Share

Bab 4. Kesempatan yang hilang

Michaela duduk diam di sofa, masih merasakan bekas ikatan yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangan dan kakinya. Rasa sakit dan nyeri akibat ikatan yang terlalu erat masih terasa, tetapi lebih dari itu, ketakutan yang membekapnya sejak pertama kali bertemu dengan Ace perlahan mulai berubah menjadi kewaspadaan. Dia tidak bisa mengabaikan situasi genting yang dihadapinya, tetapi setidaknya, dia bisa bernapas lebih lega tanpa harus terus-menerus berjuang melawan ikatan yang mengekangnya.

Ace berdiri di depan Michaela, menatapnya dengan tatapan tajam, seperti seekor serigala yang sedang mempertimbangkan langkah berikutnya. Dia tidak tersenyum kali ini, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelap. Michaela menelan ludah, mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat terlalu gugup di depan pria yang bisa dengan mudah menghancurkannya.

"Kau berjanji tidak akan mencoba kabur?" tanya Ace, suaranya dingin dan penuh ancaman tersembunyi.

Michaela mengangguk cepat, menatap Ace dengan sorot mata yang penuh keteguhan. "Ya, aku berjanji," jawabnya, suaranya bergetar sedikit, tetapi dia berusaha keras untuk tidak terlihat lemah.

Ace mengamati Michaela sejenak, seolah-olah sedang menilai apakah dia bisa mempercayai wanita ini atau tidak. "Baik," katanya akhirnya. "Aku akan membiarkanmu bebas, tapi ingatlah, aku tidak suka dikhianati."

Michaela mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. "Aku mengerti."

Ace melangkah mundur, mengangguk sekali lagi sebelum menunjuk ke arah pintu di sudut ruangan. "Kau bisa tidur di kamar itu. Tapi ingat, aku akan tahu kalau kau mencoba sesuatu yang bodoh."

Michaela menoleh ke arah yang ditunjukkan Ace, sebuah pintu kayu tua yang tampak tidak terawat, mungkin sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Hatinya berdebar cepat, mencoba membaca niat Ace yang sesungguhnya, tetapi tatapan pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun. Dia hanya bisa berharap bahwa dia akan aman di dalam kamar tersebut, setidaknya untuk malam ini.

Ace berbalik dan berjalan ke arah lemari kecil di ruang tamu, membuka pintunya dan mengeluarkan botol minuman keras yang tampaknya sudah sering digunakan. Dia membuka botol itu dan menenggaknya tanpa ragu, menikmati setiap tegukan yang membakar tenggorokannya.

Michaela menatapnya dengan waspada, tidak berani bergerak sampai Ace memberikan perintah lebih lanjut. Dia tahu betul bahwa dia sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis. Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal.

Setelah beberapa teguk, Ace meletakkan botol itu di atas meja, lalu duduk di kursi kayu yang ada di sebelahnya. Dia menyandarkan kepalanya ke belakang, menutup matanya sejenak, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Pergilah ke kamarmu," ujar Ace tiba-tiba, suaranya terdengar lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Aku ingin minum sendirian."

Michaela segera berdiri, tidak ingin membuat Ace marah atau curiga. "Baik," katanya pelan, lalu berjalan menuju pintu kamar yang telah ditunjukkan Ace sebelumnya. Dia bisa merasakan tatapan pria itu mengikuti setiap langkahnya, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, Michaela menahan diri untuk tidak menunjukkan kegugupan yang melandanya.

Setelah mencapai pintu, Michaela membuka kenopnya dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Ruangan itu kecil dan sederhana, hanya ada sebuah ranjang dengan seprai yang sudah usang, lemari kayu tua di pojok, dan sebuah jendela kecil yang ditutupi tirai tipis. Cahaya bulan yang redup masuk melalui celah-celah tirai, menerangi ruangan dengan lembut.

Michaela menutup pintu di belakangnya dengan pelan, memastikan tidak ada suara yang bisa memancing perhatian Ace. Dia menatap sekeliling kamar, mencoba mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melarikan diri atau melindungi dirinya, tetapi tidak ada apa pun yang tampak berguna. Semua tampak tua dan rapuh, seakan-akan tempat ini sudah lama ditinggalkan.

Michaela berjalan mendekati jendela, menarik tirai tipis dan mencoba membuka jendela. Namun, seperti yang dia khawatirkan, jendela itu terkunci rapat. Meskipun dia mendorong dan menarik dengan sekuat tenaga, jendela tersebut tidak bergeming. Michaela menghela napas panjang, frustrasi, namun dia tahu tidak ada gunanya memaksa. Dia harus mencari cara lain.

Saat dia berbalik, terdengar suara gelas pecah dari ruang tamu. Michaela mendengarkan dengan seksama, merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia berjalan kembali ke pintu kamar, menempelkan telinganya pada pintu kayu yang tipis, mencoba mendengarkan lebih jelas.

"Apa yang terjadi di luar sana?" pikir Michaela dengan gugup. Dia ragu-ragu untuk keluar dan melihat, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. Bagaimana jika ini kesempatan yang ditunggunya?

Michaela membuka pintu perlahan, mengintip ke ruang tamu. Dia melihat Ace masih duduk di kursi, tetapi kali ini pria itu tampak lebih lemah, seakan-akan beban berat menindih bahunya. Botol minuman keras di tangannya hampir kosong, dan mata Ace setengah tertutup, tanda bahwa dia sudah mabuk.

Ace berbicara dengan suara pelan, seolah-olah sedang berbicara kepada dirinya sendiri. "Semua ini... semua ini tidak pernah seharusnya terjadi," gumamnya. Michaela tidak bisa menangkap semua yang dikatakan Ace, tetapi nada suaranya terdengar penuh penyesalan dan keputusasaan.

Ace mengangkat botol ke bibirnya lagi, menenggak sisa minuman itu dengan kasar. Michaela melihat botol itu terlepas dari tangan Ace dan jatuh ke lantai, menggelinding sebelum akhirnya berhenti di dekat kaki kursi.

"Sial," umpat Ace, suaranya serak dan tidak jelas. "Kenapa... kenapa semua ini terasa salah?"

Michaela menyadari bahwa inilah saatnya. Jika dia ingin melarikan diri, ini mungkin satu-satunya kesempatan yang dia miliki. Ace tampaknya sudah terlalu mabuk untuk menyadari apa yang terjadi, jadi Michaela memutuskan untuk mencoba melarikan diri lagi.

Dia bergerak pelan, berusaha agar tidak membuat suara apa pun saat berjalan menuju pintu depan. Namun, saat Michaela tiba di pintu, hatinya tenggelam. Pintu itu terkunci, seperti yang dia takutkan. Tidak ada kunci di pintu, hanya sebuah kait besar yang ditutup dari dalam.

Michaela mencoba menarik kait itu, tetapi suara kecil yang dihasilkannya membuatnya terhenti. Dia menoleh ke arah Ace, yang masih terduduk di kursi dengan mata setengah terpejam. Pria itu terlihat tidak bergerak, tetapi Michaela tidak berani mengambil risiko.

Dengan hati yang berat, Michaela menyadari bahwa dia tidak punya pilihan lain. Tidak ada jalan keluar yang bisa dia gunakan saat ini. Dia harus kembali ke kamar dan menunggu kesempatan lain, meskipun harapan itu semakin pudar.

Michaela berbalik, berjalan kembali ke kamar dengan langkah-langkah pelan. Namun, ketika dia melewati Ace, dia mendengar pria itu berbicara lagi.

"Aku... aku tidak pernah ingin seperti ini," bisik Ace, suaranya hampir tidak terdengar. Michaela berhenti sejenak, menatap Ace dengan rasa iba yang tidak bisa dia jelaskan. Apakah pria ini benar-benar seorang penjahat seperti yang dia pikirkan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik penampilan kasar dan kejamnya?

Namun, Michaela tidak bisa membiarkan perasaan ini menguasainya. Dia ingat betul bahwa Ace adalah orang yang membawanya ke sini dengan paksa, yang mengancamnya, dan yang kini mengurungnya di rumah kecil ini. Tidak peduli seberapa dalam luka atau penyesalan yang mungkin dirasakan Ace, Michaela tahu bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri.

Dia menghela napas pelan dan melanjutkan langkahnya kembali ke kamar. Sesampainya di sana, dia menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya ke pintu tersebut, merasakan kelelahan fisik dan emosional yang menghantamnya. Michaela menyadari bahwa dia harus tetap waspada, tetap berusaha mencari jalan keluar, tetapi malam ini dia tidak punya pilihan selain menunggu.

Gadis cantik itu berjalan menuju ranjang usang di pojok ruangan dan duduk di atasnya, merasa tidak nyaman dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pikiran tentang tunangannya, Ryan, kembali menghantuinya.

Apakah Ryan menyadari bahwa dia hilang? Apakah Ryan akan datang mencarinya?

Dia hanya bisa berharap bahwa seseorang akan menemukannya sebelum semuanya terlambat.

Di luar kamar, suara Ace yang merancau pelan semakin melemah, tanda bahwa pria itu mungkin akan segera tertidur.

Michaela memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. Dia tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai, dan dia harus tetap kuat, tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status