Michaela masih duduk di ruang tamu, menikmati sisa sarapan yang disajikan Ace. Pikirannya terus berputar, memikirkan cara terbaik untuk melarikan diri dari tempat ini. Namun, semua pikirannya terhenti ketika Ace tiba-tiba berdiri dari kursinya, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Suara ponsel berdering, memecah keheningan di antara mereka.
Ace melirik layar ponselnya, ekspresi wajahnya berubah serius. Dia melangkah menjauh dari meja makan, memisahkan diri dari Michaela, dan mengangkat panggilan tersebut.
"Ada apa?," suaranya terdengar tenang, namun dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. Michaela menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan.
"Bos, ada masalah. Kita butuh kau di sini sekarang juga," suara di seberang terdengar mendesak, menandakan ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi.
Ace mengerutkan kening, suaranya menegang. "Apa yang terjadi? Kenapa mendesak sekali?"
"Kami menemukan sesuatu yang aneh di markas. Aku rasa kau perlu melihatnya sendiri. Ini soal hidup dan mati."
Michaela bisa merasakan ketegangan di udara semakin menebal. Ace memandangi Michaela sekilas, seolah mempertimbangkan sesuatu. Kemudian, dia menjawab dengan tegas, "Baiklah, aku akan segera ke sana."
Ace menutup panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke saku. Dia berjalan cepat menuju gantungan jaket, menyambar jaket kulitnya dengan satu gerakan cepat. Michaela mengamati gerak-geriknya dengan waspada, merasakan bahwa ini mungkin adalah kesempatan yang telah ia tunggu-tunggu. Namun, sebelum dia bisa membuat rencana apapun, Ace sudah melangkah ke arah pintu.
"Aku harus pergi," ucap Ace, suaranya datar namun tegas. Dia menghentikan langkahnya sejenak, menatap Michaela dengan mata yang penuh peringatan. "Jangan coba-coba kabur. Semua pintu dan jendela sudah kukunci, dan jika kau mencoba keluar, aku akan tahu."
Michaela menelan ludah, mencoba menyembunyikan ketakutannya. "Ke mana kau akan pergi?"
"Itu bukan urusanmu," jawab Ace singkat, menoleh untuk terakhir kalinya sebelum melangkah keluar. Dia mengeluarkan kunci dari sakunya dan mengunci pintu dari luar, memastikan Michaela tetap terperangkap di dalam rumah kecil itu.
Saat suara deritan kunci terakhir terdengar, Michaela merasa jantungnya berdegup kencang. Dia mendengar suara langkah kaki Ace menjauh, kemudian deru mesin jipnya yang mulai hidup dan melaju pergi. Pintu depan kini terkunci rapat, dan Michaela terjebak sendirian.
Namun, kesendirian ini memberinya waktu untuk berpikir.
Setelah memastikan Ace benar-benar telah pergi, Michaela bangkit dari kursinya. Dia bergerak cepat menuju jendela, memeriksa apakah benar-benar tidak ada jalan keluar. Setiap jendela terkunci dengan kuat, dan bahkan jika ia berhasil membukanya, Michaela tidak yakin dia bisa melarikan diri dengan cepat tanpa tertangkap lagi.
Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, pikirannya berpacu. "Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini...," gumamnya pada dirinya sendiri.
Matanya tertuju pada sebuah laci kecil di sudut ruangan. Dengan cepat, dia berjalan ke sana dan membuka laci itu. Berharap menemukan sesuatu yang berguna, mungkin kunci cadangan atau benda yang bisa membantunya membuka pintu. Namun, laci itu hanya berisi beberapa kertas tak berarti dan korek api.
Michaela mendesah frustrasi. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu, tetapi dia tidak mau hanya duduk diam. Ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa waktunya semakin sedikit.
***
Sementara itu, Ace tiba di markas dengan kecepatan penuh. Dia keluar dari jipnya dan berjalan cepat menuju pintu besar yang terbuat dari baja. Teman-temannya sudah menunggu di dalam, wajah-wajah mereka penuh ketegangan.
Ketika Ace masuk, semua orang langsung menghentikan aktivitas mereka. Seorang pria bertubuh besar dengan tato di lengan, yang tampaknya adalah salah satu anggota inti dari kelompok Ace, melangkah maju.
"Ace, kami menemukan sesuatu di ruang belakang," katanya sambil menunjuk ke arah pintu yang tertutup rapat di ujung ruangan.
"Apa itu?" tanya Ace dengan nada penuh waspada.
Pria itu menggelengkan kepalanya, tampak ragu. "Aku rasa kau harus melihatnya sendiri. Ini tidak seperti apa pun yang pernah kita temui sebelumnya."
Ace melangkah ke arah pintu yang ditunjukkan, dengan teman-temannya mengikuti dari belakang. Dia merasakan adrenalin berdenyut di nadinya, setiap insting dalam tubuhnya memberitahu bahwa ada sesuatu yang sangat salah.
Begitu mereka membuka pintu, ruangan gelap itu menampilkan pemandangan yang membuat Ace menahan napas sejenak. Di dalam ruangan tersebut, terdapat sebuah peti kayu tua yang tertutup debu, tampaknya telah terkunci selama bertahun-tahun.
"Apa ini?" tanya Ace, menatap peti itu dengan pandangan yang curiga.
"Kami menemukannya saat sedang membersihkan gudang. Sepertinya ini barang lama, tapi... ada yang aneh," jawab pria tadi, yang tampaknya juga bingung dengan temuan ini.
Ace mengulurkan tangan dan menyentuh peti itu dengan hati-hati, merasakan permukaannya yang kasar. "Buka," katanya akhirnya, suaranya terdengar tegas.
Salah satu dari mereka maju dengan linggis dan mulai membuka penutup peti. Ketika peti itu terbuka, bau apek yang kuat menyeruak ke udara, membuat beberapa dari mereka menutup hidung. Di dalamnya, terdapat beberapa dokumen dan sebuah benda yang dibungkus kain.
Ace mengambil benda itu dengan hati-hati, membuka kain yang membungkusnya. Di dalamnya terdapat sebuah kotak kecil yang terbuat dari logam dengan ukiran aneh di sekelilingnya. Kotak itu tampak kuno, seolah-olah berasal dari zaman yang sudah sangat lama berlalu.
"Apa ini?" tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Ace menatap kotak itu dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu... tapi aku akan mencari tahu."
***
Di rumah, Michaela masih mencoba memikirkan cara melarikan diri. Dia membuka setiap lemari, memeriksa setiap sudut ruangan, namun semuanya terkunci atau tidak berguna.
Saat dia memeriksa dapur, dia menemukan sesuatu yang menarik—sebuah pintu kecil di lantai, seperti pintu ke ruang bawah tanah. Michaela berlutut dan mencoba membuka pintu itu, namun tampaknya terkunci dari dalam.
Dia merasa frustasi, tapi tidak mau menyerah. "Mungkin ini jalan keluarnya," pikirnya sambil mencoba mengingat apakah ada kunci atau alat di rumah ini yang bisa membantunya membuka pintu tersebut.
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan pencariannya, suara jip Ace terdengar dari kejauhan. Michaela merasakan jantungnya berdegup kencang lagi. Ace telah kembali lebih cepat dari yang ia duga. Dia dengan cepat menutup pintu kecil itu dan berdiri, mencoba tampak tenang.
Ace masuk ke dalam rumah dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Dia melempar jaketnya ke sofa dan berjalan langsung ke arah Michaela. Dia berhenti di depannya, menatap gadis itu dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Kau melakukan sesuatu saat aku pergi?" tanyanya dengan nada yang datar namun menekan.
Michaela menggeleng cepat, mencoba menutupi kegelisahannya. "Tidak... aku hanya duduk di sini, menunggu."
Ace menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah-olah sedang mencoba membaca pikirannya. Kemudian, dia mengangguk pelan. "Bagus," katanya sambil mengalihkan pandangannya, berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
Namun, di benaknya, Ace tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Entah apa, tapi dia merasa perlu lebih waspada terhadap Michaela.
Dan untuk Michaela, ketakutan dan tekadnya bercampur menjadi satu. Dia tahu, waktu semakin menipis, dan jika dia ingin melarikan diri, dia harus menemukan cara secepatnya, sebelum Ace mengetahui rencananya.
Pagi itu berakhir dengan dua orang yang duduk dalam keheningan yang penuh ketegangan, masing-masing memikirkan langkah selanjutnya, mencoba mengendalikan situasi yang semakin sulit diprediksi.
Malam itu, Michaela meringkuk di atas kasur yang usang. Matanya terbuka lebar, menatap kosong pada langit-langit yang tampak kusam.Dalam kegelapan kamar, hanya ada suara napasnya yang teratur dan sesekali gemerisik angin dari luar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya hampir menetes. Ia tak ingin Ace atau siapa pun mendengarnya menangis. Dia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan pria yang telah menculiknya ini.Hatinya terasa sangat berat. Segala ketakutan dan kesedihan yang ditahan sejak ia dibawa ke tempat ini, kini menyeruak dalam keheningan malam. Ia merindukan rumahnya—suara lembut ibunya yang memanggil namanya, aroma masakan hangat yang selalu menyambutnya setiap pulang, dan sentuhan lembut ibunya di rambutnya setiap malam sebelum tidur. Ia bahkan merindukan suara langkah kaki ayahnya di lorong, dan kehadiran Ryan, tunangannya, yang selalu memastikan dia aman.Michaela menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang ingin keluar. Ia memejamkan mata, berharap s
Di sebuah ruangan besar dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke kota, Ryan Alexander Blackwell duduk di belakang meja kerjanya. Tangannya yang kuat mencengkeram rambutnya, menariknya dengan frustasi.Sudah dua hari sejak Michaela menghilang, dan Ryan merasa seolah dunia telah runtuh di sekitarnya. Pikiran tentang Michaela terus menghantuinya, bayangan wajah tunangannya yang cantik dan senyum yang selalu membuat hatinya tenang, kini hanya menyisakan rasa sakit dan kerinduan yang dalam.Ryan mengerang pelan, suaranya dipenuhi dengan kesakitan yang ia coba sembunyikan dari semua orang. "Michaela... di mana kau?" bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar di ruangan yang sepi itu. Ia membayangkan Michaela di tempat yang tidak diketahui, mungkin ketakutan, mungkin terluka. Gambar-gambar mengerikan terus menerus berputar di benaknya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa putus asa."Aku tidak bisa terus seperti ini," katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, nyaris seperti berbic
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyebarkan kehangatan di seluruh kamar.Michaela perlahan membuka matanya, terbangun oleh cahaya yang menerpa wajahnya. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dia belum sepenuhnya pulih dari demam yang menyerangnya malam sebelumnya.Meskipun tubuhnya sudah tidak sepanas semalam, kelemahan masih menguasai dirinya. Ia berbaring di sana sejenak, memandang ke langit-langit kamar yang usang dengan perasaan hampa.Perasaan rindu pada keluarganya kembali menyeruak di hatinya, membawa serta kenangan indah tentang rumahnya yang hangat dan penuh cinta. Michaela menahan napas, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh lagi. “Aku sangat merindukan kalian…” gumamnya pelan, suaranya bergetar dengan emosi yang ia coba tahan. Bayangan wajah ibunya, senyum lembut ayahnya, dan tawa hangat mereka membuat dadanya terasa semakin sesak. Dengan susah payah, Michaela mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, tubuhnya belum sepenuhnya k
Pagi itu, sinar matahari masih menyinari rumah kecil Ace yang tersembunyi di pedesaan. Suara burung berkicau di kejauhan dan angin sepoi-sepoi membawa hawa segar yang menyelimuti rumah. Ace duduk di ruang tamu, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya.Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan yang mengganggu ketenangannya. Ace menatap pintu dengan waspada, tapi dia tahu siapa yang ada di baliknya. Dengan sedikit enggan, dia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka kunci dan menarik gagangnya. Di depannya, berdiri tiga orang pria yang tidak asing lagi baginya—Reggie, Luke, dan Tommy, teman-temannya yang sudah seperti saudara.“Yo, Ace!” Reggie menyapa dengan senyum lebar yang biasa ia tunjukkan. “Kami pikir, mungkin kau ingin sedikit hiburan pagi ini.”Ace mengangkat alis, menyembunyikan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul. “Apa yang kalian lakukan di sini? Bukannya kalian masih di markas?”“Kami bosan di sana. Lagi pula, ada
"Tuan, saya punya sesuatu," suara Cole terdengar tegang saat ia membuka pintu ruangan Ryan dengan terburu-buru.Ryan yang duduk di kursinya, dengan wajah yang letih, langsung mendongak. "Apa itu, Cole?" tanyanya dengan nada penuh harap.Cole mendekat, menyerahkan selembar peta kecil yang sudah diberi tanda. "Kita berhasil melacak sinyal ponsel nona Michaela untuk beberapa saat sebelum sinyalnya hilang. Ini adalah titik terakhir yang bisa kami dapatkan."Ryan menatap peta itu dengan tatapan tajam, mencoba mencerna informasi tersebut. "Daerah terpencil ini... di mana ini, Cole?""Itu di luar kota, sekitar dua jam perjalanan. Daerah pedesaan yang jarang dilewati orang. Saya rasa itu adalah tempat yang sempurna untuk menyembunyikan seseorang," jawab Cole, suaranya penuh dengan keyakinan.Ryan mengepalkan tangan, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita harus segera pergi ke sana. Kumpulkan beberapa orang, dan pastikan kita tidak terlalu mencolok. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadap
"Kita sudah sampai, Tuan," kata Cole sambil mematikan mesin mobilnya. Ia memandang Ryan yang duduk di sebelahnya dengan wajah tegang.Ryan mengangguk tanpa sepatah kata pun, matanya fokus pada tempat terpencil yang kini berada di hadapannya. Di belakang mereka, beberapa mobil mewah berhenti, menunggu instruksi lebih lanjut."Semua keluar. Periksa setiap sudut tempat ini," perintah Ryan dengan suara tegas. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Udara pagi yang sejuk terasa aneh di tempat yang sunyi ini, seakan menambah ketegangan yang ada.Para anak buah Ryan mulai bergerak cepat, menyebar ke segala arah, menyusuri jalan-jalan setapak kecil yang ada di sekitar. Cole berjalan mendekat ke Ryan, melihat bahwa bosnya tetap diam dan memandang sekeliling dengan penuh konsentrasi."Tempat ini... terlihat sangat sunyi," gumam Ryan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kau yakin ini titik terakhir yang kita dapat?"Cole mengangguk. "Ini yang terbaik yang bisa kita dapat dari sinyal ponsel nona M
Jip tua milik Ace berderak pelan saat ia mengendarainya menembus jalan setapak yang semakin sempit. Michaela yang duduk di sebelahnya, terdiam sambil memandangi pemandangan yang mulai berubah dari padang rumput liar menjadi pemandangan yang lebih teratur dengan rumah-rumah kayu yang sederhana namun hangat.Ace menghentikan jipnya di depan sebuah rumah yang terlihat berbeda dari bangunan lain di sekitar. Rumah itu hanya memiliki satu lantai, tidak terlalu besar, namun sangat rapi dan terawat dengan baik. Udara sore yang sejuk merayap masuk melalui jendela jip, membawa aroma tanah dan dedaunan yang menenangkan.“Kita sudah sampai,” ujar Ace dengan suara datar, melirik Michaela yang masih terpana dengan pemandangan di depannya.Michaela mengangguk pelan, masih terkesima oleh suasana pedesaan yang jauh berbeda dari hiruk-pikuk perkotaan yang biasa ia kenal. "Ini… tempat ini indah sekali," gumamnya hampir tak terdengar.Ace tidak menanggapi komentarnya. Ia hanya mematikan mesin jip, membuka
Ace terbaring di tempat tidur, matanya terpejam, namun pikirannya terperangkap dalam mimpi yang kelam. Bayangan masa kecilnya kembali menghantuinya, mengantarkannya pada kenangan yang tak ingin dia ingat.Dalam mimpinya, Ace melihat dirinya yang masih kecil, berusia sekitar 10 tahun. Ia berdiri di depan rumah kecil neneknya di desa terpencil, di bawah langit yang kelam. Angin dingin berhembus, membuat pepohonan bergoyang tak beraturan. Di kejauhan, dia bisa melihat sosok ibunya, Amanda Silverton, yang berjalan dengan langkah lamban dan tatapan kosong.“Ibu?” Ace kecil memanggil, suaranya penuh ketakutan. Namun, Amanda terus berjalan, seolah tidak mendengar panggilan anaknya.Ace kecil berlari mengejar, kakinya yang mungil berusaha mengejar langkah sang ibu. Tapi semakin cepat dia berlari, semakin jauh ibunya terlihat. Nafasnya tersengal-sengal, namun dia tak berhenti. Hingga akhirnya, di tengah hujan yang tiba-tiba turun deras, Amanda berhenti dan berbalik. Wajahnya pucat, matanya yang