Jip tua milik Ace berderak pelan saat ia mengendarainya menembus jalan setapak yang semakin sempit. Michaela yang duduk di sebelahnya, terdiam sambil memandangi pemandangan yang mulai berubah dari padang rumput liar menjadi pemandangan yang lebih teratur dengan rumah-rumah kayu yang sederhana namun hangat.Ace menghentikan jipnya di depan sebuah rumah yang terlihat berbeda dari bangunan lain di sekitar. Rumah itu hanya memiliki satu lantai, tidak terlalu besar, namun sangat rapi dan terawat dengan baik. Udara sore yang sejuk merayap masuk melalui jendela jip, membawa aroma tanah dan dedaunan yang menenangkan.“Kita sudah sampai,” ujar Ace dengan suara datar, melirik Michaela yang masih terpana dengan pemandangan di depannya.Michaela mengangguk pelan, masih terkesima oleh suasana pedesaan yang jauh berbeda dari hiruk-pikuk perkotaan yang biasa ia kenal. "Ini… tempat ini indah sekali," gumamnya hampir tak terdengar.Ace tidak menanggapi komentarnya. Ia hanya mematikan mesin jip, membuka
Ace terbaring di tempat tidur, matanya terpejam, namun pikirannya terperangkap dalam mimpi yang kelam. Bayangan masa kecilnya kembali menghantuinya, mengantarkannya pada kenangan yang tak ingin dia ingat.Dalam mimpinya, Ace melihat dirinya yang masih kecil, berusia sekitar 10 tahun. Ia berdiri di depan rumah kecil neneknya di desa terpencil, di bawah langit yang kelam. Angin dingin berhembus, membuat pepohonan bergoyang tak beraturan. Di kejauhan, dia bisa melihat sosok ibunya, Amanda Silverton, yang berjalan dengan langkah lamban dan tatapan kosong.“Ibu?” Ace kecil memanggil, suaranya penuh ketakutan. Namun, Amanda terus berjalan, seolah tidak mendengar panggilan anaknya.Ace kecil berlari mengejar, kakinya yang mungil berusaha mengejar langkah sang ibu. Tapi semakin cepat dia berlari, semakin jauh ibunya terlihat. Nafasnya tersengal-sengal, namun dia tak berhenti. Hingga akhirnya, di tengah hujan yang tiba-tiba turun deras, Amanda berhenti dan berbalik. Wajahnya pucat, matanya yang
Paula Rose Blackwood terguncang dalam kesedihan yang mendalam, isaknya memenuhi seluruh kamar. Wanita yang biasanya anggun dan kuat itu kini hanya bisa terpuruk di sudut ranjang, menggenggam erat foto Michaela saat masih kecil. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi wajahnya yang pucat."Bagaimana mungkin ini terjadi, John? Bagaimana mungkin putri kita hilang begitu saja? Ini sudah berhari-hari, kenapa mereka masih belum menemukannya?!" Suara Paula yang histeris menyayat hati John, suaminya, yang berdiri di dekat pintu dengan ekspresi penuh rasa bersalah.John, seorang pria yang selalu tampak tenang dan penuh wibawa, kini tak tahu lagi harus berkata apa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa hampa."Paula, percayalah, aku sudah melakukan segalanya. Semua sumber daya telah dikerahkan. Bahkan Ryan juga membantu. Tapi... sampai sekarang belum ada kabar.""Tidak, John! Itu tidak cukup! Putri kita masih hilang! Bagaimana bisa aku tenang?!"Pada saat itu, suara langkah kaki yang
"Bagus, aku akan mengirim uangnya segera." Senyum licik terukir di wajah Melanie saat dia memutuskan panggilan telepon. Dia menatap cermin di depannya, seringai di bibirnya semakin melebar. "Tidak, sayang, kau tidak tahu betapa aku sangat mencintaimu. Aku bisa melakukan apa saja agar aku bisa mendapatkanmu, bahkan jika aku harus menyerahkan mahkotaku saat ini juga," gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya penuh keyakinan.Melanie menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad. Hatinya dipenuhi dengan hasrat yang tak terbendung untuk memiliki Ryan sepenuhnya. Baginya, Michaela hanyalah penghalang, dan dengan Michaela yang saat ini hilang, Melanie melihat ini sebagai kesempatan emas. “Ryan… tak lama lagi, kau akan jadi milikku sepenuhnya,” pikirnya sambil tersenyum dingin.Dia telah merencanakan semuanya dengan teliti, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Wanita bayaran yang disewanya sudah berhasil membuat Ryan mabuk berat. Kini, hanya tinggal satu langkah lagi sebelum dia bis
Michaela berbaring di atas kasur empuk, tetapi rasa nyaman itu tak mampu mengusir kengerian yang menghantui mimpinya. Mata terpejam rapat, tubuhnya gelisah, jemarinya meremas seprai seolah mencari perlindungan.“Ryan…” gumamnya dalam tidur, suaranya lirih dan patah-patah. Wajahnya basah oleh keringat, dadanya naik turun dengan cepat."T-tidak… tidak... RYAN!!!" teriakan panik itu menggema di kamar yang gelap. Michaela terbangun dengan terperanjat, dadanya berdebar kencang seolah baru saja melarikan diri dari mimpi buruk yang menghantuinya. Napasnya terengah-engah, seakan sulit mendapatkan udara yang cukup.Dia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri, namun perasaan cemas dan takut tak kunjung mereda. Ada lubang besar di dadanya, kosong dan penuh ketakutan. Air mata mulai menggenang di matanya, lalu perlahan-lahan mengalir ke pipinya.“Ryan… di mana kau… aku merindukanmu,” bisiknya, suaranya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Michaela menutup wajahnya dengan tangan, lalu memeluk
Ryan menggeliat di tempat tidur, kelopak matanya berat, dan pikirannya berputar-putar dalam kegelapan. Suara dering ponsel yang terus-menerus berdering membangunkannya dari tidur yang tak sepenuhnya nyenyak. Dengan tangan kiri yang masih lemas, dia meraih ponsel di atas nakas, mengusap wajahnya dengan tangan kanan, dan menekan tanda terima panggilan di layar."Ada apa, Cole?" tanyanya, suara seraknya mencerminkan kelelahan yang membungkusnya."Tuan, Anda di mana?" suara Cole terdengar cemas di seberang."Aku…?" Ryan mengerutkan kening, pandangannya berkeliling ruangan yang terasa asing. Tempat tidur yang berantakan, selimut terlempar ke lantai, dan aroma yang tak dikenalnya memenuhi udara. "Aku tidak tahu," jawabnya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada Cole.Cole menegaskan, “Hari ini kolega kita dari Jepang akan segera datang untuk membahas proyek baru kita dalam dua jam, Tuan.”"Shit!" Ryan tersentak, mendadak menyadari apa yang dia lupakan. "Aku akan datang segera." Dia langs
Setelah pertemuan penting dengan kolega dari Jepang usai, Ryan menghembuskan napas lega. Ruang rapat yang tadinya penuh dengan perbincangan serius kini sunyi, hanya menyisakan dirinya dan beberapa lembar catatan di atas meja.Dia menatap kosong ke arah dinding yang dihiasi lukisan modern, pikirannya melayang jauh dari urusan bisnis.Namun, di balik ketenangan yang tampak, hatinya terasa berat. Begitu banyak kejadian yang mengganggu pikirannya belakangan ini. Penculikan Michaela, tunangannya yang masih belum ditemukan, adalah beban terberat yang harus dia pikul. Kecemasan dan ketakutan yang terus-menerus menghantui, membuat setiap hari terasa seperti sebuah penderitaan. Dan yang baru saja terjadi kemarin—peristiwa yang entah bagaimana membawa dirinya ke dalam situasi yang tak terbayangkan dengan Melanie, sahabatnya sendiri. Itu semua terasa gila dan tak masuk akal.Pikirannya terpecah ketika terdengar ketukan di pintu kantornya. “Masuk,” ucap Ryan, suaranya terdengar lelah.Cole masuk
“Sial!!” umpat Melanie dengan keras sambil menatap alat tes kehamilan di tangannya. Dia memandangi garis tunggal yang muncul, rasa kesal dan frustrasi mengalir deras dalam dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. “Harusnya dua garis! Apa-apaan ini!” teriaknya, hampir membanting alat itu ke lantai.Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketegangan yang mengguncang hatinya tidak mudah reda.Melanie menggenggam alat tes kehamilan itu lebih erat, matanya berkaca-kaca karena marah. 'Aku harus hamil. Ini harus terjadi, bagaimanapun caranya.' Pikirannya dipenuhi oleh satu tujuan, satu harapan yang menjadi semakin jauh dari jangkauan.Setelah beberapa saat, dia dengan kasar membuang alat tes ke dalam tong sampah yang ada di sebelahnya. Melanie berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajahnya yang masih memerah karena amarah. Bibirnya bergetar menahan tangis, tetapi dia menolak untuk membiarkan air mata jatuh. 'Aku tidak boleh kalah. Ini belu