“Sial!!” umpat Melanie dengan keras sambil menatap alat tes kehamilan di tangannya. Dia memandangi garis tunggal yang muncul, rasa kesal dan frustrasi mengalir deras dalam dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. “Harusnya dua garis! Apa-apaan ini!” teriaknya, hampir membanting alat itu ke lantai.Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketegangan yang mengguncang hatinya tidak mudah reda.Melanie menggenggam alat tes kehamilan itu lebih erat, matanya berkaca-kaca karena marah. 'Aku harus hamil. Ini harus terjadi, bagaimanapun caranya.' Pikirannya dipenuhi oleh satu tujuan, satu harapan yang menjadi semakin jauh dari jangkauan.Setelah beberapa saat, dia dengan kasar membuang alat tes ke dalam tong sampah yang ada di sebelahnya. Melanie berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajahnya yang masih memerah karena amarah. Bibirnya bergetar menahan tangis, tetapi dia menolak untuk membiarkan air mata jatuh. 'Aku tidak boleh kalah. Ini belu
Ryan baru saja tiba di mansion keluarga Blackwell, rumah besar yang megah dan mewah. Begitu keluar dari mobil, ia langsung disambut oleh beberapa pelayan yang berjaga di depan pintu masuk. Kepala pelayan, George, yang sudah lama bekerja untuk keluarga Blackwell, menyambutnya dengan penuh hormat.“Selamat datang, Tuan Muda,” sapa George dengan kepala sedikit menunduk, menunjukkan rasa hormatnya yang tulus.Namun, Ryan tidak menanggapi sapaan itu. Langkahnya tetap tegas dan cepat, menunjukkan bahwa pikirannya sedang tidak berada di tempat. Namun tiba-tiba, ia terhenti di depan pintu masuk dan menoleh ke arah George. "Apa Ayah sudah pulang, George?" tanyanya singkat, matanya menatap lurus ke arah kepala pelayan itu.George segera menjawab, “Belum, Tuan. Tuan Besar Arthur belum memberi kabar mengenai kepulangannya.”"Hmm..." Ryan hanya bergumam singkat, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya yang berada di lantai atas mansion itu.Begitu memasuki kamar yang super megah, Ryan langsung
Malam mulai terasa lebih panjang bagi Ryan, dan pikirannya dipenuhi oleh kegelisahan yang semakin membebani.Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, ia memandang lurus ke depan dengan mata tajam, perasaannya campur aduk antara rindu dan khawatir. Setiap detik terasa seperti hukuman.Michaela, tunangannya, berada entah di mana, bersama orang yang tidak ia ketahui. Ketidakpastian itu membuat darahnya mendidih."Cole, lebih cepat lagi! Jangan sampai kita tertinggal satu langkah pun," desak Ryan, suaranya tegas dan penuh perintah. Ia tidak peduli dengan kecepatan mobil yang sudah berada di ambang batas. Yang ada di pikirannya hanyalah Michaela."Baik, Tuan," jawab Cole patuh, tanpa ragu menambah kecepatan mobil.Jalanan tidak terlalu macet, dan mereka beruntung bisa melewati beberapa tikungan dengan lancar. Meskipun perjalanan dari kota besar ke Westville biasanya memakan waktu 5 hingga 6 jam, dengan kondisi jalan yang baik, mereka bisa sampai lebih cepat. Namun bagi Ryan, wak
Di ruang makan besar kediaman keluarga Blackwood, keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Tak ada suara peralatan makan yang biasa terdengar. Tak ada percakapan ringan di antara keluarga besar itu. Hanya hening. Setiap orang duduk di kursinya, seperti tidak punya selera makan.John Blackwood, kepala keluarga, menatap piring kosong di depannya dengan ekspresi berat. Di sebelahnya, Paula, istrinya, hanya memandangi makanan di piringnya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Sementara Max, putra sulung, duduk di ujung meja, matanya kosong, namun sorot kesedihan dan amarah jelas terlihat di balik wajah tanpa ekspresinya.“Ayah…” Max akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar namun tegas. “Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanyanya, mencoba menahan emosi yang sudah mendidih di dalam dirinya.John mengangkat pandangannya perlahan, menatap putranya yang kini sedang menatapnya dengan tajam. “Aku tidak tahu pastinya, Max…,” jawab John dengan suara berat. “Empat hari yang lalu, beberapa anggota kepo
Melanie segera melangkah maju, wajahnya masih terlihat basah oleh air mata buatan yang dia keluarkan dengan penuh kecerdikan."Kau salah paham, Max. Kami tidak melakukan apa-apa. Tadi hanya sebuah kecelakaan kecil saja," ucap Melanie dengan nada lembut, suaranya terdengar penuh kesedihan yang sengaja dibuat-buat. Ia menatap Max dengan tatapan memohon, berharap pria itu akan mempercayainya. "Tolong jangan pukuli Ryan lagi. Aku mohon."Max menoleh sejenak ke arah Melanie, menatap wajahnya dengan tatapan tajam penuh kecurigaan. Meski air mata wanita itu terlihat tulus, Max bisa merasakan ada sesuatu yang janggal.Ia tahu tipe wanita seperti Melanie, seorang yang selalu punya rencana di balik segala sesuatu yang ia lakukan.Tatapan Max kembali kepada Ryan yang masih berdiri terhuyung-huyung sambil memegang rahangnya yang terluka. "Beraninya kau…" gumam Max dengan nada rendah namun penuh ancaman.Ia menahan diri, meski segala amarah yang ada dalam dirinya membuat tubuhnya gemetar. Ia bisa
Di dalam kamar mewahnya, Melanie duduk dengan perasaan campur aduk di sisi ranjang yang rapi. Ia memandangi pantulan wajahnya di cermin besar, mencoba menemukan tanda-tanda apapun di tubuhnya yang bisa memberikan jawaban atas kegelisahan yang menggerogoti pikirannya.Pikirannya melayang pada satu hal—Ryan.“Clara, belikan aku test pack kehamilan lagi.” Suara Melanie terdengar tegas meski nada frustrasi meresap di setiap kata yang diucapkannya. Clara, pelayan setianya, mengangguk dengan cepat. "Baik, Nona," jawabnya tanpa ragu. Melanie menatap kosong ke lantai, mengabaikan bayangan Clara yang bergerak menuju pintu. Namun, tiba-tiba pikirannya terganggu oleh pertanyaan yang menghantui benaknya.“Tunggu,” ucap Melanie, suaranya lebih dingin kali ini.Clara berbalik menghadap majikannya, sedikit bingung, namun tetap menunggu perintah lebih lanjut.“Katakan padaku sesuatu, Clara. Apakah wanita bisa hamil hanya dengan sekali berhubungan badan?” tanyanya tanpa basa-basi. Matanya tajam mena
"Ace, kau harus kemari. Ada informasi penting yang kita dapatkan," suara Michael terdengar tegang di seberang telepon.Ace merespon cepat, "Baik, aku akan segera ke sana." Ia mengakhiri panggilan dengan nada dingin dan berbalik hendak meninggalkan ruangan.Saat Ace membalikkan badan, Michaela sudah berdiri di belakangnya, membuatnya sedikit terkesiap."Kau menguping?" tanya Ace dengan sorot mata tajam, seolah menantang.Michaela tetap tenang, meskipun nada suara Ace tidak seperti biasanya. "Tidak," jawabnya singkat.Tak ada senyuman di wajahnya pagi itu, hanya tatapan yang penuh pertanyaan.Ace menggumam pelan, matanya masih memicing curiga. “Hmm…”Sikap Ace pagi itu berbeda. Michaela bisa merasakannya. Biasanya, Ace bersikap lembut, namun kini ada jarak yang terasa di antara mereka. Sesuatu telah mengubahnya setelah telepon itu.Michaela menatapnya dalam-dalam, seolah ingin mencari tahu apa yang tersembunyi di balik sikap dingin itu."Aku akan pergi keluar sebentar," ucap Ace sambil
Michaela duduk termenung di tepi jendela kamar, pandangannya menerawang ke luar. Cahaya pagi yang biasanya membawa ketenangan, kini hanya menambah kekacauan dalam pikirannya. Semuanya terasa begitu salah, tapi juga benar dalam cara yang sulit ia pahami.“Aku tak bisa terus begini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Tangannya meremas tirai, seolah-olah itu bisa memberinya kekuatan untuk mengambil keputusan besar yang selama ini menghantuinya.Hatinya terbelah dua. Di satu sisi, ada perasaan bersalah yang mendalam terhadap Ryan. Pria yang telah berjanji untuk melindunginya, pria yang seharusnya menjadi tempatnya kembali.Tapi di sisi lain, ada Ace. Pria yang misterius, dingin, tapi entah bagaimana selalu membuatnya merasa aman dan dilindungi. Itu adalah perasaan yang tidak seharusnya ia miliki untuk pria yang telah menculiknya.“Kenapa aku merasa begini?” Michaela bertanya pada dirinya sendiri. Suaranya bergetar, hampir pecah oleh emosi yang terus tumbuh di dalam dirinya. “B