Malam mulai terasa lebih panjang bagi Ryan, dan pikirannya dipenuhi oleh kegelisahan yang semakin membebani.Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, ia memandang lurus ke depan dengan mata tajam, perasaannya campur aduk antara rindu dan khawatir. Setiap detik terasa seperti hukuman.Michaela, tunangannya, berada entah di mana, bersama orang yang tidak ia ketahui. Ketidakpastian itu membuat darahnya mendidih."Cole, lebih cepat lagi! Jangan sampai kita tertinggal satu langkah pun," desak Ryan, suaranya tegas dan penuh perintah. Ia tidak peduli dengan kecepatan mobil yang sudah berada di ambang batas. Yang ada di pikirannya hanyalah Michaela."Baik, Tuan," jawab Cole patuh, tanpa ragu menambah kecepatan mobil.Jalanan tidak terlalu macet, dan mereka beruntung bisa melewati beberapa tikungan dengan lancar. Meskipun perjalanan dari kota besar ke Westville biasanya memakan waktu 5 hingga 6 jam, dengan kondisi jalan yang baik, mereka bisa sampai lebih cepat. Namun bagi Ryan, wak
Di ruang makan besar kediaman keluarga Blackwood, keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Tak ada suara peralatan makan yang biasa terdengar. Tak ada percakapan ringan di antara keluarga besar itu. Hanya hening. Setiap orang duduk di kursinya, seperti tidak punya selera makan.John Blackwood, kepala keluarga, menatap piring kosong di depannya dengan ekspresi berat. Di sebelahnya, Paula, istrinya, hanya memandangi makanan di piringnya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Sementara Max, putra sulung, duduk di ujung meja, matanya kosong, namun sorot kesedihan dan amarah jelas terlihat di balik wajah tanpa ekspresinya.“Ayah…” Max akhirnya memecah keheningan. Suaranya datar namun tegas. “Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanyanya, mencoba menahan emosi yang sudah mendidih di dalam dirinya.John mengangkat pandangannya perlahan, menatap putranya yang kini sedang menatapnya dengan tajam. “Aku tidak tahu pastinya, Max…,” jawab John dengan suara berat. “Empat hari yang lalu, beberapa anggota kepo
Melanie segera melangkah maju, wajahnya masih terlihat basah oleh air mata buatan yang dia keluarkan dengan penuh kecerdikan."Kau salah paham, Max. Kami tidak melakukan apa-apa. Tadi hanya sebuah kecelakaan kecil saja," ucap Melanie dengan nada lembut, suaranya terdengar penuh kesedihan yang sengaja dibuat-buat. Ia menatap Max dengan tatapan memohon, berharap pria itu akan mempercayainya. "Tolong jangan pukuli Ryan lagi. Aku mohon."Max menoleh sejenak ke arah Melanie, menatap wajahnya dengan tatapan tajam penuh kecurigaan. Meski air mata wanita itu terlihat tulus, Max bisa merasakan ada sesuatu yang janggal.Ia tahu tipe wanita seperti Melanie, seorang yang selalu punya rencana di balik segala sesuatu yang ia lakukan.Tatapan Max kembali kepada Ryan yang masih berdiri terhuyung-huyung sambil memegang rahangnya yang terluka. "Beraninya kau…" gumam Max dengan nada rendah namun penuh ancaman.Ia menahan diri, meski segala amarah yang ada dalam dirinya membuat tubuhnya gemetar. Ia bisa
Di dalam kamar mewahnya, Melanie duduk dengan perasaan campur aduk di sisi ranjang yang rapi. Ia memandangi pantulan wajahnya di cermin besar, mencoba menemukan tanda-tanda apapun di tubuhnya yang bisa memberikan jawaban atas kegelisahan yang menggerogoti pikirannya.Pikirannya melayang pada satu hal—Ryan.“Clara, belikan aku test pack kehamilan lagi.” Suara Melanie terdengar tegas meski nada frustrasi meresap di setiap kata yang diucapkannya. Clara, pelayan setianya, mengangguk dengan cepat. "Baik, Nona," jawabnya tanpa ragu. Melanie menatap kosong ke lantai, mengabaikan bayangan Clara yang bergerak menuju pintu. Namun, tiba-tiba pikirannya terganggu oleh pertanyaan yang menghantui benaknya.“Tunggu,” ucap Melanie, suaranya lebih dingin kali ini.Clara berbalik menghadap majikannya, sedikit bingung, namun tetap menunggu perintah lebih lanjut.“Katakan padaku sesuatu, Clara. Apakah wanita bisa hamil hanya dengan sekali berhubungan badan?” tanyanya tanpa basa-basi. Matanya tajam mena
"Ace, kau harus kemari. Ada informasi penting yang kita dapatkan," suara Michael terdengar tegang di seberang telepon.Ace merespon cepat, "Baik, aku akan segera ke sana." Ia mengakhiri panggilan dengan nada dingin dan berbalik hendak meninggalkan ruangan.Saat Ace membalikkan badan, Michaela sudah berdiri di belakangnya, membuatnya sedikit terkesiap."Kau menguping?" tanya Ace dengan sorot mata tajam, seolah menantang.Michaela tetap tenang, meskipun nada suara Ace tidak seperti biasanya. "Tidak," jawabnya singkat.Tak ada senyuman di wajahnya pagi itu, hanya tatapan yang penuh pertanyaan.Ace menggumam pelan, matanya masih memicing curiga. “Hmm…”Sikap Ace pagi itu berbeda. Michaela bisa merasakannya. Biasanya, Ace bersikap lembut, namun kini ada jarak yang terasa di antara mereka. Sesuatu telah mengubahnya setelah telepon itu.Michaela menatapnya dalam-dalam, seolah ingin mencari tahu apa yang tersembunyi di balik sikap dingin itu."Aku akan pergi keluar sebentar," ucap Ace sambil
Michaela duduk termenung di tepi jendela kamar, pandangannya menerawang ke luar. Cahaya pagi yang biasanya membawa ketenangan, kini hanya menambah kekacauan dalam pikirannya. Semuanya terasa begitu salah, tapi juga benar dalam cara yang sulit ia pahami.“Aku tak bisa terus begini,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Tangannya meremas tirai, seolah-olah itu bisa memberinya kekuatan untuk mengambil keputusan besar yang selama ini menghantuinya.Hatinya terbelah dua. Di satu sisi, ada perasaan bersalah yang mendalam terhadap Ryan. Pria yang telah berjanji untuk melindunginya, pria yang seharusnya menjadi tempatnya kembali.Tapi di sisi lain, ada Ace. Pria yang misterius, dingin, tapi entah bagaimana selalu membuatnya merasa aman dan dilindungi. Itu adalah perasaan yang tidak seharusnya ia miliki untuk pria yang telah menculiknya.“Kenapa aku merasa begini?” Michaela bertanya pada dirinya sendiri. Suaranya bergetar, hampir pecah oleh emosi yang terus tumbuh di dalam dirinya. “B
“Aku bukan milikmu, Ace,” isak Michaela dengan suara yang bergetar.Air matanya bercampur dengan air hujan yang deras, membuat wajahnya tampak semakin rapuh. Kedua tangannya meremas kaos Ace dengan putus asa, sementara Ace hanya berdiri di sana, diam dengan rahangnya yang masih mengatup kuat, tatapannya tajam dan gelap.Ace menatap Michaela dalam-dalam, suara gadis itu menghantam hatinya, tapi ia tetap diam. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan yang berkecamuk di dadanya saat ini.“Kau tidak tahu siapa aku,” lanjut Michaela, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang menderu di sekeliling mereka.Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena ketakutan dan ketidakpastian yang membanjiri pikirannya.Ace mendekatkan wajahnya, suaranya rendah dan penuh keyakinan. "I know who you are, baby girl."Michaela mendongak, menatap Ace dengan mata lelah dan bingung. "Kau... kau sudah tahu?"Ace mengangguk, tatapannya semakin tajam, penuh ketegangan yang tak
Michaela membuka matanya perlahan. Kehangatan menyelimuti tubuhnya, membuatnya merasa enggan untuk beranjak.Ia mengerjap kecil, membiarkan kesadarannya perlahan pulih. Lalu, saat ia mengangkat pandangannya, wajah tampan Ace berada hanya beberapa inci dari wajahnya. Hatinya berdesir tak menentu.'Kenapa kau lakukan ini padaku, Ace? Aku sungguh takut. Aku takut jika aku terjerumus lebih dalam pada perasaan ini... Aku tidak bisa melakukan ini.' Gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan gelombang perasaan yang tak menentu di dalam dadanya.Tanpa ragu, ia mencoba beranjak dari tempat tidur, namun kaki yang terluka kemarin kini masih terasa nyeri meski sudah terbalut perban."Aw..." Michaela meringis, merasa sakit di kakinya saat sisi ranjang menyentuh lukanya.Suara samar rintihannya membuat Ace membuka mata perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada tubuh mungil Michaela yang tampak berusaha berdiri.Ace tersenyum kecil. Ia mengusap wajahnya sebelum bangkit dari tempat tidur.Dalam sat
Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t
Ace menurunkan tubuh Michaela perlahan di kamar mandi, matanya masih mengawasi gadis itu dengan sedikit khawatir."Kau yakin bisa berdiri?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan perhatian yang nyata.Michaela mengangguk sambil menyembunyikan rasa canggungnya."He-em, sekarang keluarlah, Ace," ujarnya, mencoba terdengar tegas meskipun jantungnya berdegup kencang."Tidak, aku akan tetap di sini memastikan kau baik-baik saja," bantah Ace tanpa ragu. Michaela membelalakkan matanya, mulutnya ternganga tak percaya. "A-apa?!" pekiknya. Ia merasa jantungnya berhenti sejenak, menahan malu yang luar biasa."Ya, cepatlah, kau bilang sudah tidak tahan," balas Ace dengan nada santai, seolah tidak menyadari betapa absurdnya situasi ini. "Kau..." Michaela kehilangan kata-kata. Napasnya terengah, malu bercampur marah membanjiri wajahnya yang kini memerah.Dengan refleks, ia mendorong tubuh Ace. "Keluar dulu, aku ingin pipis! Ace, keluar!"Ace terkekeh, senyum kecil bermain di sudut bibirnya. "Baiklah
Michaela membuka matanya perlahan. Kehangatan menyelimuti tubuhnya, membuatnya merasa enggan untuk beranjak.Ia mengerjap kecil, membiarkan kesadarannya perlahan pulih. Lalu, saat ia mengangkat pandangannya, wajah tampan Ace berada hanya beberapa inci dari wajahnya. Hatinya berdesir tak menentu.'Kenapa kau lakukan ini padaku, Ace? Aku sungguh takut. Aku takut jika aku terjerumus lebih dalam pada perasaan ini... Aku tidak bisa melakukan ini.' Gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan gelombang perasaan yang tak menentu di dalam dadanya.Tanpa ragu, ia mencoba beranjak dari tempat tidur, namun kaki yang terluka kemarin kini masih terasa nyeri meski sudah terbalut perban."Aw..." Michaela meringis, merasa sakit di kakinya saat sisi ranjang menyentuh lukanya.Suara samar rintihannya membuat Ace membuka mata perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada tubuh mungil Michaela yang tampak berusaha berdiri.Ace tersenyum kecil. Ia mengusap wajahnya sebelum bangkit dari tempat tidur.Dalam sat
“Aku bukan milikmu, Ace,” isak Michaela dengan suara yang bergetar.Air matanya bercampur dengan air hujan yang deras, membuat wajahnya tampak semakin rapuh. Kedua tangannya meremas kaos Ace dengan putus asa, sementara Ace hanya berdiri di sana, diam dengan rahangnya yang masih mengatup kuat, tatapannya tajam dan gelap.Ace menatap Michaela dalam-dalam, suara gadis itu menghantam hatinya, tapi ia tetap diam. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan yang berkecamuk di dadanya saat ini.“Kau tidak tahu siapa aku,” lanjut Michaela, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang menderu di sekeliling mereka.Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena ketakutan dan ketidakpastian yang membanjiri pikirannya.Ace mendekatkan wajahnya, suaranya rendah dan penuh keyakinan. "I know who you are, baby girl."Michaela mendongak, menatap Ace dengan mata lelah dan bingung. "Kau... kau sudah tahu?"Ace mengangguk, tatapannya semakin tajam, penuh ketegangan yang tak