Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
Michaela menutup pintu mobilnya dengan ringan, menikmati angin malam yang berhembus sejuk di wajahnya. Ia baru saja tiba di sebuah toko kecil di pinggir kota untuk membeli beberapa barang sebelum pulang. Langkahnya mantap, meski sedikit terburu-buru karena malam semakin larut. Di tangan kirinya, sebuah ponsel terjepit di antara telinga dan bahunya, sementara tangannya yang lain meraih kunci mobil yang tergantung di jari. "Halo, sayang, aku sedang di toko. Mau beli sesuatu dulu," ucap Michaela dengan lembut melalui telepon, suaranya terdengar hangat dan tenang. Di seberang sana, suara tunangannya terdengar sedikit tergesa-gesa, "Kau tidak apa-apa keluar malam-malam begini? Mau aku jemput?" Michaela tertawa kecil. "Tidak usah, aku hanya sebentar. Aku akan segera pulang." Namun, tawa kecilnya terhenti ketika sebuah suara ribut mengalihkan perhatiannya. Suara langkah kaki yang keras dan teriakan menggema di jalanan sepi itu. Michaela berbalik, dan pemandangan yang dilihatnya membua
Ryan Alexander Blackwell duduk di balik meja kayu mahoni besar di kantornya, sejenak terdiam menatap layar laptop yang berpendar. Pekerjaan menumpuk di hadapannya, tetapi pikirannya terus melayang, tertuju pada tunangannya, Michaela. Suara benda yang jatuh dari seberang telepon tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, menciptakan rasa cemas yang tak bisa diabaikan. Dia mengerutkan kening, mengingat percakapan singkat mereka beberapa menit lalu. Michaela mengatakan dia akan singgah di sebuah toko sebelum pulang, dan suaranya terdengar biasa saja, tenang seperti biasanya. Namun, di detik terakhir, sebelum panggilan terputus, ada suara keras yang tiba-tiba muncul—seperti suara ponsel yang jatuh ke lantai. Setelah itu, hanya ada keheningan. "Ini hanya perasaanku saja," gumam Ryan kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikiran. Tapi, perasaan tak nyaman itu semakin kuat, seperti kabut tebal yang menyesakkan dadanya. Tidak bisa lagi menahan diri, Ryan akhirnya memutuskan untuk be
Michaela merasa seluruh tubuhnya bergetar, terombang-ambing oleh goncangan jip tua yang melaju di jalanan berbatu. Tangan dan kakinya terikat erat, sementara sepotong kain yang kasar dan kotor membungkam mulutnya, menghalangi semua upayanya untuk berteriak minta tolong. Hanya mata Michaela yang bisa bergerak bebas, memandang dengan panik ke arah hutan yang semakin menebal di luar jendela. Jip tua itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Cahaya bulan yang redup memperlihatkan sekilas bayangan bangunan tua yang tampak seolah telah berdiri di sana selama bertahun-tahun, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah itu sunyi, terpencil di tengah pedesaan yang sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Ace turun dari jip dengan gerakan yang tenang namun berbahaya. Wajahnya tetap menampilkan senyum sinis yang sama seperti yang ditunjukkannya sejak pertama kali menangkap Michaela. Ia membuka pintu belakang jip dan tanpa ragu membungkuk u
Michaela duduk diam di sofa, masih merasakan bekas ikatan yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangan dan kakinya. Rasa sakit dan nyeri akibat ikatan yang terlalu erat masih terasa, tetapi lebih dari itu, ketakutan yang membekapnya sejak pertama kali bertemu dengan Ace perlahan mulai berubah menjadi kewaspadaan. Dia tidak bisa mengabaikan situasi genting yang dihadapinya, tetapi setidaknya, dia bisa bernapas lebih lega tanpa harus terus-menerus berjuang melawan ikatan yang mengekangnya. Ace berdiri di depan Michaela, menatapnya dengan tatapan tajam, seperti seekor serigala yang sedang mempertimbangkan langkah berikutnya. Dia tidak tersenyum kali ini, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelap. Michaela menelan ludah, mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat terlalu gugup di depan pria yang bisa dengan mudah menghancurkannya. "Kau berjanji tidak akan mencoba kabur?" tanya Ace, suaranya dingin dan penuh ancaman tersembunyi. Michaela mengangguk cepat, menatap Ace dengan
Pagi itu terasa seperti pagi-pagi lainnya di rumah keluarga Blackwood. Burung-burung berkicau lembut di luar jendela besar yang menghadap ke taman luas. Di dalam ruang makan yang elegan, Paula Rose Blackwood, seorang wanita anggun dengan rambut pirang yang mulai beruban, sedang duduk menikmati sarapan bersama suaminya, John Blackwood. Suasana tenang itu tiba-tiba hancur ketika ponselnya berdering keras di atas meja. Paula meraih ponselnya dan melihat nomor yang tidak dikenal. Dia mengernyit sejenak, merasa sedikit khawatir, tetapi tetap mengangkatnya. "Halo, Paula di sini," suaranya terdengar tenang, meskipun hatinya mulai berdebar. Di seberang sana, terdengar suara yang mengabarkan sesuatu yang tak pernah diinginkannya. "Mrs. Blackwood, ini polisi. Kami menghubungi Anda terkait dengan putri Anda, Michaela. Kami sangat menyesal, tapi... dia telah diculik." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hari yang cerah. Paula merasakan tubuhnya seketika lemas, tangan yang me