Pagi itu, cahaya matahari menyelinap melalui tirai tipis di kamar tempat Michaela terbaring. Matanya terbuka perlahan, membiasakan diri dengan kegelapan yang memudar oleh sinar mentari yang malu-malu. Seluruh tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya masih berkelana di antara kenyataan yang membingungkan dan mimpi buruk yang baru saja ia alami. Semalam, dia nyaris tidak bisa tidur—pikiran tentang kejadian yang menimpanya, serta kebingungan tentang masa depannya, terus menghantui.
Telinganya menangkap suara dentuman halus dari luar kamarnya. Sesuatu sedang terjadi di luar sana, suara benda yang bergesekan, mungkin dari dapur. Michaela duduk di tepi tempat tidur, hatinya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan memeriksa.
Dia berjalan dengan langkah ringan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ketika ia sampai di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada dapur kecil di ujung ruangan. Ace sedang berdiri di sana, punggungnya menghadap ke arahnya, sibuk dengan sesuatu di meja dapur. Michaela tidak bergerak, hanya berdiri di sana sejenak, mengamati pria yang menculiknya namun kini tampak... manusiawi.
Tak lama kemudian, Michaela terduduk di kursi di ruang tamu, jauh dari dapur tapi cukup dekat untuk mengawasi Ace. Dia membenamkan wajahnya di tangannya, mencoba memproses segala yang terjadi. Malam itu terasa begitu panjang, seolah waktu berjalan lebih lambat, menyiksa setiap detik dengan perasaan takut dan bingung yang membuncah.
Tak berapa lama, Ace selesai menata makanan dan berbalik membawa dua piring berisi sarapan. Ketika ia sampai di ruang tamu, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di depannya, duduk Michaela dengan kepala menunduk, wajahnya muram dan tanpa ekspresi. Rambutnya berantakan, tanpa hiasan sedikit pun, namun baginya, gadis itu tetap memancarkan kecantikan yang memukau.
Sejenak Ace terpaku, menatap gadis itu. Ada sesuatu yang berbeda dari pagi ini. Meski biasanya dia terbiasa melihat ketakutan di wajah orang-orang yang berada di bawah kendalinya, kali ini, dia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—sebuah dorongan untuk melindungi, alih-alih menguasai.
Dengan sedikit senyum samar di wajahnya, Ace melangkah mendekat dan meletakkan piring di atas meja. Suara piring yang menyentuh meja membuat Michaela tersentak dan mendongak. Mata mereka bertemu untuk sejenak, sebelum Michaela cepat-cepat mengalihkan pandangannya, kembali menatap kosong ke arah lain.
"Good morning," sapa Ace dengan suara datar, mencoba mencairkan suasana. Dia duduk di kursi di seberang meja, sambil menarik salah satu piring ke arahnya. "Aku buatkan sarapan. Kau lapar?"
Michaela menatap piring itu dengan ragu-ragu. Dia tidak menjawab langsung, hanya menatap makanan yang tampak sederhana namun menggugah selera—telur orak-arik, sepotong roti panggang, dan secangkir kopi hitam. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan.
Ace menggeser piringnya ke depan Michaela, dan gadis itu, meskipun masih sedikit waspada, mulai mengambil garpu dan menyantap makanannya. Suasana di antara mereka hening, seolah-olah kata-kata terjebak di udara, enggan keluar.
Setelah beberapa gigitan, Ace akhirnya memecah keheningan. "Aku tahu kau pasti bingung... takut," ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Tapi aku tidak akan menyakitimu. Kau aman di sini."
Michaela hanya menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Seluruh situasi ini begitu absurd baginya. Seorang pria yang kemarin menculiknya, sekarang bersikap seolah-olah mereka hanya dua orang biasa yang berbagi sarapan.
"Tuan," akhirnya Michaela berbicara, suaranya lemah namun penuh tekad.
"Panggil saja aku, Ace,"
"Kenapa kau melakukan ini? Apa yang kau inginkan dariku?"
Ace terdiam, menatapnya dengan intens.
Dia sendiri tak sepenuhnya yakin dengan jawabannya. "Mungkin... aku hanya ingin mengenalmu," katanya setelah beberapa saat, meskipun kata-kata itu terasa aneh bahkan bagi dirinya sendiri. "Mungkin aku ingin tahu seperti apa gadis yang berani mencium pria yang menculiknya."
Michaela terperangah, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Kau pikir ini lelucon?" ia bertanya dengan nada sedikit tajam, meskipun rasa takut masih mengintip di balik keberaniannya.
Ace menggeleng, sedikit tersenyum. "Bukan. Aku hanya... terkesan. Tidak ada yang pernah menantangku seperti itu sebelumnya."
Michaela memalingkan wajahnya, merasa marah sekaligus bingung. "Aku melakukannya karena aku takut. Aku tidak punya pilihan lain," katanya dengan suara bergetar. "Kau tidak tahu seberapa takutnya aku saat itu."
Pria itu menatapnya dalam-dalam, menyadari bahwa apa yang ia lakukan memang telah menimbulkan ketakutan luar biasa bagi Michaela. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik oleh ketulusan gadis itu. "Aku tahu, dan aku minta maaf," katanya, meskipun suaranya masih datar, namun kali ini dengan nada yang lebih tulus. "Tapi sekarang, kau tidak perlu takut lagi. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."
Kata-kata itu menimbulkan sedikit kelegaan di hati Michaela, meskipun dia masih jauh dari rasa aman. Dia tahu bahwa pria di depannya ini tidak seperti orang biasa. Ada sesuatu yang gelap dan berbahaya di balik senyuman samar itu. Namun, dia juga merasakan bahwa Ace mungkin lebih kompleks dari apa yang ia duga.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Michaela berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut. "Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Ace mengangkat bahunya, seolah-olah tidak memiliki rencana yang pasti. "Kita lihat saja nanti. Yang pasti, kau akan tetap bersamaku... setidaknya untuk sementara waktu."
Michaela merasa ada dorongan dalam hatinya untuk melawan, untuk mencoba melarikan diri. Namun, dia tahu bahwa saat ini dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Dia harus bermain cerdas, berpikir jauh ke depan.
"Ace," katanya pelan, menatap pria itu dengan hati-hati. "Aku tidak akan kabur. Aku hanya ingin... mencoba mengerti apa yang kau inginkan dariku. Mungkin... mungkin jika kau memberiku sedikit kebebasan, aku bisa lebih percaya padamu."
Ace menatapnya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Kau bilang tidak akan kabur?"
Michaela mengangguk pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Aku janji."
Ace mendesah pelan, merasa ada sesuatu dalam diri Michaela yang membuatnya percaya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mempercayaimu, Michaela. Tapi ingat, jika kau mencoba melarikan diri... tidak akan ada tempat yang cukup jauh untukmu bersembunyi."
Michaela mengangguk lagi, merasakan campuran ketakutan dan kelegaan di dalam dirinya. Setidaknya untuk saat ini, dia berhasil membuat Ace sedikit melonggarkan kendalinya.
Sarapan mereka berlanjut dalam keheningan, tetapi keheningan itu tidak lagi sama. Ada pergeseran halus dalam dinamika di antara mereka, sesuatu yang tak terucapkan namun sangat terasa. Michaela tahu bahwa perjuangannya masih panjang, tetapi setidaknya pagi ini, dia berhasil menyeimbangkan sedikit dari situasi yang kacau ini.
Setelah sarapan selesai, Ace bangkit dari kursinya dan membawa piring kotor ke dapur. Michaela memperhatikannya dari belakang, mencoba menganalisis setiap gerak-geriknya. Ada sesuatu yang misterius dan memikat tentang pria itu, tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya terperangkap lebih dalam dalam permainan ini.
Ketika Ace kembali dari dapur, Michaela memutuskan untuk mengajukan satu pertanyaan lagi. "Ace, apakah kau pernah berpikir... bahwa mungkin kau tidak perlu melakukan semua ini? Bahwa mungkin ada cara lain?"
Ace menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. "Aku sudah terlalu jauh, Michaela. Tidak ada jalan kembali."
Michaela hanya bisa mengangguk pelan, menerima kenyataan pahit yang ada di depannya. Dia tahu bahwa Ace tidak akan mudah diubah, tetapi di balik keteguhan hati itu, dia merasakan ada secercah harapan kecil. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan cara untuk mengubah nasibnya.
Pagi itu, suasana di kantor Ryan Alexander Blackwell terasa lebih sunyi daripada biasanya. Meskipun rutinitas bisnis tetap berjalan, bayang-bayang kegelisahan karena hilangnya Michaela terus membayangi setiap orang, terutama Cole, asisten setia Ryan. Hari ini, Cole berdiri di depan pintu ruang kerja tuannya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia tahu ada kewajiban pekerjaan yang harus disampaikan, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Ryan sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk.Cole mengetuk pintu dengan pelan, hampir ragu-ragu. Suara berat Ryan terdengar dari dalam, mempersilakannya masuk. Cole membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk ke ruangan yang dipenuhi dengan nuansa maskulin, dengan dinding berlapis kayu gelap dan meja besar di tengahnya. Ryan duduk di balik meja, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan tatapan yang terfokus pada layar komputer di depannya."Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan nada hormat.Ryan mengangkat waj
Michaela masih duduk di ruang tamu, menikmati sisa sarapan yang disajikan Ace. Pikirannya terus berputar, memikirkan cara terbaik untuk melarikan diri dari tempat ini. Namun, semua pikirannya terhenti ketika Ace tiba-tiba berdiri dari kursinya, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Suara ponsel berdering, memecah keheningan di antara mereka.Ace melirik layar ponselnya, ekspresi wajahnya berubah serius. Dia melangkah menjauh dari meja makan, memisahkan diri dari Michaela, dan mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?," suaranya terdengar tenang, namun dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. Michaela menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan."Bos, ada masalah. Kita butuh kau di sini sekarang juga," suara di seberang terdengar mendesak, menandakan ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi.Ace mengerutkan kening, suaranya menegang. "Apa yang terjadi? Kenapa mendesak sekali?""Kami menemukan sesuatu yang aneh di markas. Aku rasa kau perlu meliha
Malam itu, Michaela meringkuk di atas kasur yang usang. Matanya terbuka lebar, menatap kosong pada langit-langit yang tampak kusam.Dalam kegelapan kamar, hanya ada suara napasnya yang teratur dan sesekali gemerisik angin dari luar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya hampir menetes. Ia tak ingin Ace atau siapa pun mendengarnya menangis. Dia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan pria yang telah menculiknya ini.Hatinya terasa sangat berat. Segala ketakutan dan kesedihan yang ditahan sejak ia dibawa ke tempat ini, kini menyeruak dalam keheningan malam. Ia merindukan rumahnya—suara lembut ibunya yang memanggil namanya, aroma masakan hangat yang selalu menyambutnya setiap pulang, dan sentuhan lembut ibunya di rambutnya setiap malam sebelum tidur. Ia bahkan merindukan suara langkah kaki ayahnya di lorong, dan kehadiran Ryan, tunangannya, yang selalu memastikan dia aman.Michaela menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang ingin keluar. Ia memejamkan mata, berharap s
Di sebuah ruangan besar dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke kota, Ryan Alexander Blackwell duduk di belakang meja kerjanya. Tangannya yang kuat mencengkeram rambutnya, menariknya dengan frustasi.Sudah dua hari sejak Michaela menghilang, dan Ryan merasa seolah dunia telah runtuh di sekitarnya. Pikiran tentang Michaela terus menghantuinya, bayangan wajah tunangannya yang cantik dan senyum yang selalu membuat hatinya tenang, kini hanya menyisakan rasa sakit dan kerinduan yang dalam.Ryan mengerang pelan, suaranya dipenuhi dengan kesakitan yang ia coba sembunyikan dari semua orang. "Michaela... di mana kau?" bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar di ruangan yang sepi itu. Ia membayangkan Michaela di tempat yang tidak diketahui, mungkin ketakutan, mungkin terluka. Gambar-gambar mengerikan terus menerus berputar di benaknya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa putus asa."Aku tidak bisa terus seperti ini," katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, nyaris seperti berbic
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyebarkan kehangatan di seluruh kamar.Michaela perlahan membuka matanya, terbangun oleh cahaya yang menerpa wajahnya. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dia belum sepenuhnya pulih dari demam yang menyerangnya malam sebelumnya.Meskipun tubuhnya sudah tidak sepanas semalam, kelemahan masih menguasai dirinya. Ia berbaring di sana sejenak, memandang ke langit-langit kamar yang usang dengan perasaan hampa.Perasaan rindu pada keluarganya kembali menyeruak di hatinya, membawa serta kenangan indah tentang rumahnya yang hangat dan penuh cinta. Michaela menahan napas, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh lagi. “Aku sangat merindukan kalian…” gumamnya pelan, suaranya bergetar dengan emosi yang ia coba tahan. Bayangan wajah ibunya, senyum lembut ayahnya, dan tawa hangat mereka membuat dadanya terasa semakin sesak. Dengan susah payah, Michaela mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, tubuhnya belum sepenuhnya k
Pagi itu, sinar matahari masih menyinari rumah kecil Ace yang tersembunyi di pedesaan. Suara burung berkicau di kejauhan dan angin sepoi-sepoi membawa hawa segar yang menyelimuti rumah. Ace duduk di ruang tamu, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya.Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan yang mengganggu ketenangannya. Ace menatap pintu dengan waspada, tapi dia tahu siapa yang ada di baliknya. Dengan sedikit enggan, dia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka kunci dan menarik gagangnya. Di depannya, berdiri tiga orang pria yang tidak asing lagi baginya—Reggie, Luke, dan Tommy, teman-temannya yang sudah seperti saudara.“Yo, Ace!” Reggie menyapa dengan senyum lebar yang biasa ia tunjukkan. “Kami pikir, mungkin kau ingin sedikit hiburan pagi ini.”Ace mengangkat alis, menyembunyikan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul. “Apa yang kalian lakukan di sini? Bukannya kalian masih di markas?”“Kami bosan di sana. Lagi pula, ada
"Tuan, saya punya sesuatu," suara Cole terdengar tegang saat ia membuka pintu ruangan Ryan dengan terburu-buru.Ryan yang duduk di kursinya, dengan wajah yang letih, langsung mendongak. "Apa itu, Cole?" tanyanya dengan nada penuh harap.Cole mendekat, menyerahkan selembar peta kecil yang sudah diberi tanda. "Kita berhasil melacak sinyal ponsel nona Michaela untuk beberapa saat sebelum sinyalnya hilang. Ini adalah titik terakhir yang bisa kami dapatkan."Ryan menatap peta itu dengan tatapan tajam, mencoba mencerna informasi tersebut. "Daerah terpencil ini... di mana ini, Cole?""Itu di luar kota, sekitar dua jam perjalanan. Daerah pedesaan yang jarang dilewati orang. Saya rasa itu adalah tempat yang sempurna untuk menyembunyikan seseorang," jawab Cole, suaranya penuh dengan keyakinan.Ryan mengepalkan tangan, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita harus segera pergi ke sana. Kumpulkan beberapa orang, dan pastikan kita tidak terlalu mencolok. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadap
"Kita sudah sampai, Tuan," kata Cole sambil mematikan mesin mobilnya. Ia memandang Ryan yang duduk di sebelahnya dengan wajah tegang.Ryan mengangguk tanpa sepatah kata pun, matanya fokus pada tempat terpencil yang kini berada di hadapannya. Di belakang mereka, beberapa mobil mewah berhenti, menunggu instruksi lebih lanjut."Semua keluar. Periksa setiap sudut tempat ini," perintah Ryan dengan suara tegas. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Udara pagi yang sejuk terasa aneh di tempat yang sunyi ini, seakan menambah ketegangan yang ada.Para anak buah Ryan mulai bergerak cepat, menyebar ke segala arah, menyusuri jalan-jalan setapak kecil yang ada di sekitar. Cole berjalan mendekat ke Ryan, melihat bahwa bosnya tetap diam dan memandang sekeliling dengan penuh konsentrasi."Tempat ini... terlihat sangat sunyi," gumam Ryan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kau yakin ini titik terakhir yang kita dapat?"Cole mengangguk. "Ini yang terbaik yang bisa kita dapat dari sinyal ponsel nona M