Michaela menutup pintu mobilnya dengan ringan, menikmati angin malam yang berhembus sejuk di wajahnya. Ia baru saja tiba di sebuah toko kecil di pinggir kota untuk membeli beberapa barang sebelum pulang. Langkahnya mantap, meski sedikit terburu-buru karena malam semakin larut. Di tangan kirinya, sebuah ponsel terjepit di antara telinga dan bahunya, sementara tangannya yang lain meraih kunci mobil yang tergantung di jari.
"Halo, sayang, aku sedang di toko. Mau beli sesuatu dulu," ucap Michaela dengan lembut melalui telepon, suaranya terdengar hangat dan tenang. Di seberang sana, suara tunangannya terdengar sedikit tergesa-gesa, "Kau tidak apa-apa keluar malam-malam begini? Mau aku jemput?" Michaela tertawa kecil. "Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku akan segera pulang." Namun, tawa kecilnya terhenti ketika sebuah suara ribut mengalihkan perhatiannya. Suara langkah kaki yang keras dan teriakan menggema di jalanan sepi itu. Michaela berbalik, dan pemandangan yang dilihatnya membuat jantungnya berdegup kencang. Sekelompok pria berkaos hitam mendekati toko dengan tatapan liar. Mereka berjumlah lima atau enam orang, berjalan dengan langkah-langkah yang kasar dan beringas. Michaela dapat merasakan ketegangan di udara, aroma bahaya yang tiba-tiba menguasai tempat yang tadinya tenang itu. "Sayang, ada apa?" Suara di teleponnya terdengar khawatir. Michaela menelan ludah. "Ada... sekelompok orang di sini. Mereka terlihat berbahaya. Aku harus pergi." Dia buru-buru berbalik dan mulai berjalan kembali menuju mobilnya. Namun, sebelum dia sempat mencapai pegangan pintu, sebuah dada keras yang berotot menghalangi jalannya. Michaela terhenti dengan mendadak, menabrak tubuh pria itu. Handphone-nya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah dengan suara kecil yang nyaring di malam yang sunyi itu. Dia mendongak, terkejut melihat wajah pria yang berdiri di hadapannya. Wajah itu tampan dengan garis rahang yang tegas dan sepasang mata gelap yang tajam. Pria itu menatapnya dengan senyuman menyeringai yang membuat bulu kuduknya meremang. Tatapan dinginnya seakan menelanjangi Michaela, memeriksanya dengan pandangan yang penuh kesenangan sadis. "Kau mau ke mana, manis?" Suara pria itu rendah dan serak, dipenuhi nada ancaman yang membuat tubuh Michaela bergetar. Michaela mundur selangkah, namun langkahnya terhenti ketika pria itu mendekat, membuatnya terpojok. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, napasnya semakin cepat. Dia berusaha mengingat langkah-langkah yang telah diajarkan di kelas bela diri, tetapi otaknya terasa beku. Saat dia hendak berbalik dan berlari, tangan pria itu melesat cepat, mencengkeram lengannya dengan kuat. Michaela tersentak, merasakan cengkeraman yang keras seperti baja pada kulitnya yang halus. "Jangan coba-coba lari, manis. Kau tak akan jauh." Pria itu menarik Michaela lebih dekat, wajah mereka hanya beberapa inci terpisah. Panik merayap naik di tenggorokan Michaela. Dia merasa tidak berdaya dalam genggaman pria ini. Namun, sebuah ide gila tiba-tiba melintas di benaknya. Ia tidak tahu apakah itu akan berhasil, tetapi instingnya mengatakan itu mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya. Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul entah dari mana, Michaela menarik wajah pria itu lebih dekat dan menempelkan bibirnya pada bibir pria itu. Awalnya, pria itu terkejut, matanya membelalak lebar. Namun, seketika itu juga, kejutannya berubah menjadi kesenangan. Jasper Ace Silverton, atau lebih di kenal dengan sebutan Ace, pemimpin kelompok berkaos hitam itu, balas mencium dengan penuh gairah, seakan tenggelam dalam ciuman panas yang tiba-tiba ini. Di dalam pikirannya, Michaela hanya berharap bahwa ini akan membuat pria itu lengah, memberinya kesempatan untuk kabur. Namun, ciuman itu berlangsung lebih lama dari yang dia harapkan, dan secara mengejutkan, dia mendapati dirinya sedikit tersesat dalam intensitasnya. Ace melepaskan ciuman mereka, tetapi bukannya membiarkan Michaela pergi, dia malah menyeringai dengan lebih lebar. "Kau berani, ya? Aku suka gadis yang seperti ini." Michaela terperangkap dalam pandangan mata Ace yang gelap dan berbahaya. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Ace sudah lebih dulu membungkukkan tubuhnya dan, dalam satu gerakan cepat, membopong Michaela ke pundaknya seperti karung. "Hei! Lepaskan aku!" Michaela berteriak, memukul-mukul punggung Ace, tetapi tidak ada gunanya. Pria itu tidak merasakan apa-apa. Ace menoleh pada anak buahnya yang sudah menghentikan keributan dan menatap kejadian itu dengan tatapan penuh tanya. "Kita bawa gadis ini. Sepertinya malam ini akan lebih menyenangkan dari yang kukira," ucapnya dengan suara penuh keyakinan. "Baik, Bos," sahut salah satu anak buahnya, lalu mereka bergerak mengikuti Ace yang membawa Michaela ke dalam kegelapan malam. Michaela semakin panik, pikirannya berputar-putar mencari cara untuk melarikan diri. "Kau tidak tahu siapa aku!" teriaknya, berharap peringatan itu akan membuat Ace berpikir dua kali. Ace hanya tertawa kecil, suaranya rendah dan dingin. "Tidak peduli siapa kau, manis. Malam ini kau milikku." Michaela merasakan tubuhnya gemetar, tapi bukan karena dingin. Dia ketakutan, tapi dia tahu bahwa dia harus tetap tenang. Entah bagaimana, dia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini. "Aku bisa memberikanmu uang. Berapa pun yang kau minta," Michaela mencoba bernegosiasi, suaranya sedikit bergetar. Ace berhenti sejenak, lalu menurunkan Michaela ke tanah, membuat gadis itu berdiri tepat di depannya. "Uang, ya?" gumamnya, menatap Michaela dengan tatapan evaluatif. "Kau pikir aku cuma butuh uang?" Michaela menelan ludah, menyadari bahwa pria ini tidak seperti yang lainnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan pria ini, tapi dia tahu bahwa uang tidak akan menyelesaikan masalahnya kali ini. Ace menatap Michaela dalam diam untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi gadis itu. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, dia kembali memegang lengan Michaela dan menariknya lebih dekat. Michaela mencoba melawan, tapi Ace terlalu kuat. "Kau ikut aku sekarang, dan jangan buat masalah. Jika kau menurut, aku mungkin bisa bersikap baik padamu," ucap Ace dengan nada yang membuat bulu kuduk Michaela merinding. "Aku tidak akan ikut denganmu!" seru Michaela, tapi suaranya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri. Ace mendekatkan wajahnya, nyaris menyentuh telinga Michaela. "Kau tidak punya pilihan," bisiknya sebelum mengangkat tubuh Michaela kembali ke pundaknya. Michaela ingin berteriak, tapi suara itu terjebak di tenggorokannya. Ia hanya bisa melihat pemandangan di sekitarnya berputar ketika Ace membawanya pergi. Malam yang tadinya tenang kini berubah menjadi malam mencekam yang tak pernah dibayangkan Michaela sebelumnya.Ryan Alexander Blackwell duduk di balik meja kayu mahoni besar di kantornya, sejenak terdiam menatap layar laptop yang berpendar. Pekerjaan menumpuk di hadapannya, tetapi pikirannya terus melayang, tertuju pada tunangannya, Michaela. Suara benda yang jatuh dari seberang telepon tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, menciptakan rasa cemas yang tak bisa diabaikan. Dia mengerutkan kening, mengingat percakapan singkat mereka beberapa menit lalu. Michaela mengatakan dia akan singgah di sebuah toko sebelum pulang, dan suaranya terdengar biasa saja, tenang seperti biasanya. Namun, di detik terakhir, sebelum panggilan terputus, ada suara keras yang tiba-tiba muncul—seperti suara ponsel yang jatuh ke lantai. Setelah itu, hanya ada keheningan. "Ini hanya perasaanku saja," gumam Ryan kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikiran. Tapi, perasaan tak nyaman itu semakin kuat, seperti kabut tebal yang menyesakkan dadanya. Tidak bisa lagi menahan diri, Ryan akhirnya memutuskan untuk be
Michaela merasa seluruh tubuhnya bergetar, terombang-ambing oleh goncangan jip tua yang melaju di jalanan berbatu. Tangan dan kakinya terikat erat, sementara sepotong kain yang kasar dan kotor membungkam mulutnya, menghalangi semua upayanya untuk berteriak minta tolong. Hanya mata Michaela yang bisa bergerak bebas, memandang dengan panik ke arah hutan yang semakin menebal di luar jendela. Jip tua itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Cahaya bulan yang redup memperlihatkan sekilas bayangan bangunan tua yang tampak seolah telah berdiri di sana selama bertahun-tahun, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah itu sunyi, terpencil di tengah pedesaan yang sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Ace turun dari jip dengan gerakan yang tenang namun berbahaya. Wajahnya tetap menampilkan senyum sinis yang sama seperti yang ditunjukkannya sejak pertama kali menangkap Michaela. Ia membuka pintu belakang jip dan tanpa ragu membungkuk u
Michaela duduk diam di sofa, masih merasakan bekas ikatan yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangan dan kakinya. Rasa sakit dan nyeri akibat ikatan yang terlalu erat masih terasa, tetapi lebih dari itu, ketakutan yang membekapnya sejak pertama kali bertemu dengan Ace perlahan mulai berubah menjadi kewaspadaan. Dia tidak bisa mengabaikan situasi genting yang dihadapinya, tetapi setidaknya, dia bisa bernapas lebih lega tanpa harus terus-menerus berjuang melawan ikatan yang mengekangnya. Ace berdiri di depan Michaela, menatapnya dengan tatapan tajam, seperti seekor serigala yang sedang mempertimbangkan langkah berikutnya. Dia tidak tersenyum kali ini, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelap. Michaela menelan ludah, mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat terlalu gugup di depan pria yang bisa dengan mudah menghancurkannya. "Kau berjanji tidak akan mencoba kabur?" tanya Ace, suaranya dingin dan penuh ancaman tersembunyi. Michaela mengangguk cepat, menatap Ace dengan
Pagi itu terasa seperti pagi-pagi lainnya di rumah keluarga Blackwood. Burung-burung berkicau lembut di luar jendela besar yang menghadap ke taman luas. Di dalam ruang makan yang elegan, Paula Rose Blackwood, seorang wanita anggun dengan rambut pirang yang mulai beruban, sedang duduk menikmati sarapan bersama suaminya, John Blackwood. Suasana tenang itu tiba-tiba hancur ketika ponselnya berdering keras di atas meja. Paula meraih ponselnya dan melihat nomor yang tidak dikenal. Dia mengernyit sejenak, merasa sedikit khawatir, tetapi tetap mengangkatnya. "Halo, Paula di sini," suaranya terdengar tenang, meskipun hatinya mulai berdebar. Di seberang sana, terdengar suara yang mengabarkan sesuatu yang tak pernah diinginkannya. "Mrs. Blackwood, ini polisi. Kami menghubungi Anda terkait dengan putri Anda, Michaela. Kami sangat menyesal, tapi... dia telah diculik." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hari yang cerah. Paula merasakan tubuhnya seketika lemas, tangan yang me
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap melalui tirai tipis di kamar tempat Michaela terbaring. Matanya terbuka perlahan, membiasakan diri dengan kegelapan yang memudar oleh sinar mentari yang malu-malu. Seluruh tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya masih berkelana di antara kenyataan yang membingungkan dan mimpi buruk yang baru saja ia alami. Semalam, dia nyaris tidak bisa tidur—pikiran tentang kejadian yang menimpanya, serta kebingungan tentang masa depannya, terus menghantui.Telinganya menangkap suara dentuman halus dari luar kamarnya. Sesuatu sedang terjadi di luar sana, suara benda yang bergesekan, mungkin dari dapur. Michaela duduk di tepi tempat tidur, hatinya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan memeriksa.Dia berjalan dengan langkah ringan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ketika ia sampai di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada dapur kecil di ujung ruangan. Ace sedang berdiri di sa
Pagi itu, suasana di kantor Ryan Alexander Blackwell terasa lebih sunyi daripada biasanya. Meskipun rutinitas bisnis tetap berjalan, bayang-bayang kegelisahan karena hilangnya Michaela terus membayangi setiap orang, terutama Cole, asisten setia Ryan. Hari ini, Cole berdiri di depan pintu ruang kerja tuannya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia tahu ada kewajiban pekerjaan yang harus disampaikan, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Ryan sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk.Cole mengetuk pintu dengan pelan, hampir ragu-ragu. Suara berat Ryan terdengar dari dalam, mempersilakannya masuk. Cole membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk ke ruangan yang dipenuhi dengan nuansa maskulin, dengan dinding berlapis kayu gelap dan meja besar di tengahnya. Ryan duduk di balik meja, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan tatapan yang terfokus pada layar komputer di depannya."Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan nada hormat.Ryan mengangkat waj
Michaela masih duduk di ruang tamu, menikmati sisa sarapan yang disajikan Ace. Pikirannya terus berputar, memikirkan cara terbaik untuk melarikan diri dari tempat ini. Namun, semua pikirannya terhenti ketika Ace tiba-tiba berdiri dari kursinya, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Suara ponsel berdering, memecah keheningan di antara mereka.Ace melirik layar ponselnya, ekspresi wajahnya berubah serius. Dia melangkah menjauh dari meja makan, memisahkan diri dari Michaela, dan mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?," suaranya terdengar tenang, namun dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. Michaela menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan."Bos, ada masalah. Kita butuh kau di sini sekarang juga," suara di seberang terdengar mendesak, menandakan ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi.Ace mengerutkan kening, suaranya menegang. "Apa yang terjadi? Kenapa mendesak sekali?""Kami menemukan sesuatu yang aneh di markas. Aku rasa kau perlu meliha
Malam itu, Michaela meringkuk di atas kasur yang usang. Matanya terbuka lebar, menatap kosong pada langit-langit yang tampak kusam.Dalam kegelapan kamar, hanya ada suara napasnya yang teratur dan sesekali gemerisik angin dari luar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya hampir menetes. Ia tak ingin Ace atau siapa pun mendengarnya menangis. Dia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan pria yang telah menculiknya ini.Hatinya terasa sangat berat. Segala ketakutan dan kesedihan yang ditahan sejak ia dibawa ke tempat ini, kini menyeruak dalam keheningan malam. Ia merindukan rumahnya—suara lembut ibunya yang memanggil namanya, aroma masakan hangat yang selalu menyambutnya setiap pulang, dan sentuhan lembut ibunya di rambutnya setiap malam sebelum tidur. Ia bahkan merindukan suara langkah kaki ayahnya di lorong, dan kehadiran Ryan, tunangannya, yang selalu memastikan dia aman.Michaela menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang ingin keluar. Ia memejamkan mata, berharap s
Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t
Ace menurunkan tubuh Michaela perlahan di kamar mandi, matanya masih mengawasi gadis itu dengan sedikit khawatir."Kau yakin bisa berdiri?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan perhatian yang nyata.Michaela mengangguk sambil menyembunyikan rasa canggungnya."He-em, sekarang keluarlah, Ace," ujarnya, mencoba terdengar tegas meskipun jantungnya berdegup kencang."Tidak, aku akan tetap di sini memastikan kau baik-baik saja," bantah Ace tanpa ragu. Michaela membelalakkan matanya, mulutnya ternganga tak percaya. "A-apa?!" pekiknya. Ia merasa jantungnya berhenti sejenak, menahan malu yang luar biasa."Ya, cepatlah, kau bilang sudah tidak tahan," balas Ace dengan nada santai, seolah tidak menyadari betapa absurdnya situasi ini. "Kau..." Michaela kehilangan kata-kata. Napasnya terengah, malu bercampur marah membanjiri wajahnya yang kini memerah.Dengan refleks, ia mendorong tubuh Ace. "Keluar dulu, aku ingin pipis! Ace, keluar!"Ace terkekeh, senyum kecil bermain di sudut bibirnya. "Baiklah
Michaela membuka matanya perlahan. Kehangatan menyelimuti tubuhnya, membuatnya merasa enggan untuk beranjak.Ia mengerjap kecil, membiarkan kesadarannya perlahan pulih. Lalu, saat ia mengangkat pandangannya, wajah tampan Ace berada hanya beberapa inci dari wajahnya. Hatinya berdesir tak menentu.'Kenapa kau lakukan ini padaku, Ace? Aku sungguh takut. Aku takut jika aku terjerumus lebih dalam pada perasaan ini... Aku tidak bisa melakukan ini.' Gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan gelombang perasaan yang tak menentu di dalam dadanya.Tanpa ragu, ia mencoba beranjak dari tempat tidur, namun kaki yang terluka kemarin kini masih terasa nyeri meski sudah terbalut perban."Aw..." Michaela meringis, merasa sakit di kakinya saat sisi ranjang menyentuh lukanya.Suara samar rintihannya membuat Ace membuka mata perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada tubuh mungil Michaela yang tampak berusaha berdiri.Ace tersenyum kecil. Ia mengusap wajahnya sebelum bangkit dari tempat tidur.Dalam sat
“Aku bukan milikmu, Ace,” isak Michaela dengan suara yang bergetar.Air matanya bercampur dengan air hujan yang deras, membuat wajahnya tampak semakin rapuh. Kedua tangannya meremas kaos Ace dengan putus asa, sementara Ace hanya berdiri di sana, diam dengan rahangnya yang masih mengatup kuat, tatapannya tajam dan gelap.Ace menatap Michaela dalam-dalam, suara gadis itu menghantam hatinya, tapi ia tetap diam. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan yang berkecamuk di dadanya saat ini.“Kau tidak tahu siapa aku,” lanjut Michaela, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang menderu di sekeliling mereka.Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena ketakutan dan ketidakpastian yang membanjiri pikirannya.Ace mendekatkan wajahnya, suaranya rendah dan penuh keyakinan. "I know who you are, baby girl."Michaela mendongak, menatap Ace dengan mata lelah dan bingung. "Kau... kau sudah tahu?"Ace mengangguk, tatapannya semakin tajam, penuh ketegangan yang tak