“Kenapa disebut sebagai Jantung Medusa?” tanyaku pada suami.
Dengan entengnya Rasenda menjawab pertanyaan bodohku, “Karena bentuk batu delima yang digunakan terlihat seperti jantung.”
Aku pun mengamati detail perhiasan yang diberikan oleh ibu mertua. Permata yang ada pada perhiasan tersebut memiliki ukuran 88 karat, sangat pas digunakan untuk memukul kesombongan tetangga yang julid.
Ternyata yang dikatakan oleh suamiku tidak salah. Benda berharga yang diberikan oleh ibu mertua memang terlihat seperti jantung, namun tidak terlihat alami.
“Aish. Apa kamu kira kalau aku ini masih anak kecil? Batu permata yang dijadikan perhiasan kan dipahat terlebih dahulu. Mana mungkin batu asli dari alam sudah memiliki bentuk seperti itu,” ujarku padanya.
Rasenda menutup kotak perhiasan yang berisi batu merah delima hadiah dari ibu mertua. Kemudian, dia menyimpan perhiasan tersebut ke dalam brankas. Setelah itu, dia mengangkat tub
Perkataan Rosiana terngiang-ngiang di kepala hingga seharian. Pernikahanku memang dadakan, namun semuanya berjalan lancar tanpa hambatan seolah sudah dipersiapkan dengan matang.“Sayang, aku mau ngomong,” ucapku pada suami saat dia sedang membaca buku di perpustakaan pribadi.“Mau ngomong apa sih sayang?” tanya lelaki itu.Dia menutup buku yang sedang dibaca dan menyediakan pangkuannya untukku. Karena sudah dipersilakan duduk di sana, aku pun mendaratkan tubuhku dengan senang hati.“Waktu kita nikah, persiapannya berapa lama sih?” tanyaku.Lelaki ini menghela napas, lalu balik bertanya padaku, “Kenapa tiba-tiba kamu tanya itu?”“Memang tidak boleh?”Aku sempat mencari informasi tentang tata cara mengajukan pernikahan di Singapura. Dikatakan apabila kita hendak melakukan pernikahan di sana, ada beberapa persyaratan.Salah satu syarat yang harus dipenuhi jika ingin menik
“Eh! Lihat deh,” seru Aulia padaku. Dia menunjukkan layar ponselnya, lalu berkata, “Ini si Ayu yang dulu ada di Departemen Public Relations, kan?”Aku menonton video di media sosial yang ditunjukkan oleh wanita ini. Tidak salah lagi, perempuan yang ada di sana adalah Ayu Larasati. Orang yang sudah membuatku terlihat sebagai wanita murahan dan juga simpanan sang CEO Pecitra. Padahal lelaki itu adalah suamiku sendiri.“Enggak nyangka ya si Ayu sudah berhenti jadi pekerja korporasi dan sekarang dia beralih menjadi influenser produk kecantikan,” sambung Aulia.“Kerjaannya sekarang membuat reviu produk, terus unggah ke media sosial,” pungkas wanita yang sedang menunggu dokumen bersamaku di depan printer.Terserah dia mau jadi apa, aku tak peduli sama sekali. Jangan tanya alasannya kenapa, tentu saja karena luka yang dia toreh padaku belum kering, bahkan masih basah dan menganga.“Maduku, berkasku sudah siap. Aku duluan ya,” ucapku pada Aulia, meninggalkan wanita ini sendiri.***“Masuk,” u
“Sebentar lagi sayang,” pinta suami dengan suara serak khas bangun tidur.Dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya dan membiarkan terbenam di sana. Memang dasar lelaki, mentang-mentang sudah diberi maaf, dia mengungkungku seenak jidat.“Kalau enggak bangun sekarang, nanti kita bisa terlambat loh,” ujarku pada lelaki ini, masih dengan badan yang terikat oleh lengannya.“Enggak usah buru-buru sayang. Kita naik mobil saja ya,” timpal Rasenda.Apa sih yang lelaki ini pikirkan? Hari ini Pecitra mengadakan family gathering, masa CEO-nya mau naik mobil ke lokasi.“Kalau naik mobil, namanya bukan gathering, melainkan pelesir swadaya,” timpalku yang masih belum menyerah untuk membuat manusia satu ini membuka mata dan bersiap.“Sayang dengerin aku.” Dia melepaskan pelukannya, lalu memosisikan diri sejajar denganku.“Meskipun namanya gathering perusahaan, tapi tidak akan ada yang peduli pada orang lain setelah kita sampai di lokasi. Jadi, kita tidak perlu pusing,” imbuhnya.“Kamu tidak perlu khaw
“Sayang, aku tidur dulu yah. Ngantuk banget nih,” ucap Rasenda setelah minum air putih dariku yang sudah diberi obat tidur.“Iya sayang,” jawabku.Aku menepuk-nepuk pundakku sebagai tanda agar suami bersandar di bahuku. Dia pun segera menjatuhkan kepalanya di sana. Setelah kupastikan bahwa Rasenda benar-benar terlelap, aku pun memindahkannya ke atas pangkuan.“Bagaimana persiapannya, Pak?” tanyaku pada Pak Michael yang duduk di kursi kemudi.“Semuanya sudah siap, Bu. Tak perlu khawatir,” jawabnya.“Apa Ibu Mertuaku datang?” tanyaku kembali.“Iya Bu. Namun, beliau hanya sebentar di sana karena tidak kuat dengan angin laut,” ujarnya.Kami menembus jalanan Jakarta menuju pelabuhan, tempat di mana kapal milik Pelisia Grup berlabuh. Kapal tersebut diberi nama Pelisia Tirta Mas, sebuah kapal pesiar berukuran kecil yang mampu menampung sekitar seribu orang.“Silakan Bu,” ucap Pak Michael saat dia membuka pintu penumpang untukku.“Tolong bantu suamiku dahulu,” pintaku pada lelaki itu.Syukurl
“Semalam tidurmu nyenyak?” tanya Rasenda. Dia menghampiriku yang sedang menikmati matahari terbit, lalu memberikan kecupan singkat di kening.Biar aku tebak. Suamiku pasti menderita amnesia parsial. Kalau tidak, dia tak akan bertanya demikian.Tadi malam, tepatnya setelah diriku memberi tahu suami tentang penggunaan dasi di tangan, dia segera mempraktekkannya. Lelaki ini tanpa ragu mengikat tanganku menggunakan dasi, lalu mengaitkannya ke kepala tempat tidur.“Masih berani tanya begitu?” tanyaku pada suami sambil menunjukkan pergelangan tangan yang merah akibat perbuatannya semalam.Rasenda meringis. “Maaf sayang. Semalam aku kebablasan,” kilahnya.Alasan yang dia ucapkan tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia bisa kehilangan kendali? Dia tidak mabuk maupun menggunakan obat. Dasar lelaki banyak dalihnya.“Sudahlah. Berhubung hari ini kamu ulang tahun, maka aku tidak perhitungan lagi,” ucapku. Tid
“Coba pakai ini,” ucap suamiku. Dia membawa botol yang berisi air panas dan meletakkannya di perutku yang sedang mengalami kram.“Gimana rasanya?” tanya lelaki ini.“Jadi lebih baik. Makasih yang sayang,” ucapku seraya memberi ciuman di pipinya.Semenjak pulang dari acara perayaan ulang tahun suamiku, tubuh ini mengalami banyak masalah kesehatan. Aku aku jadi sering pusing dan mengalami kelelahan meski tidak melakukan pekerjaan yang berat.“Aww sakit,” keluhku saat suami menutupi tubuhku dengan selimut. Gerakan tangan lelaki ini mengenai dadaku dan memberi rasa nyeri di sana.“Maaf sayang, aku tidak sengaja,” ucapnya.Terlihat dari raut wajah suami bahwa dia benar-benar tidak tahu apa yang baru saja dilakukannya. Dia hanya minta maaf agar aku tak marah.“Tidak apa-apa,” jawabku. “Aku mau ke toilet dulu ya.”Sudah sebulan terakhir frekuensi buang
“Mantuku! Mama datang,” teriak ibu mertua saat dirinya tiba di unit kami.Setelah mengetahui kalau diriku hamil, Rasenda langsung menghubungi ibunya dan memberi tahu kabar bahagia tersebut. Sontak saja wanita itu datang kemari membawa begitu banyak barang."Biar saya bantu Ma.” Aku berusaha mengambil tentengan di tangan ibu mertua, namun beliau menolak.“Sudah kamu duduk saja, perempuan hamil tidak boleh capek-capek,” ujar ibu mertua.“Lagian juga ada Michael yang bantu Mama, kamu tidak usah khawatir. Orang hamil enggak boleh kebanyakan pikiran,” sambungnya.Aku paham bahwa beliau memperlakukanku demikian karena sedang mengandung cucunya, tetapi tidak enak rasanya jika aku duduk berdiam diri saja di saat orang lain kerepotan membawa banyak barang, apalagi beliau sudah tua.“Bu, ini taruh di mana?” tanya seorang perempuan yang datang bersama ibu mertua.“Oh, di sini saja dulu,
“Pagi Pak,” sapa para karyawan pada Rasenda ketika kami tiba di kantor.“Pagi,” jawab lelaki ini.“Siapa yang taruh kardus di samping meja?” Dia menunjuk kardus tersebut yang berisi tumpukan berkas.Andre, salah satu karyawan yang bekerja di lantai tujuh belas menunjukkan diri dan berkata, “Saya Pak.”Hal tersebut membuat Rasenda langsung menyuruh untuk memindahkan kardus itu ke tempat yang seharusnya. Jika tidak, maka letakkan di bawah kolong meja agar tak menyandung orang yang sedang jalan.“Kamu!” sang CEO Pecitra menunjuk wanita yang bernama Mia.“Kalau taruh gelas jangan di tepi meja! Nanti kesenggol orang terus jatuh, lantainya jadi basah. Kalau ada yang terpeleset bagaimana? Kamu mau bayar biaya ke rumah sakit?” sambungnya.Wanita yang ditegur tersebut, seketika menjadi pucat pasi. Ia pun segera memindahkan gelas yang dikomplain oleh Rasenda ke bagian tengah meja.“Sudah saya pindah, Pak. Apa masih perlu ke tengah lagi?”