Share

Bab 6. Pagi yang Muram

Pagi itu, cahaya matahari menyelinap melalui tirai tipis di kamar tempat Michaela terbaring. Matanya terbuka perlahan, membiasakan diri dengan kegelapan yang memudar oleh sinar mentari yang malu-malu. Seluruh tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya masih berkelana di antara kenyataan yang membingungkan dan mimpi buruk yang baru saja ia alami. Semalam, dia nyaris tidak bisa tidur—pikiran tentang kejadian yang menimpanya, serta kebingungan tentang masa depannya, terus menghantui.

Telinganya menangkap suara dentuman halus dari luar kamarnya. Sesuatu sedang terjadi di luar sana, suara benda yang bergesekan, mungkin dari dapur. Michaela duduk di tepi tempat tidur, hatinya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan memeriksa.

Dia berjalan dengan langkah ringan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ketika ia sampai di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada dapur kecil di ujung ruangan. Ace sedang berdiri di sana, punggungnya menghadap ke arahnya, sibuk dengan sesuatu di meja dapur. Michaela tidak bergerak, hanya berdiri di sana sejenak, mengamati pria yang menculiknya namun kini tampak... manusiawi.

Tak lama kemudian, Michaela terduduk di kursi di ruang tamu, jauh dari dapur tapi cukup dekat untuk mengawasi Ace. Dia membenamkan wajahnya di tangannya, mencoba memproses segala yang terjadi. Malam itu terasa begitu panjang, seolah waktu berjalan lebih lambat, menyiksa setiap detik dengan perasaan takut dan bingung yang membuncah.

Tak berapa lama, Ace selesai menata makanan dan berbalik membawa dua piring berisi sarapan. Ketika ia sampai di ruang tamu, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di depannya, duduk Michaela dengan kepala menunduk, wajahnya muram dan tanpa ekspresi. Rambutnya berantakan, tanpa hiasan sedikit pun, namun baginya, gadis itu tetap memancarkan kecantikan yang memukau.

Sejenak Ace terpaku, menatap gadis itu. Ada sesuatu yang berbeda dari pagi ini. Meski biasanya dia terbiasa melihat ketakutan di wajah orang-orang yang berada di bawah kendalinya, kali ini, dia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—sebuah dorongan untuk melindungi, alih-alih menguasai.

Dengan sedikit senyum samar di wajahnya, Ace melangkah mendekat dan meletakkan piring di atas meja. Suara piring yang menyentuh meja membuat Michaela tersentak dan mendongak. Mata mereka bertemu untuk sejenak, sebelum Michaela cepat-cepat mengalihkan pandangannya, kembali menatap kosong ke arah lain.

"Good morning," sapa Ace dengan suara datar, mencoba mencairkan suasana. Dia duduk di kursi di seberang meja, sambil menarik salah satu piring ke arahnya. "Aku buatkan sarapan. Kau lapar?"

Michaela menatap piring itu dengan ragu-ragu. Dia tidak menjawab langsung, hanya menatap makanan yang tampak sederhana namun menggugah selera—telur orak-arik, sepotong roti panggang, dan secangkir kopi hitam. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan.

Ace menggeser piringnya ke depan Michaela, dan gadis itu, meskipun masih sedikit waspada, mulai mengambil garpu dan menyantap makanannya. Suasana di antara mereka hening, seolah-olah kata-kata terjebak di udara, enggan keluar.

Setelah beberapa gigitan, Ace akhirnya memecah keheningan. "Aku tahu kau pasti bingung... takut," ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Tapi aku tidak akan menyakitimu. Kau aman di sini."

Michaela hanya menunduk, tidak tahu harus merespons bagaimana. Seluruh situasi ini begitu absurd baginya. Seorang pria yang kemarin menculiknya, sekarang bersikap seolah-olah mereka hanya dua orang biasa yang berbagi sarapan.

"Tuan," akhirnya Michaela berbicara, suaranya lemah namun penuh tekad.

"Panggil saja aku, Ace,"

"Kenapa kau melakukan ini? Apa yang kau inginkan dariku?"

Ace terdiam, menatapnya dengan intens.

Dia sendiri tak sepenuhnya yakin dengan jawabannya. "Mungkin... aku hanya ingin mengenalmu," katanya setelah beberapa saat, meskipun kata-kata itu terasa aneh bahkan bagi dirinya sendiri. "Mungkin aku ingin tahu seperti apa gadis yang berani mencium pria yang menculiknya."

Michaela terperangah, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Kau pikir ini lelucon?" ia bertanya dengan nada sedikit tajam, meskipun rasa takut masih mengintip di balik keberaniannya.

Ace menggeleng, sedikit tersenyum. "Bukan. Aku hanya... terkesan. Tidak ada yang pernah menantangku seperti itu sebelumnya."

Michaela memalingkan wajahnya, merasa marah sekaligus bingung. "Aku melakukannya karena aku takut. Aku tidak punya pilihan lain," katanya dengan suara bergetar. "Kau tidak tahu seberapa takutnya aku saat itu."

Pria itu menatapnya dalam-dalam, menyadari bahwa apa yang ia lakukan memang telah menimbulkan ketakutan luar biasa bagi Michaela. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik oleh ketulusan gadis itu. "Aku tahu, dan aku minta maaf," katanya, meskipun suaranya masih datar, namun kali ini dengan nada yang lebih tulus. "Tapi sekarang, kau tidak perlu takut lagi. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."

Kata-kata itu menimbulkan sedikit kelegaan di hati Michaela, meskipun dia masih jauh dari rasa aman. Dia tahu bahwa pria di depannya ini tidak seperti orang biasa. Ada sesuatu yang gelap dan berbahaya di balik senyuman samar itu. Namun, dia juga merasakan bahwa Ace mungkin lebih kompleks dari apa yang ia duga.

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Michaela berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut. "Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Ace mengangkat bahunya, seolah-olah tidak memiliki rencana yang pasti. "Kita lihat saja nanti. Yang pasti, kau akan tetap bersamaku... setidaknya untuk sementara waktu."

Michaela merasa ada dorongan dalam hatinya untuk melawan, untuk mencoba melarikan diri. Namun, dia tahu bahwa saat ini dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Dia harus bermain cerdas, berpikir jauh ke depan.

"Ace," katanya pelan, menatap pria itu dengan hati-hati. "Aku tidak akan kabur. Aku hanya ingin... mencoba mengerti apa yang kau inginkan dariku. Mungkin... mungkin jika kau memberiku sedikit kebebasan, aku bisa lebih percaya padamu."

Ace menatapnya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Kau bilang tidak akan kabur?"

Michaela mengangguk pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah langkah yang tepat. "Aku janji."

Ace mendesah pelan, merasa ada sesuatu dalam diri Michaela yang membuatnya percaya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mempercayaimu, Michaela. Tapi ingat, jika kau mencoba melarikan diri... tidak akan ada tempat yang cukup jauh untukmu bersembunyi."

Michaela mengangguk lagi, merasakan campuran ketakutan dan kelegaan di dalam dirinya. Setidaknya untuk saat ini, dia berhasil membuat Ace sedikit melonggarkan kendalinya.

Sarapan mereka berlanjut dalam keheningan, tetapi keheningan itu tidak lagi sama. Ada pergeseran halus dalam dinamika di antara mereka, sesuatu yang tak terucapkan namun sangat terasa. Michaela tahu bahwa perjuangannya masih panjang, tetapi setidaknya pagi ini, dia berhasil menyeimbangkan sedikit dari situasi yang kacau ini.

Setelah sarapan selesai, Ace bangkit dari kursinya dan membawa piring kotor ke dapur. Michaela memperhatikannya dari belakang, mencoba menganalisis setiap gerak-geriknya. Ada sesuatu yang misterius dan memikat tentang pria itu, tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya terperangkap lebih dalam dalam permainan ini.

Ketika Ace kembali dari dapur, Michaela memutuskan untuk mengajukan satu pertanyaan lagi. "Ace, apakah kau pernah berpikir... bahwa mungkin kau tidak perlu melakukan semua ini? Bahwa mungkin ada cara lain?"

Ace menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. "Aku sudah terlalu jauh, Michaela. Tidak ada jalan kembali."

Michaela hanya bisa mengangguk pelan, menerima kenyataan pahit yang ada di depannya. Dia tahu bahwa Ace tidak akan mudah diubah, tetapi di balik keteguhan hati itu, dia merasakan ada secercah harapan kecil. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan cara untuk mengubah nasibnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status