"Saya tidak akan membiarkan Sheila jatuh ke tanganmu!" tolak Bryan bangkit.
"Kau menantangku?!" Bara mulai tersulut emosi. Dia langsung meninju rahang kiri Bryan kuat hingga pria itu terhuyung merasakan kuatnya pukulan Bara.
Semuanya menjerit histeris, belum sempat Bryan membalas, Bara menendang keras di ulu hatinya.
"Akh!" erang Bryan saat rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Jangan ada yang mendekat atau membantu dia atau kalian berurusan dengan saya!" ancam Bara ketika beberapa orang ingin melawannya.
"Sebenarnya siapa Bara? Kenapa dia sangat berkuasa?" tanya Sheila pada Kayla.
"Dia itu ...." Kayla menggantung kalimatnya.
"Anak pemilik perusahaan RodriguezCorp yang bergerak di bidang konstruksi. Memiliki beberapa cabang di luar negeri. Bara, pemimpin galak dan terkenal perfeksionis," jelas Kayla membuat Sheila tercengang.
"Shei, kamu tidak sadar?" tanya Kayla menoleh pada Sheila.
Sheila menggeleng, Bara di foto dan dunia nyata berbeda. Jika dilihat langsung, Bara lebih tampan daripada hanya melaui jepretan kamera.
Bryan menyeka cairan kental di sudut bibirnya. Dia melangkah maju dengan tekad bulat melawan Bara. Namun, tak ada satu pukulan yang berhasil mengenai Bara. Kokohnya pertahanan Bara tidak mampu Bryan runtuhkan. Bara melayangkan tendangan kuat pada wajah Bryan, sontak membuat Bryan terpelanting keras ke lantai.
Bara menginjak dada Bryan. "Mengaku kalah dan berikan Sheila pada saya!" seru Bara seraya mengangkat dagu.
Bryan bersikukuh menggeleng membuat Bara menginjaknya lebih kuat.
"Cukup! Berhenti!" Sheila akhirnya bersuara setelah lama bungkam akibat ketakutannya. Melihat Bryan teraniaya membuatnya menderita. Wajahnya basah penuh derai air mata.
"Shei, saya memiliki pilihan untukmu. Menikah dengan saya, maka Bryan aman dan hutangnya lunas. Atau ... menolak saya dan Bryan akan dalam bahaya!"
Sheila berfikir keras. Dia tidak mau Bryan terluka lebih, tapi di sisi lain Sheila tidak ingin menikah dengan sosok pemaksa seperti Bara.
"Jawab Shei! Waktumu tidak banyak!" gertak Bara memukul Bryan brutal dan beringas.
Bryan terbatuk kencang. Dadanya nyeri dan lukanya berdenyut perih.
Iris mata gelap Bara menatap Sheila tajam, seakan memperingatkan sebuah kalimat. Jangan pernah menentang perintahku!
"Sudah cukup! Jangan sakiti Bryan, a-aku bersedia," kata Sheila parau.
"Bersedia apa?!" kelakar Bara menuntut kejelasan.
"Menjadi istrimu!" pekik Sheila walau hatinya menjerit menolak keras ucapan itu.
"Pilihan yang bagus, Shei," puji Bara memindahkan kakinya dari tubuh Bryan. Lalu Bara tersenyum manis tanpa dosa pada Bryan.
"Sheila!" panggil Herman dengan pandangan putus asa. Sheila menoleh pedih.
"Maafkan ayahmu yang tidak bisa membantumu, Nak," sesal Herman, dia merasa gagal melindungi putrinya. Mengingat orang seperti Bara sulit untuk dilawan. Mereka punya kuasa sekaligus berbahaya.
"Sheila, apa kamu yakin?" tanya Laras menangkup pipi Sheila. Air mata Sheila mengalir deras.
Bara berdecih tidak peduli. Mau tidaknya Sheila, yang terpenting Sheila berada dalam cengkeramannya.
"Kalian, bawa barang-barang di mobil kemari," titah Bara pada ketujuh bodyguardnya yang memakai setelan jas hitam.
Sheila menggeleng tidak percaya melihat seserahan yang dipersiapkan Bara, ini artinya Bara telah merencanakannya matang-matang.
Tak lama kemudian Bara telah kembali dengan mengenakan jas putih.
"Shei, kemarilah," pinta Bara meraih tangan Sheila. Dengan cepat Sheila mundur menghindari sentuhan itu lalu duduk di kursi seperti semula.
Bryan memandang sedih, tatapan kecewanya begitu kentara. Dadanya sesak, sakit sekali, lebih menyakitkan ketimbang pukulan dan tendangan yang Bara berikan. Harusnya dirinya yang di sana. Hubungan yang terjalin selama tiga tahun bersama Sheila terpaksa kandas. Bryan bangkit dengan luka yang menganga di hatinya. Tidak sanggup menyaksikan pujaan hatinya bersanding dengan Pria lain.
Suatu saat nanti saya akan membalas perbuatanmu Bara! batin Bryan, dadanya bergemuruh.
"Bryan," gumam Sheila tidak rela ketika Bryan perlahan menghilang dari penglihatannya.
Bara melirik sinis Sheila lewat ekor matanya membuat Sheila menunduk takut.
"Bisa kita mulai?!" protes Bara membuat semua orang yang semula larut dalam kebingungan kembali fokus.
"Bisa."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Bara Alexander Rodriguez bin Robert Rodriguez dengan anak saya bernama Sheila Annatasya berupa seperangkat alat Sholat dan mas kawin senilai 888 juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Sheila Annatasya binti Herman Kurniawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah!"
Sheila lemas, bahunya merosot ke bawah. Air matanya kembali luruh setelah Bara selesai mengucapkan ijab kabul dengan lancar dan lantang. Dunianya hancur, hatinya berdesir perih.
Apa begini akhir kisahnya dengan Bryan? Sungguh menyedihkan, Sheila berakhir dengan Pria yang tidak dia cintai.
Sheila yang awalnya menangis sesenggukan berusaha keras menahannya. Dia mencium punggung tangan Bara gemetar dengan derai air mata. Bara tersenyum kemudian mencium kening Sheila.
Laras memilih untuk berpaling, tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati putrinya.
"Aku benar-benar mencintaimu Shei," ungkap Bara.
Sheila menatap mata Bara lekat mencari celah kebohongan di sana. Namun anehnya yang Sheila dapatkan adalah sorot hangat penuh ketulusan.
"Mulai saat ini kalian berdua resmi menjadi sepasang suami istri," ucap Pak Penghulu.
"Ayo kita pergi dari sini, kau harus tinggal di rumahku," ajak Bara menggandeng tangan Sheila.
"T-tapi acaranya belum selesai," protes Sheila.
"Siapa yang peduli?" balas Bara acuh.
"Aku bisa menggelar pesta lebih mewah dari ini!" tegas Bara.
Sheila mendelik sebal, Bara memiliki ego yang tinggi dan sifat arogan yang mendarah daging.
"Saya mohon, jangan sakiti anak saya," pinta Herman.
"Tidak akan, selama Sheila tidak membantah perintah saya," jawab Bara dengan wajah dingin.
"Sheila ikutlah dengannya," perintah Herman.
**
Sheila termangu menatap suasana luar dari jendela kamar. Putaran memori tentang kegagalannya menikah dengan Bryan memenuhi isi pikirannya. Kejadian 10 jam lalu telah mempora-porandakan hatinya.
Sheila tersentak ketika sebuah lengan kekar melingkar di perutnya. Dia tidak bisa menoleh karena dagu Bara bertumpu di pundaknya. Tubuhnya meremang saat napas Bara berhembus lembut di ceruk lehernya.
"Jangan menyesali apa yang terjadi. Sekarang kau harus menerima takdirmu dan menjalani hidup denganku," ucapan manis Bara justru terdengar begitu menyayat hati Sheila.
Sulit bagi Sheila untuk menerimanya, mengingat suka duka yang telah dia lewati bersama Bryan terus terngiang-ngiang di kepala.
Merasa diabaikan, Bara dengan cepat membalikkan tubuh Sheila untuk menghadapnya. "Aku tidak suka melihat istriku bersedih di malam pertama pernikahan ini." Bara ikut memasang raut sedih seolah dia prihatin dengan keadaan Sheila.
"Bagaimana aku bisa tersenyum? Kalau Pria di hadapanku ini adalah penghancur kebahagianku?!" balas Sheila tajam mampu menyentil hati Bara.
"Shei, aku tidak meminta kau membahas itu," ucap Bara dengan nada rendah tapi penuh peringatan.
"Tapi itu faktanya, kamu egois, kamu jahat dan kamu semena-mena!" cerca Sheila kian emosi. Kedua mata Sheila memanas menahan lapisan bening yang terbendung di pelupuk matanya.
"Shei, harusnya kau merasa beruntung menikah denganku," kata Bara berusaha mengontrol amarahnya.
"Beruntung katamu?" sindir Sheila, dia malah merasa sebaliknya.
"Shei." Panggil Bara serak dengan tangan mencengkeram lengan Sheila. Habis sudah batas kesabarannya. Sheila memang tidak bisa diajak bicara baik-baik.
Bara memeluk Sheila erat seraya menciumi leher Sheila. Tangannya mengusap punggung Sheila. Gadis itu merasa takut ketika gelenyar aneh terasa di sekujur tubuhnya. Dia berusaha mendorong Bara tapi percuma.
Bara memiringkan wajahnya, sedangkan Sheila sudah memejamkan mata, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bara terkekeh geli melihat kegugupan yang kentara dari paras Sheila yang sedikit menyurutkan emosinya.
"Kau sangat menginginkan itu, Shei?" goda Bara mengangkat sebelah alisnya.
Sheila membuka mata seraya menipiskan bibir.
"I-itu apa? Aku tidak mengerti maksud kamu apa!" ketus Sheila berpaling menyembunyikan rona merah di pipinya.
Bara merapatkan tubuhnya pada Sheila. "Biar aku tunjukkan," kata Bara mendaratkan bibirnya lembut di bibir Sheila. Tangan Bara memegang tengkuk Sheila memperdalam ciumannya. Sheila berusaha lepas, tapi tidak bisa, Bara semakin menguasainya. Ciuman Bara sangat lembut bahkan Sheila mulai terlena.
Bara bergerak mendorong Sheila menuju ranjang. Sheila terlentang dengan bibir keduanya yang masih bertautan, Bara semakin gencar untuk menyesapnya dan menggigitnya kecil.
"Manis, Shei." Bara mengusap bibir Sheila dengan ibu jari. Sheila yang diperlakukan begitu gugup. Dadanya berdebar kencang melihat senyuman Bara.
Bara berada di atas Sheila dengan tangan yang mengurung tubuh Sheila sepenuhnya. Bara kembali melumat bibir Sheila lalu turun ke leher dan pundak Sheila meninggalkan jejak-jejak panas di sana. Sheila menahan mulutnya untuk tidak mengerang ketika tubuhnya terangsang hingga dadanya terasa padat. Sheila tidak mau, dia menolak, tapi tubuhnya bereaksi lain.
Tangan Bara menyusup ke dalam piyama Sheila, Bara sempat terkejut, rupanya Sheila tidak mengenakan dalaman, hal itu memudahkan Bara untuk meremas gundukan kenyal itu.
"Apa ini caramu menggodaku?" tanya Bara merasakan miliknya menegang.
Sheila menggeleng. Dia tidak memakai bra karena dirinya selalu melepasnya saat akan tidur.
Bara masih bermain di sana, Pria itu begitu menikmatinya. Sedangkan Sheila menggelinjang saat Bara memainkan bagian atasnya. Sheila meremat kuat sprei menahan suara aneh yang ingin keluar dari mulutnya.
"B-berhenti!" pinta Sheila ketika Bara memberi jeda ciumannya.
Napas keduanya sama-sama memburu. Sheila menghirup oksigen dengan cepat, Bara terkekeh.
Ini belum ada apa-apanya, Shei, batin Bara.
Dia bahkan bisa lebih buas daripada saat ini.
Bara menyingkirkan helai rambut Sheila ke belakang telinga agar leluasa melihat wajahnya cantik istrinya yang merona.
"Aku tidak akan menuntutmu melakukannya sekarang. Walaupun aku bisa memaksamu dan aku sangat ingin. Tapi, aku masih memiliki rasa iba. Aku ingin kau menyerahkan dirimu padaku."
Sheila menghembuskan napas lega, dia bersyukur Bara telah berubah sejenak dari pemaksa menjadi pengertian.
"Bagaimana kau bisa secantik ini, Shei?" puji Bara mencium pipi Sheila menggigitnya kecil membuat Sheila meringis dan mengusap bekas gigitan Bara.
"Itu hanya perasaanmu! Di luar sana banyak wan──"
Bara memotong ucapan Sheila dengan mendaratkan kecupan singkat di bibir Sheila. Mata Sheila melebar, tubuhnya mendadak kaku.
"Kau ingin aku mengulangi yang tadi?"
Sheila menggeleng cepat, takut bila Bara berubah liar. Bara berbaring di sebelah Sheila kemudian merengkuh pinggang Sheila menjadikan lengan kekarnya untuk bantalan kepala Sheila.
"Tidurlah dalam pelukanku. Jangan berusaha untuk kabur atau aku akan menerkammu!"
Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya."Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan."Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.Sheila merinding, hembusan napas
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora
Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara. "Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang. Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar. "Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring. "A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya. "Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila."Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya. Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.Bara mencium bib
Bara Alexander Rodriguez, seorang CEO muda, gagah dan tampan. Sosoknya adalah idaman bagi setiap wanita. Namun, di balik namanya yang melejit sebagai seorang pengusaha muda berbakat, Bara tak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia terlalu fokus dengan karirnya untuk memajukan bisnis konstruksi perusahaan keluarganya, Rodriguez Corporation. Bara berjalan tergesa memasuki Kafe untuk bertemu dengan klien. Lantaran tidak memperhatikan sekitar dia malah menabrak seseorang hingga terjatuh. "Awh!" Bara yang kaget langsung berjongkok melihat keadaan gadis bersuarai hitam sepunggung itu. "Maafkan saya, apa kau baik-baik saja?" tanya Bara sopan.Gadis itu mendongak lalu mengumbar senyum manis padanya membuat detak jantung Bara berdebar kuat saat lesung di pipi kanan gadis itu tampak jelas. Semakin menambah kecantikannya berkali-kali lipat. Bara sadar ada yang salah dalam dirinya. Debaran yang tak tertahan di dadanya. Inikah yang disebut jatuh cinta pandangan pertama
“Pulanglah She, sudah malam,” perintah Bryan. “Tapi….”"Jangan pikirkan aku, istirahatlah. Aku tau kau lelah selain mengurus persiapan pernikahan, kau juga sibuk mengurus toko kuemu. Aku tidak mau kau sakit saat hari pernikahan kita.”"Baiklah kalau begitu aku pamit. Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Semoga ibumu cepat pulih," kata Sheila."Amin. Hati-hati, She. Aku minta maaf tidak bisa antar kamu pulang," balas Bryan. Sheila tersenyum sembari mengusap pundak Bryan."Aku tau kondisi kamu Bryan.”"Iya."Sheila berada di pintu keluar rumah sakit. Hujan turun dengan lebat. Sheila mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah agar pandangannya bisa melihat jelas ke depan. Terpaksa, Sheila berlari menerobos guyuran hujan deras dari pelataran demi menuju halte. Napas Sheila memburu, dia mengusap wajahnya. "Hey, kita bertemu lagi," sapa Bara ketika Sheila ikut berteduh di halte yang sama. Bara memang sudah menduga Sheila pasti akan kemari karena ia membuntuti Sheila dan bergerak cep