Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara.
"Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang.
Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar.
"Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring.
"A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya.
"Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.
Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila.
"Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya.
Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.
Bara mencium bibir Sheila lembut lalu turun ke leher menghisap kulitnya meninggalkan jejak merah di sana. Sheila melenguh dengan napas menderu. Bara dengan cepat melepas kaitan bra itu. Dia tertegun melihat keindahan tubuh istrinya. Sheila tersentak ketika bibir Bara mencium dadanya, dia tidak mampu menolaknya.
Sheila meremat spreinya saat Bara memainkan puncaknya dengan ujung lidah dengan gerakan menggoda. Tanpa sadar, Sheila melengkungkan punggungnya. Dia mulai terbakar gairah ditambah satu tangan Bara yang aktif meremas yang satunya menghadirkan sensasi nikmat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sheila merasa area bawahnya basah sekarang.
Bara naik memastikan kondisi Sheila. Pria itu menjilat bibir bawahnya melihat Sheila berusaha mengatur napasnya.
Wanita itu terlihat menikmati walau awalnya menolak sentuhannya.
"Terima setiap gerakanku Shei, agar kau tidak tersiksa," kata Bara.
Bara memegang wajah Sheila menyambar bibir ranum itu lagi. Dia begitu menggilai bibir Sheila yang lembut dan terasa manis. Ciuman Bara kian menuntut tapi Sheila menahan kuat dirinya untuk tidak membalas, meski ciuman itu membuatnya terlena.
Napas keduanya saling memburu diiringi jantung berdebar dan gelora yang membuncah. Bara membuka retsleting celananya, miliknya sudah menegang dan ingin segera dimanjakan. Bara dengan cepat menurunkan celana Sheila.
Sheila menjambak kuat rambut Bara ketika milik Bara menerobos masuk ke bagian sensitifnya. Dengan satu hentakan kuat tubuh mereka telah menyatu diiringi teriakan kesakitan Sheila juga geraman dari Bara.
"Tahan, Shei. Setelah ini, kau akan menikmatinya." Bara mulai bergerak maju mundur. Sheila kehilangan konsentrasi, rangsangan ini benar-benar membuatnya lemah. Bara terlihat gagah dengan rambut acak-acakan yang sialnya tampak seksi di mata Sheila.
Bara mempercepat temponya dan Sheila terus menahan rasa sakit akibat gesekan benda asing di dalam tubuhnya. Bara menggeram dan Sheila menjerit saat mereka mencapai puncak. Bara menyandarkan kepalanya di pundak Sheila. Napas mereka saling beradu.
"Ini baru permulaan, Shei," bisik Bara.
Sheila menoleh kaget pada Bara.
"Cu-kup, ini sakit. Aku mohon pelan-pelan," pinta Sheila parau tapi terlambat Bara sudah berada di atasnya lagi. Sheila nyaris tak melihatnya bergerak tadi. Bara mengulum senyum.
"Kau berada di bawah kendaliku!"
Bara kembali menggerakan tubuhnya brutal dia bahkan mencium Sheila tanpa ingin memberi jeda untuk bernapas barang sedetik pun. Pria itu dikuasai kabut gairahnya. Malam ini Bara akan menuntaskan hasratnya yang kian memuncak. Tidak peduli dengan suara isakan yang berganti desahan dan jeritan yang memintanya untuk berhenti. Sheila merintih dibawah kungkungannya, Sheila tidak berdaya untuk melawannya dan ini yang Bara inginkan. Sheila memang harus tunduk padanya.
**
Hawa panas menjalar ke kulit Bara. Pria itu terusik dan membuka kedua matanya perlahan. Rupanya tubuh Sheila menggigil dan wanita itu memeluknya begitu erat. Bara menempelkan tangannya ke kening Sheila.
"Shei, kau demam," gumam Bara kaget.
Bara kian panik saat wajah Sheila memucat. Dia melihat ke arah jam, pukul tujuh pagi. Pria itu hendak menggendong Sheila tapi detik selanjutnya Bara tersadar, dirinya dan Sheila masih dalam keadaan polos.
"Astaga!"
Bara turun dan mengambil pakaiannya di dalam lemari.
"Shei, pakailah," perintah Bara sudah bersiap memakaikan baju untuk Sheila.
"A-aku bisa memakainya sendiri," tolak Sheila merampas bajunya.
Bara berdecak kasar. Padahal kondisi Sheila terlihat lemas dan untuk duduk saja membutuhkan waktu cukup lama.
"Berbaliklah!" perintah Sheila merasa risih dengan Bara yang menatapnya intens bercampur cemas.
"Untuk apa? Aku sudah melihat semuanya," balas Bara enteng. Sudut bibirnya melengkung mengingat setiap jengkal tubuh Sheila yang sangat menggoda untuk disentuh.
"Bara!" geram Sheila bersemu malu mengingat pergulatan panas itu.
"Iya-iya, Shei," jawab Bara dengan kekehannya dan berbalik menghadap jendela. Bara menyesal karena kalah melawan hasratnya dan membuat Sheila kewalahan, dia sadar semalam dirinya begitu liar. Lihat saja, seluruh tubuh Sheila hampir penuh dengan jejak kemerahan karena ulahnya.
"Sudah selesai?" tanya Bara melirik lewat ekor matanya.
"Sudah," kata Sheila.
Bara berbalik dan membungkukan badannya membuat Sheila mengernyit.
"Ma-mau apa?" tanya Sheila grogi saat wajah Bara sangat dekat dengannya.
"Membawamu ke rumah sakit," jawab Bara.
"Tidak perlu, nanti aku juga sembuh," ketus Sheila.
"Kalau begitu aku panggil Dokter saja," pungkas Bara meraih ponsel miliknya.
Sheila memperhatikan Bara yang mulai keluar dari ruangan. Tubuhnya terasa kaku dan pegal apalagi di area sensitifnya. Sheila merasa jika Bara akan segera selesai namun ternyata belum, Bara seolah tidak pernah merasa puas. Dan itu benar-benar menguras habis tenaganya.
"Mari, Dok," kata Bara mempersilahkan Dokter Hesti masuk. Dokter Hesti adalah Dokter pribadi keluarganya.
"Ya ampun!" seru Sheila terbelalak.
Bara ini sengaja atau memang bagaimana? Di saat Dokter Hesti masuk, Sheila baru menyadari jika keadaan kamarnya masih berantakan, sprei kusut serta pakaian semalam masih tersebar di lantai. Mau ditaruh dimana wajahnya?
Pria ini gila! geramnya.
Rasanya Sheila ingin menjerit dan mengumpat pada Bara, tapi Sheila sadar. Itu tidak boleh! Nanti dia dosa.
Sheila semakin malu ketika Dokter Wanita itu tersenyum padanya. Pasti karena ada tanda merah di lehernya. Ciuman panas semalam masih sangat membekas bagi Sheila. Cepat-cepat Sheila mengenyahkan pikiran itu dan turut mengumbar senyum kecil.
"Dok, cepat periksa istri saya," pinta Bara tergesa.
"Baik." Dokter pun mulai memeriksa detak jantung Sheila lalu mengeluarkan termometer dan melihat suhu tubuh yang muncul di sana.
"Demamnya cukup tinggi. Sepertinya Nyonya Sheila syok dan kelelahan. Apa belakangan ini ada yang membuat anda stres?" tanya Dokter Hesti.
Sheila melirik sinis ke arah Bara sementara Bara pura-pura tidak melihatnya.
Huh! Apa dia mendadak amnesia?! gerutu Sheila dalam hati.
"Saya memang banyak fikiran hari-hari ini Dokter," ungkap Sheila lelah.
Dokter Hesti mengangguk.
"Anda harus istirahat yang cukup Nyonya. Tolong perhatikan pola makan anda, jangan sampai telat makan karena hal itu yang membuat tubuh anda lemas," urai Dokter Hesti.
Beliau mulai mengeluarkan beberapa obat dari dalam tasnya.
"Saya akan memberi obat juga vitamin agar Anda cepat pulih. Anda harus makan makanan yang bergizi dan minum banyak air putih," tutur Dokter Hesti.
"Baik Dok," jawab Sheila.
"Berikan obat yang terbaik Dokter," timpal Bara.
"Tentu saja Tuan. Anda perhatian sekali, anda pasti sangat mencintai istri anda," puji Dokter Hesti membuat Sheila menghembuskan napas panjang.
‘Jika aku tidak mencintainya, aku tidak akan melakukan hal nekat dengan merebutnya di hari pernikahannya!’ batin Bara namun Pria itu hanya menampilkan senyum tipis.
Dokter Hesti mulai menjelaskan kapan dan berapa obat yang harus diminum Sheila kepada Bara.
"Kalau begitu saya permisi Tuan. Lekas sembuh Nyonya Sheila," pamit Dokter Hesti.
"Terima kasih, Dok," ucap Sheila.
Bara duduk di pinggir ranjang membelai lembut pipi Sheila. Sementara Sheila memejamkan mata dan memalingkan wajah. Berusaha menghindari kontak mata dengan Bara.
"Shei, kau marah?" tanya Bara mengerut bingung.
Hening.
"Aku harus apa? Supaya kau tidak marah?" bujuk Bara dengan suara lembutnya.
Belum ada jawaban.
"Apa kau sakit karena aku?"
Pertanyaan itu membuat Sheila tertarik membalasnya dan tanpa sadar otaknya kembali memutar kejadian semalam. Dia menoleh ke arah Bara.
"Dasar Barbar!" rutuk Sheila.
"Apa barusan? Kau mengataiku? Suamimu sendiri?!" tanya Bara tidak percaya denga ucapan Sheila, lelaki itu terkejut.
"Iya Barbar!" seru Sheila lebih keras meski dengan suara serak.
Bara tergelak, suara tawanya menggema mengisi ruangan. Alih-alih merasa jengkel, panggilan itu justru membuat Bara senang. Bara menganggap itu panggilan sayang lain untuknya.
"Ya, aku akui. Kau memang benar," pungkas Bara masih dengan tawa yang semakin membuat lelaki itu tampan.
"Badanku rasanya remuk dan pegal karena ulahmu!" omel Sheila memasang raut wajah marah.
"Benarkah?" Sebelah alis Bara berjengit.
"Tengkuraplah, biar aku memijatnya," perintah Bara.
Sheila menggeleng, ia takut Bara justru melakukannya lagi.
"Sejak kapan profesimu berubah Barbar?" tanya Sheila perempuan itu menggenggam erat selimut yang menutupi hingga lehernya. Menolak halus sentuhan Bara yang akan memegang pundaknya.
"Sejak aku bersamamu, dan hanya bersamamu," ungkap Bara sungguh-sungguh.
Perubahan sikap Bara sangat kontras bila dibandingkan tadi malam. Sheila bahkan hanyut menyelami manik mata Bara. Mengagumi setiap inchi paras Bara yang menawan.
"Shei, apa sekarang kau mulai jatuh cinta padaku?" tanya Bara.
Bara Alexander Rodriguez, seorang CEO muda, gagah dan tampan. Sosoknya adalah idaman bagi setiap wanita. Namun, di balik namanya yang melejit sebagai seorang pengusaha muda berbakat, Bara tak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia terlalu fokus dengan karirnya untuk memajukan bisnis konstruksi perusahaan keluarganya, Rodriguez Corporation. Bara berjalan tergesa memasuki Kafe untuk bertemu dengan klien. Lantaran tidak memperhatikan sekitar dia malah menabrak seseorang hingga terjatuh. "Awh!" Bara yang kaget langsung berjongkok melihat keadaan gadis bersuarai hitam sepunggung itu. "Maafkan saya, apa kau baik-baik saja?" tanya Bara sopan.Gadis itu mendongak lalu mengumbar senyum manis padanya membuat detak jantung Bara berdebar kuat saat lesung di pipi kanan gadis itu tampak jelas. Semakin menambah kecantikannya berkali-kali lipat. Bara sadar ada yang salah dalam dirinya. Debaran yang tak tertahan di dadanya. Inikah yang disebut jatuh cinta pandangan pertama
“Pulanglah She, sudah malam,” perintah Bryan. “Tapi….”"Jangan pikirkan aku, istirahatlah. Aku tau kau lelah selain mengurus persiapan pernikahan, kau juga sibuk mengurus toko kuemu. Aku tidak mau kau sakit saat hari pernikahan kita.”"Baiklah kalau begitu aku pamit. Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Semoga ibumu cepat pulih," kata Sheila."Amin. Hati-hati, She. Aku minta maaf tidak bisa antar kamu pulang," balas Bryan. Sheila tersenyum sembari mengusap pundak Bryan."Aku tau kondisi kamu Bryan.”"Iya."Sheila berada di pintu keluar rumah sakit. Hujan turun dengan lebat. Sheila mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah agar pandangannya bisa melihat jelas ke depan. Terpaksa, Sheila berlari menerobos guyuran hujan deras dari pelataran demi menuju halte. Napas Sheila memburu, dia mengusap wajahnya. "Hey, kita bertemu lagi," sapa Bara ketika Sheila ikut berteduh di halte yang sama. Bara memang sudah menduga Sheila pasti akan kemari karena ia membuntuti Sheila dan bergerak cep
"Saya tidak akan membiarkan Sheila jatuh ke tanganmu!" tolak Bryan bangkit. "Kau menantangku?!" Bara mulai tersulut emosi. Dia langsung meninju rahang kiri Bryan kuat hingga pria itu terhuyung merasakan kuatnya pukulan Bara. Semuanya menjerit histeris, belum sempat Bryan membalas, Bara menendang keras di ulu hatinya. "Akh!" erang Bryan saat rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya."Jangan ada yang mendekat atau membantu dia atau kalian berurusan dengan saya!" ancam Bara ketika beberapa orang ingin melawannya."Sebenarnya siapa Bara? Kenapa dia sangat berkuasa?" tanya Sheila pada Kayla."Dia itu ...." Kayla menggantung kalimatnya."Anak pemilik perusahaan RodriguezCorp yang bergerak di bidang konstruksi. Memiliki beberapa cabang di luar negeri. Bara, pemimpin galak dan terkenal perfeksionis," jelas Kayla membuat Sheila tercengang."Shei, kamu tidak sadar?" tanya Kayla menoleh pada Sheila.Sheila menggeleng, Bara di foto dan dunia nyata berbeda. Jika dilihat langsung, Bara lebih tamp
Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya."Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan."Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.Sheila merinding, hembusan napas
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora