"Saya tidak akan membiarkan Sheila jatuh ke tanganmu!" tolak Bryan bangkit.
"Kau menantangku?!" Bara mulai tersulut emosi. Dia langsung meninju rahang kiri Bryan kuat hingga pria itu terhuyung merasakan kuatnya pukulan Bara.
Semuanya menjerit histeris, belum sempat Bryan membalas, Bara menendang keras di ulu hatinya.
"Akh!" erang Bryan saat rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Jangan ada yang mendekat atau membantu dia atau kalian berurusan dengan saya!" ancam Bara ketika beberapa orang ingin melawannya.
"Sebenarnya siapa Bara? Kenapa dia sangat berkuasa?" tanya Sheila pada Kayla.
"Dia itu ...." Kayla menggantung kalimatnya.
"Anak pemilik perusahaan RodriguezCorp yang bergerak di bidang konstruksi. Memiliki beberapa cabang di luar negeri. Bara, pemimpin galak dan terkenal perfeksionis," jelas Kayla membuat Sheila tercengang.
"Shei, kamu tidak sadar?" tanya Kayla menoleh pada Sheila.
Sheila menggeleng, Bara di foto dan dunia nyata berbeda. Jika dilihat langsung, Bara lebih tampan daripada hanya melaui jepretan kamera.
Bryan menyeka cairan kental di sudut bibirnya. Dia melangkah maju dengan tekad bulat melawan Bara. Namun, tak ada satu pukulan yang berhasil mengenai Bara. Kokohnya pertahanan Bara tidak mampu Bryan runtuhkan. Bara melayangkan tendangan kuat pada wajah Bryan, sontak membuat Bryan terpelanting keras ke lantai.
Bara menginjak dada Bryan. "Mengaku kalah dan berikan Sheila pada saya!" seru Bara seraya mengangkat dagu.
Bryan bersikukuh menggeleng membuat Bara menginjaknya lebih kuat.
"Cukup! Berhenti!" Sheila akhirnya bersuara setelah lama bungkam akibat ketakutannya. Melihat Bryan teraniaya membuatnya menderita. Wajahnya basah penuh derai air mata.
"Shei, saya memiliki pilihan untukmu. Menikah dengan saya, maka Bryan aman dan hutangnya lunas. Atau ... menolak saya dan Bryan akan dalam bahaya!"
Sheila berfikir keras. Dia tidak mau Bryan terluka lebih, tapi di sisi lain Sheila tidak ingin menikah dengan sosok pemaksa seperti Bara.
"Jawab Shei! Waktumu tidak banyak!" gertak Bara memukul Bryan brutal dan beringas.
Bryan terbatuk kencang. Dadanya nyeri dan lukanya berdenyut perih.
Iris mata gelap Bara menatap Sheila tajam, seakan memperingatkan sebuah kalimat. Jangan pernah menentang perintahku!
"Sudah cukup! Jangan sakiti Bryan, a-aku bersedia," kata Sheila parau.
"Bersedia apa?!" kelakar Bara menuntut kejelasan.
"Menjadi istrimu!" pekik Sheila walau hatinya menjerit menolak keras ucapan itu.
"Pilihan yang bagus, Shei," puji Bara memindahkan kakinya dari tubuh Bryan. Lalu Bara tersenyum manis tanpa dosa pada Bryan.
"Sheila!" panggil Herman dengan pandangan putus asa. Sheila menoleh pedih.
"Maafkan ayahmu yang tidak bisa membantumu, Nak," sesal Herman, dia merasa gagal melindungi putrinya. Mengingat orang seperti Bara sulit untuk dilawan. Mereka punya kuasa sekaligus berbahaya.
"Sheila, apa kamu yakin?" tanya Laras menangkup pipi Sheila. Air mata Sheila mengalir deras.
Bara berdecih tidak peduli. Mau tidaknya Sheila, yang terpenting Sheila berada dalam cengkeramannya.
"Kalian, bawa barang-barang di mobil kemari," titah Bara pada ketujuh bodyguardnya yang memakai setelan jas hitam.
Sheila menggeleng tidak percaya melihat seserahan yang dipersiapkan Bara, ini artinya Bara telah merencanakannya matang-matang.
Tak lama kemudian Bara telah kembali dengan mengenakan jas putih.
"Shei, kemarilah," pinta Bara meraih tangan Sheila. Dengan cepat Sheila mundur menghindari sentuhan itu lalu duduk di kursi seperti semula.
Bryan memandang sedih, tatapan kecewanya begitu kentara. Dadanya sesak, sakit sekali, lebih menyakitkan ketimbang pukulan dan tendangan yang Bara berikan. Harusnya dirinya yang di sana. Hubungan yang terjalin selama tiga tahun bersama Sheila terpaksa kandas. Bryan bangkit dengan luka yang menganga di hatinya. Tidak sanggup menyaksikan pujaan hatinya bersanding dengan Pria lain.
Suatu saat nanti saya akan membalas perbuatanmu Bara! batin Bryan, dadanya bergemuruh.
"Bryan," gumam Sheila tidak rela ketika Bryan perlahan menghilang dari penglihatannya.
Bara melirik sinis Sheila lewat ekor matanya membuat Sheila menunduk takut.
"Bisa kita mulai?!" protes Bara membuat semua orang yang semula larut dalam kebingungan kembali fokus.
"Bisa."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Bara Alexander Rodriguez bin Robert Rodriguez dengan anak saya bernama Sheila Annatasya berupa seperangkat alat Sholat dan mas kawin senilai 888 juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Sheila Annatasya binti Herman Kurniawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah!"
Sheila lemas, bahunya merosot ke bawah. Air matanya kembali luruh setelah Bara selesai mengucapkan ijab kabul dengan lancar dan lantang. Dunianya hancur, hatinya berdesir perih.
Apa begini akhir kisahnya dengan Bryan? Sungguh menyedihkan, Sheila berakhir dengan Pria yang tidak dia cintai.
Sheila yang awalnya menangis sesenggukan berusaha keras menahannya. Dia mencium punggung tangan Bara gemetar dengan derai air mata. Bara tersenyum kemudian mencium kening Sheila.
Laras memilih untuk berpaling, tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati putrinya.
"Aku benar-benar mencintaimu Shei," ungkap Bara.
Sheila menatap mata Bara lekat mencari celah kebohongan di sana. Namun anehnya yang Sheila dapatkan adalah sorot hangat penuh ketulusan.
"Mulai saat ini kalian berdua resmi menjadi sepasang suami istri," ucap Pak Penghulu.
"Ayo kita pergi dari sini, kau harus tinggal di rumahku," ajak Bara menggandeng tangan Sheila.
"T-tapi acaranya belum selesai," protes Sheila.
"Siapa yang peduli?" balas Bara acuh.
"Aku bisa menggelar pesta lebih mewah dari ini!" tegas Bara.
Sheila mendelik sebal, Bara memiliki ego yang tinggi dan sifat arogan yang mendarah daging.
"Saya mohon, jangan sakiti anak saya," pinta Herman.
"Tidak akan, selama Sheila tidak membantah perintah saya," jawab Bara dengan wajah dingin.
"Sheila ikutlah dengannya," perintah Herman.
**
Sheila termangu menatap suasana luar dari jendela kamar. Putaran memori tentang kegagalannya menikah dengan Bryan memenuhi isi pikirannya. Kejadian 10 jam lalu telah mempora-porandakan hatinya.
Sheila tersentak ketika sebuah lengan kekar melingkar di perutnya. Dia tidak bisa menoleh karena dagu Bara bertumpu di pundaknya. Tubuhnya meremang saat napas Bara berhembus lembut di ceruk lehernya.
"Jangan menyesali apa yang terjadi. Sekarang kau harus menerima takdirmu dan menjalani hidup denganku," ucapan manis Bara justru terdengar begitu menyayat hati Sheila.
Sulit bagi Sheila untuk menerimanya, mengingat suka duka yang telah dia lewati bersama Bryan terus terngiang-ngiang di kepala.
Merasa diabaikan, Bara dengan cepat membalikkan tubuh Sheila untuk menghadapnya. "Aku tidak suka melihat istriku bersedih di malam pertama pernikahan ini." Bara ikut memasang raut sedih seolah dia prihatin dengan keadaan Sheila.
"Bagaimana aku bisa tersenyum? Kalau Pria di hadapanku ini adalah penghancur kebahagianku?!" balas Sheila tajam mampu menyentil hati Bara.
"Shei, aku tidak meminta kau membahas itu," ucap Bara dengan nada rendah tapi penuh peringatan.
"Tapi itu faktanya, kamu egois, kamu jahat dan kamu semena-mena!" cerca Sheila kian emosi. Kedua mata Sheila memanas menahan lapisan bening yang terbendung di pelupuk matanya.
"Shei, harusnya kau merasa beruntung menikah denganku," kata Bara berusaha mengontrol amarahnya.
"Beruntung katamu?" sindir Sheila, dia malah merasa sebaliknya.
"Shei." Panggil Bara serak dengan tangan mencengkeram lengan Sheila. Habis sudah batas kesabarannya. Sheila memang tidak bisa diajak bicara baik-baik.
Bara memeluk Sheila erat seraya menciumi leher Sheila. Tangannya mengusap punggung Sheila. Gadis itu merasa takut ketika gelenyar aneh terasa di sekujur tubuhnya. Dia berusaha mendorong Bara tapi percuma.
Bara memiringkan wajahnya, sedangkan Sheila sudah memejamkan mata, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bara terkekeh geli melihat kegugupan yang kentara dari paras Sheila yang sedikit menyurutkan emosinya.
"Kau sangat menginginkan itu, Shei?" goda Bara mengangkat sebelah alisnya.
Sheila membuka mata seraya menipiskan bibir.
"I-itu apa? Aku tidak mengerti maksud kamu apa!" ketus Sheila berpaling menyembunyikan rona merah di pipinya.
Bara merapatkan tubuhnya pada Sheila. "Biar aku tunjukkan," kata Bara mendaratkan bibirnya lembut di bibir Sheila. Tangan Bara memegang tengkuk Sheila memperdalam ciumannya. Sheila berusaha lepas, tapi tidak bisa, Bara semakin menguasainya. Ciuman Bara sangat lembut bahkan Sheila mulai terlena.
Bara bergerak mendorong Sheila menuju ranjang. Sheila terlentang dengan bibir keduanya yang masih bertautan, Bara semakin gencar untuk menyesapnya dan menggigitnya kecil.
"Manis, Shei." Bara mengusap bibir Sheila dengan ibu jari. Sheila yang diperlakukan begitu gugup. Dadanya berdebar kencang melihat senyuman Bara.
Bara berada di atas Sheila dengan tangan yang mengurung tubuh Sheila sepenuhnya. Bara kembali melumat bibir Sheila lalu turun ke leher dan pundak Sheila meninggalkan jejak-jejak panas di sana. Sheila menahan mulutnya untuk tidak mengerang ketika tubuhnya terangsang hingga dadanya terasa padat. Sheila tidak mau, dia menolak, tapi tubuhnya bereaksi lain.
Tangan Bara menyusup ke dalam piyama Sheila, Bara sempat terkejut, rupanya Sheila tidak mengenakan dalaman, hal itu memudahkan Bara untuk meremas gundukan kenyal itu.
"Apa ini caramu menggodaku?" tanya Bara merasakan miliknya menegang.
Sheila menggeleng. Dia tidak memakai bra karena dirinya selalu melepasnya saat akan tidur.
Bara masih bermain di sana, Pria itu begitu menikmatinya. Sedangkan Sheila menggelinjang saat Bara memainkan bagian atasnya. Sheila meremat kuat sprei menahan suara aneh yang ingin keluar dari mulutnya.
"B-berhenti!" pinta Sheila ketika Bara memberi jeda ciumannya.
Napas keduanya sama-sama memburu. Sheila menghirup oksigen dengan cepat, Bara terkekeh.
Ini belum ada apa-apanya, Shei, batin Bara.
Dia bahkan bisa lebih buas daripada saat ini.
Bara menyingkirkan helai rambut Sheila ke belakang telinga agar leluasa melihat wajahnya cantik istrinya yang merona.
"Aku tidak akan menuntutmu melakukannya sekarang. Walaupun aku bisa memaksamu dan aku sangat ingin. Tapi, aku masih memiliki rasa iba. Aku ingin kau menyerahkan dirimu padaku."
Sheila menghembuskan napas lega, dia bersyukur Bara telah berubah sejenak dari pemaksa menjadi pengertian.
"Bagaimana kau bisa secantik ini, Shei?" puji Bara mencium pipi Sheila menggigitnya kecil membuat Sheila meringis dan mengusap bekas gigitan Bara.
"Itu hanya perasaanmu! Di luar sana banyak wan──"
Bara memotong ucapan Sheila dengan mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Mata Sheila melebar, tubuhnya mendadak kaku.
"Kau ingin aku mengulangi yang tadi?"
Sheila menggeleng cepat, takut bila Bara berubah liar. Bara berbaring di sebelah Sheila kemudian merengkuh pinggang Sheila menjadikan lengan kekarnya untuk bantalan kepala Sheila.
"Tidurlah dalam pelukanku. Jangan berusaha untuk kabur atau aku akan menerkammu!"
Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya."Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan."Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.Sheila merinding, hembusan napas
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora
Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara. "Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang. Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar. "Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring. "A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya. "Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila."Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya. Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.Bara mencium bib
Kalimat itu membuat aliran darah Sheila berdesir. Dadanya berdebar, sebuah rasa yang menghadirkan kebimbangan di benaknya. Sheila menahan napas ketika Bara semakin merunduk bahkan hampir menyentuh bibirnya. "Tuan, hari ini ada rapat pen──"Anton berhenti berbicara ketika dia hampir masuk ke kamar Bara. Matanya melebar, Anton menelan ludahnya kasar. Pria itu segera berbalik badan. Refleks, Sheila berapaling muka sedangkanBara segera menegakkan punggungnya. "Siapa yang menyuruhmu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu?" gertak Bara dengan intonasi suara beratnya. Dari kerutan yang kentara di dahinya──jelas menunjukan jika Bara marah karena momen romantisnya terganggu."Ma-maaf, saya lancang Tuan, tapi pintu ini tidak ditutup tadi." Anton tergagap, aura Bara mengintimidasinya.Bara mendengus, dia beralih menatap Sheila hangat sembari mengusap puncak kepala Sheila."Aku tinggal dulu, hanya sebentar, Shei," ucap Bara lembut.Sheila mengangguk kecil. Dalam hati Sheila sangat berterima kasih
Bara berada di ruang olahraga miliknya yang terletak di lantai dua. Dia terus meninju samsak di depannya secara brutal. Bara tidak habis pikir, Sheila begitu keras kepala. Alih-alih meminta maaf, Sheila terus menyanggah ucapannya. "Argh!" teriaknya. "Sheila ... Apa sesulit itu kau membalas perasaanku?" erang Bara frustasi. Jujur saja dia belum pernah jatuh hati sedalam ini.Bara berhenti dengan napas yang terengah-engah. Pelampiasannya cukup berpengaruh, emosinya perlahan mereda. Matanya terpejam lama merasakan butiran keringat menetes ke lehernya.Perasaannya mulai tenang. Bara akui dirinya egois karena terlalu menuntut Sheila. Harusnya dia sadar perasaan tidak bisa dipaksa secepat yang dia inginkan. "Aku harus sabar, ini hanya masalah waktu," gumamnya. Bara berdiri dan berjalan cepat menemui Sheila yang berada di kamar utama lantai tiga. Bara memegang kenop pintu sembari mengayunkannya pelan."Shei," panggil Bara lembut.Pandangan Bara menyapu ke seluruh penjuru, tapi Sheila t
"Bara! Kamu benar-benar menikah?" Bara memejam mendengar lengkingan suara ibunya."Astaga! Iya, Ma," jawab Bara menjauhkan ponselnya dari telinga."Ya, ampun! Dasar anak nakal! Siang ini, kamu datang ke rumah bawa istri kamu!" perintah Elisa."Tapi, Ma. Aku masih di kantor, nanti malam saja ya," terang Bara."Kamu bantah Mama?"Bara menghembuskan napas kasar. "Iya, Ma. Aku ke sana sekarang," pungkas Bara seketika panggilannya terputus sepihak. "Surat pengunduran diri, Bryan," gumam Bara melihat amplop di sudut mejanya. Dia meremat kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah."Bagus, tahu diri juga dia!"**Sheila tengah menyirami bunga-bunga di taman belakang. Kedua sudut bibirnya melengkung melihat bunga mawar merah yang tumbuh cantik di sini. Sheila tidak menyangka Bara menyiapkan semua ini untuknya. Ternyata, Bara mencoba mencari tahu kesukaannya. Tipikal pria yang romantis, pikirnya. "Dasar bucin," gumam Sheila senyumnya kian merekah.Sheila terkesiap, selang yang dia pegang te
"Jaga-ja──" Sheila melotot geram. Benar dugaannya, Bara mengecup bibirnya tanpa izin."Barbar!" teriak Sheila melihat Bara berlari meninggalkannya."Haha!" Tawa berat Bara menggema di area dapur.Sheila mengejar Bara dan hendak memukulnya Bara tapi tidak jadi. "Ampun, Shei!" Bara mengangkat dua jari membentuk huruf V. Sheila terkekeh geli, ekspresi wajah Bara berhasil menggelitiknya. "Sejak kapan seekor Harimau berubah menjadi seekor Kucing?" dengus Sheila mencubit pipi Bara.Bara mengendikan bahu, dia lantas mengambil clemek berwarna merah muda dan memakainya. Pria gagah itu berkacak pinggang."Cocok tidak?" tanya Bara mengangkat kedua lengan berniat memamerkan ototnya.Sheila menggeleng dan terkekeh pelan. "Tidak masalah, yang penting aku cocok jadi suamimu," ucap Bara percaya diri."Iya-iya," balas Sheila mulai menyiapkan bahan-bahan dari kulkas.Bara mengambil satu bungkus tepung terigu lalu membukanya kasar."Uhuk!" Bara terbatuk, tangannya mengibaskan tepung yang menguap di
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem
"Iya. Kenapa wajahmu cemberut?" tanya Bara."Aku takut ada yang merebutmu," ungkap Sheila. Ya, dia merasa gelisah ketika memergoki para tamu wanita mencuri-curi pandang pada suaminya. Bara menangkup pipi Sheila gemas. "Itu tidak akan terjadi. Di hatiku sudah tidak ada tempat lagi, semuanya untukmu. Pikiranku selalu dipenuhi tentangmu. Bagaimana mungkin orang lain bisa masuk jika kunci itu ada pada dirimu?"Sheila mengulum senyum, Bara menunduk menyatukan kening mereka."Tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah." Ungkapan Bara menenangkan batin Sheila, pipinya bersemu. Gerald bersidekap tangan masih setia berdiri di tempatnya. Berada disini sungguh membosankan! Seharusnya dia tidak datang ke pesta. Jika bukan karena rengekan Nara, dia tidak akan terjebak diantara pasangan yang saling jatuh cinta dengan tatapan memuja. Contohnya Bara, pria itu bucin akut pada Sheila. "Gerald, aku ingin seperti mereka. Ajari aku!" pinta Nara antusias menarik-narik tangan Gerald. Ya Tuhan, bisak
Karpet merah terbentang dari luar pintu masuk hingga ke dalam. Satu per satu tamu undangan mulai berdatangan. Diantara sekian banyak orang yang hadir, Sheila merasa jika setiap langkah kakinya bersama Bara menjadi sorotan. Sheila seharusnya tidak kaget mengingat suaminya adalah seorang pengusaha terkenal dan disegani di kalangan banyak orang. Hanya saja, Sheila belum terbiasa dengan semua ini."Abaikan tatapan mereka. Tatap aku jika kau merasa gugup," lirih Bara."Bara," sapa pria dengan tuxedo berwarna navy. Parasnya tampan, dengan tinggi sekitar 180 cm. Dia tampak gagah dan berwibawa, tetapi raut wajahnya terkesan dingin. "Gerald. Biasanya kau datang lebih awal daripada aku.""Dia terlalu lama menungguku," terang seorang gadis bersurai hitam lurus bergaun pink selutut dengan pita di belakang punggungnya.Gadis itu berhasil mencuri perhatian Bara.Bara menyenggol lengan Gerald."Dia siapa?" tanyanya menyelidik."Perkenalkan aku Nara," ujar Nara."Salam kenal, saya Bara. Ini istri sa
"Ayo, peluk aku, She," pinta Bryan dengan senyum miring. Sheila bergidik ngeri, tangannya bergerak meraih gagang pintu berusaha membukanya tapi terkunci."Jangan menatapku seperti itu. Aku ini bukan monster." Bryan berdiri sedangkan Sheila beringsut menuju jendela kamar.Bagaimana dia masuk?Di luar penjagaannya diperketat. Lalu, mengapa Bryan bisa dengan mudah masuk ke rumah ini? Bahkan menyusup ke kamarnya? Benak Sheila dipenuhi tanda tanya. "Pergi!" usirnya menepis tangan Bryan. "Sst! Pelankan suaramu, nanti semua orang di rumah ini bisa dengar," peringat Bryan dengan telunjuk di depan bibirnya."Kamu takut ketahuan? Takut mereka akan menghajarmu?!" Bryan menyugar rambutnya dengan jari. "Itu akan menjadi senjata makan tuan.""Maksudmu?" "Pikirkan saja. Apa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita di kamar? Mereka akan mengira kita berbuat macam-macam, tapi kalau itu maumu. Silahkan saja," jelas Bryan membuat Sheila merasa seperti orang bodoh yang gegabah dalam mengambil kep
Sheila berjalan ke dapur sembari memegang liontinnya. Kalung ini terasa sangat istimewa, setiap kali membaca nama Bara dan dirinya. Benaknya menghangat, darahnya berdesir tiap kali menyelami tatapan teduh Bara. Topeng wajah dingin dan watak keras kepala Bara nyatanya tak berlaku untuknya. "Baru bangun udah senyum-senyum sendiri. Cerita sini sama Mama," goda Laras yang membuat Sheila berlari kecil memeluknya."Ma, dia sangat manis. Padahal kemarin bukan hari ulang tahunku, tapi Mas Bara memberiku hadiah ini." Sheila mengangkat liontinnya, Laras ikut menyentuhnya."Indah, sangat cocok untukmu," puji Laras."Apa Bara belum bangun?" tanyanya lalu dibalas gelengan oleh Sheila."Belum. Dia masih tidur, padahal Mas Bara harus berangkat ke kantor. Aku ingin membangunkannya, tapi aku tidak tega karena dia tidur seperti bayi, sangat pulas," jelas Sheila sembari membayangkan wajah Bara yang terlelap.Baik Sheila dan Laras sama-sama tertawa. "Dasar kamu ini! Dia itu suami kamu," tegur Laras den
"Bara ...." Suara rintihan Sheila terdengar menggairahkan. Bibir ranumnya membuat Bara ingin menyesapnya lagi. "Katakan jika kau juga menginginkanku," pinta Bara, matanya yang menggelap tampak berkilat.Sheila mencengkeram sprei erat ketika tangan Bara menelusuri belahan dadanya lalu menangkupnya dengan satu tangan. Meremasnya begitu lembut, memberikan sensasi yang tak tertahankan. Setiap sentuhannya dipenuhi cinta dan gairah. Rasa panas menyelubungi dirinya."Sheila, menyerahlah dengan setiap gerakanku," desis Bara.Napas hangat Bara membelai halus kulitnya, lidah Bara menjejalah di lehernya. Nadi Sheila berpacu, dia sedikit terkejut saat lengan kekar itu mencubit pelan di puncaknya, memilin lalu menariknya. Mengirimkan denyut membutuhkan. "Ahh!" Sheila mendesah. Sentuhan Bara menyiksa, membakar gairahnya. Bara menyeringai nakal menatap Sheila yang dipenuhi buliran keringat. Sheila tampak kewalahan dengan kenikmatan yang menggerogoti tubuhnya. Dia menatap sayu Bara, pria itu menun
"Kita pasti hidup bahagia."Bara membawa Sheila keluar dari gedung yang terbengkalai yang tampak berantakan dan dipenuhi sarang laba-laba karena pembangunannya tidak dilanjutkan. Calvin membukakan pintu mobil. Bara merendahkan tubuhnya untuk mendudukkan Sheila."Aku ingin pulang," lirih Sheila parau dalam dekapan Bara."Iya. Kita memang akan pulang," jawab Bara mengusap punggung Sheila."Tidak. Aku ingin pulang ke rumahku," tukas Sheila. Dia merindukan orang tuanya, dia ingin merasakan kehangatan rumahnya, tempat di mana dia dibesarkan dengan kasih sayang."Kita akan ke sana," ucap Bara tenang. Gurat ketakutan dari wajah Sheila adalah hal yang membuat Bara murka. Sial! Miliknya terluka. Kalian akan menyesal karena berurusan denganku!**"Calvin. Perketat keamanan di sini!" perintah Bara lugas. "Siap, Bos."Bara menggandeng tangan Sheila dan berdiri di depan pintu lalu menekan bel. Laras membuka pintu rumahnya, terkejut dengan kedatangan Sheila dan Bara yang tiba-tiba."Sheila," gum
Bara berdiri dengan raut wajah tersenyum senang. Dia tengah menjabat tangan seorang investor yang resmi bergabung dalam pembangunan villa di salah satu kawasan wisata sedang populer tapi masih kurang dalam sarana infrastruktur."Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Bara," puji Adam, seorang pria berusia 50 tahun. "Begitu juga saya. Terima kasih Mr. Adam," balas Bara.Satu per satu dari mereka keluar dari ruang meeting. Sementara Bara masih ada di sana bersama Calvin."Rapat ini berjalan sesuai dengan harapan," ucap Bara puas. Dia yakin dengan adanya pembangunan di desa yang lumayan terpencil itu akan mendatangkan banyak wisatawan. Mereka pasti akan terpana dengan keindahan pantai juga pasir putihnya yang berdampak pada keuntungan besar bagi perusahaan juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya.Bara yang hanyut dalam bayangannya dikejutkan getaran ponsel di saku celananya. Tatapannya menajam disertai kedua alis yang hampir menyatu kala membaca pesan dari nomor asing itu. Tidak Dik
"Shei, jangan menggodaku. Kau membuat konsentrasiku buyar," peringat Bara namun dia justru terpesona meneliti paras cantik Sheila. Sheila memundurkan wajahnya hendak bangkit dari pangkuan Bara. "Eits! Tidak semudah itu keluar dariku Sayang," sergah Bara mendekap pinggang ramping Sheila. "Apalagi? Bukankah aku hanya akan mengganggumu?! Lepaskan aku!" kesal Sheila merajuk."Aku belum selesai." Bara memiringkan wajah, mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Kali ini Bara berubah dominan. Bara menjelajahi rahang Sheila, mengecupi lehernya membuat Sheila mendesis pelan. Ciuman ini begitu memabukan. Bara kembali naik melumat bibir Sheila. Memagutnya lembut dan penuh perasaan. Bara menekan tengkuk leher Sheila berniat memperdalam ciumannya.Sheila membuka mulutnya memberi akses lidah Bara untuk masuk. Ciuman ini terasa membakar, Bara semakin bernafsu menciumnya. Basah dan panas. Kedunya berhenti, saling menatap dengan kilatan mata penuh gairah. "Mau lagi?" tanya Bara dengan binar d
Kedua mata Sheila melebar mendengar keinginan Bara. "A-aku tidak bisa," lirih Sheila. Dia menatap manik mata Bara cemas."Kenapa?" tanya Bara kecewa Sheila menolaknya.Sheila menggigit bibirnya, "Pagi tadi aku ... datang bulan," kata Sheila.Maaf, aku terpaksa bohong, batin Sheila. Dia masih takut dengan Bara bila menyangkut urusan ranjang. Jujur saja, Sheila masih belum siap melayani Bara sepenuhnya.Bara mengusap pipi Sheila. "Jika memang iya, kenapa kau terlihat gusar?" tanya Bara menyelidik."Takut kamu marah," lirih Sheila.Bara memeluk Sheila, "Aku ini suamimu. Apa aku terlihat menyeramkan?" gerutunya mendadak emosi sendiri.Sheila tersenyum, "Sedikit, kamu kan Barbar!" imbuh Sheila membuat Bara mengeratkan pelukannya. Pria itu menunduk menciumi puncak kepala Sheila gemas. Sheila mendongak membuat ciuman Bara mendarat di keningnya."Tapi ... apa alasanmu menyukaiku, Bara? Kenapa bisa yakin denganku? Padahal kita belum saling mengenal." Sheila selalu bertanya-tanya, apa yang mem