ke tempat umum. Sheila keluar kamar dengan high heelsnya, melangkah pelan menaiki tangga menuju rooftop. Pria tampan dengan kemeja putih itu tampak tertegun menatap penampilan istrinya. Lengan kemejanya digulung hingga siku menampakkan otot-ototnya yang tercetak jelas. Wajah yang semula tampak datar itu berubah menjadi senyum yang merekah ketika Sheila datang. Matanya terkunci pada Sheila seutuhnya. Semilir angin menerbangkan beberapa helai rambutnya."Perfect," puji Bara ketika Sheila melangkah anggun mendekati Bara. Bara menarik kursi mempersilahkan Sheila duduk. Meja yang dihias dengan mewah dan elegan. Bara memegang gelas mengajak Sheila bersulang. Suara dentingan gelas terdengar lirih. Setelah meneg
Sheila membelai lembut dada Bara yang berkeringat. Wangi parfum bercampur aroma Bara yang khas membuatnya betah dan nyaman berada dalam dekapan hangat suami tampannya. Debar jantung Bara yang tak beraturan membuat Sheila bersemu kala teringat momen panas itu. Ya, mereka bercinta di tengah penerbangannya menuju Bali.Sheila mengangkat wajahnya menatap Bara. "Suami aku ganteng banget," pujinya sambil mengelus rahang tegas itu. Dahi Bara mengerut. "Tumben puji aku, ada maunya pasti," tebaknya menoel hidung Sheila. Sheila menggeleng sambil tersenyum malu. "Gantian, biasanya kan kamu yang selalu bilang aku cantik," jawab Sheila polos. Bara memajukan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. "Karena kau memang cantik Shei, jauh lebih cantik saat naked seperti ini," balas Bara menyeringai."Nakal," cibir Sheila mencubit hidung mancung suaminya."Ahahaha." Bara tertawa lepas membuat Sheila terus tersipu karena tatapan jahil Bara yang meneliti ke arah tubuhnya.**Setelah perjalanan kurang
Sheila, kenapa mata aku ditutup segala sih?" protes Kayla berjalan hati-hati dengan Sheila yang memegang tangannya."Sabar dong, Kay," jawab Sheila membuka tali di belakang kepala Kayla. Kayla dibuat takjub saat penutup matanya dibuka. Air danau yang berkilau karena sorot lampu keemasan di sekitarnya tampak sangat indai. Ditambah hiasan berbentuk hati di depannya. Manis sekali, pikirnya."Kayla," panggil Bryan yang berjalan ke arahnya. Tanpa menunggu Bryan sampai di hadapannya Kayla memilih berlari dan langsung merengkuh tubuhnya. Menyalurkan kerinduan dan kecemasan yang beradu satu."Kemana saja kau ini?!" kesal Kayla, dia mendongak dan menyentuh wajah Bryan. Meski ada beberapa lebam di wajahnya. Bryan masih sangat tampan dan berwibawa dengan setelan jas yang membalut tubuh tegapnya.Bryan bersimpuh."Will you marry me?" tanya Bryan serius sambil membuka kotak kecil berisi cincin berlian."Ini tidak lucu," tegur Kayla syok. "Aku tau ini mendadak, tapi bersamamu aku ingin membuka lem
Pagi ini Sheila tengah menyirami bunga mawar di taman belakang rumah. Pinggangnya terlihat ramping memakai dress selutut berwarna putih dengan motif bunga merah muda. "Shei ...."Ketika Sheila berbalik badan, Bara terpesona dengan kecantikannya yang polos dan menawan. Meski ada plester yang menempel di keningnya, itu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikan Sheila.Bara memetik satu mawar dari tangkainya. Tangannya menyingkirkan pelan rambut Sheila lalu menyelipkan mawar merah itu di daun telinganya.Bara menarik pinggang Sheila untuk melihat lebih dekat wajah Sheila yang berseri-seri. Tatapan mata penuh damba dan cinta terpancar dari Bara. "Bahkan jika wajahmu keriput dan rambutmu memutih. Cintaku akan tetap sama." Jemarinya menelusuri paras Sheila.Sheila memukul dada Bara pelan."Dasar gombal ... ayo nikmati waktu hari ini.""Menikmatinya dengan begini?" Bara mencium bibir Sheila. Diamerindukan lumatan lembut dari bibir mungil itu. "Ehm, ssh," desis Sheila lantaran Bara me