“Apa maksudnya ini?” tanya Rasenda ketika kami berdua tiba di lantai tujuh belas Pelisia Quarter Keeps.
“Kalian mau demo?” lanjutnya.
Pada hari pertama kerja di awal pekan setelah perayaan ulang tahunku, para karyawan Pecitra berkumpul di lantai tujuh belas. Mereka berasal dari berbagai departemen yang ada di lantai lima belas.
“Bukan Pak,” sanggah Ibu Angelic. “Kami ke sini mau mengucapkan selamat atas pernikahan Bapak dengan Ibu Alba.”
Berdasarkan pengalamanku bekerja di bawah Rasenda, lelaki ini tak suka jika karyawan meninggalkan meja mereka, kecuali untuk keperluan pekerjaan.
Tangan kananku membentuk sudut siku-siku di depan dada, sementara tangan kiri berpijak di atasnya seraya memijat pangkal hidung. Melihat para karyawan lantai lima belas ada di sini sekarang, kemungkinan Rasenda akan menceramahi mereka.
“Terima kasih atas perhatian semua orang. Setelah jam kerja selesai, jangan p
“Sayang, tunggu dulu! Kita belum sampai di rumah,” ucapku pada suami setelah kami pulang dari acara makan malam bersama dengan para karyawan.Lelaki ini menyerangku sejak kami keluar dari lift. Dia tak mau berhenti, bahkan hanya untuk satu detik.“Sayang! Kamu dengerin aku ngomong apa enggak sih?” protesku.“Dengar kok, ini kan kita mau masuk rumah, jadi tidak apa-apa,” jawabnya.Dia memperlambat gerakannya karena memasukkan sandi di pintu. Setelah kami berhasil masuk ke dalam, Rasenda segera menyambar bibir ini dan menekanku ke tembok.Pergerakan Rasenda tak dapat aku halau. Selain karena gelap, gerakan lelaki ini juga sangat lincah sehingga aku tak punya pilihan lain selain menikmati setiap cumbuannya.Suami mengangkat kedua tanganku ke atas kepala dan bibirnya menjelajahi leher hingga area depan. Pada saat itu, aku melihat sekelebat bayangan di atas sofa.“Sayang berhenti dulu!” ucapku.“Tidak mau! Dari tadi kamu selalu minta berhenti. Jangan harap aku akan melakukannya,” sanggah s
“Kenapa disebut sebagai Jantung Medusa?” tanyaku pada suami.Dengan entengnya Rasenda menjawab pertanyaan bodohku, “Karena bentuk batu delima yang digunakan terlihat seperti jantung.”Aku pun mengamati detail perhiasan yang diberikan oleh ibu mertua. Permata yang ada pada perhiasan tersebut memiliki ukuran 88 karat, sangat pas digunakan untuk memukul kesombongan tetangga yang julid.Ternyata yang dikatakan oleh suamiku tidak salah. Benda berharga yang diberikan oleh ibu mertua memang terlihat seperti jantung, namun tidak terlihat alami.“Aish. Apa kamu kira kalau aku ini masih anak kecil? Batu permata yang dijadikan perhiasan kan dipahat terlebih dahulu. Mana mungkin batu asli dari alam sudah memiliki bentuk seperti itu,” ujarku padanya.Rasenda menutup kotak perhiasan yang berisi batu merah delima hadiah dari ibu mertua. Kemudian, dia menyimpan perhiasan tersebut ke dalam brankas. Setelah itu, dia mengangkat tub
Perkataan Rosiana terngiang-ngiang di kepala hingga seharian. Pernikahanku memang dadakan, namun semuanya berjalan lancar tanpa hambatan seolah sudah dipersiapkan dengan matang.“Sayang, aku mau ngomong,” ucapku pada suami saat dia sedang membaca buku di perpustakaan pribadi.“Mau ngomong apa sih sayang?” tanya lelaki itu.Dia menutup buku yang sedang dibaca dan menyediakan pangkuannya untukku. Karena sudah dipersilakan duduk di sana, aku pun mendaratkan tubuhku dengan senang hati.“Waktu kita nikah, persiapannya berapa lama sih?” tanyaku.Lelaki ini menghela napas, lalu balik bertanya padaku, “Kenapa tiba-tiba kamu tanya itu?”“Memang tidak boleh?”Aku sempat mencari informasi tentang tata cara mengajukan pernikahan di Singapura. Dikatakan apabila kita hendak melakukan pernikahan di sana, ada beberapa persyaratan.Salah satu syarat yang harus dipenuhi jika ingin menik
“Eh! Lihat deh,” seru Aulia padaku. Dia menunjukkan layar ponselnya, lalu berkata, “Ini si Ayu yang dulu ada di Departemen Public Relations, kan?”Aku menonton video di media sosial yang ditunjukkan oleh wanita ini. Tidak salah lagi, perempuan yang ada di sana adalah Ayu Larasati. Orang yang sudah membuatku terlihat sebagai wanita murahan dan juga simpanan sang CEO Pecitra. Padahal lelaki itu adalah suamiku sendiri.“Enggak nyangka ya si Ayu sudah berhenti jadi pekerja korporasi dan sekarang dia beralih menjadi influenser produk kecantikan,” sambung Aulia.“Kerjaannya sekarang membuat reviu produk, terus unggah ke media sosial,” pungkas wanita yang sedang menunggu dokumen bersamaku di depan printer.Terserah dia mau jadi apa, aku tak peduli sama sekali. Jangan tanya alasannya kenapa, tentu saja karena luka yang dia toreh padaku belum kering, bahkan masih basah dan menganga.“Maduku, berkasku sudah siap. Aku duluan ya,” ucapku pada Aulia, meninggalkan wanita ini sendiri.***“Masuk,” u
“Sebentar lagi sayang,” pinta suami dengan suara serak khas bangun tidur.Dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya dan membiarkan terbenam di sana. Memang dasar lelaki, mentang-mentang sudah diberi maaf, dia mengungkungku seenak jidat.“Kalau enggak bangun sekarang, nanti kita bisa terlambat loh,” ujarku pada lelaki ini, masih dengan badan yang terikat oleh lengannya.“Enggak usah buru-buru sayang. Kita naik mobil saja ya,” timpal Rasenda.Apa sih yang lelaki ini pikirkan? Hari ini Pecitra mengadakan family gathering, masa CEO-nya mau naik mobil ke lokasi.“Kalau naik mobil, namanya bukan gathering, melainkan pelesir swadaya,” timpalku yang masih belum menyerah untuk membuat manusia satu ini membuka mata dan bersiap.“Sayang dengerin aku.” Dia melepaskan pelukannya, lalu memosisikan diri sejajar denganku.“Meskipun namanya gathering perusahaan, tapi tidak akan ada yang peduli pada orang lain setelah kita sampai di lokasi. Jadi, kita tidak perlu pusing,” imbuhnya.“Kamu tidak perlu khaw
“Sayang, aku tidur dulu yah. Ngantuk banget nih,” ucap Rasenda setelah minum air putih dariku yang sudah diberi obat tidur.“Iya sayang,” jawabku.Aku menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda agar suami bersandar di bahuku. Dia pun segera menjatuhkan kepalanya di sana. Setelah kupastikan bahwa Rasenda benar-benar terlelap, aku pun memindahkannya ke atas pangkuan.“Bagaimana persiapannya, Pak?” tanyaku pada Pak Michael yang duduk di kursi kemudi.“Semuanya sudah siap, Bu. Tak perlu khawatir,” jawabnya.“Apa Ibu Mertuaku datang?” tanyaku kembali.“Iya Bu. Namun, beliau hanya sebentar di sana karena tidak kuat dengan angin laut,” ujarnya.Kami menembus jalanan Jakarta menuju pelabuhan, tempat di mana kapal milik Pelisia Grup berlabuh. Kapal tersebut diberi nama Pelisia Tirta Mas, sebuah kapal pesiar berukuran kecil yang mampu menampung sekitar seribu orang.“Silakan Bu,” ucap Pak Michael saat dia membuka pintu penumpang untukku.“Tolong bantu suamiku dahulu,” pintaku pada lelaki itu.Syukurl
“Semalam tidurmu nyenyak?” tanya Rasenda. Dia menghampiriku yang sedang menikmati matahari terbit, lalu memberikan kecupan singkat di kening.Biar aku tebak. Suamiku pasti menderita amnesia parsial. Kalau tidak, dia tak akan bertanya demikian.Tadi malam, tepatnya setelah diriku memberi tahu suami tentang penggunaan dasi di tangan, dia segera mempraktekkannya. Lelaki ini tanpa ragu mengikat tanganku menggunakan dasi, lalu mengaitkannya ke kepala tempat tidur.“Masih berani tanya begitu?” tanyaku pada suami sambil menunjukkan pergelangan tangan yang merah akibat perbuatannya semalam.Rasenda meringis. “Maaf sayang. Semalam aku kebablasan,” kilahnya.Alasan yang dia ucapkan tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia bisa kehilangan kendali? Dia tidak mabuk maupun menggunakan obat. Dasar lelaki banyak dalihnya.“Sudahlah. Berhubung hari ini kamu ulang tahun, maka aku tidak perhitungan lagi,” ucapku. Tid
“Coba pakai ini,” ucap suamiku. Dia membawa botol yang berisi air panas dan meletakkannya di perutku yang sedang mengalami kram.“Gimana rasanya?” tanya lelaki ini.“Jadi lebih baik. Makasih yang sayang,” ucapku seraya memberi ciuman di pipinya.Semenjak pulang dari acara perayaan ulang tahun suamiku, tubuh ini mengalami banyak masalah kesehatan. Aku aku jadi sering pusing dan mengalami kelelahan meski tidak melakukan pekerjaan yang berat.“Aww sakit,” keluhku saat suami menutupi tubuhku dengan selimut. Gerakan tangan lelaki ini mengenai dadaku dan memberi rasa nyeri di sana.“Maaf sayang, aku tidak sengaja,” ucapnya.Terlihat dari raut wajah suami bahwa dia benar-benar tidak tahu apa yang baru saja dilakukannya. Dia hanya minta maaf agar aku tak marah.“Tidak apa-apa,” jawabku. “Aku mau ke toilet dulu ya.”Sudah sebulan terakhir frekuensi buang
Terima kasih aku ucapkan pada:Editorku, Kak Dian dan Kak Lucy. Berkat kalian berdua, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ dapat tayang di Goodnovel;Para pembaca. Kalian memotivasiku untuk menyelesaikan cerita. ‘Jebakan Cinta sang CEO’ atau memiliki judul lain ‘Suami Magnetis’ merupakan naskah pertamaku di platform ini. Aku harap kalian menyukainya;Terkhusus untuk Jin, lelaki paling tampan di dunia dan sejagat raya pada abad ini. Oppa, thank you for giving me inspiration in writing this manuscript. If Oppa hadn’t held fan meeting a few months ago as well as became the torch bearer for The Paris 2024 Olympics, ‘Jebakan Cinta sang CEO’ would have had a different storyline. Oppa, i have a dream that one day my scripts will be adapted into drama and you become the one who play the main role. I hope my dreams come true.Saat ini aku sedang mengerjakan naskah lain berjudul Hidden Tea. Semoga cerita tersebut dapat tayang di platform ini juga. Sekian.
“Sayang, kamu enggak marah sama aku?” tanyaku.Saat ini diriku berada di bawah selimut yang sama dengan Rasenda. Setelah kami berdua melakukan penyatuan, rindu yang mengapur pun melebur. Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi cair.Dengan lembut, Rasenda memeluk tubuhku yang masih polos dan apa adanya. “Marah kenapa?”“Karena aku jual Jantung Medusa, hadiah dari Mama,” jawabku dengan suara yang pelan, lalu menyembunyikan wajah di pelukan Rasenda.Pada saat diriku bilang ke Rosiana bahwa aku akan melepas Jantung Medusa, sebenarnya aku takut jika Rasenda membenciku. Meski pada saat itu lelaki ini membiarkan tindakanku, namun tetap saja ada perasaan tak enak.“Asalkan itu membuatmu senang, tidak ada masalah,” jawabnya.“Lagi pula, kamu tidak jual benda itu atas dasar keputusanmu sendiri. Aku masih punya andil di dalamnya. Ingat! Aku yang melepas perhiasan itu ke orang lain karena akulah yang menyimpannya. Jadi, jangan salahkan dirimu, oke,” imbuhnya.Betapa baiknya suamiku. Padahal ka
Empat hari kami berada di Korea mulai dari Kamis hingga Minggu. Kalau saja Aulia bukan budak korporasi, mungkin kami akan berada di sana hingga satu minggu ke depan.“Manu, tolong bawa ke dalam dan bagi dengan yang lain,” pintaku pada orang itu, wanita yang disuruh oleh Rasenda untuk mengawasi gerak-gerikku.Dia membawa masuk koper yang kuberikan dan membukanya. Betapa terkejut wanita itu setelah dia melihat isi dalam koper tersebut. Terdapat berbagai produk kecantikan, seperti masker wajah, lipstik dan pelembab. Tak ketinggalan juga teh yuja, ginseng serta berbagai makanan khas Korea.Selama berada di negeri K-pop, Aku dan Aulia memuaskan diri berkeliling ke berbagai tempat. Dari lokasi wisata hingga pusat perbelanjaan, kami kunjungi semua. Tak peduli mau beli atau tidak, yang penting kami bisa cuci mata.“Ya ampun banyak banget, Bu. Apa enggak rugi kena cukai?” respons Manu.Persetan dengan cukai atau apa pun itu, toh yang bayar suamiku. Dia sendiri juga sudah bilang agar aku memuas
“Hai sayang! Gimana kabar?” Rosiana mencium pipiku, kiri dan kanan.“Baik Kak. Kakak gimana?” jawabku.Wanita yang kini mengenakan kemeja putih ini menggenggam tanganku. “Luar biasa.”Kami bertemu di kafe yang terletak di daerah Megamendung. Tempat itu memiliki pemandangan indah yang menghadap ke Gunung Salak.Selain memanjakan mata, kafe tersebut juga memanjakan lidah, terutama bagi pengunjung yang mencintai makanan pedas. Mereka menyediakan berbagai menu yang dipadukan dengan sambal bakar seperti ikan gurame, ayam bakar pedas manis, steik bumbu kacang dan masih banyak lagi.“Langsung saja tidak usah basa-basi. Aku dengar kamu punya Jantung Medusa.” Baru saja bertemu, wanita ini sudah bertanya tentang perhiasan.“Dari mana Kakak mendengarnya?” tanyaku.“Dari kenalanku. Dia ingin membelinya,” ujar Rosiana.Memang yang namanya gosip cepat beredar. Mend
“Sayang kamu pasti bercanda, kan?”Aku menarik jas pria ini dengan tangan yang gemetar. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu kejam?Kertas yang dia berikan padaku merupakan surat pengunduran diri yang sudah diatur olehnya. Dia, bahkan tak meminta pendapatku lebih dahulu. Inikah hukuman darinya?“Selama ini aku tak bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya belum sempat mengatakannya…, tidak…, aku tak berani mengatakannya karena takut kalau kamu jadi makin sedih,” ucapku.“Saat itu, kamu baru saja kehilangan Mama. Jika aku memberi tahu kalau aku keguguran….”“Tetap saja aku berhak tahu!” bentaknya. “Bagaimanapun juga, dia juga anakku.”Seumur hidup, aku tak pernah melihat Rasenda marah sampai membentakku seperti malam ini. Biasanya, tak peduli seburuk apa suasana hatinya, dia tak akan berbicara dengan nada tinggi padaku.“Apa kar
Semenjak Ayu mengunggah video klarifikasi, kepercayaan publik yang sempat hilang pun kembali. Demikian juga dengan kepulangan Rasenda dari Singapura membuat atmosfer Pecitra menjadi lebih baik dari hari ke hari.Lelaki itu berhasil membujuk klien Pecitra yang ingin memutus kerja sama untuk mengurungkan niatnya. Dengan demikian, kerugian yang mengancam perusahaan dapat ditekan.Rasenda berjalan keluar dari ruangannya dan singgah di mejaku. “Sayang, buka akun sekuritas kamu deh,” ucap lelaki itu. Aku pun menurutinya.Betapa terkejut diriku saat melihat ekuitas yang aku miliki saat ini. Besarnya tak tanggung-tanggung hingga mencapai enam bagger. Modal awal yang aku taruh adalah delapan belas miliar enam ratus juta rupiah dan kini nilainya menjadi seratus sebelas miliar enam ratus juta rupiah.“Sayang! Ini beneran uang aku naik lima ratus persen?” tanyaku pada suami untuk memastikan diriku yang masih percaya bahwa ini mimpi.
Setelah menyelesaikan sambungan telepon dengan suami, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di bawah sana. Awalnya hanya terasa lengket, namun makin lama terasa kian deras.“Bu, silakan dipakai.” Bu Angelic memberikan pembalut padaku. “Di dekat sini ada mol, kita bisa pakai toilet di sana,” sambungnya.Setelah wanita itu berkata demikian, aku pun refleks meraba celanaku dan melihat ke belakang sana. Betapa terkejutnya diriku mendapati rembesan darah yang masih segar.“Ini tidak mungkin,” gumamku.“Sudah Bu, tidak usah malu. Kita kan sama-sama perempuan. Wajar saja kalau bocor saat sedang deras-derasnya,” ujar Ibu Angelic.Selama ini, tak ada yang mengetahui kehamilanku, kecuali suami dan ibu mertua. Oleh karena itu, tak heran jika wanita ini mengira bahwa aku sedang menstruasi. Hal ini ada baiknya juga sebab pendarahanku tak menimbulkan kegaduhan.“Pak Kevin dan Bu Angelic balik duluan
“Surprise, moda faka!” ucapku dengan intonasi yang manis disertai senyuman lebar pada Ayu, wanita yang membuat kekacauan di tubuh Pecitra dalam beberapa minggu belakangan.Perempuan itu terburu-buru menutup kembali pintu masuk begitu dia tahu kalau yang berkunjung ke tempat tinggalnya adalah diriku dan dua pejabat tinggi Pecitra. Berani bertaruh, dia pasti tak menyangka kalau kami akan datang ke rumah yang dia rahasiakan dengan baik.“Tidak mempersilakan kami masuk?” Aku menahan daun pintu dengan sepatu.Ayu tetap bersikeras menutup pintu, namun Pak Kevin berhasil menariknya dan menerobos masuk. Perempuan itu pun berteriak minta tolong. Sayangnya, usaha tersebut tak membuahkan hasil karena kami lebih dahulu membungkam mulutnya.“Jangan kamu pikir bisa berbuat seenaknya setelah merusak nama baik Pecitra,” ucapku padanya dengan suara pelan, tepat di telinga perempuan itu.“Kalau kalian berani macam-m
“Bagaimana situasi di Jakarta?” tanya Rasenda padaku yang sedang berada dalam perjalanan menuju Petals Allure.“Semua aman terkendali meskipun ada kayu yang melintang. Kamu tenang saja karena aku sudah membereskannya,” kataku, merujuk pada Rapat Dewan Direksi yang baru saja digelar.Bila teringat tentang rapat tersebut, dadaku jadi bergemuruh. Kalau berbuat kekerasan tak melanggar hukum, mungkin aku sudah menarik rambut para direksi sampai kepala mereka botak.“Aku kesal banget tahu. Bisa-bisanya mereka mau gantiin kamu. Dibilangnya kamu mangkir dari tugas saat perusahaan sedang ada masalah. Padahal kan di sana kamu juga masih mengerjakan urusan kantor,” sambungku.“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu dari balik telepon.“Ya aku lawan. Untung saja kamu kasih aku surat kuasa untuk atur saham yang kamu punya. Aku bilang saja kalau aku memegang saham mayoritas bahkan sampai tujuh puluh persen, jadinya mereka enggak bisa berdebat lagi,” jawabku.Rasenda pun tertawa keras setelah