Bara Alexander Rodriguez, seorang CEO muda, gagah dan tampan. Sosoknya adalah idaman bagi setiap wanita. Namun, di balik namanya yang melejit sebagai seorang pengusaha muda berbakat, Bara tak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia terlalu fokus dengan karirnya untuk memajukan bisnis konstruksi perusahaan keluarganya, Rodriguez Corporation.
Bara berjalan tergesa memasuki Kafe untuk bertemu dengan klien. Lantaran tidak memperhatikan sekitar dia malah menabrak seseorang hingga terjatuh.
"Awh!"
Bara yang kaget langsung berjongkok melihat keadaan gadis bersuarai hitam sepunggung itu.
"Maafkan saya, apa kau baik-baik saja?" tanya Bara sopan.
Gadis itu mendongak lalu mengumbar senyum manis padanya membuat detak jantung Bara berdebar kuat saat lesung di pipi kanan gadis itu tampak jelas. Semakin menambah kecantikannya berkali-kali lipat. Bara sadar ada yang salah dalam dirinya. Debaran yang tak tertahan di dadanya. Inikah yang disebut jatuh cinta pandangan pertama?
"Aku baik-baik saja, aku hanya terkejut," jawab Sheila pelan membenarkan tas slempangnya.
Sheila menatap Bara lekat, seakan terhipnotis dengan penampilan rapi dalam balutan jas hitam itu. Parasnya yang begitu tampan. Badannya tegap, kedua alisnya tebal serta tatapan matanya tajam.
"Saya terlalu terburu-buru, hingga saya tidak menyadari keberadaanmu," jelas Bara lembut, rasanya baru kali ini dia mengucapkan nada sehalus ini.
Sheila mengangguk. "Iya, aku mengerti. Tidak apa-apa. Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Sheila melangkah meninggalkan Bara.
"Tunggu," sergah Bara ketika Sheila telah berjarak lima langkah darinya.
Sheila berbalik badan dengan cepat menunggu ucapan Bara selanjutnya. Namun, Bara tak kunjung berucap membuat Sheila dilanda kegugupan karena tatapan mata Bara yang mengintimidasinya.
"Ada apa?" tanya Sheila memberanikan diri.
"Siapa namamu?" tanya Bara penasaran.
Sheila tampak berfikir, ide jahil muncul di kepalanya. Lalu Sheila tersenyum simpul, dia mengucapkan namanya tanpa suara.
Bara mencoba mengejanya, dia gemas saat Sheila mengulanginya beberapa kali. Pergerakan bibir mungil itu membuat Bara ingin menarik pinggang ramping itu lalu melumat habis bibir ranumnya.
"She ... ila," gumam Bara. Rasa bahagianya kian membuncah ketika Sheila mengangguk, pertanda mengiyakan.
Sebelumnya tidak pernah terasa begini. Rasanya begitu menyenangkan, wajah Sheila yang terlihat polos membuat Bara ingin melindunginya. Mendekapnya erat dan keduanya menghabiskan waktu bersama. Namun, itu masih sebatas khayalan, tapi sudah membuat Bara terlena dalam imajinasi liarnya.
"Dia dengan mudahnya meruntuhkan pertahanan hati saya, apa mungkin dia yang saya cari selama ini?" tanya Bara pada dirinya sendiri. Dari banyaknya wanita yang Bara temui, hanya Sheila yang dengan mudah membuatnya terobsesi untuk memilikinya.
Bara menyeringai. "Sheila, aku akan membawamu jatuh dalam pelukanku," tekad Bara penuh ambisi.
Pintu ruangannya terketuk berulang-ulang membuat bayangan Bara akan Sheila buyar.
"Masuk," titah Bara dengan suara baritonnya. Pria itu dengan cepat merubah raut wajahnya menjadi datar dan terkesan dingin.
Bryan berdiri di depan meja dengan tumpukan berkas di tangannya.
"Ada beberapa dokumen yang harus anda tanda tangani, Pak," ucap Bryan menaruh berkas bawaannya di meja Bara.
Bara memajukan kursinya untuk memeriksa berkas itu dengan teliti kemudian membubuhkan tanda tangannya. Bryan yang melihat bahwa Bara telah selesai, langsung mengambilnya kembali.
"Kalau begitu, saya permisi," pamit Bryan membungkukan badan dan keluar.
Bara mengangguk dia berdiri seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Pikirannya tidak fokus, Bara harus menggali informasi tentang Sheila secepatnya.
Dia berjalan melewati mejanya. Kakinya sedikit terangkat setelah menginjak sesuatu. Dahi Bara mengernyit mengambil sebuah dompet berwarna cokelat tua.
Kedua mata Bara memandang remeh.
"Jelek sekali seleranya," desis Bara mengamati penampilan dompet itu. Tangan Bara tergerak untuk melihat isinya. Pupil matanya melebar saat foto gadis yang terus membekas di ingatannya ada di sana tengah tersenyum manis bersama Bryan.
Itu Sheila dan ini tidak mungkin!
"Ada hubungan apa Bryan dan Sheila?" geram Bara, darahnya seakan mendidih disertai emosi yang bergolak.
"Permisi." Bryan datang lagi.
"Masuk!" seru Bara dengan tatapan tajam yang menusuk manik mata Bryan.
Bryan menelan ludahnya kasar merasakan aura gelap yang menguar dari diri Bara. Apalagi pandangan Bara yang seakan ingin membunuhnya.
Tujuan Bryan datang kemari adalah untuk memastikan. Apakah dompet miliknya terjatuh di sini atau tidak. Rupanya memang benar, saat dia melihat Bara memegangnya.
"Maaf Pak, itu dompet saya," ucap Bryan.
"Siapa perempuan ini?" tanya Bara langsung pada intinya.
"Dia calon istri saya," jawab Bryan sungguh-sungguh.
Bara syok mendengarnya, tangannya mengepal erat. Baru saja dia akan mengincar Sheila tapi kenapa semuanya seperti ini? Apa kali ini takdir tidak akan berpihak padanya?
Kau hanya milikku Sheila!
Bryan merogoh sakunya ketika merasakan getaran ponsel. Bryan mendapati pesan masuk dari adiknya yang mengatakan jika ibunya jatuh di kamar mandi dan sekarang dirawat di rumah sakit. Dokter harus segera melakukan tindakan operasi karena ibunya mengalami stroke.
Bryan menatap ragu pada Bara, keringat dingin mengucur dari keningnya. Pria itu lantas menghela napas panjang menenangkan dirinya.
"Pak, bolehkah saya meminjam uang untuk biaya operasi ibu saya? Tolong Pak, saya sangat membutuhkannya," mohon Bryan dengan wajah penuh harap.
"Ibumu sakit apa?" tanya Bara sekedar basa-basi.
"Beliau stroke dan harus segera di operasi," jelas Bryan.
"Baiklah, asal ada jaminannya," kata Bara tersenyum sinis.
Bryan berfikir keras, dia hanya tinggal di rumah kontrakan. Mobil pun tidak punya, apa yang harus dia jaminkan?
"Saya hanya memiliki motor," ucap Bryan apa adanya.
"Saya tidak mau!" tolak Bara keras.
"Bagaimana jika tunanganmu sebagai jaminannya?" usul Bara bersidekap tangan menampakan aura otoriternya.
Bryan tertohok, seketika hatinya langsung panas mendengar penuturan Bara. Bryan mengepalkan tangan, dia mati-matian menahan dirinya untuk tidak menghajar wajah sombong Bara yang notabene adalah Bosnya.
"Tidak! Apa maksud Bapak berkata begitu? Saya tidak akan melepaskan Sheila! Carilah perempuan lain, Sheila bukan wanita seperti itu!" tegas Bryan menolaknya mentah-mentah.
"Tau apa kau tentang saya? Saya jatuh cinta padanya saat kami tidak sengaja bertemu. Tapi sialnya kau mengenalnya lebih dulu!" geram Bara.
"Saya tidak akan menyetujuinya, apapun selain itu saya akan turuti," kata Bryan.
Suasana terasa tegang saat Bara dan Bryan saling melempar sorot permusuhan.
"Tidak ada," ketus Bara memalingkan wajahnya.
"Kak, tindakan operasi harus segera dilakukan, jika tidak ... nyawa ibu akan terancam. Biayanya sekitar 150 juta Kak, gimana ini kak? " ucap Tiara terisak dari sambungan telfon.
Wajah Bryan berubah pias, tangannya gemetar dia tidak ingin kehilangan ibunya secepat ini.
"Katakan iya, Kakak akan segera melunasi biayanya!" perintah Bryan cepat.
Bara menjengitkan sebelah alisnya. "Bagaimana? Apakah kau masih bisa bersikap sombong ketika terdesak?" sindir Bara terdengar angkuh.
Bryan memejamkan matanya erat meredam emosi. "Baik saya setuju." Seketika rasa sesal memenuhi hati Bryan.
"Pilihan yang tepat Bryan," puji Bara tersenyum puas semakin membuat Bryan meradang.
Bara mengambil selembar kertas yang sudah tertempel materai dan menyodorkannya pada Bryan.
"Tanda tangan di sini," titah Bara. Bryan berjalan mendekat dan mematuhi perintah Bara.
Bara mengambil ponselnya. "Saya sudah transfer uangnya. Silahkan pergi," usir Bara.
"Baik, terima kasih," balas Bryan dengan nada tidak ikhlas. Tangan Bryan mengepal kuat dengan emosi yang menderu.
**
Sheila menghampiri Bryan dengan rasa khawatir dan cemas yang begitu jelas dari wajahnya. Dia duduk di kursi sebelah Bryan. Setelah mendapat kabar dari Bryan ia langsung bergegas ke rumah sakit.
"Bryan bagaimana keadaan ibumu?" tanya Sheila.
"Kondisinya berangsur membaik setelah operasi," jawab Bryan terdengar lelah.
"Syukurlah, aku turut senang mendengarnya," sahut Sheila lega.
Bryan menggenggam kedua tangan Sheila dan mengecupnya lembut. "
"Sheila, berjanjilah kau akan terus mencintaiku," pinta Bryan.
Sheila tersenyum manis, tanpa ragu dia menjawab. "Iya, aku berjanji."
Ada kelegaan yang Bryan rasakan, sedari tadi seperti ada tali yang mengikatnya kencang dan membuatnya sesak. Namun, sekarang tali itu telah melonggar seiring dengan kecemasan yang perlahan memudar. Berada di dekat Sheila membuat Bryan nyaman. Dan binar kebahagiaan di mata Sheila seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Persiapan pernikahan kita sudah selesai kan?" tanya Bryan.
Sheila mengangguk pelan. "Sudah, kita hanya mengundang sahabat dan keluarga saja," jelas Sheila mantap.
"She, aku ingin memajukan tanggal pernikahan kita menjadi minggu depan," ucap Bryan membuat Sheila terkejut.
Inilah solusinya, jika Bryan menikahi Sheila secepatnya Bara tidak akan mengambil Sheila darinya.
Sheila menangkup wajah Bryan. "Apa kamu takut kehilanganku?" goda Sheila mengusap lembut pipi Bryan.
"Ya, aku sangat takut," jawab Bryan yakin dan lugas. Bryan menarik Sheila lalu membawanya ke dalam pelukan. Dari perlakuan Bryan itu, justru menghadirkan perasaan aneh dalam hati Sheila.
Apa yang Bryan sembunyikan?
Tanpa mereka sadari Pria berwajah tampan namun mematikan itu tengah mengintai mereka dengan senyum dan tatapan bak iblis. Ya, dia Bara, Pria yang memiliki keinginan yang sangat kuat dan harus selalu terpenuhi.
"Lihat saja Bryan, aku tidak akan membiarkan rencanamu berjalan mulus!" geram Bara dengan mata yang berkilat marah.
“Pulanglah She, sudah malam,” perintah Bryan. “Tapi….”"Jangan pikirkan aku, istirahatlah. Aku tau kau lelah selain mengurus persiapan pernikahan, kau juga sibuk mengurus toko kuemu. Aku tidak mau kau sakit saat hari pernikahan kita.”"Baiklah kalau begitu aku pamit. Jika ada apa-apa segera hubungi aku. Semoga ibumu cepat pulih," kata Sheila."Amin. Hati-hati, She. Aku minta maaf tidak bisa antar kamu pulang," balas Bryan. Sheila tersenyum sembari mengusap pundak Bryan."Aku tau kondisi kamu Bryan.”"Iya."Sheila berada di pintu keluar rumah sakit. Hujan turun dengan lebat. Sheila mengangkat kedua tangan untuk melindungi wajah agar pandangannya bisa melihat jelas ke depan. Terpaksa, Sheila berlari menerobos guyuran hujan deras dari pelataran demi menuju halte. Napas Sheila memburu, dia mengusap wajahnya. "Hey, kita bertemu lagi," sapa Bara ketika Sheila ikut berteduh di halte yang sama. Bara memang sudah menduga Sheila pasti akan kemari karena ia membuntuti Sheila dan bergerak cep
"Saya tidak akan membiarkan Sheila jatuh ke tanganmu!" tolak Bryan bangkit. "Kau menantangku?!" Bara mulai tersulut emosi. Dia langsung meninju rahang kiri Bryan kuat hingga pria itu terhuyung merasakan kuatnya pukulan Bara. Semuanya menjerit histeris, belum sempat Bryan membalas, Bara menendang keras di ulu hatinya. "Akh!" erang Bryan saat rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya."Jangan ada yang mendekat atau membantu dia atau kalian berurusan dengan saya!" ancam Bara ketika beberapa orang ingin melawannya."Sebenarnya siapa Bara? Kenapa dia sangat berkuasa?" tanya Sheila pada Kayla."Dia itu ...." Kayla menggantung kalimatnya."Anak pemilik perusahaan RodriguezCorp yang bergerak di bidang konstruksi. Memiliki beberapa cabang di luar negeri. Bara, pemimpin galak dan terkenal perfeksionis," jelas Kayla membuat Sheila tercengang."Shei, kamu tidak sadar?" tanya Kayla menoleh pada Sheila.Sheila menggeleng, Bara di foto dan dunia nyata berbeda. Jika dilihat langsung, Bara lebih tamp
Bara terkejut mendapati Sheila tidak ada di sisinya. Harusnya ketika dia membuka mata, wajah Sheila yang masih tertidur damai menyambutnya. Bukan malah menghilang yang membuat Bara kalang kabut. Gegas Bara menyingkap selimut, ia lantas mencari Sheila ke seluruh sudut kamar. Bara menggeram kesal. "Sial! Dia pasti kabur!"Buru-buru Bara menuruni undakan tangga dengan kemarahan yang memancar dari matanya."Dimana Sheila?" tanya Bara pada salah satu pelayan."Nyonya sedang ada di dapur, Tuan," jawab Pelayan itu.Bara melangkah lebar untuk sampai di dapur. Wajah yang semula muram penuh kesal itu berubah cerah. Senyum Bara merekah mendapati Sheila tengah memasak nasi goreng, terlihat dari Sheila yang mulai menuangkan kecap. Dari aromanya saja sudah menggugah selera Bara untuk segera mencicipinya.Bara melingkarkan tangannya posesif di pinggang Sheila, hidung mancungnya mencium aroma tubuh Sheila. Harum bunga mawar membuat Bara betah menghirupnya lama-lama.Sheila merinding, hembusan napas
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal, dia menyalip satu per satu kendaraan dengan lihai. Pria itu dipenuhi kabut emosi. Bara sudah berkeliling mencari Sheila. Namun, hingga petang ini, Bara tak kunjung menemukan wanita yang membuatnya tidak mempedulikan dirinya sendiri.Bara menepi, ia memukul setir mobil dengan kondisi buku-buku jari yang penuh akan darah yang mengering."Sheila!" erang Bara."Aku terjebak denganmu!" geram Bara frustasi.Sebenarnya mudah saja jika Bara ingin segera menemukan Sheila, dia tinggal mengerahkan anak buahnya. Namun, dia terlanjur marah dan bertekad menemukan Sheila sendiri.**Sheila melangkah lemas dengan kedua mata merah dan sembab. Langkah kaki menggiringnya ke sebuah gang sempit yang diterangi cahaya temaram. Sheila bahkan bingung ingin kemana. Jika dia pulang, Sheila takut keluarganya akan terseret dalam permasalahannya. Hatinya masih tersayat perih ketika mengingat respon Bryan yang tidak peduli lagi dengannya."Cantik," sapa seora
Buliran bening terus menetes dari pelupuk mata Sheila. Bara terus melumat bibirnya hingga terasa sedikit bengkak. Dia tidak bisa lepas karena kedua lengan kokoh Bara menahan tangannya. Bara menghentikan ciumannya lalu menatap Sheila dengan hasrat yang membara. "Sudah siap melihat diriku yang sebenarnya Shei?" tanya Bara bernada rendah berhasil membuat tubuh Sheila meremang. Dia memandang Bara gamang. "B-bara, aku belum siap. Aku takut," lirihnya dengan suara bergetar. "Takut?” tanya Bara terdengar mengejek. Dimana Sheila yang menantangku beberapa detik yang lalu?" sindirnya tersenyum miring. "A-aku tidak bermaksud," cicit Sheila. Sungguh dia benar-benar takut merasakan aura kelam suaminya. "Jangan harap aku akan berubah pikiran dengan wajah memelasmu itu!" kelakar Bara.Dengan satu tarikan Bara merobek piyama Sheila."Bara!" pekik Sheila menutupi dadanya. Pria itu mengabaikan teriakan Sheila, matanya tertuju pada tubuh atas Sheila yang membuatnya kian bergairah.Bara mencium bib